Katalog Permainan Tradisional Indonesia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Permainan tradisional adalah permainan permainan yang lahir dari kebiasaan masyarakat setempat. Pada zaman dahulu, masyarakat menghibur diri dengan membuat permainan tradisional.[1] Permainan tradisional biasanya menggunakan alat dan bahan yang mudah didapatkan di masing-masing daerah.

Maka dari itu, permainan tradisional dipengaruhi oleh alam lingkungannya dan sesuai dengan kondisi daerah setempat. Hal ini membuat Indonesia memiliki beragam permainan tradisional sesuai dengan daerah masing-masing. Namun, terkadang permainan tradisional di setiap daerah di Indonesia memiliki kemiripan meski namanya berbeda-beda.

Permainan tradisional memiliki manfaat bagi perkembangan fisik, sosial, emosi, dan untuk mengasah keterampilan. Selain itu, dalam permainan tradisional, anak belajar bergaul, bekerja sama, mematuhi peraturan, dan menghargai kemenangan orang lain. Manfaat permainan tradisional juga bisa membuat tubuh anak menjadi bugar karena bergerak kian kemari.

Misal, aktivitas anak-anak dalam permainan loncat karet yang juga berguna untuk merangsang perkembangan saraf motorik anak. Menurut psikolog anak Prof. Utami Munandar, anak yang tidak mendapat kesempatan bermain di luar Bersama teman-temannya akan kurang terampil dalam interaksi sosial. “Dia akan lebih senang menyendiri,” kata Utami. [2]

Permainan tradisional Sumatera[sunting]

Pecah-pecah Piring[sunting]

Pecah-pecah Piring adalah permainan tradisional yang berasal dari Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. [3]Permainan tradisional ini bisa dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa dalam bentuk kelompok. Pecah-pecah Piring biasanya dimainkan saat sore hari.

Permainan tradisional ini menggunakan batu-batu berbentuk pipih atau datar. Batu-batu ini kemudian disusun rapi di tanah. Jumlah batu-batu yang disusun sesuai dengan kesepakatan kedua kelompok.

Setiap kelompok lalu bergantian melempar batu-batu dengan bola. Jika tidak ada bola kasti atau bola tenis, bisa menggunakan bahan yang lebih mudah didapat, seperti kantong plastik yang digumpalkan dan diikat karet gelang hingga membentuk bola. [4]

Cara bermain pecah-pecah piring:

  • Peserta dibagi dalam dua bagian. Setelah diundi, akan ada kelompok pemecah susunan piring. Lainnya akan menjadi kelompok yang berjaga.
  • Anggota kelompok pemecah bergantian melemparkan bola ke arah susunan piring dari garis batas yang ditentukan. Bila tak ada yang berhasil memecahnya, giliran kelompok lain yang menjadi pemecah.
  • Jika susunan berhasil dipecahkan, kelompok pemecah akan berusaha menyusunnya kembali untuk memenangkan permainan. Tapi itu bukan hal yang mudah, karena setelah piring berantakan, bola menjadi hak kelompok bertahan. Mereka akan berusaha melempar anggota kelompok lawan yang tengah berusaha menyusun kembali piring.
  • Jika anggota kelompok pemecah terkena bola, posisi berganti. Tim bertahan menjadi kelompok yang berhak menyusun piring, meskipun hanya tersisa satu kepingan yang belum tersusun.
  • Tim yang berhasil menyusun kembali semua pecahan seperti semula akan memenangkan permainan.

Untuk permainan ini diperlukan kecepatan dan kegesitan guna menghindari bola, kerja sama tim, juga kejujuran.

Batu Marsiada[sunting]

Batu Marsiada adalah permainan menggunakan batu-batu kecil. Batu Marsiada adalah permainan tradisional yang berasal dari Sumatera Utara dan masih banyak dijumpai di daerah Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara. [5]

Permainan ini bisa dimainkan oleh satu orang maupun berkelompok. Setiap orang harus memiliki 10 batu kecil. Biasanya, anak-anak bermain Batu Marsiada di lantai rumah ataupun tanah.

Ketika melempar batu kecil, pemain tidak boleh menyentuh batu yang lain. Batu Marsiada ini selain melatih ketangkasan tangan, tetapi juga mampu mengasah keahlian dalam berhitung.

Cara bermain batu marsiada adalah sebagai berikut:

  • Pertama, menentukan siapa yang akan bermain terlebih dahulu.
  • Kemudian, kelima batu diserak secara perlahan, lalu satu batu dijadikan semacam gacok. Sisanya diambil secara dua demi dua.
  • Ketika batu satu dilempar ke udara dan di saat bersamaan pemain harus mengambil batu yang sudah diserak sebelum batu yang dilemparkan tadi terjatuh.
  • Keempat batu yang sudah ada dalam genggaman dilemparkan ke udara untuk membalik telapak tangan sehingga batu tersebut bisa mendarat di telapak tangan bagian luar. Pembalikan telapak dilakukan selama menunggu batu satu yang dilemparkan ke udara lebih awal jatuh.
  • Selanjutnya, batu-batu yang berada di telapak tangan bagian luar, akan dilemparkan kembali untuk ditangkap.
  • Jika pemain berhasil menangkap semua batu tersebut, maka ia mendapat angka 5, sesuai dengan biji yang diundi.

Lulu Cina Buta[sunting]

Lulu Cina Buta adalah permainan tradisional yang berasal dari Kabupaten Indera Hilir, Provinsi Riau. Lulu Cina Buta adalah permainan tradisional dengan menggunakan sebuah kain untuk menutup mata. Permainan tradisional ini dilakukan oleh tiga orang atau lebih.

Permainan Lulu Cina Buta diawali dengan hompimpa untuk memilih satu pemain yang ditutup matanya. Si pemain yang ditutup mata itu akan berjalan mencari para pemain lain. Dia akan menebak siapa pemain yang telah ditangkapnya.

