Kabala di Negeri Kakolengo-lengo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Kabala adalah anak bertubuh sungguh, sungguh besar. Karena tubuhnya yang sungguh, sungguh besar itu, Kabala jadi tak punya teman bermain. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Kabala memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya, Negeri Tumuntu. Belasan hari kemudiann Kabala tiba di Negeri Kakolengo-lengo dan bertemu dengan pemuda bertubuh kecil bernama Karubu. Bersama Karubu, Kabala menyusun siasat untuk mengelabui para tengkulak yang curang saat berdagang.

Tokoh[sunting]

1. Kabala

2. Karubu

Cerpen[sunting]

Kabala yang Sungguh, Sungguh Besar[sunting]

Di suatu tempat yang jauh di Utara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Kabala. Tidak seperti anak-anak di Negeri Tumuntu, tubuh Kabala jauh lebih tinggi dan jauh lebih besar dari yang semestinya. Dia juga tak pernah tertawa. Rambutnya berwarna cokelat kemerahan dan matanya berwarna hijau seperti air laut yang dilihat dari dekat. Telinganya sebesar telapak tangan orang dewasa dan puncaknya agak meruncing, tetapi untungnya tidak mirip telinga kelinci. Omong-omong, Kabala tidak suka kelinci. Oh ya, omong-omong soal rambut lagi, Kabala jarang memotong rambutnya. Tukang potong rambut di dekat pasar selalu mengeluh setiap kali harus memotongkan rambut Kabala. Dia harus menaiki tangga terlebih dahulu untuk mencapai kepala Kabala, meski Kabala sudah dalam posisi duduk bersila di halaman kedai cukurnya. Selain kelinci, Kabala juga tidak menyukai orang yang suka mengeluh. Jadi, Kabala lebih suka memanjangkan rambutnya daripada harus mendengar keluhan si Paman Tukang Potong Rambut.

Ketika masih kanak-kanak, Kabala pernah bertanya kepada kedua orang tuanya, kenapa dirinya begitu berbeda? Kenapa dirinya berukuran begitu besar, tidak seperti teman-temannya?

“Karena kau istimewa.” Begitu kedua orang tuanya menjawab, sembari membelai lembut kepala Kabala. Saat itu tubuh Kabala telah setinggi tubuh kedua orang tuanya.

Jawaban itu selalu membuat Kabala terhibur. Akan tetapi, ketika menyadari dirinya tidak memiliki teman, Kabala akan kembali menanyakan hal yang sama. Mengapa dirinya begitu berbeda? Mengapa tubuhnya begitu besar, tidak seperti teman-temannya? Dan setiap kali bertanya, jawaban orang tuanya selalu sama.

“Kenapa kalian tidak ingin bermain denganku? Apa karena aku buruk rupa?” Begitulah Kabala bertanya kepada teman-temannya suatu kali.

“Kami takut akan terinjak oleh kakimu yang besar itu,” sahut salah satu temannya.

Sejak saat itu, Kabala hanya bermain di rumahnya. Melihat putranya terus tumbuh besar, orang tua Kabala akhirnya memperluas rumah mereka agar bisa menampung tubuh Kabala. Langit-langitnya dibuat jauh lebih tinggi sehingga Kabala hanya perlu sedikit membungkuk jika ingin berkeliling di dalam rumah. Kursi dan meja makan keluarga mereka juga dibuat dalam ukuran superbesar, agar sesuai untuk Kabala. Jika hendak makan bersama, ibu dan ayah Kabala harus memanjati kursi mereka, yang kaki-kakinya dibuat seperti tangga.

Kesedihan Kabala perlahan terobati setelah menyadari jika dirinya bisa membantu banyak orang. Awalnya, Kabala membantu kedua orang tuanya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Dengan kekuatan tubuhnya, Kabala bisa mencabuti pohon-pohon mati dengan mudah, juga menggali sumur-sumur dan menancapkan tiang-tiang penyangga atap rumah atau jembatan di atas sungai.

