Kelana Malam

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Data Diri Penulis[sunting]

Nama Pengguna: Nasha Dive

Sinopsis[sunting]

Kala selalu bersama dengan Ayahnya setelah Ibunya pergi untuk selamanya. Dia mengagumi Ayahnya yang hebat dalam segala hal. Terutama dalam menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Perkataan Ayahnya pada pagi hari pertama Kala menjadi siswa kelas satu SMP, mengingatkan Kala pada satu mimpi aneh yang pernah hadir di malamnya.

Lakon[sunting]

  1. Kala
  2. Ayah

Premis Cerita[sunting]

Semua yang dimulai pasti akan selesai. Meskipun kesulitan akan selalu ada, namun bagi mereka yang mau bekerja sama, saling menjaga, dan saling percaya maka apapun yang dimulai pasti akan diselesaikan dengan mudah.

Cerita Pendek[sunting]

Ayah selalu bersamaku. Di pagi hari, dia membangunkanku dengan usapan lembut tangannya pada rambutku. Pada malam harinya, dia menemaniku sampai aku benar-benar terlelap di pelukannya. Ayah benar-benar selalu ada untukku.

"Kala Rajendra. Sarapan is ready," Ayah memanggilku dari dapur dengan bahasa campur-campur ala Ayah. Aku tahu Ayah memang selalu berhasil membuatku tertawa.

"Iya, Yah. I'm coming." Aku segera menghampiri Ayah yang masih sibuk menyiapkan sarapan.

Nasi Goreng ala Ayah


Ayahku bisa melakukan apa saja. Dia selalu hebat dalam menyelesaikan apapun yang dia mulai. Namun, tidak peduli seberapa hebat kemampuan memasak Ayah. Aku tetap memberikan peringkat nomor satu untuk nasi goreng ala Ayah sebagai masakan yang paling cocok untuk dimakan kapan saja. Aku rela jika harus makan tiga kali sehari hanya dengan nasi goreng buatan Ayah. Aku yakin akan memakannya dengan sangat lahap. Pastinya akan sama lahapnya seperti pertama kali aku merasakan nikmatnya nasi goreng buatannya. Makanan pertama yang aku makan di pagi hari tepat satu hari setelah Ibu pergi meninggalkan kami berdua untuk selamanya.

Sebelum keadaan Ibu semakin kritis dan akhirnya pergi dari dunia dengan tenang, satu-satunya perempuan paling cantik dalam hidup kami itu memberikan salam perpisahan yang sangat indah.

"Para lelaki kesayangan Ibu. Ibu ingin kalian benar-benar tahu bahwa Ibu sangat sayang kalian berdua. Ingat untuk menjaga satu sama lain. Jangan saling menyerang. Kalian itu sama-sama keras kepala dan sangat ingin menang. Jika kalian selalu bersama, Ibu jadi bisa lebih tenang."

Aku ingat bahwa Ibu masih sanggup memberikan senyum manisnya kepadaku dan Ayah. Jika sesakit itu saja Ibu masih bisa tersenyum maka tanpa adanya rasa sakit itu pasti Ibu akan tersenyum dengan indah setiap saat. Seperti sekarang, aku tahu bahwa Ibu sedang tersenyum dan sudah tenang disana. Ayah dan aku selalu berusaha untuk saling menjaga dan aku yakin Ibu selalu bersama kami berdua. Memerhatikan kami dari manapun dia berada tanpa harus merasakan kesakitan.

Hari ini pun Ibu pasti sedang bersama dengan Ayah dan aku menyantap dengan nikmat sarapan pagi kami. Sarapan pagi pertama bagi aku yang kini sudah menjadi siswa kelas satu Sekolah Menengah Pertama.

"Ada kegiatan apa saja untuk acara pengenalan sekolah hari ini, Kal?" Kata Ayah dengan suaranya yang tenang namun penasaran.

Aku berada di sampingnya mengeringkan piring yang sudah selesai dicuci.

"Kayaknya Ayah udah tau deh kegiatan pengenalan sekolah itu ngapain aja." Jawabku dengan usil. Ingin tahu reaksi darinya.

"Iya sih,"

"Ayah yakin pasti kamu akan happy banget. Bisa main together teman-teman baru kamu."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Aku tidak akan pernah kesal dengan versi Ayah yang satu ini. "Main together? Together itu permainan apa, Yah?" Sekali lagi aku penasaran dengan jawaban yang akan Ayah berikan padaku.

