Jurnal Qur'an Esih

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Esih, anak berusia sepuluh tahun yang tinggal di pengungsian. Ia ingin mengikuti festival tahfidz agar mendapat hadiah uang. Uang itu akan digunakan untuk membeli kursi roda untuk ayahnya. Namun, suasana pengungsian yang ramai membuatnya sulit untuk konsentrasi.

Lakon[sunting]

  1. Jurnal Qur'an milik Esih
    Esih
  2. Kak Rudi

Lokasi[sunting]

Cianjur

Cerita Pendek[sunting]

Gempa Cianjur[sunting]

Gempa berkekuatan 5,6 Magnitudo menggunjang Cianjur pada hari Senin, 21 November 2022. Ratusan orang meninggal dan ribuan bangunan hancur.

Tim SAR gabungan melakukan pencarian korban yang tertimbun longsor akibat gempa Cianjur.

Gempa Cianjur salah satu peristiwa bencana alam yang dampaknya begitu besar.

Matahari bersinar redup. Angin berhembus pelan. Esih, anak berusia sepuluh tahun itu, termenung di depan tenda pengungsian. Dia masih merasa takut gempa susulan kembali terjadi. Dia tidak mau kehilangan lagi.

Saat gempa pertama kali terasa, dia sedang bermain lompat tali. Terpisah dari ayah dan ibu. Tiba-tiba saja keadaan berubah kacau. Rumah-rumah roboh. Teriakan dan tangisan terdengar nyaring. Keadaan yang mencekam itu selalu menghantuinya dan menjelma menjadi mimpi-mimpi yang mengerikan. Bangunan yang sudah hancur, jenazah yang tertimbun, dan jasad Diah yang membeku selalu terbayang-bayang.

Esih tak kan lupa, Diah selalu menjemputnya saat berangkat sekolah. Jika dia terlambat bersiap, Diah mau menunggunya. Hampir setiap hari mereka berangkat berdua. Pulang sekolah pun begitu. Setelah berganti seragam, mereka akan main bersama. Kadang di rumah Diah, kadang di rumah Esih. Rumah Diah tidak jauh. Hanya terpisah sepuluh rumah dari tempat Esih.

“Esih, ayo main sama kami!" seru Urwah, anak berbadan gempal, yang dulu tinggal tak jauh dari rumah Esih. Dia baru saja menyelesaikan lompat setinggi pinggang, lalu kakinya tak sampai. Dia pun harus rela berhenti main dan bergiliran dengan temannya.

Esih menggeleng. Dia tidak mau bermain. Lompat tali hanya mengingatkannya pada Diah. Padahal, Ibu selalu menasihati agar dia ikhlas melepas kepergian Diah. Menurut Esih, ibu tak mengerti bagaimana rasanya kehilangan teman sejati. Esih tak semangat makan. Tak nyenyak tidur. Tiap pagi kerjanya hanya melamun. Seandainya Diah masih ada, tentu dia akan bahagia. Kini, hari-hari yang dilaluinya tak lagi ceria.

Belum lagi saat melihat kaki Ayah yang terluka parah. Ayah dirawat di rumah sakit lima belas hari lamanya. Setelah boleh dibawa ke tenda, kaki Ayah belum bisa dipakai berjalan. Ayah juga tampak sedih. Semua aktifitas Ayah jadi terbatas. Hanya Ibu yang terlihat tenang meski wajahnya tampak kelelahan. Bagaimana tidak, Ibu harus mengurus Ayah yang selalu berbaring dan duduk -bahkan untuk ke kamar mandi pun harus dibantu-. Ibu juga harus mengurus Mira, adiknya yang baru berusia tujuh bulan.

Festival Tahfidz Juz Tiga Puluh[sunting]

Untungnya ada Kakak Relawan yang selalu membawa bantuan dan hiburan. Sebagian mereka membawa makanan, pakaian, dan obat-obatan. Sebagian lagi membawa mainan, alat tulis menulis, krayon, dan buku cerita yang banyak. Mereka mendongeng setiap sore, menghibur hati anak-anak. Mereka juga pintar menyanyi dan anak-anak mulai bisa  tertawa.

"Ibu, Festival Tahfidz sebulan lagi. Aku tetap mau ikut. Aku mau belikan Ayah kursi roda. Aku mau ajak Ayah keliling sawah. Tapi, Esih susah mau konsentrasi," ucap Esih pelan setelah dua minggu tinggal di pengungsian.

Dua bulan yang lalu, Esih ditunjuk untuk mewakili sekolah pada acara Festival Tahfidz juz tiga puluh untuk tingkat SD. Acara itu akan diadakan di kota kabupaten. Hadiah utamanya adalah uang tunai senilai dua juta rupiah. Waktu itu, Esih sudah punya rencana, jika dia juara satu, uang itu akan dipakainya beli sepeda.

