Juara Sejati
Juara Sejati
Dewanto Amin Sadono
Ketika Tolani memasuki ruang kelas V, salah seorang teman sekelasnya tergesa-gesa menemuinya.
“Tadi dicari Pak Gunawan,” kata Caslani, “disuruh ke ruangannya.”
“Ada apa?”
“Ada lomba. Kamu disuruh ikut.”
“Lomba apa?” tanya Tolani lagi, masih bingung.
“Kurang jelas. Nanti tanyakan sendiri!”
Sambil menuju ruang kepala sekolah Tolani terus berpikir. Pak Gunawan mencarinya? Ada lomba? Lomba apa? Tolani berharap itu lomba melukis atau saint. Ia suka keduanya. Ia ingin seperti Leonardo Da Vinci. Selain jago melukis, juga pinter saint. Ia pernah membaca, pencipta lukisan Monalisa yang sangat terkenal itu pernah membuat mesin terbang sebelum pesawat terbang diciptakan.
Setelah mengucap salam, Tolani memasuki kantor Pak Gunawan. Kepala sekolah itu belum lama ditugaskan di SD Negeri 1 Wonopringgo. Laki-laki berkulit hitam dan bermata tajam itu sebelumnya kepala sekolah di daerah pegunungan.
“Duduk! Duduk Mas Tolani!” Pak Gunawan menyilakan.
Tolani duduk di hadapan Pak Gunawan. Hatinya berdebar-debar. Sepertinya urusan lomba kali ini begitu penting. Sebelumnya kalo ada lomba tingkat kecamatan atau kabupaten, posternya cukup ditempelkan di papan pengumuman. Siapa yang mau ikut silakan. Tidak ikut juga tidak apa-apa.
“Begini Mas Tolani,” Pak Gunawan menggeser lembaran poster di hadapannya ke arah Tolani. “Ada lomba menggambar motif batik untuk anak SD. Penyelenggaranya Dinas pariwisata. Saya menunjuk Mas Tolani mengikutinya.”
Tolani mengamat-amati poster di hadapannya. Tulisannya kecil-kecil. Beberapa kalimatnya tidak ia pahami.
“Bawa poster itu pulang! Tunjukkan ke ibumu! Pasti ibumu paham,” ucap Pak Gunawan, memahami kebingungan Tolani.
“Ya, Pak,” jawab Tolani.
“Mas Tolani, kan, jago menggambar? Sementara ibunya Mas Tolani pintar membatik. Sedangkan tema lombanya menggambar motif batik. Pas, kan?” ucap Pak Gunawan, tersenyum.
Tolani kembali ke kelas. Selama pelajaran matematika, ia tidak bisa konsentrasi. Lomba menggambar motif batik itu telah menyita seluruh perhatiannya. Ia belum pernah menang lomba apa pun. Juara kelas juga belum pernah. Paling-paling masuk lima besar. Inilah saat yang tepat baginya untuk membuat kedua orang tuanya bangga.
Kalau menang lomba, siapa tahu ia akan diikutkan lomba tingkat provinsi. Kalau menang lagi, siapa tahu lalu diajukan mengikuti lomba nasional. Kalau menang lagi, siapa tahu akan dimajukan ke lomba tingkat internasional. Tentu namanya akan terkenal. Diundang ke acara televisi. Diwawancarai....
“Tugasmu sudah selesai belum, Lani?”
Tolani tergeragap. Suara cukup keras itu membangunkannya dari lamunan. Entah sejak kapan Pak Hendro berdiri di sampingnya. Sesaat Tolani celingak-celinguk seperti monyet kena sambit sumpit. Diliriknya Caslani yang duduk di sampingnya. Anak itu dilihatnya sedang menggambar tabung.
Tolani berpikir cepat. Sepertinya Pak Hendro menyuruh para siswa menggambar bangun ruang seperti yang ada di papan tulis.
Tolani segera membuka buka tulis, lalu sret, sret, sret! Dalam waktu kurang dari tiga menit, gambar kubus, balok, tabung, dan prisma itu sudah terpampang di buku tulisnya. Bagus dan lurus. Biarpun tanpa penggaris. Pak Hendro yang masih berdiri di samping Tolani sampai melongo.
“Gambarmu bagus sekali!” katanya, lalu kembali ke meja guru.
Begitu bel pulang berbunyi, Tolani gegas menuju rumah. Bu Casriah tadi mengingatkan bahwa besok pagi adalah batas akhir pengumpulan karya gambar motif batik yang diikutkan lomba. Selesai makan dan salat Duhur, diambilnya buku gambar yang masih berada di dalam plastik kresek.
