Jatuh Suka
Cerita Pendek
[sunting]Cerita Pendek berjudul "Jatuh Suka"
Sinopsis
[sunting]Tatkala sebuah kerumitan datang antah-berantah darimana asalnya, sebuah kebetulan datang dari yang tak terduga membawa keduanya jatuh kedalam takdir yang sama dan akhir seperti apa yang mereka inginkan?
Jatuh Suka
[sunting]Senyum lekat merekah di wajah cantik milik Shelly. “Please, doain aku dong! Aku akan menjalankan misi penting bumi.” Seru Shelly yang terdengar di sepanjang lorong. “Jangan main-main, mau kemana kamu?” Shelly tidak menjawab melainkan berlari meninggalkan ayahnya yang berteriak di belakang sana. Dipunggungnya terdapat tas berisi laptop dan beberapa buku kesayangan miliknya, harta berharga. Kakinya beranjak masuk ke dalam perpustakaan. Tempat ini merupakan suatu tempat paling rekomendasi bagi Shelly untuk menuangkan ide miliknya. “Cerita apa ya yang harus diambil? Yang realistis kah? Klasik banget motivasi doang.” Mulutnya memang menggungam tapi tangannya sibuk membolak-balik halaman buku di depannya. “Bunda, tolong anakmu.” Rengek Shelly seorang diri. Buku yang digenggamnya sudah berganti posisi menutupi wajah Shelly, berharap seluruh ide masuk kedalam kepalanya yang buntu. “Pantai aja gak sih? Gue denger pantai sunset nya lagi bagus.” “Wah, iya kah? Mau banget.” Dialog tersebut membuat tubuh Shelly duduk tegap di tempatnya. Tidak lagi dengan buku yang ada di wajahnya. Samar-samar percakapan orang barusan membuat otak Shelly berpikir sesuatu. “Bener kak, Pantai. Siapa tau solusi nya di sana.” Gumam Shelly dengan senyum puas.
Di lain sisi, pantai yang ramai dengan pengunjung itu tidak luput dari keberadaan Marlo. Marlo harus berkali-kali berkunjung kesana hanya untuk melakukan dokumentasi proyek miliknya. “Tadi kamera nya sudah di pasang kan ya, dek?” Tanya Dimas, senior Marlo. Marlo mengangguk sebagai jawaban. "Oke deh, nanti di atur ya jangan lupa. Gue tinggal dulu." Kata Dimas lagi. "Iya, kak." Marlo memasangkan audio pada kamera tersebut. Dipakai nya earphone itu dan suara deru ombak yang tertangkap dari kamera mulai masuk ke dalam telinganya. Tenang, Marlo suka suasana ini. Marlo lupa akan tugasnya yang telah dikejar deadline. Saat tengah memejamkan matanya sebentar, Marlo merasa kepalanya terkena lemparan benda dari belakang. Marlo menoleh ke belakang. "Maaf, maaf, gak sengaja. Tadi niatnya gak kesitu tadi." Ucap seseorang yang sepertinya telah melemparkan sesuatu kepadanya. Mata Marlo melihat bola yang menggelinding di pasir. "Kepala saya dilempar pakai apa tadi?" Tanya Marlo mengusap-usap kepalanya. Nada bertanya Marlo terdengar tinggi seperti memarahi. Tidak sakit sih, hanya terkejut. "Bola karet kok, yang biasa di tendang anak kecil pas main bola. Tuh bolanya kalau gak percaya!" Panik Shelly. Wajah Shelly sudah terpampang panik di depan Marlo. "Tapi kan saya gak salah? Kok dilempar?"
Shelly yang panik pun dengan cepat berubah menjadi geram. "Kan tadi saya udah bilang kalau saya gak sengaja mas. Eh? Kak? Mas? Apa lah sebutnya, saya udah minta maaf sebelumnya karena saya kira gak bakal kena." Ucap Shelly dengan satu tarikan nafas. Shelly melihat raut wajah Marlo itu tampak ingin menertawakannya. "Untung gak kena kamera saya, sudah tau tempat umum jangan main sembarangan." Jawab Marlo menanggapi. Setelah mengatakan itu, Shelly semakin hilang kesabaran. Marlo tampak tidak peduli pun duduk kembali ke tempat semula. Ia kembali memejamkan matanya. "Anak kecil juga main disini, justru ini bolanya anak kecil. Makanya saya tertarik buat main. Lagipula ini kan pantai, bebas juga buat siapa aja. Nah kebetulan aja pas saya tendang kena kamu, coba aja ta-" "Marlo, kamera nya siap 2 menit lagi." Potong seseorang yang menghampiri mereka. "Siap,kak." Baru saja ingin melanjutkan ucapannya, Shelly melihat banyak orang berpakaian rapi dengan kamera yang di kalungkan di lehernya serta beberapa berkas ditangannya, seperti orang yang bekerja untuk membuat sebuah film. "Udah kan? Kenapa masih disini? Mau marah-marah lagi?" Tanya Marlo dengan angkuh. "Bentar!" sela Shelly. "Apalagi.." ujar Marlo malas. "Kamu lagi rekam apa?" Tanya Shelly. "Dokumentasi." Jawab Marlo. Shelly melihat beberapa kertas yang berserakan di dekat kamera. Matanya menyipit untuk membaca lebih jelas. "Naskah," gumam Shelly dalam hati. "Kamu, Marlo?" Tanya Shelly pelan. Marlo hanya menoleh tanpa merespon. "Aku boleh disini ya?" Marlo menghela nafas kasar dan akhirnya mengangguk mengiyakan.
Pembuatan dokumentasi telah dilakukan beberapa jam yang lalu, revisi demi revisi mulai berdatangan. Proses dokumentasinya tidak berjalan sesuai ekspektasi Marlo pada awalnya. Ia tidak pernah menyangka prosesnya akan menjadi serumit ini. Entah apa yang salah, proses nya tak lagi memuaskan sedangkan deadline sudah di depan mata. "Marlo." Panggil seseorang. Marlo yang tengah menunduk pun menoleh ke sumber suara. "Ini susu coklat, aku tau kamu pusing." Katanya. Setelah susu coklat itu diambilnya, Marlo melihat kembali orang di sampingnya. "Kamu ini sebenernya ngapain disini? Ini udah mau malem." tanya Marlo kepada Shelly. Shelly menenggak susu coklat di genggamannya. "Ah, aku disini cari tujuan." Marlo tampak bingung. Shelly tertawa menanggapi. "Aku lagi cari inspirasi buat karya aku sendiri. Siapa tau aku bisa ketemu sesuatu disini." Ucap Shelly menjelaskan. Marlo mengangguk, "Terus ketemu?" Tanya Marlo. Shelly menggelengkan kepalanya. "Enggak." Shelly lagi lagi tertawa. "Oh, iya, Marlo kamu mau gak jadi inspirasi aku buat nulis?" Marlo terperanjat. Susu yang tengah diminumnya hampir saja kembali keluar dari rongga mulutnya. "Maksudnya?". Shelly menghela nafas kasar, "Ya gak maksudnya-maksudnya, mau gak?" Melihat raut wajah Marlo yang masih terlihat terkejut. Shelly melanjutkan penjelasannya yang mengarah pada negosiasi. "Oh, atau gini aja, cerita ini nanti bisa buat naskah kamu juga gimana? Atau mau tulis bareng sama aku?" Tanya Shelly antusias. Entah Shelly sadar atau tidak, Marlo terus berpikir keras dalam benaknya. Shelly ini sengaja atau tidak sih, pikir Marlo. "Punya dua kepribadian apa gimana? Tadi marah-marah, sekarang begini." Shelly kembali memasang wajah tersenyum. "Jelas, inspirasi ku depan mata." Shelly menopang dagunya dengan telapak tangan. Shelly memandang lurus kearah Marlo yang kembali tercengang. Hembusan angin sore itu menerpa wajah dan rambut Shelly yang terurai lebat. Marlo melihatnya tanpa sadar tersenyum.
