Kado Istimewa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Nama Penulis    : Cri Krishna Silalahi

Jenis Kelamin     : Perempuan

Usia                       : 51 tahun

Premis[sunting]

Ini adalah cerita pendek tentang perjuangan seorang anak yang berkebutuhan khusus bernama Tina belajar calistung dengan bantuan adik perempuan bapaknya. Cerita ini diangkat dari kisah nyata.

Cerita Pendek[sunting]

Dapat kado ulang tahun adalah hal yang paling menyenangkan bagi banyak orang baik orang dewasa maupun anak-anak termasuk bagiku. Biasanya setiap ulang tahun orang tuaku akan merayakannya dengan membelikan kue ulang tahun dan pergi makan bersama keluarga. Namun kado ulang tahunku yang ke-17 berbeda dari yang lain, bukan berupa kue, perayaan, atau barang-barang. Kado ini sangat istimewa karena berupa ketrampilan hidup yang kudapat dari Bou[1]ku tercinta.

Seindah Pelangi Sehabis Hujan

Ini adalah cerita hidupku.[sunting]

Namaku Tina Aprilia Silalahi, biasa dipanggil Kakak. Aku juga selalu menyebut diriku dengan sebutan Kakak pada keluargaku Ketika berbicara. Aku lahir dari bapak mamak yang asli Batak[2]. Aku adalah anak pertama dan cucu pertama dari garis bapak (biasa disebut “anak panggoaran[3]” dan “pahompu panggoaran[4] “). Aku tinggal bersama bapak, mamak, dan adik perempuanku satu-satunya di sebuah kota kecil bernama Pematang Siantar di provinsi Sumatera Utara.

Menurut cerita “Bou kecik”ku (panggilan akrab untuk adik perempuan kedua dari bapakku), waktu aku masih bayi, aku termasuk bayi yang menggemaskan karena pipiku yang tembem dan lasak[5] sampai aku berusia sembilan bulan. Suatu hari aku demam tinggi dan setelah itu perkembanganku terlambat. Aku lebih banyak diam dan tidak banyak gerak. Saat usiaku tiga tahun aku baru belajar berjalan dan baru bisa berjalan sendiri setelah berusia lima tahun itupun dengan langkah yang terseok seok mirip penguin. Dari hasil pemeriksaan dokter spesialis tulang dikatakan ada kelainan bentuk tulang di bagian pangkal paha (bagian yang dekat pinggang). Kalau yang ini adalah cerita dari ”Bou besarku” (panggilan akrab untuk adik perempuan pertama dari bapakku) karena Bou besar yang membawaku ke dokter spesialis tulang di kota Jakarta.


Aku mulai masuk sekolah dasar usia delapan tahun bersama adikku yang waktu itu  masih berusia enam tahun. Usiaku terpaut dua tahun dengannya. Di sekolah adikku termasuk anak yang pintar dan menjadi juara sedangkan aku harus mengulang atau tinggal kelas. Setelah tinggal kelas sebanyak dua kali akhirnya aku berhenti sekolah. Istilah kerennya drop out atau disingkat dengan DO. Saat itu usiaku sebelas tahun dan aku masih duduk di kelas tiga sekolah dasar sedangkan adikku sudah kelas lima meskipun usianya lebih muda dariku.

Karena kondisiku yang berbeda, bapak dan mamakku tidak tegaan dan banyak memberi kelonggaran padaku khususnya soal belajar. Mereka tidak memaksaku untuk belajar dan membiarkanku bermain. Bou kecik pernah protes soal ini sama bapak dan mamak tapi diabaikan. Akibatnya aku jadi terlena karena tidak harus belajar sehingga tidak bisa baca tulis sampai usia lima belas tahun lebih.