Sebenarnya buku itu sudah sejak tiga hari yang lalu dibelikan ibunya. Disertai satu set krayon minyak berisi 54 jenis warna. Namun, Tolani terus menunda-nunda. Menurutnya, mengambar hal yang mudah Sebentar saja pasti selesai.
Tolani duduk di kursi belajarnya, lalu mulai memikirkan motif batik yang akan digambarnya. Namun, ternyata tak semudah yang ia kira. Ia memang pandai menggambar. Banyak orang yang menyebutkan gambar buatannya bagus. Namun, selama ini ia menggambarnya dengan cara mencontoh. Jadi ketika tidak ada gambar yang bisa dicontoh, ia kesulitan.
Ia coba mengingat-ingat motif batik pada baju ayahnya. Walaupun hanya terbayang samar-samar, dipaksanya untuk menggambarnya. Sesaat kemudian pensilnya bergerak lincah. Maju, mundur, melingkar, melengkung. Rencananya, itu akan menjadi gambar utama. Nanti masih ditambah gambar-gambar lain. Tapi ukurannya lebih kecil.
Setelah beberapa saat, sketsa burung merak itu pun selesai. Tolani berdiri, mengamat-amati gambar itu. Wajahnya langsung cemberut. Kedua bibirnya mengerut. Gambar burung merak itu bagus, tapi bukan motif batik. Hanya gambar biasa. Seketika kertas gambar itu diremas-remasnya, lalu dibuangnya ke tempat sampah di sudut kamar.
Tolani sedang menangis ketika bapak-ibunya pulang. Sampah kertas berisi sketsa yang tidak selesai itu bertebaran di mana-mana.
“Kenapa, Lani?” tanya ibunya.
“Lani bingung, Bu,” Tolani mengusap air matanya, “sudah berkali-kali membuat sketsa. Tapi semuanya jelek. Bentuknya tidak seperti motif batik.”
“Coba Ibu lihat!” ibunya mengambil gumpalan kertas yang paling dekat dengan kakinya, lalu dibukanya. “Ini sudah bagus. Tapi masih harus ditambah garis dan lengkung agar menjadi motif batik.”
“Itulah yang membuat Lani bingung, Bu. Lani bisanya menggambar kalau ada contoh. Ini tak ada yang dicontoh. Bapak-ibu tidak pulang-pulang. Laptopnya dibawa.”
Sang ibu mengerutkan kening mendengar ucapan Tolani. Dia segera berpikir.
“Batas pengumpulannya kapan?”
“Besok pagi.”
“Besok pagi?! Dan kamu baru akan mulai menggambarnya sekarang?!” sang ibu bersuara cukup keras.
Ketika mendengar suara ribut-ribut, sang bapak mendekat.
“Ada apa? Kertas-kertas itu kenapa?”
“Tuh, Pak! Penutupan lomba menggambarknya besok. Tapi anakmu tersayang itu baru akan membuatnya sekarang. Lalu bingung. Tak tahu bagaimana cara menggambar motif batik.”
Sang bapak memperhatikan Tolani yang tengkurap di atas kasur busa.
“Sekarang Lani mandi dulu,” katanya. “Setelah salat Magrib, kita cari jalan keluarnya.”
Mereka salat Magrib berjamaah. Musala mini itu letaknya di ruang tengah.
Begitu selesai mengucapkan salam, Tolani beranjak dari tempatnya. Ia menuju meja kerja ibunya. Matanya jelalatan mencari lap top. Biasanya ibunya meletakkan di meja kerja. Namun, di situ tidak ada. Tolani menuju motor ibunya. Siapa tahu tertinggal di sana. Lap top itu juga tidak ada. Tolani menuju kamar ibunya. Namun, lap top itu juga tidak ada. Tolani kesal. Begitu melihat ibunya selesai salat, langsung saja diburunya.
“Bu, lap topnya mana?”
Perempuan tiga puluhan tahun itu tak segera menjawab. Ditatapnya wajah Tolani yang tampak kebingungan.
“Lani, lap topnya rusak. Tadi tiba-tiba tidak bisa dinyalakan. Lalu Ibu bawa ke bengkel,” katanya.
“Aduh!” seru Tolani. “Bagaimana ini? Padahal Tolani sangat butuh, buat mencontoh gambar dari internet.”
“Lihat lewat hape, kan bisa!” sang bapak memberi usulan.
“Gambarnya terlalu kecil. Kurang jelas. Kadang gambarnya juga hilang kalau ada gangguan sinyal,” kata Tolani.