Langit sore sudah semakin tenggelam. Matahari sudah mulai tak lagi tampak di permukaan, warna jingga telah menghiasi langit di atas mereka. Mereka melihat jelas pemandangan matahari terbenam. Terdengar juga pujian kagum dari pengunjung lain. "Saya mau." Ucap Marlo singkat dengan pandangan masih mengarah ke depan. "Hah?" Shelly tidak dapat mendengar suara Marlo dengan jelas. Suaranya terlalu kecil seperti berbisik. "Iya, saya mau." Ucap Marlo lagi lebih keras. Shelly yang tidak percaya pun menepuk pundak Marlo. "Beneran?" Tanya Shelly memastikan. Marlo mengangguk. "Tuh kan! Kamu pasti mau!" Senang Shelly. Shelly tidak berhenti tersenyum mendengar ucapan Marlo barusan.
Setelah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk saling menghubungi satu sama lain dengan alasan agar mudah untuk bertemu kembali. Keduanya telah bersepakat untuk bertemu di sore hari. Marlo dengan gagah berdiri di depan gerbang untuk menunggu seseorang. Siswi dengan rambut yang diikat satu, jaket berwarna putih, dan tas berwarna hitam kecil dipunggungnya itu berlari kearahnya. “Marlo!” Sapa Shelly. “Maaf ya, tadi guru nya habis rapat dulu.” Marlo mendengus kesal. Ya sudahlah, yang penting anak ini cepat datang, pikirnya. “Lama, naik cepet.” Shelly dengan senyum sumringah naik keatas motor. Setelah itu motor melaju pergi meninggalkan kediaman sekolah.
“Enaknya kita kemana ya?” Tanya Shelly. Marlo yang tengah mengendarai motor pun berusaha mendengarkan dengan jelas suara Shelly. Suara Shelly telah menyatu pada deru angin dan suara kendaraan yang ramai di jalanan. “Hah?” Shelly berdecak. “Kita kemana? Kamu ada saran gak?” Marlo melirik ke arah spion untuk melihat lebih jelas gerak bibir Shelly di belakangnya. “Gak tahu,” jawab Marlo. “Ih, teuing, ayo ke warung makan pak Samin aja!” ucap Shelly lebih keras agar bisa terdengar. Marlo melirik lagi dari arah spion kemudia mengangguk paham. Tak lama perjalanan, keduanya telah sampai di depan Warung Makan Pak Samin yang tadi dimaksud oleh Shelly. Shelly dengan tidak sabar turun dari motor dan masuk mendahului Marlo. Marlo yang melihatnya hanya bisa menggeleng heran.
Keduanya sudah duduk di meja makan yang kosong disana. Shelly masih berkutat pada pesanan makanannya. Tidak lupa dengan makanan favoritnya yang di pesan dengan dua porsi untuk dirinya dan Marlo. “Baik, ditunggu ya, Neng. Haturnuhun.” ucap Bapak Samin. “Sami-sami, Pak.” Balas Shelly. “Marlo, aku mau tanya deh.” Marlo berdehem. “Apa?” Marlo masih fokus pada ponsel miliknya. “Sebenernya kamu ini anak sekolah atau gimana? Terus project kemarin itu untuk apa?” Marlo meletakan ponselnya di atas meja. Mata Marlo menatap lurus kearah depan. “Mau lulus bentar lagi. Project kemarin itu buat komunitas aja sebenernya, kebetulan saya ambisi mau jadi penerus yang baik. Saya punya impian besar buat terkenal dengan suatu film kecil-kecilan dari komunitas kita.” Ucap Marlo sombong. “Terus kenapa masih belom selesai?” Raut wajah Marlo sedikit berubah setelah Shelly melontarkan pertanyaannya barusan. “Eh, maaf, aku harusnya gak nanya itu ya? Kalau gak mau di jawab gak apa apa kok.” panik Shelly. Jujur Shelly merasa sangat cemas. Shelly lupa ini adalah topik sensitif Marlo. “Hahaha, santai. Sebenernya saya malu banget. Masa saya harus cerita sama orang bawel kayak kamu?” Elak Marlo. “Hah? Maksudnya? Kamu ini ngejek?” Marlo tertawa kecil. “Enggak. Aduh, gimana saya harus bilangnya ya? Ini malu-maluin sih.” Ucap Marlo dengan wajah mesem. Shelly semakin dibuat penasaran dengan penuturan Marlo barusan. Raut wajah Marlo terlihat sangat mencurigakan. Shelly semakin mendesak Marlo dengan rayuan-rayuan. Ia bahkan mengumbar janji bahwa ia tidak akan beritahu apapun tentang ini ke siapapun. Marlo menghela nafas panjang. Terlihat dari wajahnya saja ia seperti sudah bosan untuk membahas kekurangannya ini. Dengan berat hati, Marlo akan mengatakan ini.
“Sebenernya waktu pembuatan film itu untuk cerita yang saya buat sendiri ini udah beberapa kali diajukan, tapi gak pernah dapet persetujuan. Alasannya selalu aja sama. Mau tahu apa?” Shelly mengangguk. “Ceritanya hambar, saya gak bisa nulis tentang percintaan.” Shelly menganga lebar mendengarnya. Tangannya langsung menutup mulutnya, speechless. “Kamu kuno berarti ya?!” Kaget Shelly dengan spontan. Mungkin karena terlalu spontan, Shelly sampai tidak sadar bahwa suaranya hampir terdengar satu ruangan. Marlo menunduk malu begitu juga dengan Shelly. Setelah berada detik dalam suasana canggung, akhirnya Shelly mulai tertawa mengejek lagi. Marlo mendengus kasar. Ia menyesal. Memangnya mengapa seseorang harus bisa bersikap romantis? Memang semua drama harus ada bumbu romantisnya? Shelly berdehem. Perempuan itu menawarkan untuk melihat naskah dramanya. Marlo setuju dan membuka ponselnya untuk mencari dokumen tersebut. “Pfft-“ Shelly tampak menahan tawa beberapa kali sambil melihat-lihat ponsel Marlo. “Apasih?” kesal Marlo. “Pantesan, kamu ini pasti suka genre lain ya? Atau biar aku tebak kamu suka action ya?” Tanya Shelly. “Iya, makanya saya nulis kayak gitu. Eh, ternyata pasarnya beda. Saya sampai diketawain sama kakak saya, temen-temen saya, bahkan kamu juga sekarang.” Shelly tertawa lagi. “Ya, karena memang lucu. Gimana dong?” Ejek Shelly. Cukup lucu baginya menemukan seseorang yang masih tabu soal percintaan di kalangan media sosial yang banyak menyediakan platform bacaan untuk kisah romansa. Apakah ia tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang?
“Aku malah suka hal yang kamu gak suka itu. Cocok banget ya?” Tanya Shelly. “Ya, karena kan kamu penulis. Pasti ini kan makanan kamu sehari-hari.” Shelly mengangguk setuju. Marlo tampak berpikir sesuatu, “Sekarang gini aja, gantian. Saya tanya kamu boleh?” Shelly yang di tatap seperti itu pun mengangguk. “Kamu mau tulis naskah ini bareng saya?” Tanya Marlo. “Kalau aku gak mau?” Tanya Shelly jahil. “Ya, sedih lah. Saya beliin susu coklat mau?” Ucap Marlo. Senyum sumringah mulai terpampang jelas di wajah Shelly. “Deal!” “Punten A, Neng Shelly, ini ayam bakarnya udah dateng.” Tampaknya mereka ditakdirkan untuk bertemu dari awal.