Begitu juga dengan pekerjaan rumah. Mereka lebih sering meminta adikku untuk melakukannya. Adikku yang biasa dipanggil Dedek adalah seorang yang baik hati. Dia banyak membantuku dalam mengerjakan tugas di rumah. Hampir semua pekerjaan rumah dia yang kerjakan. Dulu aku pernah dapat tugas mencuci piring tapi karena menurut Dedek kurang bersih akhirnya dia cuci ulang dan untuk seterusnya aku kebagian membersihkan rumah. Bou kecik juga pernah protes sama Dedek soal cuci piring ini. Kata Bou, ” Dedek, Kakak tetap perlu belajar supaya bisa cuci piring dengan bersih, bukannya dilarang-larang supaya Kakak bisa mandiri dan tidak tergantung pada Dedek, karena tidak selamanya Dedek bisa bantu Kakak”. Tapi aku sendiri senang karena tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah. Aku jadi manja, bahkan sering menyuruh-nyuruh adikku. Sampai akhirnya Bou kecik menegurku. Aku jadi bertobat dan belajar mengerjakan apa yang bisa aku kerjakan. Aku memang gak bisa membantah kalau Bou kecil yang ngomong. Karena memang sedari dulu hanya Bou kecik yang tegas padaku di saat yang lain membiarkanku.

Lalu perubahan terjadi. Aku ingat kejadiannya waktu bou kecikku pulang kampung ke rumah Ompung[6]. Bou memang merantau dan tinggal di provinsi Jawa Barat tepatnya di kota Bogor dan hanya pulang sekali setahun di bulan Desember. Waktu itu tiba-tiba Bou minta aku membaca,  aku tidak bisa. Diminta berhitung cuma lancar sampai angka dua belas selebihnya terbata-bata dan berhenti di angka dua puluh. Bou lalu geleng-geleng kepala dan berkata,” Gawat, Kakak belum lancar calistung di usia yang sudah hampir 16 tahun. Ini tidak bisa dibiarkan, Bou harus turun tangan untuk mengajar Kakak calistung untuk kebaikan Kakak di masa depan supaya Kakak tidak dibodohi orang dan bisa bertahan hidup”.

Lalu Bou pun memulai upaya untuk membuatku melek huruf dan bisa berhitung. Bou memulai proses belajar dari awal yaitu pengenalan huruf. Selama ini aku hanya bisa menulis nama panggilanku saja, sedangkan membaca sama sekali susah.

Sebenarnya aku mengenal semua huruf dengan baik kecuali beberapa huruf tertentu yang sulit aku bedakan khususnya huruf kecil seperti b, d, dan p. Begitu juga antara huruf h dengan n. Selama proses belajar tersebut, Bou akhirnya mengetahui tentang kesulitanku tersebut dan membantuku untuk bisa membedakan huruf tersebut dengan memberikan petunjuk seperti huruf b perutnya di depan, huruf d perutnya di belakang, huruf p perutnya di atas, huruf h tangkainya panjang dan huruf n tangkainya pendek. Aku mencoba mengingat dengan baik semua yang diajarkan Bou. Setelah dua hari penuh belajar mengenal dan menulis huruf, Bou menguji kemampuan menulisku dengan cara dikte. Bou menyebutkan huruf dengan acak dan aku menuliskannya. Bou merasa puas dengan hasil kerja kerasku dan menurut Bou tulisanku cukup bagus. Aku senang mendengarnya. Bou memang tidak pernah lupa memberi pujian untuk menghargai kerja kerasku dan kemajuan yang sudah kucapai demi menambah semangat belajar.

Selanjutnya pelajaran membaca. Menurut Bou pasti akan mudah karena aku sudah mengenal huruf dengan baik. Ternyata tidak. Ketika aku diminta Bou untuk mengeja aku bisa, namun ketika diminta menggabungkan huruf dengan huruf aku kesulitan. Contohnya Bou memintaku untuk mengeja tulisan roti dengan lancar, lalu aku menyebutkan r dengan o jadi ro, t dengan i jadi ti, ro dengan ti harusnya roti tapi aku tidak bisa. Aku bingung mau jawab apa dan Bou dengan sabar menunggu jawabanku. Akhirnya aku melihat gambar dan menyebut kue. Bou menatapku dengan wajah tak percaya ketika mendengar jawabanku. Ada ekspresi lucu namun sedikit sedih terpampang di wajahnya. Untungnya itu tidak mematahkan semangat bou untuk mengajariku malahan membuat Bou semakin tertantang. Bou bertanya kenapa aku tidak bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut dan apa yang kulihat. Jawabku hurufnya seperti lari-lari dan menolak untuk digabungkan. Setelah mendengar jawabanku, Bou mulai memahami alasan kenapa aku sulit untuk belajar membaca. Kata Bou kondisiku  ini disebut “disleksia[7]” berdasarkan literatur yang dibaca beliau.

