Janji Manis Setelah Ibu Tiada

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Ainun adalah seorang gadis yang di tinggal oleh ibunya sejak kecil. Saat ini dia sudah beranjak dewasa dan menginjak usia 22 tahun. Sejak kepergian ibunya, Ainun tinggal bersama sang ayah dan kelima saudaranya. Hidup di tengah keluarga yang sederhana dan mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi tidak membuat sang ayah mengurungkan niat untuk memberikan pendidikan terbaik untuk semua anaknya. Hingga akhirnya dia bisa mendapatkan 3 gelar sarjana dari ketiga anaknya, termasuk Ainun. Sang ayah bertahan untuk kesejahteraannya bersama sang anak seorang diri meskipun dia tahu bahwa kerabatnya banyak yang sukses di luar sana.

Lakon[sunting]

1. Ainun

2. Ayah

3. Bulan

4. Tika

Lokasi[sunting]

Kamang, Sumatera Barat

Cerita[sunting]

Kamang merupakan salah satu desa kecil yang ada di Sumatera Barat. Terletak di pinggir kota Bukittinggi dan memiliki pemandangan alam yang sangatlah asri. Salah satu tempat wisata alam yang ternama di desa ini adalah Tarusan Kamang. Selain menjadi tempat wisata, lokasi ini juga memiliki cerita mitos yang sudah diketahui oleh penduduk sekitar. Desa ini menjadi saksi perjuangan seorang kepala keluarga yang menghidupi kelima anaknya seorang diri.

Seorang gadis remaja tengah menatap layar komputernya dari tadi, sudah terhitung 2 jam tubuhnya belum beranjak dari meja belajar kesayangannya. Ainun merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, gadis berusia 22 tahun ini baru saja menyelesaikan masa studinya di salah satu kampus ternama di Sumatera Barat. Sudah 3 bulan semenjak mendapatkan ijazah, sampai sekarang tak kunjung ada juga pekerjaan yang memanggilnya. Lowongan yang diapplynya juga tidak sedikit, tapi sayang masih belum kesempatan untuk dirinya. Padahal kerabat dari ibunya banyak yang sukses di rantau orang, tapi tak satupun ada yang mau mengulurkan tangan untuk membantu dirinya. Alhasil, dengan ketekunan hatinya dia harus berusaha sendirian.

Lirikan matanya mengarah ke sudut meja belajar sebelah kanan, terpampang rapi sebuah foto keluarga yang sangat harmonis di dalamnya. Ayah, Ibu, dan kelima anaknya. Foto itu diambil seminggu sebelum sang ibu dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya meninggalkan mereka semua. Bak pertanda, itu adalah foto terkahir keluarga kami dengan formasi lengkap.

Terlalu larut dalam kenangan yang tak bisa diulang, handphone Ainun berdering pertanda ada pesan masuk. Langsung ditatapnya layar pipih itu dan melihat notifikasi dari adeknya Bulan.

"Kak, ayah sekarang lagi ada duit gak? Uang yang dikirim tiga hari lalu sudah habis," gumam Ainun membaca pesan tersebut.

Bulan adalah anak keempat, saat ini ia sedang berkuliah semester 2 di tempat yang sama dengan Ainun. Hanya saja karena Ainun sudah tamat, dia harus meninggalkan Bulan di kota besar itu sendirian daripada harus memakan banyak biaya lagi. Ainun tahu bagaimana sulitnya hidup merantau, permintaan kecil yang diminta oleh adiknya bukanlah sesuatu hal yang berat bagi segelintir orang, tapi ini sangatlah berat untuk keluarganya. Ainun mengetahui betul ekonomi ayahnya, mencari uang untuk sesuap nasi bagi adiknya Bulan itu sunggulah sulit.

Ada perasaan berat hati, Ainun membalas pesan dari Bulan, "Iya Bulan, nanti kakak sampaikan ke ayah, hemat dulu ya untuk hari ini. Jangan sampai harus nahan lapar," jawabnya dengan perasaan sedih, tentunya air matanya juga ikut berlinang.

"Bagaimana mungkin Ayah bisa menyanggupi permintaan Bulan, bahkan untuk dirumah saja begitu susah untuk makan sehari-hari. Ya Allah, permudahkanlah aku untuk dapat kerja, biar bisa bantu Ayah," gumamnya dalam hati.