Konon, permainan ini dibuat berdasarkan kisah cerita turun temurun, tentang seorang beretnis Cina yang matanya buta. Menurut cerita, ia kemudian masuk Islam, dan dijadikan Nuja (pesuruh) masjid. Saat itu pula, ada seorang suami istri yang telah tiga kali cerai (talak tiga) namun ingin rujuk.

Menurut hukum Islam, orang yang telah bercerai jatuh talak tiga jika ingin rujuk, maka sang istri harus kawin sementara dulu dengan orang lain. Setelah cerai dengan suami sementara itu, barulah sah rujuk kembali dengan suami sebelumnya. [6]

Cara bermain Lulu Cina Buta:

  • Permainan diawali dengan ompiong dan sut
  • Yang jadi” adalah yang kalah sut terakhir.
  • Kedua mata “Yang jadi” ditutup dengan sapu tangan atau kain. Dan selanjutnya harus dapat menebak kawannya. Jika tebakannya tepat maka dia akan menjadi “Yang jadi”
  • Posisi pemain berdiri mengelilingi yang jadi, sambil menyanyikan lagu

Lulu cina cuta

Lu banyak tai mata

Sekilo dua kilo

Tak dapat dibagi dua

Lu buta cari saya

  • Selesai menyanyikan lagu “Yang jadi” akan berusaha menemukan dan menebak temannya, jika benar maka “yang jadi” bergantian. Demikian seterusnya hingga berakhir permainan [7]

Adu Buah Para[sunting]

Adu Buah Para adalah salah satu permainan tradisional dari Kabupaten Lingga, Provinsi Riau.[8] Nama Adu Buah Para diambil karena permainan ini dilakukan dengan cara mengadu buah para atau getah. Peralatan yang digunakan dalam permainan ini berasal dari pohon para/getah.

Pohon ini menghasilkan buah dan biji yang dibiarkan jatuh begitu saja setiap saat. Biji buah getah yang berjatuhan ini kemudian diambil oleh anak-anak dan digunakan untuk bermain Adu Buah Para.

Di Kabupaten Lingga permainan ini dimainkan oleh anak laki-laki karena memerlukan tenaga dalam mengadu buah para/getah milik lawan hingga pecah. Permainan ini dapat dimainkan minimal 2 orang.

Cara bermain adu buah para:

  • Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyiapkan buah para/getah lebih dari satu buah.
  • Kemudian untuk menentukan orang yang akan melakukan aduan dengan cara sut, pemenang sut akan mengambil satu buah miliknya dan satu buah milik lawan.
  • Kedua buah para/getah diletakkan di kedua telapak tangan dengan posisi buah saling dilekatkan. Pelaku aduan mengerahkan seluruh kekuatannya di telapak tangan untuk adu buah.
  • Jika salah satu buah milik pemain mengalami pecah atau hancur maka dianggap kalah. Selain itu juga bisa dimainkan dengan cara dipukul.  
  • Caranya, buah milik pemain dan lawan masing-masing satu buah diletakkan di lantai saling timpa, satu atas dan satu di bagian bawah.
  • Lalu pemain memukul dengan menggunakan tangan hingga salah satu buah tersebut kalah atau pecah.

Permainan tradisional Jawa[sunting]

Ancak-ancak Alis[sunting]

Ancak-ancak Alis adalah permainan tradisional yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Ancak-ancak Alis memperkenalkan anak pada proses menanam padi hingga menjadi nasi. Ancak-ancak Alis setidaknya sudah dikenal sejak tahun 1912.

Hal itu terbukti bahwa sudah disebut dan dideskripsikan dalam naskah kuna Serat Javaansche Kinderspelen karya R. Soekardi alias Prawira Winarsa yang terbit pada tahun 1912. [9]

Kata “ancak” dalam bahasa Jawa menunjuk pada sebuah alat penyelenggaraan ritual, terbuat dari anyaman bambu berbentuk bujur sangkar dengan pembatas tepi berupa debog (pelepah daun pisang). Alat ini biasa digunakan untuk tempat meletakkan sesaji dan biasa digunakan untuk “bancakan”.

Sementara, kata “alis” merujuk pada seekor kerbau dhungkul. Kerbau dhungkul adalah sebutan bagi seekor kerbau yang tanduknya melengkung ke bawah menempel di kepala, mirip seperti “alis” atau rambut yang tumbuh melengkung di atas mata.

Ada dua tembang atau lagu yang digunakan dalam permainan Ancak-ancak Alis, berikut lagunya:

Lagu I:

Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan,

anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul

kapan gawene, tiga rendheng, cengenceng gogok beluk, unine pating

cerepluk. ula sawa ula dumung gedhene

saklumbung bandhung, sawahira lagi apa?

Lagu II:

Menyang pasar kadipaten leh-olehe

jadah manten, menyang pasar Kadipala

leh-olehe apa.

Cara bermain Ancak-ancak Alis:

  • Mula-mula anak-anak berkumpul untuk bermain bersama.
  • Di antara anak-anak tersebut dipilih dua orang anak, untuk berperan menjadi lawang seketeng atau gapura belakang. Cara pemilihan dua orang anak tersebut dengan hompimpah atau diundi.
  • Jika sudah mendapatkan dua anak yang terpilih untuk menjadi “gapura pintu belakang”, sebut A dan B, dua anak tersebut berdiri berhadapan. Kedua tangannya diacungkan ke atas, kedua telapak tangannya saling disentuhkan ke tangan lawannya.
  • Sementara anak-anak yang lain berdiri beriringan, urut dari depan ke belakang, dengan tangan masing-masing memegangi pinggang atau punggung anak yang berada di depannya. Formasi ini seperti saat bermain ular naga.
  • Selanjutnya A dan B mendendangkan tembang “Ancak-ancak Alis” bagian satu.
  • Lalu, anak-anak lainnya yang sudah berbaris menerobos terowongan, berbelok ke kanan, mengitari anak yang menjadi tiang gapura.
  • Lalu berbelok ke kiri dan mengitari terowongan. Begitu seterusnya. Perjalanan anak-anak lainnya seolah-olah membentuk angka delapan, mengelilingi A dan B secara bergantian.
  • Ketika syair tembang sampai pada akhir bait, sampai pada kalimat pertanyaan “sawahira lagi apa” (sawahnya sedang apa), perjalanan C dkk berhenti, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:

C dkk. : dhog...dhog...dhog...dhog, njaluk lawing (mengetuk....minta pintu)

A & B : Arep menyang ngendi? (mau ke mana)

C dkk. : Menyang sawah (ke sawah)

A & B : Sawahe lagi apa (sawahnya sedang apa)

C dkk. : Lagi ngluku (sedang membajak)

  • Selanjutnya A dan B kembali mendendangkan tembang “Ancak-ancak Alis”, sedangkan C dkk. kembali beriring-iringan masuk ke terowongan dan diulang sama seperti sebelumnya.
  • Setelah lagu habis, C dkk. kembali berhenti di depan pintu gapura (A dan B), selanjutnya Kembali berdialog seperti sebelumnya. Bedanya, dalam akhir pertanyaan dari A & B “sawahira lagi apa”(sawahmu sedang apa), dijawab oleh C dkk,“lagi nggaru”.
  • Begitu seterusnya, setiap ditanya “sawahira lagi apa”, jawabannya diurutkan: “lagi nyebar”; “lagi ndhaut”; “lagi tandur”; “lagi nglilir”; “lagi ijo”; “lagi matun”; “lagi meteng”; “lagi nyanguki”; “lagi mecuti”; “lagi ambrol”; “lagi njebut”; “lagi mratak”; “lagi temungkul”; “lagi bangcuk”; “lagi kuning”; “lagi tuwa”; “lagi nyajeni”.
  • Ketika sampai pada jawaban “lagi nyajeni” (sedang memberi sesaji), C dkk. pura-pura akan pergi ke pasar. Tembang yang didendangkan ganti lagu II.
  • Pada saat itu A dan B membuat kesepakatan rahasia tentang pilihan oleh-oleh yang akan ditanyakan kepada C dkk., misalnya, A gelangB kalung, A buah B roti, A jadah B wajik, dan sebagainya, yang hanya diketahui oleh A dan B.
  • Pada akhir tembang II, ketika sampai pada kalimat “leh-olehe apa” (buah tangannya apa), tangan A dan B saling berpegangan lalu diturunkan untuk mengurung siapa pun yang berada tepat di hadapannya.
  • Anak yang terkurung tersebut kemudian dibisiki, disuruh memilih di antara dua jenis ‘buah tangan’ yang sudah ditetapkan oleh A dan B.
  • Misalnya, dua pilihan tersebut adalah “gelang apa kalung”, jika anaknya memilih ‘gelang’, selanjutnya ia menjadi pengikut A, lalu disuruh berdiri di belakang A.
  • Jika memilih ‘kalung’, ia menjadi pengikut B, disuruh berdiri di belakang B.  Begitu seterusnya hingga rombongan petani tinggal 1 orang.
  • Setelah tembang habis, pada saat A dan B mengurung anak terakhir, terjadi dialog demikian, (A & B) : dikekuru dilelemu dicecenggring digegering. Dadi kidang lanang apa kidang wedok. Yen kidang lanang mlumpata, yen kidang wedok mbrobosa. (dibuat kurus dibuat gemuk dibuat sengsara dibuat sakit. Menjadi kijang jantan atau kijang betina. Kalau kijang jantan melompatlah, kalau kijang betina menyusuplah)
  • Pada saat itu anak-anak yang sudah ditangkap terlebih dahulu bersiap akan mengurung perjalanan anak yang baru saja ditangkap, yang akan menjadi kijang, dengan cara berjajar di sebelah A dan B, dengan kedua tangan diangkat, jari-jemarinya saling disentuhkan dengan jari jemari lawan, seperti halnya A dan B.
  • Mereka bersiaga. Kalau anak yang dikurung menjawab kidang lanang (kijang jantan), anak-anak yang lain segera bergandengan tangan dengan teman di kanan-kirinya membentuk lingkaran. Gandengan tangannya diangkat tinggi-tinggi agar anak yang dikurung tidak bisa melompatinya.
  • Jika anak yang dikurung menjawab kidang wedok (kijang betina), gandengan tangan direndahkan serendah-rendahnya agar anak yang dikurung tidak bisa menerobosnya.
  • Pada saat itu, anak yang dikurung dalam menjawab pertanyaan dengan penuh kewaspadaan, memperhatikan anak-anak yang mengurung, mencari lengahnya anak-anak yang mengurung agar bisa keluar dari kurungan.
  • Dalam hal itu anak yang dikurung bisa menjawab secara berganti-ganti, menjadi ‘kijang jantan’ atau ‘kijang betina’, melihat situasi dan kondisi.
  • Sebaliknya, anak-anak yang mengurung juga senantiasa waspada.
  • Jika anak yang dikurung menjawab ‘kijang jantan’, gandengan tangan seketika dinaikkan, jika yang dikurung menjawab ‘kijang betina’, gandengan tangan seketika direndahkan.

Benthik[sunting]

Benthik adalah permainan tradisional dari Jawa, terutama dari DI Yogyakarta. Benthik biasanya dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan. Permainan ini bisa dilakukan secara berkelompok maupun hanya dua orang saja. [9]

Tidak diketahui siapa yang menciptakan nama Benthik. Namun, konon kata “benthik” mengandung arti benturan. Bunyi “thik” dihasilkan dari benturan peralatan permainan berupa batang induk dan anakan yang terbuat dari kayu atau bambu. Hingga kemudian, permainan ini populer disebut benthik.

