Juara Egrang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Setelah tiga tahun tinggal di Doha, Bagas akhirnya pulang kampung ke rumah Eyang. Bagas yang sering menghabiskan waktu kesehariannya dengan bermain ponsel, mulai sibuk belajar egrang untuk mengikuti lomba dalam kegiatan tahunan Lebaran Ketupat yang diadakan Karang Taruna.

Bagas bertemu dengan Zaki, teman semasa kecil yang menjadi juara bertahan lomba egrang. Bagas pun mulai memahami rahasia Zaki bisa jadi juara tiap tahun.

Tokoh[sunting]

Bagas

Zaki

Lokasi[sunting]

Desa Watu Tulis kecamatan Prambon Jawa Timur


Cerita Pendek[sunting]

Pulang Kampung[sunting]

“Egrang?” Bagas mengernyit. Apa itu egrang, tanya Bagas dalam hati.

“Iya, banyak lomba nanti. Cucu-cucu dari anak yang merantau biasanya akan ikut juga,” jelas Ibu.

Bagas mengelus Oyeng kucing peliharaan Nenek. Sudah satu bulan Bagas tinggal di rumah Nenek di Bogor, Nenek adalah panggilan untuk nenek dari pihak ibu.

Tiga tahun terakhir keluarga Bagas tinggal di Doha karena pekerjaan ayahnya sebagai salah satu staf kedubes Indonesia di Qatar. Ibu dan Bagas pulang ke Bogor satu bulan lalu.

“Setelah Ayah datang, kita tinggal di rumah Eyang untuk lebaran di sana,” lanjut Ibu.

“Bagas inget Zaki?,” Bagas menggeleng.

“Waktu Bagas kecil dulu, pernah punya temen main di kampung Eyang di Jawa, namanya Zaki. Kata Eyang, Zaki dan orang tuanya sudah seminggu datang,” Bagas berusaha mengingat wajah Zaki, teman masa kecilnya.

“Mungkin Bagas lupa, waktu itu memang masih umur empat tahun. Zaki tinggal di Aceh, dan lagi mudik juga seperti kita.”

Mudik adalah tradisi pulang kampung bagi perantau ketika hari raya besar. Orang-orang yang meninggalkan kampung halaman menuju kota, provinsi, atau bahkan negara lain, sebagian besar memilih waktu lebaran ketika mengunjungi orang tua dan saudara di kampung halaman.

Dua pekan lagi lebaran idul fitri, Ayah Bagas baru datang ke Indonesia sepekan sebelum lebaran.

Bagas sudah merasa bosan karena tak punya banyak teman, sebagian besar temannya berada di dunia maya. Teman mabar dan teman kelas online.

Rasa bosan membuat Bagas malas melakukan sesuatu. Kegiatan sehari-hari sebagian besar adalah melihat layar ponselnya, untuk main game, melihat video, nonton film, atau chat dengan teman.

‘Lomba egrang?’ Bagas yang tak tahu banyak tentang egrang mulai mencari di ponsel pintar.

Mengetik kata ‘egrang’ dan keluar situs dan gambar-gambar berkaitan dengan egrang.

“Egrang adalah sebuah permainan tradisional yang menggunakan sepasang bambu untuk berjalan. Bambu dibentuk seperti tongkat yang memiliki tumpuan kaki yang terbuat dari kayu,” Bagas membaca setengah berbisik penjelasan dari situs pencarian Wikipedia.

Melihat gambar-gambar anak memainkan egrang membuat Bagas mengangguk pelan, “sepertinya seru,” ucapnya pada diri sendiri.

***

Hari kedua lebaran Idul Fitri Bagas, Ayah dan Ibu berangkat ke kampung halaman Ayah di desa Watu Tulis di Jawa Timur. Cuaca di desa Eyang berbeda sekali dengan desa tempat Nenek di Bogor.

Di Watu Tulis udaranya jauh lebih panas dan kering. Beruntung, masih banyak pepohonan dan kebun bambu luas di belakang rumah Eyang membuat suasana sejuk.

“Bagas sudah tinggi sekali ya, sekarang umur dua belas tahun ya?” Tanya Budhe yang dijawab anggukan pelan oleh Bagas.