Ayah mengeringkan tangannya. Kegiatan mencuci dan mengeringkan piring sudah kami selesaikan bersama. Ayah menoleh padaku yang masih berada di sampingnya.

"Tentunya bukan permainan Gobak Sodor, Kal. Kamu masih ingat cara mainnya 'kan?" Langkah Ayah tampak ringan meninggalkan aku sendirian di dapur.

Aku tidak ingin terlalu lama berdiri sendiri disini, tapi jawaban dari Ayah membuatku kembali teringat dengan kejadian itu. Ketika mimpi aneh datang pada satu malam dalam hidupku.

3 Tahun sebelumnya

Malam ini Ayah menemani aku tidur seperti malam sebelumnya. Setelah dia yakin bahwa aku sudah benar-benar tertidur, Ayah akan kembali ke rumah sakit untuk menemani Ibu. Begitulah rutinitas yang Ayah jalani selama satu tahun ini.

Sayangnya, saat ini sudah terlalu malam bagi anak berumur sembilan tahun yang kedua matanya masih segar terbuka menatap langit-langit kamarnya. Aku tidak bisa tidur. Sekalipun ada Ayah di sampingku yang pelukannya tidak pernah gagal mengantarku menuju dunia mimpi paling mengasyikkan.

Sepertinya Ayah mulai gelisah karena aku yang masih belum tidur membuatnya tidak bisa dengan tenang meninggalkan aku untuk menemani Ibu di rumah sakit. Aku sama sekali tidak mengantuk. Mataku menolak untuk menutup dan kamarku seolah terbuka dengan lebarnya.

"Kenapa, Kal? Kamu okay?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa karena aku merasa kamarku jadi kehilangan dindingnya. Sedari tadi aku memerhatikan langit-langit namun lama-kelamaan aku sadar bahwa ada yang berubah dari kamarku. Saat perlahan mataku melihat sekeliling ruangan ini, dinding berwarna biru langit kesukaanku sudah menghilang. Tempat tidurku adalah satu-satunya benda yang aku tahu tidak hilang dari kamarku.

Saat aku menoleh ke Ayah, dia sudah memandangku dengan kebingungan. Namun aku tahu bahwa Ayah juga merasakan ketakutan yang aku rasakan.

"Ayah--ini kenapa, Yah? Apa yang terjadi?"

Langit malam dengan terang bulan


"Nak, sebaiknya selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Ayah akan bantu kamu. Kita selesaikan bersama." Tepat setelah Ayah menyelesaikan ucapannya. Seluruh atap rumahku menghilang. Seketika langit malam dengan terang bulan yang terdiam cantik di atas sana bisa dengan mudah aku lihat dari dalam rumah. Dari apa yang aku ingat, langit-langit kamar yang sebelumnya lama aku pandangi terbagi menjadi enam kotak. Hanya itu yang aku ingat saat terakhir kali menatapnya.

Semua batas berupa dinding dan atap yang biasanya ada, kini sudah tidak lagi aku ketahui keberadaannya. Seluruh ruang dalam rumahku bisa dilihat dengan mudah dari ruang kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. Dua ruang itu adalah yang paling dekat dengan teras rumah. Lalu, ada kamar kedua orang tuaku yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Semakin ke bagian belakang, ada kamar mandi dan dapur di sebelahnya.

Tiba-tiba terasa telapak tangan Ayah di pundakku yang tidak aku sadari sangat tegang sedari tadi. Aku harus tenang. Ada Ayah bersamaku. Kami akan baik-baik saja.

Sesungguhnya aku hanyalah anak kecil berumur sembilan tahun yang sedang menikmati kehidupan paling menyenangkan sebagai siswa kelas empat Sekolah Dasar. Kejadian luar biasa aneh seperti ini tentu saja tidak aku sangka akan ada dalam kehidupan siswa kelas empat yang harus aku jalani. Setidaknya dengan adanya Ayah bersamaku, aku yakin kejadian luar biasa aneh ini akan menyenangkan untuk dilakukan.

Gobak Sodor


"Ayah rasa--ini seperti Gobak Sodor, Kal." Kata Ayah setelah terdiam cukup lama. Sepertinya Ayah sibuk mengamati apa yang sedang terjadi.

"Gobak Sodor?"