Setelah pertemuan hari itu, keduanya hari demi hari mulai memiliki banyak interaksi. Entah sejak kapan keduanya mulai mendekatkan diri. Hanya sebatas teman bisnis, katanya. “Ly, temen bisnis kamu tuh.” Shelly sedang duduk berdua dengan temannya di bangku halte. Dari perkataan temannya barusan, Shelly menoleh tak percaya. Matanya menelisik ke arah depan. Dilihatnya di ujung sana ada Marlo yang tengah berdiri melambaikan tangan kepada nya. “Sana samperin.” Goda Ayne, teman sekelasnya. Shelly membuka ponselnya dan mengetik beberapa pesan di aplikasi chatting. Tak lama di sebrang sana Marlo juga tampak mengetik sesuatu di ponselnya. “Ayo jalan-jalan.” Pesan Marlo. Shelly tampak bingung dan tanpa mengulur waktu lebih baik ia cepat pergi dari halte. Tak lupa dengan pamitan pada temannya, Shelly menghampiri Marlo.
“Kok kesini? Bukannya kita gak ada janji ya?” Marlo mengendikan bahunya tak peduli. Memangnya harus ada janji baru bisa pergi, pikirnya. Keduanya berjalan beriringan. Kaki mereka melangkah pada sebuah toko buku komik. “Kenapa kesini?” Tanya Shelly. “Ya, kerjain bisnis lah? Apalagi?” Shelly mendengus kesal. Ya, sebaiknya jangan berharap pada manusia seperti Marlo. Suara decitan pintu terbuka membuat seseorang yang sedang duduk di dalam menoleh. “Marlo, Apa kabar?” Sapa pria tua itu. “Baik, Om. Om sehat juga gak nih?” Tanya Marlo kembali. “Jelas sehat.” Pria yang baru saja dipanggil om oleh Marlo tadi juga menyambut Shelly dengan senyuman. Shelly juga tampak menunduk dan balas senyum kepadanya. “Saya izin baca ya, Om.” “Silahkan.” Marlo tampak menuntun Shelly untuk masuk ke dalam Toko Buku Komik itu. Di dalam nya terdapat banyak rak dengan nuansa zaman dahulu, aroma khas buku, dan hiasan yang bagus mendukung suasana membaca disana. “Saya lihat kamu murung terus. Siapa tau baca buku komik bisa bikin kamu senyum dikit.” Shelly tertegun. “Kok dikit? Banyak lah. Niatnya sedikit-dikit banget.” Tanpa mau mendengar apa-apa lagi, Marlo mendorong pelan bahu Shelly untuk duduk di sofa yang di sediakan disana. “Diem dulu disitu. Nih, buku rekomendasi saya.” Shelly melihat tumpukan buku komik dengan sampul buku peperangan zaman dahulu kala. Sudah dapat di tebak dari kepribadian Marlo setelah pembahasan mereka kemarin-kemarin. “Emang mau kemana sih?” Tanya Shelly penasaran. Tanpa menjawab pertanyaan barusan, Marlo melengos pergi keluar dari Toko Buku. Shelly yang sudah kepalang pusing pun mau tak mau mencoba mengalihkan perhatiannya pada buku di depannya. Tangannya sudah membolak-balik kertas tersebut untuk dibaca. Buku sejarah klasik berjudulkan Perang Diponegoro. Sewaktu tengah asik membaca bagian depan buku, terdengar suara langkah kaki. “Ketinggalan.” Marlo kembali lagi ke dalam dan merogoh kantong di tas nya dan melengos pergi keluar. Shelly hanya bisa melihatnya dengan tatapan malas.
Saat Shelly sedang merenggakan tubuhnya yang pegal, matanya salah fokus pada selembar kertas lecak di dekat bawah meja. Shelly mengambil kertas itu dengan hati-hati. “Ini kertas Marlo apa bukan ya?” Shelly dengan rasa penasarannya pun membaca tulisan di kertas tersebut. Shelly dibuat bingung. Isi kertasnya gemas sekali. “Besok yang punya tas abu ini ulang tahun. Kyaa ><” Begitulah isi dari selembar kertas yang ia temukan barusan. Banyak gambar-gambar lucu disana. “Ini punya Marlo?! Hah?! Lucu banget?!” Shelly lagi-lagi berucap gemas. Sebelum Marlo kembali dari luar Shelly berniat akan menyembunyikannya, pikir Shelly. “Eh, tadi apa katanya? Ulang tahun? Terus yang nulis siapa tadi?” Tanyanya bingung sendiri dengan selembar kertas milik Marlo.
Marlo sudah kembali dengan es krim di tangannya. “Marlo...” Shelly menatapnya tertegun, tak percaya Marlo akan sepeka ini. “Berisik, cepetan nanti leleh.” Shelly langsung mengambil alih es krim itu. Shelly tampak menikmati es krim pemberian Marlo. Marlo sebenernya tidak berniat membelikan itu. Ia hanya ingin pergi ke Supermarket membeli minum, tetapi melihat raut wajah Shelly hari ini nampak tidak bersemangat akhirnya hati kecilnya berbaik hati membelikan es krim itu. “Tapi, Mar. Aku gak nyangka, kamu ternyata sediem itu ya. Kamu anggep aku bukan temen lagi kah sekarang?” Marlo sudah malas menanggapi sebenarnya. Shelly ini selalu saja menuduhnya yang tidak-tidak. “Apaan lagi?” “Kamu punya pacar kan?” Sedih Shelly. “Hah?” Marlo tampak bingung. Shelly menghela nafas lalu mengusap air mata bohongannya itu. “Sudahlah, gemini mana lagi yang harus aku percaya.” keluh Shelly. “Aku sedih banget, tapi gak bakal sedih lagi kalau ada orang yang mau kabulin permintaan aku.” Marlo menjawab, “Kenapa? Kamu sakit atau apasih? Kok saya ngerasa hawa kamu ini seram ya.” Ucapan Marlo barusan membuat Shelly mendelik. “Apasih ngomongnya?! Ngawur. Sini dulu makanya, penasaran gak?” Marlo mendekat.
Di sebuah kertas ia menulis beberapa kata disana. Setelah semuanya sudah tertulis, Shelly meletakkan pulpen itu dan memberikan kertasnya kepada Marlo. “Marlo.” Shelly menatap Marlo sendu. “Ini list yang aku pengen banget selama hidup aku. Aku mau cerita ini sekali aja seumur hidup.” Ucap Shelly cengengsan. Lelaki didepannya belum menanggapi apapun. “Aku gak pernah punya temen yang bisa aku ajak cerita seluas yang aku mau. Aku selalu takut orang lain anggap aku berlebihan. Sekarang disini aku coba beraniin diri buat cerita sama orang lain. Selera ku selalu beda. Entah aku yang belum terbiasa atau apapun itu, sekarang aku mau coba bisa beda. Aku mau coba sama kamu. Semoga kamu mau ya berteman sama aku, tanpa bisnis sekalipun.” Marlo menatap iba. Bibir Marlo seolah kelu. Ia kira sosok Shelly adalah orang dengan panggilan social butterfly, karena di pertemuan pertama anak ini sudah bisa menarik perhatian orang lain untuk mau berteman dengannya. Marlo kembali tersadar saat melihat Shelly dengan wajah menahan tangisnya. “Shelly, jangan nangis. Saya baca dulu ya?” Shelly mengusap air matanya yang baru saja tanpa sadar terjatuh. Shelly mengangguk. Dalam lubuk hatinya, ia tampak gusar. Ia takut Marlo tidak akan mau berteman dengannya setelah hari ini. Ia dan project nya akan bisa selesai dalam kurun waktu dekat. Bagi Shelly menulis naskah bersama Marlo bukan hal sulit. Shelly masih ingin melakukan banyak hal bersama ‘inspirasi’ nya.