Suatu hari, penguasa Negeri Tumuntu memintanya untuk membantu mereka membangun menara-menara serta benteng-benteng dan kolam-kolam luas. Semua pekerjaan itu bisa diselesaikan oleh Kabala dalam waktu yang singkat. Berkat Kabala, dalam satu dasawarsa, Negeri Tumuntu menjadi negeri yang indah dan nyaman untuk dihuni. Negeri Tumuntu menjadi semakin makmur dari waktu ke waktu. Rakyatnya hidup dalam keberlimpahan dan dipenuhi sukacita. Tak ada lagi yang meminta bantuan kepada Kabala. Kabala pun merasa tidak lagi berguna untuk siapa-siapa. Hal itu membuatnya sedih.

Suatu ketika, ibu Kabala meninggal karena terjauh dari kursi makannya yang tinggi. Tak lama setelahnya, ayahnya terjatuh saat hendak memperbaiki atap rumah mereka lalu meninggal dunia. Kesedihan Kabala kian berlipat-lipat. Semenjak itu, Kabala tidak lagi berminat mengerjakan apa-apa. Sepanjang waktu, ia hanya berdiam di rumah. Harta peninggalan orang tuanya semakin menipis. Maka di hari ulang tahunnya yang keenam belas, Kabala berniat meninggalkan Negeri Tumuntu.

Di belakang menara milik Walikota, ada sebuah bukit hijau. Kabala kerap duduk di sana sendirian, sembari menunggu matahari terbenam. Dari tempatnya duduk, Kabala bisa memandangi seisi negeri. Bangunan rumah bertembok batu yang kokoh, menara-menara, kolam-kolam buatan. Meski tak lagi tampak ada pepohonan kecuali di bukit dan ladang-ladang, semua hal itu cukup menghibur Kabala yang telah kehilangan banyak hal.

Pada suatu petang, Kabala berdiam di bukit belakang menara sambil memandang ke kejauhan. Langit berwarna seperti sirup dan kuning telur yang dipecahkan di dalam mangkuk. Gunung-gunung berbaris seperti prajurit; menguntai seperti seutas tali panjang yang menggelombang. Kabala bertanya-tanya, apa gerangan yang tersembunyi di seberang gunung? Negeri apa yang tersembunyi di baliknya? Adakah manusia lain yang seperti dirinya di sana? Kabala ingin tahu. Sangat ingin tahu. Jika ada seseorang yang seperti dirinya di dunia ini, Kabala akan memiliki teman. Ia tak akan sendirian lagi. Tepat pada saat itulah, Kabala memutuskan untuk meninggalkan Negeri Tumuntu.

Dengan keping emas terakhir yang dimilikinya, Kabala menyiapkan bekalnya selama di perjalanan nanti. Ia membeli memesan roti-roti gandum berukuran besar dan membeli buah-buah terbaik dari pasar terbaik. Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Kabala meninggalkan rumahnya. Dengan langkah berderap yang panjang, Kabala menuju Selatan dengan sekarung bekal makanan. Empat keping perak terakhir miliknya ia sembunyikan di saku bagian dalam bajunya.

Kabala Meninggalkan Negeri Tumuntu[sunting]

Begitu keluar dari perbatasan Negeri Tumuntu, Kabala berhadapan dengan hutan-hutan lebat. Jalanan yang dilaluinya mulai menanjak. Setibanya di gunung, Kabala terkejut tatkala menemukan pepohonan yang berukuran lebih tinggi dari dirinya. Kabala selalu berpikir, dialah makhluk paling tinggi di dunia ini. Di kejauhan, Kabala mendengar suara lolongan panjang. Namun, lolongan itu bukan lolongan anjing yang biasa didengarnya. Kabala khawatir, karena dia tidak tahu apa-apa tentang lolongan yang bukan lolongan anjing. Bagaimana kalau binatang itu jahat?