Bahan:

  • Stik pendek dari ranting pohon dengan panjang sekitar 20 cm sebagai anakan
  • Stik panjang dari ranting pohon dengan panjang sekitar 30 cm sebagai babon
  • Membuat lowokan atau tanah digali dengan kedalaman 8 cm, lebar 6 cm, dan panjang 15 cm [10]

Cara bermain:

  • Benthik dimainkan oleh dua orang tim dengan minimal tim berjumlah satu anak. Masing-masing menyiapkan dua stik dan membuat lubang untuk stik.
  • Kemudian diundi, regu mana yang main dahulu. Pemain yang mendapatkan giliran bermain lebih dulu.
  • Permainan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, mencungkil stik anakan dari lubang. Tahap kedua meletakkan anakan pada lubang dengan posisi anakan tegak miring sekitar 50 derajat.
  • Kemudian ujung anakan dipukul dengan babonan. Tahap ketiga, anakan dan babonan dipegang dengan satu tangan.
  • Lalu, dengan tangan tersebut anakan dilepas sambil dilempar sedikit ke atas, lalu dipukul menggunakan babonan.
  • Saat ujung anakan hendak menyentuh tanah, maka pangkal anakan secepatnya harus dipukul.
  • Jika anakan ditangkap oleh lawan, berarti mati atau gugur sehingga harus berganti pemain. Namun, bila lawan tidak bisa menangkap anakan, lawan menangkap anakan yang telah dicungkil oleh pemain tersebut.
  • Kemudian, melemparkannya ke arah babonan yang dipasang melintang di atas lubang. Jika babonan terkena lemparan anakan oleh lawan, berarti terjadi pergantian pemain atau kelompok bermain.
  • Akan tetapi, jika anakan tidak mengenai babonan tersebut, pemain dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya.
  • Pemain berganti jika anakan tertangkap oleh lawan.
  • Pemenang dinyatakan menang jika memiliki jumlah angka yang paling banyak. [11]

Betengan[sunting]

Betengan adalah salah satu permainan tradisional yang berasal dari Jawa. Benteng/Bentengan adalah salah satu permainan tradisional berkelompok yang membutuhkan ketangkasan, kecepatan berlari dan strategi yang handal. Permainan ini merupakan salah satu permainan tradisional yang sangat baik digunakan untuk berolahraga.

Hal ini disebabkan karena setiap pemain harus berlari untuk menjaga benteng dan menangkap lawan. Tujuan utama dari permainan benteng ini adalah menyerang dan mengambil alih “benteng / markas” lawan. Markas atau benteng antar kelompok harus saling berhadapan untuk mempermudah jalannya permainan. [12]

Cara bermain:

  • Permainan ini dimulai dengan dua kelompok yang masing - masing terdiri dari 4 sampai dengan 8 orang.
  • Selanjutnya masing - masing kelompok memilih tiang atau pilar sebagai “benteng / markas”. Di sekitar benteng tersebut terdapat area aman untuk kelompok yang memiliki tiang atau pilar tersebut. Bila berada di area aman, mereka tidak perlu takut terkena lawan.
  • Para anggota kelompok akan berusaha menyentuh lawan dan membuatnya “tertawan / tertangkap”.
  • Pemain harus sering kembali dan menyentuh bentengnya karena “penawan” dan yang “tertawan” ditentukan dari waktu terakhir menyentuh “benteng”,
  • Orang yang paling dekat waktunya menyentuh benteng berhak menjadi “penawan”. Mereka bisa mengejar dan menyentuh anggota lawan untuk menjadikan tawanan.
  • Pemenangnya adalah kelompok yang dapat menyentuh tiang atau pilar lawan dan meneriakan kata “benteng”.

Permainan Tradisional Bali dan Nusa Tenggara[sunting]

Permainan Siap-siapan[sunting]

Permainan Siap-siapan adalah permainan tradisional dari Provinsi Bali. Permainan Siap-siapan ini berhubungan dengan sabung ayam yang pada saat sekarang masih biasa dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Dalam sabung ayam ada istilah pekembar yakni orang yang bertugas melepas ayam aduan juga digunakan dalam permainan Siap-siapan. [13]

Permainan Siap-siapan bisa dimainkan dengan sistem tebakan maupun sistem aduan yang mirip dengan mekanisme permainan sabung ayam sesungguhnya. Namun, dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai permainan Siap-siapan dengan sistem tebakan.

Peralatan yang diperlukan antara lain :

  • Tikar atau penutup ukuran 100 x 80 cm yang dipegang langsung oleh pekembar persis di muka badannya dan biasanya dari batas hulu hati ke bawah sampai menyentuh tanah, minimum menyentuh jari-jari kaki. Alat ini penting untuk menghalangi penglihatan pekembar agar peserta yang akan ditebak sama-sama tidak dilihat oleh pekembar.
  • Tempat bermain yang dipilih sedemikian rupa agar kedua tim sama-sarna tidak bisa saling melihat, namun pekembar hafal dengan nama-nama pesertanya.

Cara bermain Siap-siapan:

  • Dua kelompok anak-anak yang akan melakukan permainan ini membagi tim yakni tim A dan B, serta memilih pekembar masing-masing tim. Pekembar-pekembar ini harus hafal dengan nama-nama para pemain dari tim yang berlawanan (lawan timnya).
  • Masing-masing pekembar memegang tikar atau penutup untuk menutupi ayam-ayam mereka yang akan mengikuti pekembar.
  • Ayam-ayam pekembar harus bersembunyi untuk menghindari agar pekembar lawan tidak mudah menerka siapa-siapa dari masing-masing kelompok yang anggotanya ikut pekembar, yang dalam hal ini disebut siap (ayam).
  • Pekembar dari kelompok A mulai maju demikian pula pekembar kelompok B. Masing-masing pekembar ini diikuti oleh seorang anggota kelompoknya yang mengikuti pekembamya dengan jalan, berjalan sambil jongkok dan memegang kaki pekembamya. Berjalan sambil jongkok ini agar tidak bisa dilihat oleh masing-masing pekembar dan menghindari tebakan yang jatuh oleh pekembar lawannya.
  • Pekembar A akan menebak dan menyebut nama salah seorang dari anggota tim B, lalu di·susul dengan tebakan oleh pekembar B menyebutkan pula nama salah seorang anggota tim A.
  • Setelah sama-sama menebak barulah tikar tadi diangkat untuk memperlihatkan siap-siap yang mengikuti pekembar tersebut.
  • Jika tebakan pekembar benar, maka anggota tim yang ditebak tadi disisihkan dan menjadi anggota tim yang berhasil menebak dengan benar. Demikian permainan ini diulang kembali dan tebakanpun tetap dilakukan, dan setiap tebakan yang tepat akan menyisihkan anggota yang ditebak sehingga makin lama makin berkurang jumlah masing-masing anggota.
  • Tim yang anggotanya lebih dulu habis dinyatakan sebagai tim yang kalah, dan sebaliknya. [13]

