Kelas Dongeng Inspirasi
Kelas Dongeng Inspirasi
[sunting]Hari ini adalah hari untuk Kelas Inspirasi. Kami akan kedatangan kakak-kakak yang mempunyai profesi yang berbeda. Kata guruku, kami akan bisa belajar tentang berbagai macam pekerjaan dan apa yang mereka lakukan. Tapi apa yang membuat pekerjaan mereka menarik? Kami akan mempunyai kesempatan untuk bertanya banyak hal pada kakak-kakak yang sudah bekerja tersebut. Siapa ya yang akan kami temui? Seorang guru yang mengajarkan orang lain? Dokter yang menyembuhkan pasiennya? Petani yang orang yang menanam dan merawat sumber makanan kita? Ada banyak sekali profesi! “Selamat pagi, Adik-adik.” Akhirnya! Kakak pertama masuk ke kelasku. Penampilannya unik dengan sebuah boneka yang hampir setinggiku. “Coba tebak profesi kakak apa?” tanyanya pada seisi kelas. “Pembuat boneka!” Salah satu temanku menjawab. “Badut!” Teman lainnya menjawab. “Bukan, bukan, kakak adalah seorang pendongeng. Baiklah, apa kalian ingin mendengar sebuah cerita?” Seisi kelas antusias mengganguk dan menjawabnya. “Kalian tahu katak?” Wah, Kakak Pendongeng menggerakkan bonekanya. “Ada seorang anak yang tidak menyukai katak. Katak itu berisik. Kwebek, kwebek!” Kakak Pendongeng menirukan suara katak. Persis sekali. Seisi kelas mendengarkan dengan khidmat. Kisahnya tentang Liana yang tidak menyukai katak yang berisik. Dia melakukan segala cara untuk mengusir katak itu, mulai dari mengejar setiap katak yang dilihatnya, memotong rumput-rumput agar katak tak bersarang di sana, juga menyanyi lebih keras agar katak merasa tergangggu dan pergi. Uniknya, cara Liana justru berhasil. Katak-katak itu akhirnya pergi. Mungkin mereka juga bosan karena terus diusuli. Esoknya Liana bangun pagi tanpa mendengar suara katak. Tapi saat Liana melihat jam, matanya langsung melotot. Dia terlambat bangun. Karena terlalu buru-buru, Liana akhirnya lupa sarapan. Sedihnya, katak-katak sudah pergi dan Liana menjadi sering terlambat. Hingga akhirnya Liana menyesal dan merindukan katak-katak itu. Katak-katak berisik yang tidak pernah kembali lagi. “Kak, aku ingin jadi pendongeng. Apakah aku bisa?” tanyaku penasaran setelah mendengarkan kisah tersebut. “Tentu,” kata Kakak Pendongeng. “Bagaimana caranya?” “Adik bisa memdongengkan kisah yang ditulis oleh orang lain. Adik juga bisa menuliskan dongeng yang adik sukai sendiri,” sahut Kakak Pendongeng. Aku menulis dongeng. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Tapi baiklah.... Mari kita coba.
Pertama kali aku membuat cerita, aku harus duduk di depan sebuah kertas kosong entah berapa lama. Aku memegang pensil. Menulis satu kata, mencoret, menulis kata lainnya dan mencoretnya lagi. Aku tidak tahu apa yang ingin aku tulis. “Putri Kunai,” aku akhirnya berhasil menulis judul cerita itu. Dalam sketsa di pikiranku, putri itu akan bertemu nenek sihir lalu dia akan diselamatkan pangeran. Seperti dongeng yang sering kubaca, setiap cerita berakhir dengan kata yang sama: Mereka hidup bahagia selamanya. Tapi kok ceritanya seperti ini? Ceritaku sederhana, membosankan dan terlalu mudah ditebak. Aku menghapus judul cerita itu. Ternyata menulis cerita jauh lebih sulit. Setelah satu jam lebih aku berpikir, kertas itu masih berakhir kosong.
