Lompat ke isi

Kasih Ibu kepada Anak Penderita Asma

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Karya : Sidiq Winiaji (Abu Abdurrohman)

Sarah, seorang gadis yang hidup di London, Inggris sebelum perang dunia ke dua. Saat ini sedang berjuang melawan penyakit asma yang ia derita sejak ayahnya menjadi perokok akut. Tahun 1938, sebelum perang dunia II

Sarah adalah satu dari sekian imigran dari negeri persemakmuran. yang pergi ke negeri merkantilisme, mencari keberuntungan dari kemewahan dan kemudahan negeri tersebut. Revolusi industri membuat semua orang sibuk untuk bekerja di kota-kota besar. Hingga terpikirlah Sarah dan keluarganya kembali pindah dari desa Livingstone, kali ini dalam rangka urbanisasi ke London.

“Sayang, keperluan kita saat ini tidak cukup hingga musim dingin sebulan lagi, bagaimana jika kita pindah kota London?” Pinta ibunda Sarah sembari mengupas gandum dari kulitnya secara manual dengan alat lesung mini yang ia bawa dari tanah kelahiran.

“Aku tidak punya keterampilan apapun, Liyn, jika tidak cakap dalam pekerjaan aku takut menjadi gelandangan disana..” Ayah Sarah gusar sembari menyalakan cerutu kualitas buruk, setelah melihat nasib kawannya menjadi gelandangan kota Mancester dan kini dibuang kembali ke negara persemakmuran Inggris oleh polisi kedisiplinan Inggris.

“Sayang kurasa ini bisa menolong kita di London, kita gunakan untuk hidup 3 bulan sembari anda belajar menempa keterampilan.” Gelang emas berpermata topaz kekuningan ia lepas dari tangan kanannya sambil meyakinkan suaminya, Sahl.

“Jangan kau jual Liyn, itu salah satu peninggalan nenekmu yang berharga. Tidak ada salahnya disana kita berhutang dahulu sampai kita mandiri?” Hibur Sahl sambil melempar pandangan ke arah hewan ternak yang kini tengah mereka garap.

“Semoga Allah menolong kita semua”, Liyn mengacungkan jari telunjuk ke atas langit dan memeluk Sarah dengan tangan kiri yang mulai kumat batuk dan sesak napasnya, meskipun adiknya si Lukman yang mengerti betapa berat sakit yang dirasakan Sarah.

....

Pemandangan padang rumput dan ratusan pohon birch terhampar di sepanjang mata memandang. Sarah hanya bisa melihat dari jauh, Lukman dan teman-temannya naik pohon birch, sambil menutup muka dengan kain wol yang mulai kusam.

“Ngomong-ngomong kamu ingin pindah dari sini Luck?” Tanya temannya, Robin sambil bergelantungan di dahan pohon birch sambil bermain harmonika.

“Iya..” Jawab Lukman sambil melamun bingung entah apa yang akan ia lakukan disana.

“Kota besar tidak seramah nyonya Rusie... Luck, engkau harus peras otakmu supaya bisa hidup tanpa meminta-minta.” Jack berayun-ayun di dahan pohon birch hingga kakinya sampai di bawah tanah.

“Aku khawatir dengan kakakku, kawan.. Dia terkena asma setelah kuamati kesekian-kalinya.” Lukman melompat dari pohon hingga suara sepatunya terdengar sampai mengagetkan domba-domba yang ia gembalakan.

“Maaf LuckMan, aku sungguh prihatin, semoga Tuhan menjaga kalian. Pakailah topi ini..” Rick melempar topi flatnya hingga terpakai oleh kepala Lukman.

“Kalian juga kawan, sampai jumpa di masa depan!” Lukman melambai dan beranjak pulang ke rumah membantu orang tuanya mempersiapkan segala yang dibutuhkan ke kota London....

Desa yang telah lama membesarkan Lukman dan Sarah harus rela ditinggalkan demi asa yang membumbung tinggi. Kenangan di sungai Almond yang jernih mereka patri dan diukir dalam kasih sayang di dalam sanubari mereka. Setelah sholat istikaroh, mereka berempat meninggalkan desa Livington, membawa rindu yang menjadi penghangat musim dingin yang akan mereka lalui.

.....

Perjalanan hampir 3 hari dengan kereta kuda milik paman Heny. Kemudian mereka sampai di pinggir kota yang begitu pengap dengan suasana riuh ramai orang yang berlalu lalang pergi bekerja.