Permainan Rangku Alu[sunting]

Permainan Rangku Alu adalah permainan tradisional dan juga tarian dari Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Rangku Alu biasanya dimainkan sebagai syukuran dan ekspresi rasa bahagia untuk merayakan hasil panen pertanian dan perkebunan yang biasa dimainkan saat bulan purnama.

Jumlah pemain Rangku Alu berjumlah empat orang untuk memegang empat tongkat bambu yang masing-masing bambu memiliki panjang dua meter. Manfaat permainan Rangku Alu yakni melatih konsentrasi dan ketepatan dalam bertindak karena tidak hanya melompat-lompat asal.

Perlu fokus untuk mensinkronisasi gerak kaki dan gerak bambu agar kaki pemain tidak terjepit bambu. Biasanya, Rangku Alu dimainkan di tanah lapang yang keras dan tidak berumput untuk menghindari pemain agar tidak terpeleset. [14]

Cara bermain Rangku Alu:

  • Empat orang pemain memegang tongkat bambu yang masing-masing memiliki panjang sekitar dua meter, dan menggerak-gerakkannya. Kelompok yang mengendalikan bambu terdiri dari empat orang berposisi jongkok sambil menggerakkan bambu sesuai ketukan bambu dan irama lagu.
  • Sementara tugas pemainnya harus melompat-lompati kotak-kotak bambu yang terbentuk dari gerakan buka tutup tanpa terjepit bambu itu sendiri.
  • Pemain harus memiliki keseimbangan dan kecepatan karena semakin lama seseorang bermain semakin cepat tempo pergerakan bambu.
  • Permainan ini diiringi oleh lagu daerah seperti Ampar-ampar Pisang, Anak Kambing Saya, dan lain sebagainya. Baik pengendali bambu maupun pemain, mereka bernyanyi bersama-sama. [15]

Permainan Tradisional Kalimantan[sunting]

Sipek Bulu Manuk[sunting]

Sipek Bulu Manuk adalah permainan tradisional yang berasal dari Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Sipek Bulu Manuk terdiri dari kata-kata “sipo” yang artinya tendang atau sepak, sementara “bulu manuk” artinya bulu ayam.

Jadi, Sipek Bulu Manuk artinya menendang bulu ayam ke arah atas atau melambung. Ada sebagian daerah yang menyebut permainan ini dengan nama ik-ol yaitu bahasa Cina yang diambil dari istilah hitungan Cina, sebab permainan ini juga memakai hitungan.

Selain istilah yang berbeda, alat permainannya pun juga berbeda. Di sebagian daerah misalnya tidak mempergunakan getah karet, tetapi mata uang Belanda Sebagian bahan pemberatnya dengan bulu ayam.

Selain itu, juga bisa dibuat dari daun kelapa yang dianyam seperti ketupat, tetapi anyamannya masih tidak berengga seperti anyaman ketupat. Besarnya kira-kira sebesar genggaman tangan. [16]

Cara bermain sipek bulu manuk:

  • Sebelum permainan dimulai diadakan undian lebih dahulu yaitu dengan suitan.
  • Pemenang undian pertama menyepak bulu ayam dengan pinggiran telapak kaki atau punggung kaki sampai melambung ke atas lagi. Pekerjaan melambungkan ini dilakukan terus menerus secara berangkaian tidak boleh berhenti sebelum bulu ayam jatuh ke tanah.
  • Bulu ayam yang dilambungkan tidak boleh ditangkap dengan tangan. Apabila terjadi, maka permainan mati dan pemain harus digantikan oleh pemenang undian berikutnya yang melakukan permainan seperti pemain terdahulu.
  • Demikian seterusnya sampai gilirannya selesai. Sebelum permainan dimulai diadakan perjanjian bahwa pemenangnya harus mencapai jumlah berapa sepakan bulu ayam. Misal, mencapai minimal seratus sepakan bulu ayam.
  • Bagi pemain yang dalam putaran pertama belum mencapai seratus sepakan, harus diulangi lagi menurut giliran undiannya. Jika diantara pemain yang sudah mencapai jumlah seratus maka dia dinyatakan sebagai pemenang.
  • Apabila pemainnya ada empat orang, maka yang mencapai jumlah lebih dahulu dinyatakan sebagai pemenang pertama dan seterusnya adalah pemenang kedua, ketiga, dan keempat.
  • Sementara bagi yang kalah akan mendapatkan hukuman, yaitu melambungkan bulu ayam itu ke atas ke arah pemenang pertama.
  • Kemudian oleh pemenang pertama disepakkan kepada pemenang-pemenang lainnya yang disepak berganti-gantian diantara pemenang-pemenang tersebut.
  • Sedangkan yang kalah berusaha untuk menangkapnya.

[sunting]

Balogo adalah salah satu nama jenis permainan tradisional Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Nama Balogo diambil dari kata "logo", yaitu bermain dengan menggunakan alat logo.

Logo terbuat dari bahan tempurung kelapa dengan ukuran garis tengah sekitar 5-7 cm dan tebal antara 1-2 cm dan kebanyakan dibuat berlapis dua yang direkatkan dengan bahan aspal atau dempul supaya berat dan kuat. Bentuk alat logo ini bermacam-macam, ada yang berbentuk bidawang (bulus), biuku (penyu), segitiga, bentuk layang-layang, daun, dan bundar.