“Shelly, saya mau. Kita kabulin ya, kamu bisa cari saya kapan pun kamu mau. Sebagai tanda terimakasih saya di pertemuan pertama kita.” Mata Shelly tampak berbinar. Tangannya tanpa sadar menggenggam erat telapak tangan Marlo. “Terimakasih banyak, besok kita ke kafe yang baru buka itu ya!” Marlo tersenyum dan mengangguk. Marlo akan lakukan yang terbaik selagi itu baik untuk Shelly juga. Keesokan pagi harinya, Shelly tampak sedang sibuk dengan sesuatu di dapur. “Kamu ngapain sih itu? Berisik banget masih pagi,” tegur Indah, Ibunda Shelly. “Hehehe, Shelly buat kue, Bun.” Jawab Shelly. Meja sudah dipenuhi banyak tepung dan alat-alat masak yang berserakan. “Tumben. Pantes terik pagi ini.” Canda Indah. “Apasih, Bun. Coba tolong cek rasanya dong, Ma.” ucap Shelly. Shelly menaruh kue yang sudah diangkat dari oven itu ke atas meja untuk dicicip. Indah menyendok sedikit pinggiran kue tersebut dan dimasukannya ke dalam mulut. Shelly tampak cemas. “Enak, kok. Buat apa sih memangnya?” Tanya Indah penasaran. Shelly menghembuskan nafas lega. “Ada yang ulang tahun. Aku mau coba kasih kue.” Senyum Shelly sambil menghias kue dengan bentuk bulat sempurna. “Enak kok, temen mu harusnya suka.” Shelly mengangguk. “Harus, masa kue ku gak enak. Aku jitak kepalanya nanti,” sombong Shelly.
“Daniel itu harus kuliah, dia punya potensi besar.” “How about Marlo? Dia juga pintar kok. Anaknya baik di sekolah.” “Marlo hanya menghabiskan waktunya untuk main-main aja, dia gak punya peluang untuk bisa gapai mimpinya. Buktinya apa? Sampai sekarang film sampahnya belum ada tampak di permukaan.” Kesal Sang Ayah. “Yah, Bu, Marlo izin pergi dulu.” Marlo tampak keluar dari kamarnya setelah mendengar perseturuan di pagi hari itu. “Marlo...” rintih Ibu. Sang ibu yang tampak cemas dan emosi itu mendadak gusar. Takut-takut Marlo mendengar semuanya. Setelah pamit dari rumah, Marlo melangkahkan kakinya ke arah Halte bus dekat rumah. Marlo duduk di kursi belakang. Telinganya ia sumpal dengan earphone. Matanya memejam mendengarkan alunan musik yang terputar dari ponselnya. “Ting!” Suara pesan masuk di ponsel Marlo membuatnya membuka matanya. “Nak, selamat ulang tahun. Maaf, Ibu harus pergi lagi.” Setelah membaca pesannya, ia pejamkan lagi kedua matanya. “Masih inget ternyata.” ucap Marlo dalam hati. Marlo menyandarkan kepalanya ke jendela bus di samping kanannya. Marlo kembali dibuat sakit hati atas perkataan orangtuanya sendiri di belakangnya.
Bus sudah sampai pada tujuan Marlo. Ia turun dan berjalan kaki sebentar menuju kafe yang dijanjikan mereka berdua kemarin. Marlo masuk ke dalam tak lupa juga mencari tempat duduk yang nyaman. Lagi-lagi Marlo harus menjaga moodnya untuk bertemu dengan orang lain. Marlo bahkan berusaha melupakan tentang hari ini. Sambil menunggu kehadiran Shelly, Marlo menyeruput kopi yang sudah dipesannya. Tak lama ia merasa ada yang menepuk pundaknya dari belakang, “Halooo..” sapa Shelly. Shelly tersenyum riang. Marlo tak menaruh curiga apapun. Marlo bahkan menawarkan pesanan untuk mereka makan bersama nantinya. “Sana, pesan dulu! Aku tungguin meja nya.” Perintah Shelly. Marlo beranjak pergi untuk memesan dan membayarnya. Sembari menunggu Marlo, Shelly mengeluarkan tas besar berisi kue tersebut. Hari ini akan dirayakan hari lahir Marlo ke dunia. “Udah ya, sisa-“ Marlo tak lagi melanjutkan ucapannya seusai melihat apa yang ada di hadapannya. Shelly dengan tangan yang memapah kue ulang tahun dan topi apa itu? Topi ulang tahun? Marlo tidak pernah dirayakan sebelumnya.
“Marlo, aku gak tahu kamu umur yang ke berapa. Aku juga gak tahu kamu suka warna apa. Aku kasih warna putih dan angka 1 di kue ini sebagai tanda bahwa nanti di kemudian hari semoga kamu bakal selalu jadi yang pertama. Semoga kamu suka ya. Selamat hari lahir, Marlo!” Marlo tak bisa berkutik apa-apa lagi. Sudah cukup dikejutkan dengan hal yang tidak pernah ia duga di hari ini. Shelly tahu ulang tahunnya. “Tiup dong! Pegel, nih!” Marlo tersenyum kaku. Ia sudah bersiap untuk meniup api di atas lilin itu, tetapi Shelly menyelanya dan memerintahnya untuk berdoa terlebih dahulu. “Saya doa, kamu aminin ya?” Tanya Marlo. “Iyaaaa, cepet. Aku juga berdoa ini.” Larut dalam doa dan permintaan di hari bahagia nya, Marlo sempat meneteskan air mata terharu. Shelly selalu berharap semoga Marlo dalam suasana hati yang baik dimanapun ia berada. Marlo sesuatu nirmala yang tak pernah dihiraukan oleh dunianya. “Cup cup cup, sampe nangis gitu. Makan dulu lah kue nya!” Marlo duduk di tempatnya. Kue ulang tahun itu masih tak luput pada pandangan Marlo, lucu sekali. “Funfact nya aku yang buat kue nya.” Shelly berujar dengan sombong. “Pantesan gak lucu banget.” Ledek Marlo. Raut wajah sombongnya langsung berubah menjadi cemberut. “Kita makan kue nya aja apa ya? Yang tadi dipesen kita batalin gimana?” Ujar Marlo. “Ih, enak aja kalau ngomong!” Marlo tertawa terbahak-bahak. Shelly semakin memasang wajah cemberut atas tingkah jahil Marlo.
Perbincangan keduanya masih berlanjut sampai malam hari ini. Setelah mereka pergi ke Pameran lukisan, Pasar malam, dan bahkan pergi ke Alun-alun mencari jajanan. Sudah banyak sekali canda tawa yang terlontarkan sepanjang mereka berjalan beriringan. Keduanya selalu saja memiliki selera yang sama. Keduanya juga banyak belajar sesuatu dari satu sama lain. Dari banyaknya tujuan yang sudah mereka berdua kunjungi, Tujuan mereka sekarang adalah.. “Gimana kalau ke studio ku?” Tanya Marlo. Shelly menoleh, “Studio? Kamu punya studio?” Tanya Shelly. “Enggak, sih. Studio bersama komunitas saya. Kamu mau coba lihat beberapa dokumentasi yang udah jadi album gak?” Shelly tampak tertarik. Ia mengangguk setuju. Marlo tersenyum dan kembali menuntun Shelly pergi bersamanya ke Studio.