Tolani sangat kesal. Ditarik-tariknya rambutnya. Bahkan ia sampai menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Ibu dan bapaknya menunjukkan wajah kebingungan. Sepertinya mereka bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak kesayangannya itu.
“Lani tenang dulu!” kata sang ibu. “Tunggu satu jam!”
Sang ibu menuju kamar Tolani. Tak lama kemudian dia keluar lagi membawa buku gambar, pensil, dan crayon. Alat-alat menggambar itu dibawanya ke meja kerjanya.
Tolani sedikit agak tenang. Tahu yang akan dikerjakan ibunya. Ia lalu masuk kamar dan tiduran.
Sesuai janjinya, sang ibu berhasil menyelesaikan gambar motif batik itu dalam waktu satu jam. Kertas gambar itu tampak penuh. Tidak ada bagian yang kosong. Bahkan semuanya sudah diwarnai. Burung-burung diberi warna merah, kuning, dan biru. Kupu-kupu berwarna jingga, ungu, dan cokelat. Dedaunan diwarnai hijau.
“Nih, segera dicontek!” kata sang ibu, ”sering-sering saja membuat Ibu repot seperti ini!”
“Terima kasih, Bu,” kata Tolani. Senyumnya melebar.
Setelah ibunya keluar kamar, Tolani segera mencontoh gambar itu. Ia menggunakan pensil untuk membuat sketsa. Gambar burung-burung ditirunya persis sama. Bahkan ia menambahkan satu gambar lagi agar jumlahnya genap. Gambar kupu-kupu juga dicontohnya. Bahkan lebih bagus daripada gambar buatan ibunya. Lingkaran-lingkaran kecil dan garis-garis lengkung pada sayap kupu-kupu ia buat lebih banyak.
Selesai menggambar sketsa, Tolani berdiri. Diamatinya gambar itu dari jarak satu meter. Bibirnya tersenyum. Walaupun belum selesai, gambar motif batik itu terlihat bagus sekali. Pekerjaan selanjutnya, mewarnai.
Dua jam kemudian pekerjaan mencontoh gambar itu pun selesai. Tolani berdiri, mundur selangkah, lalu mengamati gambar motif batik hasil karyanya. Bibirnya melebar. Menurutnya, gambar motif batik itu lebih bagus daripada buatan ibunya.
Tolani menguap. Diliriknya jam yang menempel pada dinding kamar. Astaga! Sudah pukul 24.00 ternyata. Setelah hampir dua menit berdiri dan mengagumi gambar motif batik buatannya sendiri, Tolani merebah. Tak lama kemudian pun ia tertidur saking lelahnya.
Esoknya Tolani bangun tidur dengan perasaan lega. Selesai mandi, ia ke kembali ke kamar. Di atas meja belajar sudah ada teh hangat dan roti tawar dilapisi selai yang disediakan ibunya. Sambil berpakaian, disantapnya roti itu. Lumayan untuk mengganjal perut. Selesai berpakaian, dibenahinya alat-alat gambar yang berserakan di atas meja.
Tiba-tiba Tolani teringat pesan Bu Casriah. Nama peserta lomba dan nama sekolah supaya ditulis di bagian belakang kertas gambar. Segera diambilnya kertas berisi gambar motif batik yang menyandar pada dinding, dibaliknya, lalu dituliskannya namanya besar-besar. Juga nama sekolahnya. Ketika Tolani berniat memasukkannya ke dalam tas, gelas teh itu tersenggol lengannya. Isinya tumpah. Membasahi kertas gambar. Tolani pucat pasi.
Selama perjalanan ke sekolah, Tolani diam saja di atas boncengan sepeda motor bapaknya. Motor sudah berhenti di depan pintu gerbang sekolah, tapi Tolani tidak segera turun. Bahkan, bapaknya sampai harus mengingatkannya. Tolani berjalan melewati halaman sekolah dengan langkah gontai. Tas sekolah yang berisi gambar motif batik dan tiga modul itu dirasakannya lebih berat daripada hari sebelumnya. Baru juga ia sampai di depan ruang kelas V, Bu Casriah sudah menyeru.
“Lani, dipanggil Pak Gunawan!”
Tolani tidak jadi masuk kelas, ganti menuju ruang kepala sekolah. Langkahnya terlihat ragu. Ia belum bisa menentukan sikap yang akan diambilnya.
“Masuk Lani!” kata Pak Gunawan. “Gambar motif batiknya sudah selesai, kan? Coba bapak mau lihat!”