Air mata Ainun berlinang mengingat kondisi keluarganya saat ini, tapi perlahan dia tertawa sinis mengingat janji-janji manis yang tak kunjung ada yang menepati

Mengenang 15 Tahun yang Lalu[sunting]

Lima belas tahun nan lalu, tepatnya di hari Jumat, tanggal 7 November 2008 aku kehilangan sosok malaikat yang kerap disapa dengan sebutan “Ibu”. Menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah rumah sakit dan disaksikan oleh kelima anaknya yang masih kecil. Kala itu aku masih berumur tujuh tahun sebagai anak ketiga dan si bungsu berumur 3 tahun. Suara tangisan seakan sahut menyahut di lorong rumah sakit sembari matahari ingin menampakkan dirinya.

“Sudahlah, tak usah ditangisi lagi kepergian ibumu. Biarkan dia pergi dengan tenang,” ucap seorang wanita muda sembari memelukku. Wanita muda yang ku panggil dengan sebutan “tante” itu adalah kerabat dari keluarga Ibu.

Jasad Ibu sudah dibawa ambulance untuk diantar kerumah. Sesampainya dirumah, begitu banyak kerabat dan tetangga yang menanti kedatangannya. Halaman rumah juga dipenuhi dengan isak tangis kehilangan. Selama hidup, ibu adalah orang yang baik dan ramah kesemua orang, tak heran juga banyak yang merasakan kehilangan dan mengantarkannya ke peristirahatan terakhir.

Pukul 10.00 pagi, sebuah tandu diangkat oleh Ayah, kakak pertama, dan di bantu oleh Paman untuk diantarkan ke pemakaman. Aku dipapah oleh saudara Ibu, tak terbesit lagi dipikiranku kemana saudaraku yang lainnya, yang hanya ada di otak kecilku adalah hancurnya dunia tanpa kehadiran seorang ibu. Bahkan pemakaman hampir usaipun aku tak henti-hentinya mengeluarkan isak tangis.

“Ikhlaskan Ibumu, sekarang dia sudah tidak sakit lagi dan sudah tenang disana,” ujar seorang wanita muda yang sedari pagi menemaniku dan saudaraku yang lainnya. Aku hanya menganggukkan kepala dan perlahan mengurangi isak tangis yang sedari tadi tak kunjung henti.

“Anggap saja tante adalah pengganti ibumu, nanti apapun yang kamu butuhkan akanku penuhi hingga kau beranjak dewasa,” sambungnya dengan sebuah janji yang membuatku hampir tenang.

“Benar, Ibumu adalah orang baik dan sering menolong orang. Sudah saatnya kami membalas budinya kepada kalian. Kalian masih terlalu kecil untuk hidup tanpa seorang Ibu,” sahut seorang pria yang kala itu juga berada disana.

Aku hanya terdiam, beruntung sekali ibu punya saudara yang baik dan mau membantu aku dan keempat saudaraku nantinya. Padahal di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak meragukan sosok Ayah yang nantinya akan menjadi ayah sekaligus ibu nantinya.

Berdiri Kokoh di Kaki Sendiri[sunting]

Meskipun Ayah cuman seorang pekerja serabutan, apapun yang diminta oleh anaknya sebisa mungkin akan dipenuhi. Tekadnya untuk memberikan pendidikan yang layak untuk semua anaknya selalu diusahakan. Ainun menghampiri ayahnya yang sedang memanen buah coklat di belakang rumah. Biji coklat yang nanti dikeringkan di bawah terik matahari ini menjadi salah satu penghasilan mereka. Bibirnya berat untuk menyampaikan apa yang diminta Bulan. Akan tetapi, jika tak disampaikan kasihan dengan Bulan yang harus menahan lapar.

“Yah, tadi Bulan menghubungi Ai, katanya uangnya sudah habis,” ujar Ainun dengan terbata-bata sembari menolong sang ayah membuka buah coklat dan memisahkan bijinya.

“Uang yang kemaren memang tidak cukup,” tanya sang ayah.

“Bagaimana mau cukup, Yah. Uang 50.000 kemaren sudah lebih dari cukup bisa hemat olehnya selama tiga hari,” pungkas Ainun.

Respon ayah hanya dengan helaan nafasnya.

'“Bagaimana kalau Ai coba hubungi Mamak yang di Bandung?” tanya Ainun kepada sang Ayah. Mamak merupakan panggilan untuk saudara laki-laki ibu di daerah Minangkabau.