Kabala memutuskan untuk terus berjalan. Berhari-hari kemudian, pepohonan yang ditemui Kabala mulai tampak setinggi dirinya. Kabala merasa sedikit lega. Jika Kabala berjinjit, dia bisa melihat lautan luas di kejauhan. Setelah sembilan belas hari melintasi hutan-hutan lebat di gunung, Kabala akhirnya tiba di sebuah ladang. Bekalnya telah berkurang lebih dari separuh. Sementara itu, Kabala belum juga bertemu satu manusia pun. Pepohonan di ladang itu kini hanya setinggi ulu hatinya. Aroma laut mulai tercium oleh Kabala. Ladang itu berukuran sempit, mirip ladang-ladang di Negeri Tumuntu, tetapi berisi buah-buahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Kabala berjongkok dan mengamati dengan saksama. Ladang itu dipenuhi pohon-pohon apel dan beri hitam serta pir dan anggur. Kabala memetik sebutir apel dan melemparkannya ke dalam mulut. Buah itu terlalu kecil untuk Kabala, tetapi manisnya menyebar hingga ke seluruh tubuhnya. Kabala menginginkannya lebih banyak lagi. Ia putuskan untuk memetik beberapa butir pir juga, tetapi, tiba-tiba terdengarlah sebuah teriakan.

“Hey, kau pencuri raksasa! Siapa yang memberimu izin memetik buah-buahan di ladangku?”

Karena terkejut, Kabala yang tengah berjongkok kehilangan keseimbangan dan akhirnya terduduk menimpa deretan pohon-pohon apel dan pir yang tengah berbuah lebat.

“Awww!” teriak suara itu.

“Siapa kau?” tanya Kabala, menengok ke kiri dan ke kanan. Mencari-cari asal suara itu.

“Aku yang seharusnya bertanya. Siapa kau? Dan kenapa kau mencuri di ladangku?”

“Aku Kabala, dari Negeri Tumuntu, dan aku bukan pencuri. Kau siapa dan kenapa aku tidak bisa melihatmu?”

“Aku pemilik ladang ini. Kau tidak bisa melihatku karena kau menindihku, makhluk besar!”

Kabala meringis, merasa bersalah. Ketika ia mengangkat tangannya dari tanah, Kabala akhirnya melihat pemilik suara cempreng dan melengking itu.”

“Astaga, maafkan aku,” ucap Kabala. “Aku tidak bermaksud mencelakaimu.”

Pemuda kecil itu berdiri sambil membersihkan tanah yang melekati sekujur tubuhnya.

“Kau mematahkan pohon-pohon apelku dan pohon-pohon pirku juga. Kau juga menginjak-injak buahnya,” ucapnya. “Apa kau orang jahat?”

Kabala menggeleng berkali-kali. “Aku bukan orang jahat. Aku Kabala dari Negeri Tumuntu. Di negeriku tidak ada orang jahat.”

Pemuda kecil itu menatap Kabala dengan curiga. “Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan pohon apelku yang rusak?”

“Aku akan membayarnya dengan setengah karung makanan.” Kabala menunjuk karung makanannya yang tinggal separuh.

“Apa itu makanan sungguhan?” si pemuda kecil masih curiga.

“Tentu saja.” Kabala mengeluarkan sebongkah roti hingga si pemuda kecil bisa melihatnya.

Ia memelototkan mata, tidak percaya. “Keluargaku bisa makan itu selama dua pekan.”

Kabala mengangguk senang. “Di karung masih ada lagi. Kau boleh membawa pulang semuanya.”

“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya si pemuda kecil lagi.

“Aku mencari teman,” jawab Kabala mantap.

“Kau mencari teman di ladangku?”

“Ah, maksudku, aku meninggalkan negeriku di seberang gunung untuk mencari teman.”

Kabala pun bercerita tentang orang-orang di negerinya, juga betapa ia tidak punya teman dan tak seorang pun lagi membutuhkannya.

“Menurutku, kau tidak buruk rupa,” si pemuda kecil berkata, setelah Kabala menyelesaikan ceritanya. “Kau juga tidak menakutkan, meskipun rambutmu gondrong dan kau sudah merusak pohon apelku lalu menindihku dengan tanganmu.”

“Kau tidak takut padaku?”

Si pemuda kecil menggeleng. “Namaku Karubu, dari Negeri Kakolengo-lengo. Di negeriku banyak orang jahat. Aku hanya takut pada mereka.”

“Bawa aku kepada mereka. Akan aku injak orang-orang jahat itu dengan kakiku yang besar,” pinta Kabala.