“Paracetamol, obat nya gak ada disini yah. Kamu kan pasti yah, ngaku gak kamu?” tuduh Arka dengan logat ciri khas asal sunda. “Apasih, kan daritadi saya teh main ps.” Yang dituduh merasa tidak senang. Suasana ribut seperti ini sudah biasa terjadi di dalam Studio. Marlo dan Shelly yang baru masuk pun disambut dengan suasana ricuh dari penghuni di dalamnya. Terlihat sekali Shelly tampak seperti shock. “Jangan kaget yah, namanya juga cowok. 2B, pasti berisik dan berantakan,” bisik Marlo di samping Shelly. Shelly hanya bisa tersenyum kikuk. Lantas bagaimana dengan teman-teman Marlo yang menjadi pusat perhatian Shelly sekarang? Mereka tampaknya masih belum sadar akan kehadiran temannya. Marlo berdehem sebentar, “Assalamualaikum.” Salam Marlo. “Waalaikumsalam,” jawab salam mereka dengan kompak. “Et, yang ultah baru dateng gimana ini.” Canda mereka. “Aih, pulang-pulang malah ada neng geulis. Itu si Anya bukan ya?” Tanya Arhan. “Pala kamu Anya terus, ini mah si Shella. Ya kan ya?” Tanya Juan dengan percaya diri. “Shelly, Ju.” Ucap Shelly membenarkan. “Nah, kan, maneh sendiri salah kaprah. Makan tuh Shella.” Balas Arhan sambil menoyor pelan kepala sahabatnya. “Jih, salah maneh juga.” Marlo hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Saya izin ajak Shelly liat-liat ke dalem ya? Boleh enggak ini?” Tanya Marlo. Marlo akan bertanya terlebih dahulu sebagai formalitas. Takut-takut temannya tidak mengizinkan juga. “Sok aja atuh. Santai aja, Shell.” jawab salah satu dari mereka. Shelly mengangguk pelan dan mengucapkan permisi sebelum mereka masuk untuk melihat-lihat ke dalam. Studio nya tidak terbilang luas, tetapi nyaman. Studio dibuat nyaman dengan beberapa fasilitas utama dan pendukung yang memadai membuat studio ini terkesan seperti rumah. Shelly beberapa kali menggumam kagum pada sebuah rak berisi album, majalah, dan binder yang tersusun rapi disana. Banyak kamera potret disana. Mulai dari yang usang hingga yang terbaru. Marlo pernah bercerita bahwa ini semua berkat hasil jasa mereka dalam mengambil gambar, video, mengedit, dan mendokumentasi beberapa momen milik orang lain untuk di abadikan. Laku banyak dan untung yang lumayan untuk seusia mereka. “Keren banget, rapi tempatnya.” Puji Shelly. Matanya masih memandang seisi ruangan disana. “Iya, kita suka bersih-bersih sebenernya. Itu tadi khilaf kayaknya.” Marlo cengengesan. “Oh iya, aku duduk sini boleh ya?” Shelly menunjuk pada sofa kecil yang disediakan disana. “Eh, ada gitar?” Marlo menoleh pada gitar yang dimaksud. Gitar itu ia ambil dan dipetiknya senar tersebut. “Ini punya saya. Hadiah ulang tahun dari ibu.” Kata Marlo. “Bagus banget, warna nya putih gitu. Ibu sayang kamu banget berarti,” timpal Shelly. Marlo tertawa menanggapinya. Gitar itu pun mulai melantunkan nada-nada nya. Marlo dengan telaten memainkan gitar di pangkuannya. “Nyanyi dong, Marlo.” Pinta Shelly.
Marlo menoleh, “Bayar.” Singkat, padat, dan menyebalkan. “Yaudah, gak maksa kok.” Ucap Shelly dengan nada sedih. Marlo menatap raut wajahnya yang murung. “Saya bakal nyanyi buat kamu. Ini buat tanda terimakasih saya ke kamu.” Ucapan Marlo barusan sukses membuat Shelly membelalakan matanya tak percaya. Awalnya Shelly hanya bercanda. “Emang kamu berani?” Tanya Shelly menantang. Marlo tanpa menjawab langsung memetik gitar dipangkuannya. Lantunan nada itu mulai terdengar. Gerak bibir Marlo sudah mengutarakan suara emasnya. Dan kali ini juga Shelly merasa terkejut bukan main. Suara Marlo sangatlah bagus. Marlo bahkan tak berhenti menatap kearah depan. Shelly dengan perasaan kagumnya tak kalah memandangi pahatan indah di depannya. Malam ini Marlo berbeda.
“Itu lagu kesukaan saya. Ya semoga kamu tahu terus jadi suka juga.” Kata Marlo setelah bernyanyi dan memainkan gitarnya. “First love kan?” tebak Shelly. “100!” Balas Marlo. Marlo beranjak dari kursi studio. Ia mendekati rak berisi album disana. Shelly dapat melihat Marlo tengah memilah beberapa kaset. “Nah.” Marlo sudah menemukan kaset yang dicarinya. Shelly tidak lagi memerhatikan apa yang dilakukan Marlo lagi. Ia lebih tertarik dengan cara main gitar Marlo barusan. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Ia pangku gitar tersebut dan mencoba memetik senarnya. Merasa senang telah mencoba akhirnya Shelly larut dalam kesibukannya. Marlo yang melihatnya hanya bisa mengulas senyum. Radio usang itu sedang memproses. “Selamat hari bahagia untuk manusia yang bahagia juga.” Terdengar sapaan ringan dari pengisi suara di radio tersebut. Shelly yang terkejut pun reflek menoleh kearah Marlo. Marlo mengisyaratkan untuk mendengarkan radio itu. Shelly mendengarkannya dengan seksama sampai habis. “Itu...” “Saya.” Potong Marlo saat Shelly tampak berpikir. “Nah kan! Bener! Suara nya familiar! Kok bisa sih?! Kamu pengisi radio?!” Shelly banyak melontarkan pertanyaan yang ada di benaknya untuk Marlo. “Santai-santai, saya dulu suka broadcast.” Shelly kembali berdecak kagum entah yang keberapa kalinya. “Kamu bisa keren banget gini, kenapa sih?! Curang banget bisa semua!” Ucap Shelly sambil mencak-mencak kesal. “Itu juga pasti kaset sesuatu kan? Jangan bilang ini film?” Shelly menunjuk kumpulan kaset yang di susun di album. Marlo hanya bisa tersenyum menyombongkan diri. “Saya gak pernah kasih tau rekaman kayak gini ke siapa-siapa sih, baru kamu. Jadi awas aja kalau bocor.” Kata Marlo. Shelly menatap Marlo kesal. “Emangnya aku mau bocorin ke siapa juga,” dumel Shelly. “Ini mah karakter cowok di ceritaku jadi cowok yang green flag gitu semenjak lihat kamu.” Puji Shelly melihat Marlo yang sedang memetik gitarnya. “Buaya betina.” Singkat Marlo. Keduanya tertawa menanggapi.
Sudah banyak sekali pertemuan yang sudah dilalui keduanya. Mereka seringkali bertemu untuk berbincang dan bahkan sekedar berunding tentang naskah. Shelly sesekali berpikir untuk menambahkan beberapa kisah mereka disana. Menurutnya kisah mereka terlalu sayang untuk dibiarkan tanpa diabadikan dalam sebuah tulisan. “Liat! Keren, kan? Sekarang sisa epilog. Aku babat hari ini juga bisa.” Ucap Shelly dengan percaya diri. Shelly masih mengetik beberapa revisi dan penambahan sesekali. Mulutnya mengunyah roti di genggamannya. “Iya, terserah deh.” Balas Marlo. “Temen kamu setuju gak ini?” Marlo mengangguk. “Setuju mereka. Malahan bagus banget katanya.” “Jangan kepedean tapi, lagian juga belum selesai epilognya.” Baru saja Shelly ingin berucap sudah dipotong oleh Marlo nyebelin. “Marlo, ceritanya ini lucu banget deh. Aku suka banget sama karya tulis ku yang sekarang.” Ucap Shelly dengan mata berbinar kearah laptop kesayangannya. “Emang apa yang bikin beda? katanya udah biasa sama romance.” ledek Marlo. “Beda, kali ini aku gak fiktif.” Marlo yang memang tidak paham hanya bisa mengangguk-ngangguk saja.