Argh! Aku akhirnya kelaparan. Proses berpikir itu agaknya juga menguras energi. Aku pergi ke dapur dan membuka lemari makan tapi tak kutemukan apapun untuk dimakan. Lemari itu tampak bersih. Kelaparan dan tak satu pun yang dapat dimakan? Duh. Aku menghela napas, seandainya saja ada pohon makanan. Aha, pohon makanan! Aku mendapatkan sebuah ide. Aku kembali ke kamar dan mengambil kertasku lagi. ‘Pohon Makanan,’ Aku menulis judul untuk cerita yang baru saja terlintas di kepalaku. “Ceri sangat suka bermain. Dia suka bermain bersama kedua temannya, Grap dan Oren. Tapi, diantara semua permainan, mereka paling menyukai permainan petak umpet dan berburu jamur. Apalagi jamur sangat mudah ditemukan di sekitar desa.” Aku menulis cerita itu dengan mengambil nama tokoh dari buah-buahan yang dapat kupikirkan. Beberapa buah-buahan juga terbukti efektif menghilangkan rasa lapar. “Aduh, Ma, Ceri mau main saja,’ keluh Ceri setiap kali ibunya membawakan buku cerita yang baru. Ya, Ceri tidak suka membaca buku. Setiap kali dibelikan buku baru, Ceri tidak pernah membacanya. Dia lebih suka bermain dan bermain lagi. Hari itu, Ceri juga lebih memilih bermain. Mereka bermain berburu jamur yang dapat dimakan. Peraturannya mudah, siapa yang mengumpulkan jamur paling banyak adalah pemenangnya. Tapi kali ini, mereka harus menemukan jamur jenis baru di hutan! Tak perlu khawatir. Tidak ada hewan buas di hutan itu. Penduduk desa sering mencari kayu bakar di sana. Tapi, ada hal yang istimewa dari hutan itu. Siapa saja yang tersesat di hutan akan menemukan pohon makanan. Begitu penduduk desa menyebutnya. Tidak ada yang dapat menjelaskan tentang keanehan pohon itu. Setiap penduduk yang mendapat makanan dari pohon itu mengalami kisah yang berbeda. ‘Kalian harus memberiku satu pengetahuan baru jika ingin mendapatkan makanan dariku.’ Pohon itu berbicara. Pengetahuan it—“ Belum sempat aku melanjutkan ceritaku, bentuk keajaiban yang bersemayam di perutku juga ikut berbicara. Kali ini dalam bentuk musik keroncongan. Kadang aku juga berharap bisa hidup di hutan dan memakan aneka jenis buah, jamur dan dedaunan yang dapat kutemukan. Pasti lebih menyenangkan, pikirku. Aku lalu memandang kamarku dengan sedih, daun pintu dan daun jendela tak bisa dimakan. Kelaparan mengembangkan imajinasi. Kelaparan juga lah yang memaksaku berhenti melanjutkan imajinasi itu. “Ma, apa ada yang bisa dimakan?” tanyaku pada Mama yang . “Sini, bantu Mama mencuci sayurannya dulu,” sahut Mama. Aku mengangguk dan membantu Mama menyiapkan bahan yang akan kami masak. Hari ini aku belajar hal baru. Kita tidak akan tahu apa yang bisa kita lakukan jika kita tidak mencobanya. Saat besar, kau ingin menjadi apa? Mungkin aku akan menjadi pendongeng juga. Mungkin aku akan menjadi ilmuwan. Mungkin aku akan menjadi ahli mate-matika. Ah, ada banyak hal yang belum aku coba. Oh, di imajinasiku, cerita tentang pohon makanan itu sudah selesai. Dalam cerita, saat Ceri berada di hutan, Ceri tidak berhasil menemukan jenis jamur baru. Ceri justru kelaparan dan tak tahu jalan keluar. Saat tersesat itulah, Ceri menemukan pohon makanan. Setelah puluhan kali mencoba mengingat apa yang sudah dipelajarinya, Ceri akhirnya berhasil memberikan satu pengetahuan baru untuk pohon itu dan mendapat makanan gratis. Tak lama, teman-teman Ceri juga menemukannya dan Ceri kini menjadi lebih rajin belajar. Pengetahuan berkembang setiap hari dan selalu ada pengetahuan baru. Cerita itu hanya belum selesai dituliskan karena dalam realita. Sesaat aku berpikir, hidup dalam cerita karangannya pasti lebih baik. Sesaat kemudian aku berubah pikiran. Jika begitu mudah mendapatkan makanan, aku pasti juga akan mudah merasa bosan. Buktinya, jika aku tak kelaparan, aku pasti tak akan menemukan ide itu. Satu hal baik lainnya yang kusadari adalah perjuanganku di depan kertasku menghasilkan setengah cerita untuk dilanjutkan lagi nanti. Menulis itu mudah saat kau mau memulai dan terus menulisnya.