Permainan Balogo ini mengandung filosofi dari tradisi nenek moyang Suku Dayak Kalimantan Tengah. Dulu, permainan Balogo dipercaya oleh Suku Dayak di Kalimantan Tengah bisa mengukur tingkat kesuburan (keberuntungan) kehidupan mereka.

Permainan Balogo biasanya digelar setelah masa panen padi dan upacara Tiwah atau membuang harta. Usai upacara Tiwah, masyarakat mencoba mereka-reka tingkat keberuntungannya di kemudian hari dengan memainkan Balogo.

Permainan Balogo juga menggunakan sebuah alat yang disebut sebagai penapak atau campa, yakni stik atau alat pemukul yang panjangnya sekitar 40 cm dengan lebar 2 cm.  Fungsi panapak atau campa ini adalah untuk mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang saat bermain. [17]

Cara bermain Balogo:

  • Permainan Balogo ini bisa dilakukan satu lawan satu atau secara beregu.
  • Jika dimainkan secara beregu, maka jumlah pemain yang naik (yang melakukan permainan) harus sama dengan jumlah pemain yang pasang (pemain yang logonya dipasang untuk dirobohkan).
  • Jumlah pemain beregu minimal 2 orang dan maksimal 5 orang. Dengan demikian jumlah logo yang dimainkan sebanyak jumlah pemain yang disepakati dalam permainan.
  • Cara memasang logo ini adalah didirikan berderet ke belakang pada garis-garis melintang. Karenanya inti dari permainan Balogo ini adalah keterampilan memainkan logo agar bisa merobohkan logo lawan yang dipasang.
  • Regu yang paling banyak dapat merobohkan logo lawan, mereka itulah pemenangnya. [18]

Permainan Tradisional Sulawesi[sunting]

Permainan Massalo[sunting]

Permainan Massalo adalah permainan tradisional yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi Selatan. Permainan tradisional ini biasanya dilakukan pada saat terang bulan atau bulan purnama. Permainan ini dilakukan di atas tanah lapang kemudian dibuat sebuah garis persegi panjang.

Oleh masyarakat Bugis, Massalo biasanya dilakukan dalam merayakan panen. Permainan ini dilakukan secara kelompok dan dibagi menjadi dua penjaga dan pemain setelah dilakukan undian. Tidak ada alat yang digunakan dalam permainan ini. [19]

Cara bermain Massalo:

  • Setelah dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok melakukan sut untuk menentukan siapa yang menjadi pemain dan siapa yang menjadi penjaga.
  • Kelompok penjaga akan menempatkan pemainnya di setiap sudut.
  • Kelompok pemain akan berusaha memasuki garis dan dihalangi oleh penjaga. Setelah semua anggota kelompok pemain masuk, maka barulah satu persatu dengan cara yang sama akan keluar dan akan menang apabila seluruh anggota berhasil keluar.
  • Apabila salah satu anggota dari pemain tersentuh penjaga maka dikatakan mati dan mendapat giliran menjadi penjaga.

Permainan Lojo[sunting]

Permainan Lojo adalah permainan tradisional dari suku Buton dan sering dimainkan di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Permainan tradisional ini dimainkan oleh dua kelompok yang saling beradu menjatuhkan lojo milik pemain lawan.

Lojo terbuat dari tempurung kelapa yang diukir berbentuk hati berdiameter lima sampai tujuh sentimeter dengan menggunakan pemukul yang terbuat dari bambu, disebut kasuka. Tim yang paling banyak menjatuhkan lojo lawan berhak menang. [20]

Cara bermain Lojo:

  • Salah satu tim akan menjadi sasaran tembak bagi tim lawan. Tim lawan akan menembak lojo yang sudah terpasang tadi dimulai dari garis awal.
  • Biasanya jumlah garis pada bidang atau lokasi permainan tersebut memiliki tujuh hingga sepuluh garis.
  • Salah satu tim yang berhasil menyelesaikan misi sampai pada garis akhir maka dialah yang menjadi pemenangnya.
  • Hukuman bagi tim yang kalah adalah lojonya dipecahkan atau dalam bahasa Wolio istilahnya adalah pasaki. [21]

Permainan Tradisional Maluku[sunting]

Permainan Sikuwal Kai[sunting]

Permainan Sikuwal Kai adalah permainan tradisional yang berasal dari Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara. Secara etimologis, istilah “Sikuwal Kui” terdiri dari dua kata yaitu “Sikuwal” yang berarti melempar dan “Kui” artinya bia atau siput.

Namun, nama lain untuk permainan ini dalam bahasa Indonesia adalah “Main Kemiri”, sebab kemiri adalah salah satu alat yang digunakan dalam permainan ini dan digunakan sebagai taruhan. Permainan tradisional ini bisa dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan.

Permainan ini sudah ada sejak dulu dan merupakan warisan budaya asli daerah setempat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Peralatan yang dimainkan sampai sekarang tanpa ada kemerosotan. Jumlah pemain yang biasa memainkan permainan ini selalu genap, jadi dua orang, empat orang dan seterusnya. [22]

Peralatan permainan antara lain:

  • Kulit bia atau cangkang siput
  • Kemiri
  • Tempurung kelapa
  • Sepotong kayu ukuran kira-kira 3 cm x 6 cm
  • Batu-batu kecil untuk mengundi

Cara bermain:

  • Pemain yang sudah siap bermain, misalnya empat orang mencari nomor urut diantara mereka untuk memulai permainan dengan mengundi menggunakan batu kecil sebanyak empat buah.
  • Pemain pertama mulai melempar tonggak dengan menggunakan kulit bia. Bila tonggak jatuh maka pemain ini berhak mengambil semua taruhan.
  • Setelah taruhan diganti, dia masih meneruskan melempar, bila salah lemparannya baru diganti oleh orang berikut dan seterusnya.
  • Bila sudah berjumlah 10 kemenangan dalam tahap pertama, maka pemain akan berpindah ke tahap kedua.
  • Tahap kedua adalah melempar kemiri. Pemain berpasangan duduk di tanah berhadap-hadapan sedang tempurung berisi kemiri taruhan diletakkan di tengah-tengah.
  • Jumlah taruhan mulai dengan satu sampai dua saja. Setiap pasangan memulai bertanding mulai nomor satu melempar.
  • Cara melempar dari arah kanan ke kiri dengan hati-hati sekali agar kemiri yang dipakai sebagai alat untuk melempar tidak keluar dari tempurung. Tetapi, yang keluar adalah kemiri-kemiri taruhan.
  • Kemiri taruhan yang keluar diambil. Bila lemparan gagal yaitu alat pelempar keluar maka diganti oleh pemain berikutnya.
  • Bila sudah mencapai sepuluh kemenangan maka permainan diakhiri. [22]

Permainan Tradisional Papua[sunting]

Permainan Amiyogo[sunting]

Amiyogo adalah permainan tradisional asal Papua. Amiyogo dapat dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan. Makna dari permainan anak tradisional Amiyogo adalah untuk menyadarkan anak-anak secara tradisional tugas utama mereka setelah dewasa adalah berburu.

Mereka mesti tangkas memanah karena hanya orang yang piawai memainkan panah yang dihormati. Selain itu, yang pintar berburu, kalua sudah dewasa akan mudah memikat gadis-gadis. [23]

Cara bermain Amiyogo:

  • Cara memainkannya yakni dengan 12 anak laki-laki dan perempuan mengayunkan busur dan anak panah sambil meloncat-loncat berkeliling dan bersilang-silang.
  • Gerak kaki dan tangan mengikuti bunyi genderang yang ditabuh sambil berpekik, “ho..ho..ho…”. Seperti aslinya, di pedalaman Papua sana, permainan dimulai dengan menggelindingkan bola yang terbuat dari akar dan rumput.  Seolah-olah bola tersebut adalah babi hutan.
  • Anak laki-laki berlomba mengokang busur dan melepas anak panah. Lalu, panah tersebut menancap dan menghentikan bola “babi hutan” yang lari tadi.  Selain itu, masih ada beberapa anak panah lagi yang mengenai bola babi hutan tersebut.
  • Kemudian, ada anak yang menjadi juri dan memutuskan bahwa panah pertama yang mengenai babi hutan tersebut adalah pemenangnya.  [23]

Permainan Kweritop[sunting]

Permainan Kweritop/Kekenaya  adalah permainan tradisional masyarakat lokal di Boven Digoel yaitu orang Wambon. Permainan ini menggunakan tali yang dibentuk dengan berbagai mode pada jari-jari tangan. Alat atau bahan yang digunakan adalah tali dari serat kulit pohon genemo atau terot, kulit kayu genemo, hasil pintalan atau kekenaya.

Permainan ini dikenal luas pada lima kelompok suku besar yang ada di Boven Digoel  dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti orang Mandobo menyebut Kekenaya, orang Muyu menyebut dengan Jenjong dan beberapa kelompok suku yang lain pun menyebut dengan sebutan yang berbeda seperti Lukatra atau Kokenop.

Berbagai sebutan yang digunakan oleh beberapa kelompok suku ini sebenarnya digunakan sesuai dengan mode atau bentuk yang umum mereka mainkan. Sedangkan penggunaan istilah Kekeneya pada orang Mandobo adalah tali yang terbuat dari serat pohon kayu genemo.

Dulu permainan Kekenaya/Kweritop pada orang Wambon dimainkan saat acara kedukaan atau kematian. Namun, setelah masuknya  pengaruh Injil di daerah ini, permainan Kweritop pada orang Wambon dilarang oleh pastor karena sering dimainkan pada saat ada kematian. [24]

Cara bermain:

  • Permainan ini dimainkan oleh dua orang atau lebih secara berkelompok dengan lawan bermainnya.
  • Setelah mempersiapkan tali sebagai alat utama, permainan Kekenaya/Kweritop bila dimainkan oleh dua orang mereka akan saling berhadap hadapan.
  • Permainan dimulai di mana kedua pemain saling menantang membentuk anyaman tali pada jari-jari tangan mereka dengan menebak model apa yang dimainkan oleh salah satu dari mereka dengan saling bergantian.
  • Bisa juga berdasarkan kesepakatan, mereka membentuk satu model dan dengan hitungan waktu siapa yang paling cepat menyelesaikan bentuk model tersebut.
  • Saat permainan ini dimainkan kadang diiringi oleh suara siulan atau nyanyian sesuai dengan bentuk mode yang dimainkan oleh salah seorang yang kadang juga mengejek lawan mainnya.
  • Cara menentukan pemenang yakni dengan kecepatan membentuk mode sesuai kesepakatan atau menebak mode. Sifat dari permainan ini yakni kompetisi dengan mementingkan unsur daya imajinasi berupa ketrampilan  dan kecerdasan untuk mencapai kemenangan. [24]

Referensi[sunting]