Tolani tak segera menjawab. Justru diembuskannya napas kuat-kuat. Ia harus segera mengambil keputusan. Apa pun yang akan terjadi nanti. Sambil menguatkan tekad, dibukanya tas. Diambilnya kertas bermotif batik dari dalamnya, lalu ditunjukkannya kepada Pak Kepala Sekolah.
Pak Gunawan mengambil kertas gambar dari tangan Tolani, mengamat-amati, lalu tersenyum.
“Bagus, bagus sekali! Sangat bagus! Kecil kemungkinan gambar sebagus ini tidak jadi juara.”
“Iya, Pak,” ucap Tolani lirih, “tapi….”
“Walaupun belum diumumkan secara resmi sebagai juara, Bapak mengucapkan selamat. Untuk pengganti kertas dan alat gambar, kita bicarakan nanti setelah pengumuman.”
“Iya, Pak. Tapi gambar itu….”
“Sebenarnya Bapak masih ingin memberikan pujian. Namun, sebaiknya kita tunda dulu. Sekarang Bapak mau mengantar hasil karyamu yang bagus sekali ini ke panitia lomba. Tolong masukkan ke sini!”
Pak Gunawan mengangsurkan amplop coklat berukuran sangat besar. Mula-mula Tolani ragu-ragu menerimanya. Namun, tiba-tiba sebuah pemikiran tumbuh di otaknya. Ia segera membelakangi Pak Gunawan yang sedang memberesi meja. Diambilnya kertas bergambar motif batik hasil karyanya dari dalam tas, lalu memasukkan ke dalam amplop. Sedangkan gambar yang tadi ia tunjukkan ke Pak Gunawan, ia masukkan ke dalam tas.
Setelah menyerahkan amplop cokelat itu kepada Pak Gunawan, Tolani keluar dari ruang kepala sekolah. Kepalanya tegak. Langkahnya gagah. Wajahnya gembira.
Tolani sedang menonton televisi ketika ibunya pulang dari mengajar. Ia segera menemuinya di kamar. Ia terlihat ragu-ragu saat hendak mengutarakan maksudnya.
“Ada apa Lani?” tanya ibunya. “Mengapa wajahmu muram seperti itu?”
“Maafkan Lani, Bu!” kata Tolani, lalu menundukkan kepala.
“Kenapa?” sang ibu tersenyum, “ada apa?”
“Lani telah membuat Ibu kecewa,” kata Tolani lagi.
“Kenapa kecewa? Memangnya Lani telah berbuat apa?”
Meskipun awalnya ragu-ragu, Tolani lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya. Mula-mula tentang kertas gambarnya yang kena tumpahan teh. Lalu bercerita bahwa ia telah mengganti gambar motif batik yang sudah dia tunjukkan ke Pak Gunawan itu.
“Lani ganti dengan gambar motif batik yang sudah tak karu-karuan bentuknya itu, Bu,” Tolani menunduk, tak berani menatap ibunya.
Sang ibu tertegun. Dipandanginya Tolani dengan mata berkaca-kaca.
“Lani minta maaf, Bu! Belum bisa membuat Ibu bangga,” kata Tolani. Di luar dugaan Tolani, bukannya marah, ibunya justru menangis, lalu memeluknya erat-erat.
“Lani anakku sayang. Apa yang kamu lakukan itu telah membuat Ibu sangat bangga.”
“Tapi Lani tidak mungkin jadi juara, Bu. Gambarnya jelek sekali. Padahal, kalau menang lomba, hadiahnya akan Lani pakai untuk membelikan canting buat hadiah ulang tahun Ibu.”
“Oh, Lani. Anakku! Kamu telah menjadi juara sejati di hati Ibu,” sang ibu memeluk Tolani makin erat. “Ibu sangat bangga dengan kejujuranmu. Kebanggaan itu bahkan melebihi hadiah emas dan permata.”
“Benarkah, Bu?” tanya Tolani agak ragu.
Sang ibu mengangguk, lalu mencium pipi Tolani.
“Bagaimana kalau besok dimarahi Pak Gunawan?” tanya Tolani lagi.
“Tidak mungkin. Pak Gunawan seorang pendidik. Pasti menghargai kejujuranmu.”
Sambil memeluk ibunya, Tolani coba menemukan hikmah dari peristiwa yang telah dia alami. Semua itu terjadi akibat kesalahannya. Ia tidak boleh sombong. Waktu harus diatur sebaik-baiknya. Mengerjakan sesuatu jangan tergesa-gesa. Bertindak harus hati-hati agar tidak merugikan diri sendiri. Dan yang paling penting tetap menjaga kejujuran di mana pun ia berada.
Kajen, 17 Februari 2023