“Yuk sini, kita lagi bikin ketupat. Tahu ketupat ‘kan?” Bundhe memperlihatkan ketupat kosong yang ditumpuk di atas nampan terbuat dari bambu.

“Tahu Budhe, tapi Bagas belum bisa bikinnya. Di Qatar juga kalau kumpul-kumpul dengan komunitas orang indo pas lebaran, ada menu ketupat juga,” jelas Bagas malu-malu.

“Oh ya? Sini mau Budhe ajarin?,” Bagas bergabung belajar membuat ketupat dari daun kelapa untuk mengisi waktu walau sebenarnya ia malas sekali.

Selain saudara sepupu yang tidak terlalu akrab, Bagas hampir tak punya teman.

“Kalau di desa Eyang, mulai masak ketupat seminggu setelah idul fitri, disebutnya Rioyo Kupat alias lebaran Ketupat. Beda dengan di rumah Nenek Bogor yang ada ketupat sejak hari pertama lebaran,” jelas Ibu yang ikut membantu Budhe membuat ketupat.

“Oiya, nanti pas Lebaran Ketupat Bagas ikut lomba-lomba ya, biasanya pemuda Karang Taruna mengadakan lomba buat anak-anak seperti lomba egrang, lomba hulahop, lomba bikin tetupat dan masih banyak lagi,” jelas Budhe.

“Gas, mau latihan pake egrang ga? Sini Ayah ajarin,” ajak Ayah.

Di halaman belakang, sudah ada dua egrang tersandar di tembok belakang rumah. Ayu dan Adi sepupu Bagas sedang berlomba egrang.

“Tuh, Ayu sama Adi bisa. Yuk belajar dulu. Gampang kok,” ujar Ayah memberi sepasang egrang pada Bagas.

Kenyataannya tak segampang yang Ayah katakan. Bagi Bagas yang jarang berolahraga, keringat Bagas mengalir membasahi kaos.

Ajaibnya, Bagas yang terbiasa tidur-tiduran sambil bermain handphone teralihkan dari gadget selama hampir satu jam latihan bermain egrang. Bagas terus mencoba dan selalu berakhir gagal di langkah kelima.

Ternyata tak mudah menjaga keseimbangan sambil memastikan koordinasi tangan dan kaki bergerak selaras. Ayu, Adi, Icha, Bima, dan sepupu Bagas lain yang lebih kecil dari Bagas cekikikan melihat Bagas berlatih keras.

“Kalau udah capek berenti dulu. Nanti coba lagi,” kata Adi membantu Bagas yang terjatuh.

“Aku juga awalnya nggak bisa, sama kayak kamu. Jatuh terus-terusan. Lombanya masih tiga hari lagi, masih banyak waktu latihan kalo emang mau ikut lomba,” Adi seusia dengan Bagas tampak tulus menyemangati.

***

Kaki Zaki[sunting]

Anak laki-laki itu duduk sopan sambil melepas topi hitam yang menutup rambut ikalnya. Ia melihat Bagas yang baru datang dari ladang tebu bersama Ayah.

“Widih, udah gede aja nih Zaki,” anak itu mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan ayah Bagas.

“Gas, ini Zaki nih. Temen berantem dulu waktu kecil,” Ayah memperkenalkan Zaki pada Bagas. Zaki dan Bagas bersalaman, Zaki tersenyum lebar pada Bagas yang malu-malu.

“Bagas udah lupa kayaknya Om,” timpal Zaki ramah.

“Inget kok,” setelah bertemu Zaki langsung, Bagas ingat waktu kecil pernah pukul-pukulan karena berebut mainan robot.

Sementara ayah Bagas dan ayah Zaki saling bertukar kabar dan cerita, Zaki mencoba membuka pembicaraan.

“Gimana tinggal di Qatar? Seru?,” tanya Zaki basa-basi.

“Lumayan panas, cuacanya lebih ramah di Indo.”

“Mau ikut Lomba Lebaran Ketupat nggak?”

“Kamu ikut?”

“Oh iya dong. Mumpung lagi di sini, jadi mau iseng ikut biar rame. Ini yang ketiga kalinya ikutan soalnya selalu mudik,” ucap Zaki.

“Tiga kali? Ikut lomba apa?”