Karubu tertawa. “Kau sungguh lucu, Kabala. Aku ingin jadi temanmu.”

Kabala merasa terharu karena akhirnya ada yang menawarkan diri menjadi temannya. Ternyata, sama seperti orang-orang di negerinya, Karubu juga bisa tertawa. Sepertinya, memang hanya dirinya yang tidak bisa tertawa.

Kabala di Negeri Kakolengo-lengo[sunting]

Karubu memandu Kabala keluar dari ladang. Karubu hanya setinggi lutut Kabala sehingga langkahnya pendek-pendek. Kabala harus bersabar mengikuti langkah Karubu. Setelah berjalan selama beberapa jam, mereka pun tiba di tepi lautan. Di sanalah Negeri Kakolengo-lengo berada. Negeri di seberang gunung yang selama ini hanya bisa disaksikan oleh Kabala dari bukit belakang menara.

Kapal-kapal penangkap ikan tampak di kejauhan. Dengan bersemangat, Karubu bercerita bahwa negerinya adalah penghasil ikan yang dikirimkan ke negeri-negeri lainnya. Sayangnya, tak banyak perak yang bisa mereka kumpulkan. Sebab, para tengkulak membeli ikan dari para nelayan dengan harga yang teramat murah. Mereka lalu menjualnya dengan harga mahal. Maka para nelayan tetap saja miskin. Hanya para tengkulak yang hidup berkecukupan.

“Jadi, orang jahat yang kau maksud adalah tengkulak-tengkulak itu?” tanya Kabala.

“Benar. Dan mereka bersenjata. Mereka punya golok dan suka mengancam orang-orang yang menegur kecurangan mereka.”

Malam itu Kabala dan Karubu bertemu di tepi laut untuk berembuk. Mereka menyusun siasat untuk menghadapi para tengkulak curang itu. Karena rumah Karubu hanya setinggi pinggang Kabala, maka Kabala tidak bisa menginap di sana. Dia bahkan tidak muat di pintu. Akhirnya Kabala tidur di sisi tebing di dekat laut.

Keesokan paginya, salah seorang nelayan menemukan Kabala yang tengah tertidur. Kehadiran Kabala akhirnya tersiar dari mulut ke mulut. Para penduduk merasa khawatir dan dilanda ketakutan karena Kabala tampak menyeramkan. Ia besar, berambut merah, dan bermata hijau.

Karubu akhirnya mengumumkan bahwa Kabala adalah seorang dewa yang diutus sang Pencipta untuk memperingatkan para tengkulak yang curang.

“Jika kalian orang yang jujur, kalian tidak perlu merasa takut,” teriak Karubu dalam pidatonya. “Dewa Kabala hanya akan menghukum orang-orang licik yang merugikan orang lain.”

Seluruh penduduk yang mendengar itu akhirnya merasa lega. Mereka bertepuk tangan, menyambut kehadiran Kabala di tengah-tengah mereka dengan penuh sukacita.

Ketika para penduduk telah pergi, Kabala berbisik kepada Karubu. “Aku kan bukan dewa. Kau sudah berbohong. Kau tidak jujur.”

“Ini siasat,” sahut Karubu. “Orang jahat harus dihadapi dengan siasat. Percayalah padaku.”

Kabala tidak mendebat lagi. Ia percaya, Karubu lebih pandai dari dirinya.

Kabar perihal Kabala yang berniat mencari orang-orang culas di Negeri Kakolengo-lengo akhirnya sampai ke telinga para tengkulak. Sebagian dari mereka mulai merasa gentar. Sementara sebagian yang lainnya mengusulkan agar mereka menemui Kabala diam-diam untuk menakutinya. Mereka harus mengusir dewa itu jika tidak ingin usaha penjualan ikannya terganggu.

“Aku ingin tahu, apa dia tidak takut dengan golok panjangku ini,” ucap pemimpin mereka sambil menghunus golok. Para pengikutnya pun setuju dengan usulan untuk mengusir Kabala dari Negeri Kakolengo-lengo. Menjelang dini hari, para tengkulak mendatangi pondok tempat Kabala tengah tertidur lelap. Mereka merasa sedikit khawatir tatkala melihat tubuh Kabala yang begitu besar dan tinggi.