"Permainan tradisional, Kal. Dulu Ayah sering main permainan ini,"

"Perhatikan baik-baik, Kal. Enam ruang di rumah kita ini sama seperti enam kotak pada lapangan Gobak Sodor. Ada dua tim yang bermain. Seingat Ayah, satu tim cukup jika hanya berjumlah tiga sampai lima orang. Tidak apa-apa untuk sekarang. You and I are enough, Kal."

Aku tidak tahu apa yang sedang Ayah rasakan. Namun, dengan kembalinya bahasa campur-campur ala Ayah sepertinya dia sudah cukup tenang. Aku mendengarkan penjelasan Ayah dengan serius meski aku tahu Ayah akan mengeluarkan candaannya lagi.

"Oh iya. Masih ada lagi, Kal. Dua tim tadi ada yang bernama tim penyerang dan tim penjaga. Tim penyerang harus bisa melewati garis pada kotak terakhir. Sepertinya sama dengan melewati dapur, Kal." Sahut Ayah dengan semangat.

"Kalo gitu gampang dong, Yah." Aku jadi ikut semangat mendengarnya.

"Eits, tunggu dulu. Selain melewati garis pada kotak terakhir, salah satu anggota tim penyerang juga harus ada yang kembali melewati garis pada kotak pertama. Jika sudah begitu maka merekalah yang menang,"

Sebelum aku sempat berbicara, Ayah kembali melanjutkan penjelasannya. "Dengan satu syarat! Mendapatkan sesuatu kalau tidak ada syaratnya jadi tidak seru 'kan? Seperti kamu yang ingin dibelikan puzzle dengan syarat harus membereskan kamarmu dulu--"

"Kenapa jadi aku, Yah? Selesaikan dulu penjelasan Gobak Sodor-nya."

Gelak tawa Ayah terdengar, "Hahahah. Jangan ngambek dong. 'Kan memang begitu kenyataannya."

Ayah kembali melanjutkan penjelasannya dengan semangat. "Dengan satu syarat! Semua anggota tim penyerang juga harus sudah melewati garis pada kotak pertama sebelum ada salah satu dari mereka yang kembali melewati garis pada kotak pertama. Sudah paham sekarang, Kal?"

"Aku masih bingung dengan penjelasan Ayah yang terakhir."

"Kamu sama kayak Ayah, Nak. Memang harus Ibu yang menjelaskan supaya jadi lebih mudah dimengerti," Ayah menggaruk kepalanya dan menunduk.

Tak lama, Ayah mengangkat kepalanya dan kembali berbicara, "Begini saja, Kal. Tim penyerang harus mulai dari teras dan sebisa mungkin melewati setiap ruang yang ada di rumah ini. Mereka akan menang jika sudah melewati dapur dan kembali lagi ke teras."

"Jadi, kalau Ayah dan aku yang bermain maka kita berdua harus sudah berada di dalam rumah dan berhasil melewati dapur. Saat Ayah atau aku berhasil kembali lagi ke teras maka kita berdua yang menang. Begitu 'kan, Yah?"

"Good job, Kal. Begitu permainannya."

"Ayah? Kalau ada yang menang dan kalah. Siapa yang akan dilawan?"

Aku menatap Ayah yang tinggi badannya jauh lebih tinggi dariku. "Kamu ingat 'kan ada tim penjaga? Mereka adalah lawan tim penyerang. Sesuai namanya, mereka menjaga agar tidak ada yang bisa melewati penjagaan mereka. Seperti sekarang, mereka menjaga tiap ruang di rumah kita. Lihat, Kal."

Mataku mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ayah. Semua perabotan rumah ini menjadi hidup dan memegang tombak. Mereka tidak cukup seram untuk bisa menakuti aku dan tidak cukup lucu untuk bisa membuat aku tertawa. Hanya ada satu orang yang tentu akan tertawa keras melihat perabotan yang hidup dalam rumah kami.

"Sofa rumah kita bergerak, Kal. Gembul sekali. Menggemaskan yah? Lihat, Kal."

Mendengar suara tawa Ayah membuatku jadi ikut tertawa. Prajurit perabotan bertombak itu berdiri di antara teras dan ruang tamu. Ada Sofa Gembul yang berdiri disana. Lalu, ada Kursi makan Kurus yang berdiri di antara ruang kamar orang tuaku dan ruang keluarga. Terakhir, ada Kulkas yang dengan Perkasa berdiri di antara ruang dapur dengan pintu belakang rumahku. Mereka seperti prajurit yang menjaga wilayahnya dengan berani. Bersama dengan tombak mereka yang gagah berdiri. Memastikan setiap jengkal wilayahnya tidak terlewati.

