Lompat ke isi

KEHILANGAN BAYANGAN (TITIS ERLANDA)

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas


KEHILANGAN BAYANGAN (TITIS ERLANDA) Tung Widut

“Bu, Pak Titis meninggal,” Itu tulisan di HP bu Hastuti kalah pertama dia membukanya. Dia kembali mengulang pesan wa yang diterimanya itu. Sampai tiga kali. Kali ketiga membaca tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. Badannya terasa dingin. Tangannya gemetar. Seakan dia tidak percaya dengan berita yang disampaikan oleh Bu Anika itu. “Innalillahiwainnailaihirojiun. Benarkah?” “ Iya beliau kecelakaan saat ke Surabaya,” tulis Bu Anika. Terlebih lagi ketika dia teringat Bu Yuherni. sahabatnya yang satu itu juga menghilang sejak pagi. Hanya memberi tugas kepada anak didiknya. Jemarinya menyekrol layar HP yang sangat terang itu. Bagai terhipnotis. Grup WA sahabatnya tak ditemukan juga. Seakan grup demi grup hanya tulisan yang tak bermakna. Sekelibat terlihat tulisan Pusat. Ini grup yang sebenarnya dicari. Tapi lagi-lagi grup itu seakan menghilang begitu saja di layar HP. Jempol tangannya kembali mengusap ke atas ke bawah untuk menemukan grup yang dinamakan Pusat itu. “Halo” “Halo” “Ada apa?” “ Apa kabarnya?” tulis Bu hastuti bertubi-tubi.

Tanpa menjawab Bu Hastuti menelpon Bu Yuherni. Sampai agak lama jawaban tak didapatkan pula. Rasa khawatir yang menyelimuti untuk sahabatnya itu semakin membelenggu. Apalagi ketika dia mencoba melihat media sosial dengan mengetik kata kunci kecelakaan warga SMA Negeri 1 Kedungwaru. Muncullah Sebuah bus berwarna kuning sedang terguling dengan sedikit keterangan. Kekhawatiran semakin menggebu. Otak yang semula encer sekarang sudah nggak berfungsi. Hanya kebingungan yang menyelimuti otak dan jemarinya. Saat suasana masih bingung ada sebuah grup WA yang rame dengan notif yang bersahutan. Dibacanya pelan kata demi kata yang tertulis. Diulang juga beberapa kata yang menunjukkan kejadian yang penting. Semua cerita semakin jelas, tapi rasa penasaran kepada sahabatnya tak bisa dibendung juga. Kembali jarinya menekan nomor Bu Yuherni. “Halo assalamualaikum,” jawaban terdengar dari jauh di sana. “ Piye kabare jenengan, eh Waalaikumsalam (Bagaimana kabarmu, eh Waalaikumsalam) ,”katanya Bu Hastuti dengan bahasa Jawa medok. “ Sesuk ae tak ceritane (Besok saja saya cerita) ,” jawabnya cepat. “ Piye keadaanmu? (Bagaimana keadaanmu?),” pertanyaan terulang lagi. “Tidak apa-apa. Kita berdua baru saja teleponan sama beliau. Besok saja saya cerita. Saya dalam perjalanan pulang.” jelas Bu Yuherni.

Lega sudah hati Bu Hastuti  mendengar kabar sahabatnya sedang baik-baik saja. 

Malam semakin larut. Datang bersama suara jangkrik yang menenggelamkan deru mobil yang tadi silih berganti. Detak jantung terdengar keras. Detak yang tak biasa. Raga tua Bu Hastuti mungkin sudah memberi tanda. Kabar yang mengagetkan itu berpengaruh kepada pikirannya. “Bismillahirrahmanirrahim,” ucapnya sambil merebahkan badan.

Alih-alih dia mampu memejamkan mata dengan sekejap.  Pikirannya justru berbalik pada tahun 2020 yang lalu. Cerita awal perkenalan dengan Pak Titis Erlanda dan Bu Anika. 

Hari itu hari yang sangat berbahagia. Bu Hastuti mengenakan seragam PGRI. Seragam kebanggaan bagi seorang guru. Memenuhi undangan yang dianggapnya sangat spesial. Undangan terbatas orang tertentu saja pada Hari Guru. Sepeda motor butut Bu Hastuti mengantarkan ke gedung PGRI. Gedung baru di jalan Ki Mangun Sarkoro Beji tempat yang menjadi kenangan tak terlupakan. Saat melangkahkan kaki di ke dalam gedung, kursi yang tersedia sudah hampir penuh. “Silakan absen dulu Bu,” kata seorang petugas.

Terlihat sebuah meja dengan tatanan tulisan yang berderet.  Kedatangannya di ruang itu memang khusus.  Bu Hastuti salah satu undangan yang sangat dihormati dan dinantikan kedatangannya.  Lagi-lagi Bu Hastuti di persilahkan pada tempat duduk yang khusus juga. Duduk bersama  dua orang yang mengapitnya.
Jabat tangan perkenalan saat itu tak ada.  Maklumlah masa Corona yang membuat Bu Hastuti dan kedua teman di sampingnya harus berdiam diri saja.  Masker yang menutupi wajah membuat sekat  untuk berkenalan. Acara mulai  menjemukan. 