“Egrang. Dan selalu menang. Lumayan, tahun ini pemenang lomba egrang dapet hadiah kipas angin. Hahahah.” Bagas yang pemalu tak ragu berbicara dengan Zaki yang supel.

“Ikut ya Gas, siapa tau kamu yang menang taun ini.” Kalimat Zaki membuat Bagas makin semangat berlatih egrang di halaman belakang rumah Eyang.

***

Esoknya Ayah dan Bagas berkunjung ke rumah kakek Zaki yang berjarak sepuluh rumah dari rumah Eyang. Ayah Zaki adalah sahabat ayah Bagas sejak kecil. Sudah tiga tahun sejak tinggal di Doha, mereka baru bertemu lagi. Zaki tampak sibuk membongkar radio lama di dipan kayu.

“Assalamualaikum, Zaki ayah ada?” tanya Ayah.

“Waalaikumsalam. Ada om, sebentar Zaki panggil,” Zaki mengambil dan memakai sepasang kaki palsu di samping dipan. Bagas dan Ayah tertegun melihat Zaki yang terampil memakai kaki palsu.

“Om,Bagas silakan masuk duduk dulu,” Zaki berjalan santai tak merasa susah dengan kaki palsunya. Bagas dan Ayah saling berpandangan.

Tak lama, ayah Zaki keluar. Sementara para ayah berbincang, Bagas melihat komponen radio berserakan di atas dipan.

“Suka bongkar-bongkar juga ga?,” tanya Zaki sambil membawa minum untuk Bagas.

“Ga terlalu,” Bagas melihat Zaki melepas kaki palsu kembali duduk meraih obeng kecil.

“Kamu udah bisa reparasi alat elektronik?” Bagas penasaran.

“Nggak. Ini iseng aja. Kalau radio kuno atau kipas angin bisa sedikit. Diajarin Ayah,” Zaki tersenyum lebar.

“Kaget ya?” tanya Zaki melihat Bagas yang diam-diam melihat kaki palsu.

“Ha?”

“Kaki itu, udah tiga tahun aku pake,” Zaki menunjuk kaki palsu miliknya. Bagas diam bingung menjawab apa.

“Kecelakaan.” Kata Zaki seolah tahu apa yang dibenak Bagas.

Bagas pilih mengalihkan pembicaraan dengan bertanya tentang komponen radio yang sebenarnya tak terlalu menarik minatnya. Bagas tak tahu harus bereaksi bagaimana agar tidak menyinggung perasaan Zaki.

***

Lomba Lebaran Ketupat[sunting]

Suasana lebaran ketupat semakin terasa, karena para tetangga saling berbagi makanan. Sayur lodeh, opor ayam, ayam gulai, dan tentu saja ketupat dan lepet sebagai pelengkap.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Semua warga berkumpul di balai desa yang lapangannya dihias meriah berbagai ornamen berbentuk ketupat.

Panitia sibuk dengan berbagai macam lomba, lomba kelereng, mengisi wadah ketupat dengan beras dan meniupa balon untuk anak balita. Lomba pakai makan ketupat untuk anak SD, membuat ketupat untuk ibu-ibu, lomba egrang untuk remaja dan lomba memarut kelapa untuk bapak-bapak.

Acara sengaja diadakan sebagai ajang silaturrahmi penduduk desa yang merantau agar mereka bisa akrab kembali ketika pulang kampung.

Bagas bersiap, menggerakkan jari kaki agar tidak kram ketika lomba. Peserta remaja yang ikut lomba egrang dibedakan yang warga asli domisili desa Watu Tulis dan warga perantau untuk memastikan tidak ada kesenjangan kemampuan yang menonjol.

Ada rasa tidak percaya diri dengan kemampuan egrangnya yang baru berlatih beberapa hari.

“Inget Gas, tujuannya bukan menang, tapi senang-senang,” kata Ayah menepuk pundak Bagas.

“Peserta lomba egrang remaja laki-laki perantau silakan bersiap,” ucap kakak panitia.

Bagas membawa egrangnya menuju kursi di tengah lapangan, begitu juga dengan peserta lain termasuk Zaki. Semua bersiap duduk, sementara Zaki menggulung celana panjangnya dan melepas kaki palsu. Dua orang peserta tak bisa menyembunyikan wajah kaget ketika Zaki melepas dua kaki palsu dengan santai dan tenang.