“Apa kita bisa mengalahkannya?” bisik salah seorang tengkulak.

“Kalau tidak mencoba, kita tidak pernah tahu,” sahut pemimpinnya.

Dengan aba-aba dari sang pemimpin, para tengkulak yang berjumlah dua belas orang itu mulai menendang-nendang kaki Kabala. Namun, Kabala bergeming. Karena lelah menendangi Kabala yang tak kunjung terbangun dari tidurnya, para tengkulak mulai memanjati tubuh Kabala. Beberapa orang naik hingga ke bahunya dan mulai menendang-nendang pipi dan pelipis Kabala. Merasa pipinya seperti tercubit-cubit, Kabala mengusap wajahnya. Para tengkulak yang menendang-nendang wajah Kabala akhirnya terlempar dan jatuh dan berdebum di tanah.

“Pinggangku rasanya patah,” keluh salah seorang tengkulak.

Sementara itu, beberapa tengkulak yang berhasil tiba di pundak Kabala, mulai memukul-mukul telinga Kabala. Kabala yang merasa telinganya seperti ditarik-tarik lantas menggeleng-geleng. Para tengkulak itu berpegangan di telinga Kabala agar tidak terjatuh. Tetapi Kabala terus saja menggeleng hingga mereka berayun-ayun sambil berteriak sampai kepala mereka pusing. Akibat suara mereka yang berisik, Kabala pun menggeliat dan terbangun. Semua tengkulak itu berjatuhan di tanah.

“Apa kalian datang untuk melukaiku?” tanya Kabala dengan suaranya yang berat karena menahan kantuk.

“Ti-ti-tidak. Ma-maksudku, be-be-benar,” jawab pemimpin para tengkulak. Dia memungut goloknya dan menggoyang-goyangkannya ke arah Kabala. “Ka-ka-kami datang ka-karena ku-kudengar … ka-kamu akan menghukum kami.”

“Apa itu golok?” Kabala balas bertanya.

“Oh, ya, ya. I-ini go-golok. Ini a-akan me-melukaimu.”

“Tak ada yang bisa melukaiku,” ucap Kabala. Ia membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke arah si pemimpin tengkulak.

Terkejut karena wajah Kabala yang begitu besar dan matanya yang hijau, si pemimpin tengukulak terjengkang. Ia terduduk di tanah, lalu berjengit saat Kabala memajukan wajahnya. Kabala menjentik golok di tangan si tengkulak hingga terlontar jauh. Si pemimpin tengkulak gemetar ketakutan.

“Apa kau benar-benar dewa?” tanyanya.

“Bukan,” ucap Kabala. “Tapi aku bisa menghukummu karena berbuat curang pada nelayan. Jika kalian terinjak olehku, bisa kalian bayangkan bagaimana jadinya?”

Si pemimpin tengkulak akhirnya memohon ampun kepada Kabala. Seluruh anak buahnya ikut berlutut dan memohon agar Kabala tidak menginjak mereka. kepada Kabala mereka berjanji untuk berdagang dengan jujur. Kabala akhirnya tertawa untuk pertama kalinya.

Sejak hari itu, para tengkulak pun berlaku jujur saat berdagang dengan para nelayan. Adapun Kabala, ia terus saja menemukan hal-hal yang membuatnya tertawa setiap harinya. Misalnya saja, ketika dia mandi di tengah lautan, ikan-ikan berkerumun di sekitar kakinya. Rasa menggelitik di kakinya membuat Kabala tertawa. Juga ketika suatu hari, Karubu memanjat ke bahunya untuk memotongkan rambutnya. Kaki Karubu yang menjejak di sepanjang lengannya terasa menggelitik, sehingga membuat Kabala tertawa. Meski Kabala tidak bertemu manusia yang sungguh besar seperti dirinya, Kabala sudah merasa senang karena memiliki teman seperti Karubu. Karubu selalu menemukan cara untuk membuat Kabala tertawa setiap hari.