“Tak usah dihubungi mamak kau, percuma saja. Pesan dari kita tidak akan pernah digubrisnya. Biarkan mereka hidup dengan kebahagiannya sendiri. Kita hanya dianggap pengemis, tidak akan pernah diberikannya uluran tangan untuk membantu orang susah seperti kita,” jawab Ayah sambil berdiri meninggalkan aku yang masih berkutik dengan biji coklat hasil panen yang tidak seberapa ini.

Ainun mengetahui, sang ayah pasti akan mencari pinjaman supaya bisa mengirimkan uang untuk Bulan. Dia juga mengetahui siapa saja yang mau mambantu Ayahnya ketika membutuhkan uang, yang jelas mereka tidak memiliki ikatan darah dengan keluarga Ainun. Karena sang ayah sudah tidak mau lagi mengemis pertolongan dengan kerabat dekatnya. Selama bertahun-tahun mereka hidup susah tak seorangpun yang mau mengulurkan tangannya. Ketiga anaknya yang kuliah hanya dibantu dengan beasiswa dan hasil keringatnya sendiri.

Ayah rela berhutang kepada orang lain daripada harga dirinya harus direndahkan oleh kerabat sendiri. Janji-janji yang diberikan kepada kelima anak yang ditinggal oleh sang ibu sejak kecil itu hanyalah janji penenang sesaat saja. Selebihnya hanyalah ucapan tanpa reaksi sedikitpun. Bahkan dia membiarkan harta warisan yang seharusnya menjadi milik anak perempuannya dikuasai oleh mereka. Di Minangkabau, yang menjadi pewaris dari harta warisan adalah anak perempuan, itu artinya segala bentuk yang tersisa, baik itu dalam bentuk sawah, anak perempuan bisa mendapat bagian dari hasilnya. Tapi untuk menawarkan sebiji padi saja rasanya enggan. Meskipun begitu, Ainun dan keluarga sampai sekarang masih sehat dan mendapatkan pendidikan yang layak berkat tekad sang ayah yang pantang menyerah.

Ainun mencoba menghubungi kakak perempuannya bernama Tika yang saat ini sedang bekerja di Pekanbaru. Sebenarnya ini bukanlah solusi yang baik, karena dia juga membutuhkan biaya hidup di rantau. Kalau menceritakan susahnya hidup di kampung sama saja dengan menambah beban pikirannya. Tapi cuman Kak Tika tempat untuk meminta tolong. Tak enak hati juga harus menghubungi saudara laki-laki pertama yang sudah memiliki anak dan istri.

Setelah pikir panjang, Ainun akhirnya menghubungi Kak Tika dengan panggilan telepon. Satu, dua, tiga kali berdering akhirnya tersambung.

“Assalamu’alikum Kak,” ujar Ainun.

“Wa’alaikumsalam Ai, kenapa?” tanya Tika.

“Kak, ada pegangann gak 50.000, tadi Bulan minta transferan. Ai sudah kasih tahu ke Ayah, tapi ayah lagi gaada juga. Kasihan Bulan kak, takutnya nanti dia harus menahan lapar disana,” tutur Ainun.

“Yaudah, nanti kakak transfer ke Bulan saja Ai, bilang ke Ayah ga usah dicari dulu. Pokoknya kalau untuk hal kecil seperti ini kakak bisa bantu. Yang paling penting kamu harus jangan menyerah, apapun yang terjadi sedikit banyaknya kakak bakalan bantu, karena tujuan kakak kerja disini untuk memperbaiki ekonomi kita. Semoga aja beberapa waktu ke depan kakak bisa sukses dan mengangkat derajat keluarga yang selama ini sudah direndahkan oleh orang lain. Intinya jangan pernah menyerah ya.”

“Iya kak, makasih ya kak.”, ujar Ainun dengan hati yang sumringah.

"Yaudah, Ai tutup teleponnya ya kak, kakak lanjut kerja aja. Semoga rezekinya lancar".

"Amiin, sehat-sehat juga di rumah sama ayah dan adek, Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam,"

Ainun menutup telepon dan mencari keberadaan sang ayah. Setidaknya bisa mengurangi beban pikirannya sekarang. Bagi Ainun meskipun hidupnya dan keluarga penuh dengan cobaan ekonomi, tapi dia beruntung memiliki kakak beradik yang saling peduli satu sama lain.

Tamat