“Ibu dari mana?” tanya Bu Hastuti kepada guru yang di sebelah kirinya. “ SMA 1 Tulungagung Bu,” jawabnya. “ Kalau bapak dari SMA Kedungwaru?” lanjut Bu Hastuti bertanya kepada seorang bapak yang duduk di sebelah kanannya. “Iya Bu,” jawabnya singkat.

Bapak guru itu menjawab dengan santun.    Wajahnya tersenyum di balik masker. Terlihat dari lipatan matanya dengan agak menunduk. 

“Anda orang hebat,” lanjut Bu Hastuti. “Bukan saya saja, ini sebuah tim yang mengerjakan,” jawabnya merendah.

Dari kata-katanya bapak ini memang terlihat orang yang kalem tapi berisi.  Berkenalan sebagai guru kimia. 

Mereka bertiga mulai mengobrol. Berbicara tentang membuat video pembelajaran, cara mereka menghadapi siswa, perkembangan siswa selama Corona, dan semua masalah yang dihadapi dibicarakan. Bu Hastuti ternyata menyelam sambil minum air. Obrolan mereka dijadikan sebuah inspirasi karena SMA tempat Pak Titis mengajar merupakan SMA favorit di kota Tulungagung. Sekolah bergengsi yang diimpikan oleh anak-anak muda yang mempunyai kemampuan hebat. Sangat berlawanan dengan tempat Bu Hastuti mengajar. SMK yang mulai berkembang. Masih berumur delapan tahun saat itu. Lokasinya pun sangat berbeda jauh. Tempat Bu Hastuti mengajar bukan berada di tengah kota, tapi di tengah sawah di pinggir Kabupaten Tulungagung. Sekolah yang masih belum punya nama apa-apa. Siswanya pun bercita-cita lulus langsung bekerja. Tak jarang mereka sambil bekerja di malam hari. Mencari rumput sepulang sekolah. Hampir semua tak punya cita-cita untuk melanjutkan sekolah karena menyadari kemampuan ekonomi keluarga. Perbedaan inilah yang membuat Bu Hastuti ingin terus mengobrol. Bu Hastuti juga menggali pengalaman dari bu guru muda dan cantik di sebelahnya. Lain cerita dengan Pak Titis yang orangnya kalem dan sedikit bicara. Bersama Bu Anika tersisip cerita tentang wanita. Ceritanya sangat seru. Acara dimulai. Tahap demi tahap hanya senyum gembira yang dirasakan oleh Bu Hastuti. Ketika juara 3 video pembelajaran di panggil Bu Anika berdiri. Juara dua Bu Hastuti mengikuti . Juara satu disambut tepuk tangan yang meriah. Pak Tititslah yang beridri. Berdiri bertiga menerima penghargaan. Berfoto dengan bupati, kepala dinas dan para juara lomba lainya. Sungguh suatu kenangan yang tak terlupa.

Acara berlanjut, kembali bu Hastuti membuat topik pembicaraan.  Meminta nomor HP dan membuat grup bertiga. 

“Bisa minta nomernya. Nanti kalau ada lomba kita ramaikan?”pinta Bu Hastuti. Kedua guru muda itu tak ragu memberikan nomor.

“Theng-theng. Theng-theng.” Terdengar dua kali suara jam dinding berbunyi. Pertanda jam dua sudah datang. “Ya Allah,” kata Bu Hastuti tersadar. Ternyata malam telah begitu larut. Mata tak mau tepejam. Dia bangkit meninggalkan tempat tidur. Pergi ke kamar mandi mengambil air wudhu. Sholat tahajud mendoakan teman yang telah membuatnya sadar akan kebesaran Allah. Menengadahkan tangan mendoakan agar Allah memberi surga bagi temannya itu. “Yâ hayyu, ya qayyûm, ahdi' laylî wa anim 'aynî,” doa terucap dari bibir Bu Hastuti. Sambil kembali merebahkan diri meminta pada Allah. Agar dimalam yang sudah sunyi dapat tidur nyenyak seperti kebanyakan orang. Tetapi dipelupuk mata kembali sosok Pak guru Titis kembali terlukis. Perkenalannya yang hanya sekali jumpa, entah angin apa yang mendorong tangan Bu Hastuti iseng membuka grup WA. Grup lomba Gempita. Ada nama Titis Erlanda di sana. Tangan Bu Hastuti menulis pesan Wa di grup. Berdiskusi dengan nada canda. Saling menyemangati dan berbagi. Bagai teman setiap hari jumpa. Keakraban tanpa jarak usia. Walaupun jujur pak Titis lebih memandang Bu Hastuti sosok teman yang lebih tua. Dari setiap kata tetap ada kehalusan sebagai rasa hormat. Sampai Keesokan diskusi dan saling menyemangati ketiga teman beda usia dalam grup itu masih berlanjut. Perbedaan sekolah, latar belakang siswa, usia, pengalaman justru membuat mereka bertiga semakin terbuka. Menjadi semakin akrab pada mereka hanya berjumpa sekali itupun semuanya dibalik masker Corona. “Subhanakallah. Subhanakallah.Subhanakallah.Subhanakallah,”kata yang keluar dari bibir Bu Hastuti untuk mengakhiri kesunyian malam ituuntuk mendatangkan lelap.