Dalam pelajaran membaca, Bou juga menemukan satu kendala besar yang menghalangi kemajuanku yaitu aku tidak bisa belajar lebih dari satu jam dan hanya bisa konsentrasi di tiga puluh menit pertama. Setelahnya aku akan mulai merasa tertekan dan semakin sulit untuk menggabungkan huruf-huruf tersebut dan semakin tidak bisa membedakan huruf b dengan d dan p serta huruf h dengan n. Setiap kali ditanya aku mulai menebak-nebak.

Lalu, menurut Bou, aku mulai ber”acting” seolah olah aku sudah sangat bekerja keras dan berusaha sekuat mungkin untuk menguasai pelajaran membaca namun memang tidak mampu untuk memancing rasa iba dari Bou dan segera menghentikan proses belajar karena tidak tega melihatku. Bou memang menghentikan proses belajar setelah satu jam tapi bukan karena tidak tega melainkan  karena menyadari bahwa proses belajar selanjutnya tidak akan efektif karena aku sudah tidak mampu melanjutkan pelajaran. Kata Bou, ”Sekarang Bou tahu kenapa Kakak belum bisa calistung hingga saat ini dan dibiarkan saja karena ternyata mereka semua tidak tega melihat kakak menderita”. Tapi Bou berbeda, lebih baik Kakak menderita sekarang daripada menderita di kemudian hari. Seperti kata pepatah, ”Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Semua ini Bou lakukan untuk kebaikan Kakak sendiri”. Kata-kata ini selalu kuingat dan kuulang-ulang khususnya ketika rasa lelah dan ingin menyerah datang.

Sayangnya Bou cuma punya waktu yang singkat untuk mengajariku secara intensif, hanya 10 hari. Selanjutnya Bou harus Kembali ke Bogor karena masa cuti sudah habis. Bou titip pesan padaku untuk terus belajar dan meminta bapakku untuk melanjutkan proses belajarku. Namun tidak berjalan karena Bapakku tidak tegaan. Proses kemajuanku berhenti sampai di sini.

Pulang kampung berikutnya, Bou melanjutkan proses belajarku. Saat itu usiaku hampir 17 tahun karena aku berulang tahun di bulan April. Bou membawakan beberapa buku cerita bergambar sebagai alat mengajar. Kali ini ”Ompung boru[8] ikut membantu proses belajar. Ompung adalah seorang pensiunan guru sekolah dasar. Ompung mengajariku membaca suku kata yang terdiri dari dua sampai tiga huruf. Ompung menggunakan kalender bekas sebagai alat bantu belajar. Dalam waktu singkat aku  mulai lancar membaca suku kata yang dibuat Ompung. Setelahnya Ompung juga menguji kemampuanku dengan menunjuk secara acak suku kata tersebut dan aku membacakannya. Ompung dan Bou puas dengan kemajuanku dan aku kembali merasa senang dan bangga atas kemajuan yang telah kucapai.

Waktu berlalu dengan cepat dan tak terasa masa cuti Bou hampir berakhir dan harus segera kembali lagi ke Bogor. Kali ini Bou tidak ingin kemajuan yang sudah kucapai terhenti. Belajar dari pengalaman sebelumnya. Bou melanjutkan proses belajar secara online melalui video call setiap akhir pekan selama satu jam dengan bantuan adikku sebagai asisten Bou untuk memeriksa hasil pekerjaanku apakah sudah benar atau tidak.