  1. Jejak-jejak Permainan Tradisional Indonesia untuk Pembelajaran Kesenian di SD/MI” (2017) oleh Tim Pgsd A, Penerbit: UMMPress
  2. Buku Ajar Pembelajaran Penjas Sekolah Dasar Disertai Panduan Pembelajaran Olahraga dan Permainan Tradisional” (2022) oleh Abdurrohman Muzakki, M.P.d, Penerbit: CV. Feniks Muda Sejahtera.
  3. “Ragam Permainan Tradisional Indonesia.” oleh Kak Aifa, Penerbit: Diva Press.
  4. Pecah piring, hancurkan dulu baru susun Kembali”. www.merdeka.com. 1 November 2015. Diakses tanggal 28 April 2023.
  5. Serunya Bermain Marsiada, Permainan Batu Khas Sumatera Utara”. www.merdeka.com. 2 November 2022. Diakses tanggal 28 April 2023.
  6. Lu Lu Cina Buta, Permainan Seru Tebak Nama Khas Kepri”. www.melayupedia.com. 23 Agustus 2021. Diakses tanggal 28 April 2023.
  7. Lulu Cina Buta”. www.kepriprov.go.id. 3 Maret 2022. Diakses tanggal 28 April 2023.
  8. Adu Buah Para/Getah Permainan Rakyat di Kabupaten Lingga”. www.kepriprov.go.id. 8 Februari 2020. Diakses tanggal 28 April 2023.
  9. Ancak-Ancak Alis: Ekspresi Budaya Agraris dalam Permainan Anak”. www.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 30 Maret 2023.
  10. Benthik Yogyakarta”. www.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 30 Maret 2023.
  11. "Permainan Tradisional Jawa" (2018) oleh Indiyah Prana Amertawengrum, Penerbit: PT. Intan Pariwara
  12. Asal Usul dan Sejarah Permainan Tradisional Bentengan”. www.tagar.id. 20 April 2022. Diakses tanggal 27 April 2023.
  13. Permainan Rakyat Daerah Bali” (1984), oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah .
  14. 15 Permainan Tradisional Seru yang Perlu Kamu Coba”. www.gramedia.com. Diakses 27 April 2023.
  15. Permainan Rangku Alu: Asal-usul dan Cara Bermainnya”. www.kompas.com. 31 Agustus 2022. Diakses 27 April 2023.
  16. Permainan Rakyat Daerah Kalimantan Timur” (1982), oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah .
  17. Balogo”. www.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 30 Maret 2023.
  18. Belogo, Permainan Tradisional nan Unik dari Kutai”. www.indonesiakaya. Diakses tanggal 27 April 2023.
  19. “Ensiklopedi Permainan Tradisional Indonesia Sulawesi” (2019), Erwin Adi Putranto dan Happy Kurniawan, Penerbit: Loka Aksara
  20. Permainan Tradisional "pelojo". www.kemenparekraf.go.id. Diakses tanggal 27 April 2023.
  21. Pokdarwis Dadi Mangura Keraton Gelar Pertandingan Lojo”. www.tribunbuton. 19 Oktober 2020.  Diakses tanggal 27 April 2023.
  22. Permainan Anak-Anak Daerah Maluku” (1981/1982), oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  23. Perjuangan Panjang Melestarikan Mainan Tradisional (2021), oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, Penerbit: TEMPO Publishing
  24. Permainan Tradisional Kweritop yang Hampir Punah di Boven Digoel Papua”. www.kemdikbud.go.id. 19 Februari 2019. Diakses tanggal 27 April 2023.
  1. “Jejak-jejak Permainan Tradisional Indonesia untuk Pembelajaran Kesenian di SD/MI” (2017) oleh Tim Pgsd A, Penerbit: UMMPress
  2. “Buku Ajar Pembelajaran Penjas Sekolah Dasar Disertai Panduan Pembelajaran Olahraga dan Permainan Tradisional” (2022) oleh Abdurrohman Muzakki, M.P.d, Penerbit: CV. Feniks Muda Sejahtera.
  3. 1.     “Ragam Permainan Tradisional Indonesia.” oleh Kak Aifa, Penerbit: Diva Press.
  4. “Pecah piring, hancurkan dulu baru susun Kembali”. www.merdeka.com. 1 November 2015. Diakses tanggal 28 April 2023.
  5. “Serunya Bermain Marsiada, Permainan Batu Khas Sumatera Utara”. www.merdeka.com. 2 November 2022. Diakses tanggal 28 April 2023.
  6. “Lu Lu Cina Buta, Permainan Seru Tebak Nama Khas Kepri”. www.melayupedia.com. 23 Agustus 2021. Diakses tanggal 28 April 2023.
  7. “Lulu Cina Buta”. www.kepriprov.go.id. 3 Maret 2022. Diakses tanggal 28 April 2023.
  8. “Adu Buah Para/Getah Permainan Rakyat di Kabupaten Lingga”. www.kepriprov.go.id. 8 Februari 2020. Diakses tanggal 28 April 2023.
  9. 9,0 9,1 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wp-content/uploads/sites/24/2020/01/JANTRA-2019-Juni-2019.pdf
  10. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=707
  11. Buku "Permainan Tradisional Jawa" (2018) oleh Indiyah Prana Amertawengrum, Penerbit: PT. Intan Pariwara
  12. https://www.tagar.id/asal-usul-dan-sejarah-permainan-tradisional-bentengan
  13. 13,0 13,1 https://repositori.kemdikbud.go.id/13342/1/Permainan%20rakyat%20daerah%20bali.pdf
  14. https://www.gramedia.com/literasi/15-permainan-tradisional-seru-yang-perlu-kamu-coba/
  15. https://www.kompas.com/skola/read/2022/08/31/130000869/permainan-rangku-alu--asal-usul-dan-cara-bermainnya?page=all
  16. https://repositori.kemdikbud.go.id/13345/1/Permainan%20rakyat%20daerah%20kalimantan%20timur.pdf
  17. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=546
  18. https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/belogo-permainan-tradisional-nan-unik-dari-kutai/
  19. Buku “Ensiklopedi Permainan Tradisional Indonesia Sulawesi” (2019), Erwin Adi Putranto dan Happy Kurniawan, Penerbit: Loka Aksara
  20. https://jadesta.kemenparekraf.go.id/atraksi/permainan_tradisional_pelojo
  21. https://tribunbuton.com/2020/10/pokdarwis-dadi-mangura-keraton-gelar-pertandingan-lojo/
  22. 22,0 22,1 https://repositori.kemdikbud.go.id/23583/1/Permainan%20anak-anak%20daerah%20maluku.pdf
  23. 23,0 23,1 Perjuangan Panjang Melestarikan Mainan Tradisional (2021), oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, Penerbit: TEMPO Publishing
  24. 24,0 24,1 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbpapua/permainan-tradisional-kweritop-yang-hampir-punah-di-boven-digoel-papua/