Hari itu telah tiba, hari dimana Marlo harus sudah mulai menyelesaikan revisi naskahnya. Marlo mengajukan revisi pada kakak kelasnya atau bisa Marlo biasa menyebutnya senior. Tindakan yang cukup nekat karena dikejar dengan deadline dan perubahan secara keseluruhan membuat seniornya cukup berpikir keras untuk mengabulkannya. “Udah ini?” Tanya Nanda, ketua komunitas. Nanda membaca dokumen itu denga teliti. Nanda bahkan beberapa kali mengerutkan keningnya. Entah pertanda apa tetapi Marlo hanya bisa percayakan pada usahanya selama ini. Terdengar suara tepuk tangan dari orang di depannya. Marlo masih dengan wajah bingungnya ikut bertepuk tangan.”Keren, kayak orang yang baru bangkit dari goa nya. Gue approved deh.” Puji Nanda. Marlo menghela nafas lega. Marlo tersenyum dan tak lupa mengucap syukur serta terimakasih pada seniornya. Ia akan kabarkan ini pada Shelly.
Di lain sisi, Shelly juga disibukkan dengan revisi. Sedikit lagi ini akan terealisasi, pikir Shelly. Shelly bahkan mengorbankan waktu tidurnya untuk mengerjakan revisi dan menggambar ilustrasi untuk buku miliknya. “Satu, dua, tiga, YES! Bundaaa, selesai juga.” Shelly menghempaskan tubuhnya pada kasur di belakangnya. Shelly dengan kantung mata yang menghitam pun terlelap dengan mudahnya. Tanpa diketahui, sudah banyak panggilan tak terjawab dari seseorang di ponselnya. Di seberang sana terdapat seseorang yang sedang dilanda kebingungan. “Shelly kemana ya? Katanya mau submit tugasnya bareng.” Marlo tampak beberapa kali memencet tombol memanggil pada kontak Shelly. Tetapi tak kunjung mendapat respon. “Mar, rapat komunitas dulu yuk. Biar besok bisa langsung gerak.” Marlo lupa tahapnya bahkan belum dimulai, ia masih harus banyak melewatkan tahap yang lebih berat lagi.
“Aduh, tugas!” Shelly terlonjak dalam lelapnya. Matanya langsung kembali segar setelah dirinya lupa-lupa ingat apakah ia sudah submit atau belum. Baru saja membuka layar ponsel, tertera panggilan telepon dari guru pembimbingnya. Dengan suara serak bangun tidur Shelly menjawabnya. “Iya bu, maaf ya bu. Habis kirim itu saya langsung ketiduran.” “Iya, siap bu. Besok pulang sekolah saya ke kantor. Terimakasih banyak ya bu. Maaf menganggu.” Suara sambung telepon sudah terputus. Shelly menghembuskan nafas kasar dan mengambil nafas sebanyak-banyaknya lagi. “Untung aja gak telat.” gumamnya. “Ini apalagi sekarang.” kesal Shelly saat melihat layar ponselnya terus menyala menandakan ada pesan masuk. “Marlo!.” Kagetnya untuk yang keberapa kalinya. “Marlo gimana? Aman gak? Aku buru-buru tidur banget tadi.” ucap Shelly dengan nafas yang masih terengah-engah. Bajunya sudah kusut karena perjalanan terburu-buru. “Minum dulu, duduk dulu, nafas dulu." Melihat Shelly yang terburu-buru seperti itu Marlo hanya bisa tertawa kecil. "Malah ketawa. Oh, iya, aku udah kirim ke Bu Anny! Diterima dong, katanya aku meningkat pesat banget.” Shelly berucap dengan antusias tinggi. Tangannya bahkan tidak lupa untuk memeragakannya. “Naskah saya juga diterima. Besok saya udah mulai syuting di lokasi.” Shelly dengan senyum merekah mengucap syukur. Akhirnya keduanya membuahkan hasil yang mereka inginkan. “Shelly, terimakasih ya.” Shelly mengangguk lucu. “Makasih juga, kamu udah jadi inspirasi aku. Keren.” Marlo tak berhenti memandang Shelly. Berkat Shelly ia menjadi merasa lebih berwarna. Ingatkan Marlo untuk memberikan hasil dokumentasinya yang terbaik untuk Shelly. “Marlo, liat deh!” Ucap Shelly sambil menyodorkan kertas. Kertas itu diambil dan dilihat oleh Marlo. Marlo tersenyum. “Dah lengkap ya?” Tanya Marlo sambil melihat kearah Shelly. “Ih, belom. Tuh liat masih ada dua.” Jawab Shelly. “Ya, itu mah masih lama dong. Tungguin ya? Nanti kita jaya bareng-bareng.” Balas Marlo. Shelly sedikit terharu dibuatnya. Marlo mengulas senyumnya. “Mau pulang sekarang?” Shelly tampak mempertimbangkan ajakan Marlo barusan. Shelly akhirnya mengangguk mau.
Keduanya kini berada di dalam bus. Bus menjadi sarana transportasi kesukaan mereka berdua. Disana lah mereka bisa menikmati pemandangan di luar sambil duduk diam atau bahkan mendengarkan musik. Mereka menduduki bangku belakang. “Marlo, kamu kepikiran mau kemana gak habis kamu selesai wujudin apa yang kamu mau?” tanya Shelly pelan. Shelly memandang kosong ke arah jendela. Marlo yang sedang asik melamun pun jadi buyar dibuatnya. Marlo diam berpikir begitu pula dengan Shelly. Shelly sedaritadi tengah termenung larut dalam pikirannya sendiri. “Kemana ya? Saya masih punya banyak hal yang bergantung sama saya.” Shelly menoleh. “Sama. Aku juga bingung deh. Apa jangan-jangan aku langsung jadi penulis terkenal ya?” Marlo terkekeh. “Bisa jadi.” Keduanya kembali fokus pada pikirannya masing-masing. Tangan Marlo merogoh saku tasnya. Earphone itu ia ambil dan ia pasangkan di ponsel miliknya. Marlo menatap ke arah samping. Dilihatnya Shelly tampak sayup-sayup sambil menyenderkan kepalanya pada bangku bus. Marlo memasangkan earphone itu ke telinganya. Sebelah earphone nya ia pasangkan pada telinga Shelly. Shelly sedikit terkejut, terlihat dari tubuhnya yang berjengit. “Hah... Kenapa?” Marlo menggeleng. “Tidur lagi.” Shelly sayup-sayup dapat mendengarkan suara musik di telinganya. Hanya ada suara pamungkas yang merdu di telinga mereka. “Kamu suka Pamungkas?” Tanya Shelly dengan mata yang masih terpejam. “Iya, ini lagu kesukaan saya juga.” Ucap Marlo. “Lagunya bikin aku tenang gitu, jadi aku suka deh. Kalau kamu?” Marlo tersenyum. “Saya suka karena liriknya.” Shelly mengangguk paham. “Ah, Iya. Kamu nih suka musik ya? Pernah nyanyi lagu ini gak?” Shelly menghadap ke arah Marlo. Raut wajahnya terlihat penasaran dan lucu bersamaan. Shelly dan wajah ngantuknya. “Pernah, saya doang tapi yang denger.” Jawab Marlo singkat. “Yah, itu mah aku juga sering.” Shelly melengos kecewa. “Hahaha, iya-iya. Besok ikut saya ke lokasi ya?” Bujuk Marlo. “Gak mau, kamu nyebelin.” Jawab Shelly. “Padahal saya mau ajak ke puncak gitu. Dingin, adem, bagus lagi, terus-“ Belum juga melanjutkan bicaranya sampai akhir, Shelly sudah menoleh dengan wajah yang memohon. “Please, iya mau banget.” Marlo terkekeh. Tatapan Shelly berbinar antusias akan pernyataan Marlo. “Besok pergi sama saya ya. Besok ada tugas?” Shelly menggeleng. “Enggak, lah. Aku kan anak rajin.” Keduanya tertawa. Marlo berpikir bahwa sudah saatnya ia merasa terbuka pada Shelly. Lagipula Shelly bukanlah tipe yang harus dijauhi olehnya, atau kah yang ini berbeda?