Menjelang hari ulang tahunku yang ke 17, Bou Kembali melakukan video call di akhir pekan sebagaimana biasanya. Kali ini Bou memintaku untuk membaca buku cerita yang pernah dipelajari sebelumnya. Akupun membacanya seperti biasa dengan mengeja hurufnya. Lalu Bou memintaku untuk mengulangi membaca dengan melakukan pengejaan di dalam hati. Meskipun lebih lambat tapi aku berhasil membacanya. Bou merasa senang dan memintaku mengulang kembali dan kali ini Bou merekam suaraku yang sedang membaca. Bou bilang mau dikirim ke Bapak sebagai bukti alias pamer soal aku yang sudah bisa membaca. Bou dan Dedek bertepuk tangan setelahnya karena bangga padaku.

Aku bersyukur karena sekarang sudah bisa membaca dan menulis. Ini adalah hadiah ulang tahun paling istimewa dalam hidupku.  Namun proses belajarku tidak berhenti di sini karena masih banyak yang harus kupelajari. Bou pun masih setia melakukan video call untuk pelajaran berikutnya yaitu berhitung yang dimulai dengan yang sederhana. Sekarang aku sudah bisa berhitung, penjumlahan, pengurangan, dan perkalian sampai 10.  Untuk pembagian aku belum belajar sampai dengan cerita ini dibuat.

Bouku emang top dan aku bersyukur memilikinya. Di saat semua orang menyerah untuk mengajariku Bou tetap gigih. Aku ingat pernah satu kali dihukum jentik telinga oleh Bou karena tidak mau belajar. Waktu itu Bou memberiku pilihan mau belajar atau dihukum jentik telinga dan dengan keras kepala aku minta dijentik telinga. Aku ditanya berkali-kali dan jawabanku tetap sama. Jadilah telingaku dijentik beberapa kali. Aku akhirnya sadar bahwa tidak ada gunanya aku menolak belajar dan pertanyaan berikut aku menjawab belajar. Bou cerita bahwa sebenarnya Bou sangat menentang hukuman fisik tapi saat itu Bou terpaksa melakukannya walaupun dengan berat hati karena harus melanggar prinsipnya. Untungnya berhasil membuatku belajar. Belakangan  Bou mengaku dan berkata, ”Kak, sebenarnya Bou merasa bersalah dan menyesal karena sudah menjentik telinga Kakak. Itu termasuk salah satu hal yang paling berat yang pernah Bou lakukan”.

Aku berharap teman-teman yang belum bisa calistung di luar sana tidak menyerah. Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali dan jangan ragu-ragu untuk memulainya. Aku juga berdoa supaya teman-teman memiliki orang-orang yang mendukung kalian seperti Bou kecik yang mendukungku.

Sekian dulu ceritaku, semoga teman-teman menyukainya. Salam sejahtera buat kita semua.


[1] Bou adalah singkatan dari kata namboru dalam bahasa Batak yang merupakan panggilan bagi saudara perempuan dari bapak.

[2] Batak merupakah salah satu suku yang berada di daerah Sumatera utara.

[3] Anak panggoaran: adalah Bahasa Batak yang artinya nama si anak menjadi panggilan bagi orang tuanya yaitu bapak Tina dan mamak Tina.

[4] Pahompu panggoaran: adalah Bahasa Batak yang artinya nama si anak menjadi panggilan bagi kakek neneknya yaitu ompung Tina.

[5] Lasak adalah istilah yang diberikan kepada anak atau orang yang banyak gerak dan tidak bisa diam.

[6] Ompung adalah panggilan dalam bahasa Batak bagi kakek atau nenek.

[7] Disleksia adalah kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan belajar yang menyebabkan masalah pada proses menulis, mengeja, berbicara, dan membaca. Kondisi ini termasuk dalam gangguan saraf di bagian batang otak yang berfungsi memproses Bahasa (dikutip dari https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-disleksia).

[8] Ompung boru adalah panggilan dalam Bahasa Batak untuk nenek. Dalam cerita ini adalah dari garis bapak.