Sepertinya, aku sudah semakin paham. Aku menatap Ayah dari samping yang ternyata juga menoleh untuk menatapku.

"Seperti prajurit sebenarnya, Kal. Jika kamu disentuh oleh mereka maka kamu akan menjadi tawanan."

Aku menganggukkan kepalaku. "Aku paham, Yah."

"Kita harus mulai bermain, Nak. Posisi kita sudah berada di dalam kotak pertama. Jadi, artinya?"

"Kita jadi tim penyerang, Yah."

Aku senang melihat senyum puas dari Ayah. "Good job, Kal. Bersiaplah. Kita harus saling menjaga. Jangan saling menyerang dan jangan sampai diserang. Ingat bahwa prajurit bertombak tidak jahat, mereka hanya melakukan tugasnya. Menyelesaikan yang sudah mereka mulai."

Ucapan Ayah memenuhi gendang telingaku. Mengalirkan semangat dalam diriku. Ada Ayah bersamaku. Kami juga akan menyelesaikan yang sudah dimulai.

"Sekarang, Kal!" Seru Ayah dengan lantang. Membuatku berlari melewati Kursi Kurus menuju ruang keluarga di seberangku. Aku mencoba mempercepat langkah agar bisa segera sampai di dapur. Ayah masih sibuk menghalangi Kursi Kurus agar tidak mendekat padaku. Berulang kali Ayah menghindar dari lengan kecil milik Kursi Kurus. Berkat Ayah, aku bisa dengan mudah melewati celah kecil yang jauh dari jangkauan lengan Kulkas Perkasa. Kini aku sudah berada di luar garis kotak terakhir. Pada waktu yang sama, Kursi Kurus tampak kelelahan dan lutut kayunya berdecit. Ayah memanfaatkan situasi ini untuk berlari menuju dapur dan berhasil keluar dari garis kotak terakhir karena gerakan lambat Kulkas Perkasa. Sepertinya sayur dan daging yang Ayah beli membuat tubuh Kulkas Perkasa sulit untuk digerakkan.

Aku memeluk Ayah dengan erat tepat setelah Ayah berhasil melewati garis kotak terakhir.

"Kita berhasil, Yah."

Ayah menghapus keringat di keningnya dengan kaus miliknya yang juga sudah basah. Nafasnya tak beraturan. "Tunggu dulu, Kal. Kita...harus...kembali...ke dalam...dan bergegas menuju teras."

Aku mengamati Ayah yang kelelahan.

"Aku saja, Yah."

Ayah hanya menunjukkan ibu jarinya. Setuju dengan keputusanku.

Aku mempersiapkan diri dan berdiri tepat di belakang Kulkas Perkasa yang masih susah bergerak. Aku berteriak, "Hai Kulkas Perkasa!"

Kulkas Perkasa mencoba berbalik untuk mengikuti arah suaraku. Aku yang sudah tahu dengan gerakannya yang pelan langsung melesat melewati Kulkas Perkasa yang masih kesusahan bergerak.

Kini aku berada di ruang keluarga. Ada Kursi Kurus yang kesulitan berdiri setelah merehatkan kedua lututnya. "Hai Kursi Kurus! Kau tahu? Ada lem kayu di ruangan yang ada di belakangmu. Ambilah dan mungkin lutut milikmu akan kembali kuat seperti semula."

Kursi Kurus langsung berbalik dan masuk ke ruang kamar orang tuaku. Aku langsung berlari melintasi ruang keluarga menuju kamarku.

Masih ada Sofa Gembul yang menghalangiku keluar menuju teras. Dia mulai mendekat ke arahku. Kepanikkan yang aku rasakan membuatku mengetukkan kepalan tanganku pada kepala tempat tidurku. Setelah itu, Sofa Gembul segera menempatkan dirinya bersama dengan meja tamu dan sofa lainnya yang terdiam di ruang tamu.

Aku tahu. Mungkin Sofa Gembul mengira akan ada tamu yang berkunjung. Jadi, dia harus kembali ke bentuk aslinya menjadi benda mati. Aku membuka pintu dan segera menuju teras.

"Kamu akan memulai lagi, Kal,"

Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan melihat ke sekitarku. Ada Ayah di sampingku. Merangkul pundakku dan tersenyum. Kami berada di teras dan aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

"Dan Ayah akan selalu bersama kamu."

TAMAT