Namun, gempa merubah segalanya. Dia tidak lagi menginginkan sepeda. Esih ingin membelikan kursi roda untuk Ayah. Sisanya, akan dia serahkan pada Ibu untuk biaya memperbaiki rumah. Rumah Esih sudah rata dengan tanah  Sekolahnya juga.

"Kamu yakin?" tanya Ibu. "Kata Bu Guru, jangan memaksakan diri kalau memang belum siap."

"Insyaa Allah, Bu. Kata Kak Risa, menghafal ayat al-qur'an bisa membuat kita tenang. Nggak ketakutan lagi," jawab Esih sambil menirukan ucapan Kakak Relawan tadi sore, saat sesi trauma healing.

Ibu meletakkan Mira yang sudah terlelap, lalu berbaring di sampingnya. Mereka berlima tidur berjejeran. Bukan hanya mereka berlima. Sekitar tiga puluh orang tidur dalam satu tenda.

"Ayo, Kakak bantu! Kakak akan menyimak hafalanmu tiap pagi dan sore. Ditambah sebelum tidur. Kakak yakin, kamu pasti juara!" kata Kak Rudi sambil mengepalkan tangan. Remaja berusia tiga belas tahun itu berusaha membangkitkan semangat adiknya.

"Gimana caranya, Kak? Tenda selalu ramai. Aku susah mau konsentrasi menghafal."

"Besok pagi, kita ke ujung tenda sana, dekat sawah. Kakak temani. Kalau sudah setor satu surah, baru kita pulang."

"Nah, nanti, di tenda ganti Ayah yang nyimak kamu," ucap Ayah. Esih terkejut. Ayah ternyata peduli padanya. Ayah mulai melupakan sedihnya. Esih memeluk Ayah.

"Terima kasih, Yah."

Esih senang mendapat perhatian yang hangat dari keluarganya. Anak yang selalu menyetorkan hafalan qur'an paling awal di TPQ itu kembali bersemangat. Sejak kecil, dia memang senang menghafal.

Keesokan harinya, saat Ibu masih sibuk membantu di dapur umum, Kak Rudi menggandeng tangan Esih menuju lapangan di ujung tenda. Tempat pengungsian ini tidak jauh dari rumah mereka. Jaraknya sekitar lima belas rumah dari pemukiman warga. Tanah luas ini biasanya dipakai untuk bermain sepak bola. Di sekelilingnya, sawah warga membentang luas.

Esih mulai mengulangi hafalannya dari surah al-ikhlas. Sampai surah al-alaq dia masih lancar. Surah berikutnya ada satu hingga dua kesalahan. Jika lebih dari tiga, Kak Rudi meminta Esih mengulanginya lagi. Hari ini Esih berhasil menyetor delapan belas surah pendek dan empat surah yang sedang.

Surah At-Takwir yang Terasa Sulit[sunting]

Sampai pada surah At-Takwir, dia merasa kesulitan. Tiga belas ayat pertamanya mirip-mirip.

"Idzas syamsu kuwwirat. Wa idzan nujuumun kadarat. Wa idzal 'isyaaru ...."

"Ehm!" Kak Rudi berdehem. Itu tandanya ada yang salah pada ayat yang dibaca Esih.

"Ayat ketiga, bunyinya wa idzal jibaalu suyyirat. Baru yang keempat wa idzal 'isyaaru. Ulangi lagi, ya." Kakak terus menyemangati Esih yang mulai putus asa.

Dengan mulut manyun Esih mulai mencoba lagi. Ada rasa panas di matanya. Dia hampir menangis, tapi ditahan. Dia tak ingin terlihat lemah di depan Kakak.

"Idzas syamsu kuwwirat. Wa idzal jibaalu suyyirat. Wa ...."

"Ehm!" Kakak berdehem. Itu tandanya, ayat yang dibaca Esih salah.

"Fokus, Esih! Hitung pakai jarimu! Ingat-ingat, ayat kedua bunyinya apa, ayat ketiga apa." Kakak terus membujuk Esih dengan sabar. Namun, Esih sudah tak mau meneruskan. Satu surah ini dirasanya sangat susah.

Tiga hari Esih merajuk. Dia tak mau lagi disimak Kak Rudi. Ayah tak bisa membantu. Tak mungkin dia menyimak hafalan Esih di tenda. Esih pasti tidak fokus. Ibu juga angkat tangan.

"Esih, mau nggak jalan-jalan ke sekolah kita?" Rani, teman sekelas Esih menunjuk serombongan anak-anak. Mereka semua teman-teman satu sekolah. Ada Kakak Relawan juga di sana. Sesi trauma healing hari ini adalah mengunjungi bangunan sekolah. Tujuannya untuk melepaskan rasa trauma melihat bangunan. Bagaimanapun, mereka pasti akan kembali ke sekolah lagi, jika nanti sudah diperbaiki.