Marlo pagi-pagi buta sudah sibuk dengan segala hal yang berkaitan dengan ajakannya kemarin. Ia tampak berkemas sesuatu. Marlo berencana untuk menjemput Shelly setelah sarapan. “Saya jemput sekarang aja kali ya? Sekalian saya ajak makan.” Ujar nya pada dirinya sendiri. Setelahnya ia berjalan ke depan rumah dan tak lupa berpamitan dengan ibunda tercinta. “Bu, saya jalan ya.” “Hati-hati bawa mobilnya!” Marlo mengangguk. Dengan senandung gembira, mobil itu disetir pelan olehnya. Marlo sesekali menikmati perjalan menuju kerumah Shelly. Wajah antusias dan riang tawa milik Shelly sudah menjadi yang dinanti-nantikannya setelah sampai disana. Tanpa sadar, mobil telah menuju ke pekarangan rumah Shelly. Ia turun dari mobil juga sesekali membenarkan pakaiannya yang sedikit lecak. “Kok rumahnya sepi begitu ya? Apa belum bangun?” gumamnya. Marlo mengetuk pintu di depannya. Satu, dua, bahkan tiga kali pintu itu diketuk tak ada sahutan dari dalam. Marlo tak habis akal, ia mencoba menelepon yang bersangkutan. Deringan ponsel terdengar, nomor ponsel milik Shelly sempat aktif. Kedua kalinya ia mencoba untuk menghubungkan lagi ke nomor Shelly tetapi nomor Shelly tidak aktif. Tidak ada panggilan yang tertolak namun hanya di abaikan atau nomor Shelly sudah tidak aktif lagi?
Marlo bergerak gelisah di teras rumah Shelly. Ia sempat mengintip dua jendela di rumah itu, tetapi nihil. Tak ada keberadaan orang di dalam rumah itu. Dengan tangan yang masih menelepon nomor Shelly, Ia bertanya kepada orang yang lewat di depan rumah Shelly. “Maaf, pak. Saya mau tanya, bapak tetangga Shelly pemilik rumah ini bukan?” Bapak itu menatap raut wajah Marlo yang tampak asing. “Kamu temennya ya? Shelly dan keluarga semalem emang saya gak lihat lagi. Entah mereka kemana, dek. Kayaknya sih sudah pindah.” Setelah jawaban dari bapak itu, ia berucap terimakasih. Helaan nafas itu terdengar dari Marlo. Marlo bingung dan cemas bersamaan. Sebenarnya Shelly dimana dan bagaimana keadaannya?
Marlo kembali pulang dengan lesu. Ibu Marlo yang melihat anaknya kembali pulang kerumah merasa heran lalu bertanya. “Mar, kok pulang lagi?” Marlo yang sedang berjalan menuju kamarnya berhenti dan menjawab, “Ada yang ketinggalan bu.” Pintu kamar dibuka nya dengan kecewa. Ia duduk di kasur miliknya. Kepalanya tampak berdenyut pusing. Saat sedang diam menunduk, suara ponsel Marlo terdengar. Marlo sedikit berharap semoga nama yang tertera di layar ponsel itu adalah Shelly. Bahunya terkulai lemas lagi setelah yang diharapkan tidak akan terjadi. “Halo?” Dengan malas, Marlo menjawab. “Ya, kenapa Lan?” “Ayo, mau kemah ga sama gue di puncak? Sama temen-temen yang lain juga.” Marlo yang mendengar kata puncak kembali merasa dejavu. Marlo tampak berpikir sebentar. Ia harus ikut dengan perasaan yang campur aduk begini atau bagaimana? “Mar? Halo?” Di sebrang sana kembali menanyakan kepastian, Marlo dengan lesu mengiyakan ajakan teman-temannya. Marlo sudah tak ingin berlarut dalam suatu kejadian yang ia belum tahu pasti penyebabnya. Mungkin yang hilang akan memberikan kabar, secepatnya.
"Mar, ngapain sih diem aja disitu? Sini gabung!" Ujar Elkan, teman Marlo. Marlo sekedar mengangguk mengiyakan tanpa beranjak pergi bergabung ke teman-temannya. Marlo telah sampai di perkemahan yang dimaksud teman-temannya tadi pagi. Kini ia telah duduk di atas rerumputan basah oleh udara dingin. Marlo menatap ponselnya yang sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan yang ditunggu. Shelly masih diam tanpa kabar. Marlo tampak berpikir keras sebelumnya apa yang Shelly lakukan atau ia lakukan sehingga Shelly tiba-tiba membatalkan acara mereka. Marlo memukul pelan rerumputan dibawahnya. Marlo mendongak, "Shel, kamu kenapa?" Ujarnya sambil menatap langit malam diatasnya. "Saya boleh bilang gak kalau saya marah? Saya masih mau turutin semua kemauan kamu. Saya masih mau bareng sama kamu walau kamu ngeselin." Setelah berujar sendiri tanpa ada yang menjawab, Marlo tertawa hambar. Marlo mematikan ponselnya dan memilih tidur.
Waktu kian berlalu, Marlo beraktivitas seperti biasanya. Marlo merelakan yang hilang untuk sementara ini. Pikirannya teralihkan pada suatu masalah yang menimpanya. Marlo mengalami kecurangan dalam project cinemanya. Dokumentasi dan alur cerita yang dibuat bersama-sama dalam waktu yang tidak bisa dibilang singkat. Banyak kenangan yang sudah ada di dalam sana kini harus hilang begitu saja?. Marlo mendecak kesal. Beberapakali ia kerap menyalahkan dirinya sendiri yang begitu bodoh mempercayai rekan kerja nya yang ternyata malah mengkhianatinya. Film itu awalnya diremehkan karena kualitas Marlo dahulu yang masih terlalu dini. Sekarang bahkan disaat project film itu dikembangkan oleh Marlo sendiri dari bangku SMA hingga kuliah sekarang, harus hilang begitu saja filenya tanpa jejak akibat kecerobohan orang lain.
Kejadian itu menjadi dendam terselubung bagi Marlo. Setelah adanya insiden itu, ia bertekad akan melangkah di jalan yang berbeda. Ia akan membuat semuanya sendiri tanpa rekan siapapun. Marlo diam-diam mencari waktu di sela hariannya untuk belajar bagaimana caranya menulis sebuah cerita romansa. Ia mencari tahu bagaimana caranya agar ia bisa kembali mengenang sosok yang dahulu ia cari di sebuah karya yang bisa ia abadikan selamanya. Disela kesibukannya, Marlo menulis tiap-tiap kejadian, lelucon, dan penggalan ingatan diantara keduanya dahulu saat ia SMA. Ia kerap mengingat jelas bahwa ia pernah jatuh cinta. Marlo juga kerap beberapakali membuat lirik lagu dengan suasana hati yang bertuliskan ‘Rindu’. "Mar, kenapa sih sibuk banget sekarang ini?" Tanya Akang Irman. "Kang, saya ada misi sesuatu." Akang Irman yang mendengar bingung dibuatnya. "Misi apaan maksudnya, Mar?" Sahut Kang Irman dengan polosnya. "Misi buat nembak orang." Jawab Marlo. "Nembak? Nembak mah langsung, kok di tulis." Balas si Akang Irman. Marlo menoleh, "Kang, doain aja ya. Semoga orangnya baca buku ini terus ketemu lagi disini." Kang Irman mengangguk-angguk saja sebagai jawaban. Biarin lah apa kata Marlo saja, pikir Kang Irman. Akankah berhasil Marlo menemukan kembali Shelly yang hilang tanpa kabar?