Sepasang kaki diberikan pada ayahnya yang berdiri di belakang Zaki, tampak kaki kedua kaki Zaki yang asli hingga selutut. Sementara beberapa anak lain dan warga tampak sudah biasa.

“Ini dia juara bertahan desa Watu Tulis untuk lomba egrang remaja rantau, Zaki Ardian tengah bersiap!” suara MC lantang terdengar dari speaker.

Zaki melambai beraksi seperti seorang bintang ketika penonton bersorak dan bertepuk tangan untuknya.

“Semua bersiap!” Bagas melepas sandal jepit karena mencengkeram batang bambu dengan jari kaki membuat lebih stabil.

Priiiiiiiiit!

Hitungan sepersekian detik semua peserta berdiri stabil di atas egrang langsung melesat dengan hentakan batang bambu yang cepat.

Lima langkah, peserta paling ujung tergelincir karena batang bambunya menekan tanah terlalu dalam. Sepuluh langkah dua peserta bertabrakan karena salah satu dari mereka masuk lintasan yang lain.

Tersisa tiga orang peserta termasuk Bagas dan Zaki. Bagas tak menyangka Zaki bergerak sangat cepat dengan egrang yang stabil saling balap dengan peserta lain, meninggalkan Bagas jauh di belakang.

Walau demikian Bagas tak menyerah, ia terus menggerakkan tangan dan kakinya secepat yang ia mampu.

“Bagas Bagas Bagas!” Dukungan para sepupunya yang masih kecil-kecil membuat Bagas malu untuk menyerah.

Priiiiiiiiiiiit!

Suara peluit terdengar tanda lomba berakhir. Bagas melihat Zaki duduk di kursinya dengan wajah suka cita.

“Zaki Ardian! Lagi-lagi pemenangnya Zaki Ardian juara bertahan kita selama tiga tahun berturut-turut!” Seru MC yang disambut sorakan warga.

Bagas turun dari egrangnya, menghela napas dan tersenyum melihat para sepupu cilik yang masih setia menyemangatinya. Bagas membawa egrangnya menghampiri Zaki.

“Keren! Kayaknya aku harus banyak berlatih lagi,” Bagas mengulurkan tangan menjabat tangan Zaki.

“Untuk yang baru belajar beberapa hari, kamu juga keren Gas,” ucap Zaki.

“Nanti kalo di Qatar, bikin egrang buat latihan. Biar kalo pas mudik lebaran bisa menang lomba lawan aku,” kata Zaki sembari memakai kaki palsu.

Lomba demi lomba terus memeriahkan suasana. Jalanan sekitar balai desa ramai dipadati pedagang  mulai dari penjual balon karakter, pedagang bakso, es krim, cilok, siomay, es boba dan masih banyak lagi jajanan.

Jam lima sore acara pembagian hadiah berlangsung meriah. Zaki naik ke atas panggung sebagai juara bertahan membawa kotak kardus besar berwarna merah. Bagas ikut senang dengan mengacungkan jempol dibalas senyum lebar Zaki.

“Ndak papa mas Bagas belum bisa menang, taun depan mudik lagi ya, biar bisa ikut lomba,” kata salah satu sepupu Bagas.

Malam itu, Bagas masih teringat betapa gesit gerakan Zaki. Keterbatasan tak membuat Zaki menjadi pemalas seperti dirinya yang hanya menyibukkan diri dengan gadget.

Zaki yang suka membongkar barang, dan tentunya ia berlatih ratusan kali memakai kaki palsu hingga bisa sampai titik seluruh anggota tubuhnya terbiasa. Belum lagi membayangkan Zaki berlatih egrang. Berapa kali harus terjatuh dan bagaimana ia melalui semuanya.

Bagas benar-benar mengagumi Zaki sang juara egrang. Zaki merubah cara pandang Bagas, daripada sekedar menghabiskan waktu dengan ponsel yang tak membuatnya produktif, Bagas mulai membuat daftar hal-hal yang ingin ia lakukan seperti olah raga dan keahlian sederhana dari internet seperti animasi, disain atau prakarya lainnya.

“Setelah tiga tahun gak mudik, gimana kesan liburannya Gas?” tanya Ayah dalam penerbangan kembali ke Doha.

“Keren!”

***

TAMAT