Esih mengangguk. Dia selalu merasa terhibur saat sesi trauma healing. Dia teringat Diah. Harusnya mereka berdua bisa mengikuti lomba tahfidz. Mereka berlatih bersama hampir setiap hari. Diah bahkan menggambar langit, matahari, dan henda-benda yang disebut dalam ayat untuk memudahkan hafalan.

"Ini jurnal qur'an, namanya," kata Diah saat mereka belajar di rumahnya. Diah juga menunjukkan beberapa jurnal miliknya. Menurut Diah, dia lebih mudah menghafal jika sudah membuat jurnal.

Mata Esih membasah saat mereka sudah sampai di bangunan sekolah. Ada rasa sesak di dadanya. Kakak Relawan meminta anak-anak untuk menarik napas.

"Tarik napas, keluarkan. Tarik napas lagi, keluarkan."

Esih memejamkan mata. Teringat Diah saat mereka bermain ayunan. Saat mereka duduk-duduk di bawah pohon asam. Saat mereka berlari mengejar bola. Saat mereka bermain kasti di halaman.

"Aaargh!" Esih tak tahan lagi. Kenangan-kenangan itu begitu menyakitkan. Untungnya, Kakak Relawan segera memeluknya. Perlahan-lahan, tubuhnya mulai mengendur dan terasa ringan. Esih menangis sesenggukan.

"Ikhlaskan, Esih. Ikhlaskan. Agar Diah merasa tenang di sana. Diah sekarang sedang bermain di taman-taman surga. Ayo, ikuti Kakak. Tarik napas, lepaskan. Tarik lagi, lepaskan."

Esih menurut. Air mata Esih masih menetes. Namun, dia sudah lebih tenang. Kakak Relawan mengajak rombongan pulang saat matahari mulai terasa panas. Sampai di tenda, Esih segera mencari kakaknya.

"Kak, bisa bantu aku?"

Kak Rudi sedang duduk-duduk di lapangan memperhatikan anak-anak bermain layangan. "Apa yang bisa kubantu, Tuan Puteri?"

Dulu, mereka sering bermain puteri kerajaan. Kak Rudi sebagai kesatrianya. Sejak tinggal di tenda, dia belum mau bermain puteri lagi. Esih segera mengutarakan ide membuat jurnal qur'an seperti milik Diah. Kak Rudi yang jago menggambar segera mengangguk setuju.

"Baiklah, asal kamu mau menghafal lagi."

Esih menemani Kakak saat menggambar. Pertama, Kakak menggambar matahari, lalu bintang, gunung, unta, singa, dan laut. Sedikit kesulitan menggambar kata jiwa. Setelah berkali-kali menggambar, lalu ditolak Esih, menggambar lagi, baru akhirnya ilustrasi itu jadi. Gambar-gambar itu disesuaikan dengan urutan ayatnya. Setelah jadi dan mengucapkan terima kasih, Esih selalu membawanya ke manapun. Esih merasa ditemani sahabatnya saat menghafal.

Seminggu kemudian, Esih kembali menyetorkan hafalan pada Kak Rudi. Dan ajaibnya, dia ingat semuanya! Dia ingat urutan ayatnya. Tidak tertukar-tukar lagi. Gambar-gambar di kertas itu memudahkannya.

Kak Rudi memeluk Esih senang. Dia sampai mengusap ujung matanya. Akhirnya Esih berhasil menghafal dengan lancar.

Saat lomba berlangsung, Esih tetap membawa kertas itu dan menyimpannyal di saku. Dia merasa Diah selalu bersamanya. Menyaksikannya menjawab satu persatu soal dari panitia pelaksana. Saat pengumuman juara, Esih dipeluk oleh para juri. Mereka kagum pada semangatnya untuk bangkit. Padahal jika dia mau, dia diizinkan tidak hadir karena kondisi darurat.

"Esih, saat diumumkan menjadi juara satu, bagaimana perasaanmu?" tanya kakak pembawa acara saat Esih sudah berada di atas panggung. Siap menerima hadiah dan piala.

"Rasanya ingin menangis, Kak. Saya punya sahabat bernama Diah. Dia yang pertama kali membuatkan jurnal qur'an buat saya. Jurnal qur'an itu memudahkan saya menghafal. Sayangnya, Diah telah tiada."

Suasana menjadi hening. Para hadirin terkesima mendengar kisah Esih dan perjuangannya untuk mengikuti Festival Tahfidz ini.

"Al-Faatihah." Kakak pembawa acara memimpin para peserta. Mereka mengirimkan doa untuk Diah.

Hati Esih terasa lapang. Dia merasa ingin terbang. "Diah, aku sudah ikhlas. Bermainlah dengan gembira di taman-taman surga," ucapnya lirih.

Dua hari kemudian, Esih tampak mendorong kursi roda sang Ayah. Ditemani Kak Rudi, ia memenuhi janji, membawa Ayah jalan-jalan ke sawah. Dia  juga menyapa teman-teman yang ditemui sepanjang jalan. Senyumnya merekah senang.