“Aku mohon jualkan hewan ternakku, dan rumah beserta tanah disana tuan Heny..” Pinta ayah Sahl

“Siap, sobat...Ini ambillah...” chek itu diambilah oleh Sahl dan kaget luar biasa, 100.000 poundsterling!

“Tidak usah dikembalikan, biar nanti diganti dengan hasil penjualan hartamu di desa.” Perkataan tuan Heny membuat hati Sahl mengembang begitu senangnya atas bantuan yang tidak terduga.

“Terimakasih kawanku,” Sambil memeluk erat tuan Heny, sedang dirinya berusaha menyembunyikan tetes air mata kebahagiaan terhadap beliau.

Kemudian Sahl, Liyn, Lukman, dan Sarah, mencari hunian kosong murah untuk membuka usaha yang selama diperjalanan sudah dipikirkan matang-matang, industri rumahan pembuatan roti jahe dengan resep rempah milik leluhur Liyn.

Selama berbulan-bulan usaha Sahl mengalami kemajuan yang lumayan beruntung, banyak pegawai yang melamar kerja karena banyaknya pembeli yang membeli kue jahe yang begitu nikmat dikala santai liburan kerja, tentunya ditemani si manis teh hitam.

Namun keberuntungan keluarga Sahl berbanding lurus dengan penderitaan Sarah yang semakin berat terkena penyakit asma. Saat dahak merah terciprat di lantai rumah, barulah tahu dosa Sahl yang pantas di balas.

“Sayang, aku takut akan menyinggung anda, tetapi penyakit Sarah sudah kronis. Berhentilah merokok!” Liyn begitu takut jika suaminya tidak mencintainya setelah nasehat yang ia lontarkan kepadanya.

“Kenapa tidak bilang dari dahulu?” Marah Sahl. “ Ayo kita ke klinik kesehatan.” Sahl begegas mengambil mantel jas yang berwarna coklat tua..

“Uhukk..(sambil menutup mulut dengan kain slayer). aku tidak apa-apa Ayah, ayah hanya perlu sabar supaya Allah menyembuhkan ananda.”

“Demi Allah! Aku berhenti merokok!” tegas Sahl.

....

Setelah pulang dari klinik, Sarah divonis terkena bronkitis dan hanya beberapa bulan saja menunggu kematian. Antibiotik hanyalah harapan yang sia-sia dibanding perlawanannya terhadap udara pengap pabrik-pabrik di London hasil pembakaran batubara.

... Tahun 1939

Suara sirinie terdengar dimana-mana, terlihat ribuan pesawat stuka Jerman melintasi langit London membawa bom-bom yang ia targetkan ke arah pabrik-pabrik militer dan non-militer. “Berlindung!!” seorang prajurit garnisun berlari meniup-niup peluit, mengajak seluruh penduduk segera berlari ke gedung besar pabrik kain tenun yang terlihat kokoh.

“Ayah, siapa mereka?” tanya Lukman yang sedari tadi ikut mengantar cek lab kakaknya, Sarah.

“Nazi! tidak mengapa, ada banyak pesawat RAF yang mengejar mereka. Pasti semua akan berakhir cepat. “Bagaimana ibu???” tanya Sarah panik.

“Semoga Allah menjaganya.” Ayah Sahl mencoba menenangkan kedua anaknya.

Bombardir dari pesawat bomber dan stuka Nazi terhadap seluruh gedung-gedung penting kota hampir membuat rata kota London. Banyak yang meninggal karena tertimpa reruntuhan. Banyak juga yang terluka, entah karena tertimpa bangunan atau terkena peluru nyasar. Mereka bertiga mengendap endap kembali ke rumah untuk melihat bagaimana kondisi rumah usaha dan ibunda mereka.

Bukan kepalang, rumah mereka selamat dari pengepungan operasi singa laut, namun ibunda mereka terkena peluruh nyasar bagian perut saat mengajak orang-orang pergi ke dalam rumah kami yang memiliki ruangan bawah tanah.

“Nyonya Liyn! Bangun ayolah, jangan menyerah!” terdengar isak tangis setiap yang terselamatkan dari pematik perang dunia 2.

Setelah kepayahan berlari mencari jalan pulang, kemudian mereka bertiga sampai ke kediamannya, melihat Liyn sekarat, meneteslah air hangat yang membasahi pipi mereka.

“Liyn,, Liynn!!, Berjuanglah, akan ku antar kamu ke rumah sakit dengan mobil.” Sahl mencoba tenang atas apa yang menimpa istri tercintanya.