Pameran Film di kampus tempat Marlo berkuliah tampak megah. Ditambah suasana malam yang cerah, angin yang menghembus, pameran itu berjalan lancar dan ramai pengunjung. Marlo sambil memegang sebuah buket bunga miliknya dari sang ibu itu berjalan mengitari tempat pameran tersebut. Senyumnya merekah begitu melihat beberapa film yang berputar disana. "Film berjudul Lembaran Harsa milik Nirmala. Kisah ini diadaptasi dari sebuah buku karya Marlo. Bukunya telah banyak diminati banyak orang karena buku ini berdasarkan kisah nyata dan kali pertama Marlo mengungkapkan rasa kepada seseorang." Ucap seseorang yang sedang menjelaskan di depan sana. Tanpa Marlo sadar, seorang perempuan terdiam begitu nama Marlo disebut oleh pembicara didepan. Sebuah kebetulan belaka atau bagaimanakah rupanya? Tapi, kini perempuan yang berada di tengah kerumunan itu terlihat begitu bingung.
Marlo yang duduk di kursi sambil berbincang dengan rekannya pun akhirnya bangkit berdiri. "Kang, saya izin jalan bentar ya. Nanti saya kesini lagi. Pegel duduk terus." Rekannya mengangguk mengiyakan. Ditengah kerumunan itu ada satu objek yang menarik perhatiannya. Sebuah jaket yang tersampir indah di bahu perempuan berambut pendek membelakanginya. Jaket itu seperti tidak asing dilihat oleh Marlo. Seperti ada yang pernah ia kenal sebelumnya. Marlo mendekat kearah kerumunan itu. Dengan badan tegap yang tinggi, ia bisa menemukan perempuan itu. Marlo sedikit ragu, tapi tangannya tetap mencoba untuk menepuk pelan bahu didepannya. "Maaf? Kenapa ya mas?" ucap perempuan itu sambil menoleh. "Shel?" Keduanya terkejut memandang satu sama lain. Marlo tak pernah sangka ia akan bertemu dengan Shelly disini. Shelly juga demikian. "Marlo?" Shelly dengan mata yang berkaca-kaca, ia peluk erat tubuh tegap didepannya. "Shelly? Kamu kemana aja?" Tanya Marlo sambil mengusap pelan bahu Shelly dipelukannya. Shelly melepas pelukannya dan sedikit terkejut dengan perlakuannya sendiri yang tiba-tiba memeluk Marlo. Shelly sedikit merasa takut. Ia takut Marlo marah kepadanya. Tak lama berpikir demikian, air mata sudah menetes di pipinya. "Marlo? Boleh aku ngomong sesuatu?" Marlo mengangguk dan mengajak Shelly pergi dari keramaian.
"Marlo... Film tadi..." Belum sempat Shelly menyelesaikan ucapannya, Marlo tertawa menanggapi. "Itu kamu," singkat Marlo. Marlo Menatap dalam kearah Shelly yang diam tak berkutik. "Marlo, aku gagal." Shelly menutup wajahnya yang berlinang air mata. "Maaf, waktu itu aku gak ikut sama kamu." Ucap Shelly. Marlo kembali teringat hari itu, segera ia gelengkan kepala. Marlo menenangkan Shelly yang menangis. "Shel, saya gak tau apa yang waktu itu kamu pikirin. Selama kamu gak ada, saya berjuang sendirian." Ucap Marlo. Shelly semakin merasa bersalah atas kepergiannya yang secara sepihak tanpa memberi kabar. Shelly menceritakan rangkaian cerita yang Marlo tidak pernah tahu kebenarannya,"Kamu tau gak aku juga capek?" "Terus dengan begini kamu mau bawa anak aku untuk ikut kamu, begitu?" "Dia lebih baik sama aku, aku ibunya." Pertengkaran itu mengusik tidur Shelly di tengah malam. Shelly mengendap-ngendap keluar kamar dengan nyawa yang belum terkumpul selepas bangun tidur. Shelly melihat banyak sekali serpihan kaca di lantai. Bau alkohol menyengat di hidung Shelly. Shelly melihat bahkan mendengar jelas pertengkaran keduanya. Shelly tak pernah menyangka bahwa pertengkaran itu membawa sebuah keputusan bahwa ia harus pergi dari rumah ini bersama ibunya. Shelly harus bungkam perkara masalah keluarganya. Ia dibawa ke tempat lahir ibu yang jauh dari kota. Shelly harus tinggal dengan beberapa anggota keluarga ibu lainnya dirumah itu.
Shelly terkadang merenung, "Marlo bagaimana kabarnya ya?". Ketika teringat akan hari itu, Shelly seperti merasa seorang maling yang pergi tanpa pamit. Ponsel Shelly bahkan tertinggal begitu saja di kamarnya karena terburu-buru pergi ke rumah tantenya. "Marlo, tunggu aku ya." Ucapnya sambil menatap kearah sungai. Kehidupan di kota dan di desa tentu berbeda. Shelly bahkan harus memutuskan pendidikan, cita-cita, harapan, dan keinginan Shelly di Jakarta. Semuanya kian berawal dari sebuah urusan yang tidak bisa dipikirkan lagi dalam waktu yang lama. Shelly tetap harus pergi walaupun ini bukan kemauannya. Ibu dan Ayahnya harus berpisah di dalam hadapan hukum, pukulan terberat setelah Shelly harus meninggalkan impian menjadi seorang penulis terkenal di kota besar.
"Sekarang kenapa bisa disini?" Tanya Marlo. "Aku bingung." Jawab Shelly dengan sesegukan. "Aku suka banget sama buku yang lagi trending sekarang. Aku baru kali ini bisa ikut pameran film. Kebetulan tadi aku malah denger nama kamu disebut disana, aku bingung itu kamu bukan ya. Kamu lagi jatuh cinta ya sama seseorang?! Jangan-jangan buku Marlo Marlo itu kamu juga? Aku fans sama kamu gitu?" Ucap Shelly panjang lebar sambil sesegukan. "Aku bela-belain kesini, ternyata malah kamu orangnya. Nyebelin." Lanjutnya kesal. Marlo tertawa, "Hahaha, ngawur. Tapi saya seneng, harapan saya buat ketemu sama kamu akhirnya tercapai berkat film dan buku itu." Ujar Marlo. Shelly kembali bertanya, "Kenapa aku? Maksudnya, hubungannya apa?" Marlo mengendikkan bahunya, "Lalu apa? Kamu masih perlu jawaban dari dua karya ku itu?" Shelly masih tampak bingung. Sebenarnya Shelly bingung tak tertolong karena tingkah Marlo yang begitu tiba-tiba bertanya. "Jadi, apa kamu terima ucapan saya diakhir buku yang kamu baca itu?" Tanya Marlo. Shelly mengingat-ingat kembali tulisan di buku Marlo, "Bisakah putaran waktu ini ku daki bersamanya?" Tanya balik Shelly. "Kamu bersedia?" Setelah pertanyaan itu ditanyakan lagi, barulah Shelly berteriak histeris. "Marlo!" teriak Shelly yang salah tingkah. Marlo tertawa melihat wajah Shelly merah menahan malu. Shelly mengangguk kemudian menghambur ke pelukan Marlo. Marlo kini dekap erat kiasan indah menurut karyanya.
Makna
[sunting]Ada kalanya sebuah kekurangan itu menjadi sebuah kebiasaan baru yang tak pernah diduga dengan apa dan dengan siapa kamu mengubah kekurangan itu menjadi sebuah emas. Ada kalanya sebuah komitmen menjadi suatu tali panjang mengikat takdir dan suatu saat keduanya akan berusaha melepaskan tali itu atau bahkan mengikatnya lebih keras.Cerita Pendek Jatuh Suka