“Tidak apa-apa, ambilah ini.. (menjulurkan gelang berpermata topas kekuningan), semoga ini bisa membantu kita menolong Sarah..” Tangan Liyn yang semakin dingin menjadi tanda perpisahan terakhir dengan dunia

“Liyn!!” Teriak Sahl.

“Tolong maafkan aku, sayangku, aku membutuhkan maafmu dihadapan Allah kelak.” Rintih Liyn

“Jangan pergi Liyn! Aku mencintai segala kekuranganmu..” Sahl tidak tahan menahan air matanya.

“Ucapkan kalimat tahlil bunda..” Lukman berusaha meraih tangan ibunya mendekap ke dadanya.

“Laa illa ha illallah...” Iris mata Liyn pun menjadi pucat. Meninggal dunia.

Itulah kalimat terakhir yang terdengar membahagiakan bagi mereka bertiga. Setiap jiwa pasti akan mati. Dan harapan mereka adalah menggapai ampunan-Nya dan keridhoan-Nya.

Jenazah Liyn hanya bisa ditutup dengan selimut kain wol yang mereka miliki, menunggu selama seminggu hingga serangan bertubi-tubi di langit London usai.

“Baiklah, aku akan ikut berperang dengan sekutu. Lukman.. jagalah Sarah, juallah perhiasan ibundamu kepada Tuan Alex, aku berperang hanya karena membela keadilan dan mengeyahkan penindasan. Semoga Allah menolong orang-orang yang sabar.”

“Baik Ayah” Jawab Lukman.

....

Bertahun-tahun Sahl berperang di garis depan medan tempur Eropa. Surat menyurat tidak bisa ia lakukan, takut rencana bocor ke tangan musuh.

Sepeninggal ayahnya, Lukman pun rajin pergi ke perpustakaan kota dan mulai menjalin hubungan dengan kontraktor bangunan. Rencananya adalah membuat proyek besar setelah menerima uang yang sangat banyak hasil peninggalan perhiasan ibunya. Membuat rumah kaca di atas loteng rumahnya yang luas, yang berisi tanaman daun mint, daun sirih, sansivera, tanaman bunga-bunga yang harum, dan berbagai tanaman yang menyehatkan pernapasan kakaknya, Sarah.

Hari-hari Sarah semakin bersinar dan mulai melepas kain slayer yang memfilter pernapasannya, udara segar yang ia rasakan di pagi hari di loteng mengingatkan hari-harinya di desa Livington. Setelah dicek lab, ternyata Sarah sembuh total setelah berjuang 4 tahun lamanya.

“Ayo kakak, kita mulai lagi bisnis kue jahe milik kita dahulu.” Ajak Lukman yang semakin hari semakin terlihat dewasa.

“Adikku yang baik, bersabarlah, kita belum bisa membuatnya” jawab Sarah lugas.

“Ayolah, kita bisa belajar dari kertas resep yang kutemukan ini...” Seringai Lukman penuh ambisi.

“Wow, engkau memang anak yang beruntung.” Sambil mengacungkan jempol 2

....

Tahun 1945

“Aku pulang...” Ayah Sahl mengetuk pintu dan membawa banyak medali di pakaiannya..

“Ayyaaah!!!!” Mereka berdua terharu atas kehadiran ayahnya dan memeluknya begitu dalam.

“Sarah, apakah engkau sudah sehat?” Tanya Sahl penuh antusias..

“Alhamdulillah, sudah Ayah.” Jawab Sarah dengan rasa senang.

“Syukurlah, berarti engkau harus menikah segera, hehehe” Senggolan sikut ayahnya mengenai pundaknya.

“Aku bingung dengan siapa ayah, aku menikah?” Tanya Sarah menunduk lesu.

“Aku punya kenalan anak lelaki yang baik agamanya yang aku kenal saat berjuang berperang bersama. Besok akan aku ajak kesini, mudah-mudahan engkau akan bahagia bersamanya..”

“Terima kasih ayah..” Jawab Sarah dengan riang gembira

Setelah beberapa hari perkenalan, Sarah pun mencintainya dan pemuda itupun juga mencintainya karena Allah. Akhirnya mereka menikah dan memiliki banyak anak.

Bagaimanapun rasa kebahagian yang mereka rasakan kini, masih tersimpan rasa rindu terhadap ibunda mereka, Liyn, yang telah lelah berjuang selama ini merubah nasib mereka menjadi lebih baik, dengan doa dan kasih sayang.