Kenangan Masa Pandemik

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

CERPEN ANAK: KENANGAN MASA PANDEMIK


SINOPSIS[sunting]

Curahan hati seorang Dokter tentang Kenangan Masa Pandemik dan menyimpulkan pandemik ini adalah kenangan paling traumatis dan paling buruk bagi seorang anak yang survival melewati masa pandemik Covid19,tetapi kehilangan ayahnya. .

LOKASI[sunting]

Rumah sakit swasta yang lengkap ventilator dan alat intubasi di ruang isolasi dan PICU


Kenangan Masa Pandemik : surat terbuka kepada anakku[sunting]

Prolog [sunting]

Anakku...

Saat itu tengah malam, kami bersiap-siap. Sambil melawan kantuk dan lelah, kami memulai ritual kami. Menggunakan baju hazmat, memakai sepatu boots, mengenakan masker N95, kacamata safety google, dan faceshield. Mengenakan alat pelindung diri level 3 ini memang merepotkan dan menghabiskan banyak waktu. Rasanya tidak nyaman. Tapi beginilah prosedur keamanan diri di ruang isolasi. Ada pasien baru. Kali ini bapak paruh baya. Dirujuk ke tempat kami karena bertambah sesak dan level oksigen tubuhnya turun drastis. Ia mulai gelisah. Kedua parunya putih. Tanda kerusakannya sudah luas. Cocok dengan kondisi klinisnya. Oksigen masker dengan reservoir tak lagi banyak membantu. Kami siapkan prosedur intubasi untuk bapak ini. Selanjutnya dipasang ventilator.

Ruang isolasi[sunting]

Anakku.... Di ruang perawatan, semua monitor dipasang. Saya ambil posisi di dekat kepala pasien. Saya pandangi wajahnya dan menyapa memperkenalkan diri. Mata kami beradu pandang. Terhalang kacamata google dan faceshield. Tatapannya tajam. Campuran antara harapan, kecemasan, dan keputus-asaan. Napasnya pendek-pendek, terengah-engah, seperti orang yang baru lari sprint 100 meter. Usahanya keras sekali sekedar untuk bernapas. Saturasi atau kadar oksigen di monitor menunjukkan angka 80%, alih-alih di atas 95% layaknya manusia sehat. Mulutnya komat-kamit namun tak bersuara. Bisa jadi saya adalah orang terakhir yang dilihatnya. Atau suara terakhir yang ia dengar. Sebagian besar pasien tidak pernah lepas dari ventilator. Sampai mereka meninggal. Saya pun ikut berdoa dan kembali menyapa pasien yang sebentar lagi kehilangan kesadarannya itu. “Kita mulai ya Pak,” Lima belas menit kemudian ventilator mengambil alih napasnya. Ia ditidurkan dan dilumpuhkan napasnya. Kami berikan obat penenang dan pelumpuh otot. Medically induced coma namanya, atau koma yang disengaja secara medis. Pasien diistirahatkan total. Memberikan waktu bagi tubuhnya untuk pulih dan merespon terapi yang diberikan. Sebagian pasien bisa pulih dan bangun. Sebagian yang lain tidak pernah pulih dan akhirnya meninggal.

Keluarga Pasien[sunting]

Anakku.... Berbicara dengan keluarga pasien pada kondisi seperti ini tak pernah mudah. Pasien harus dirawat di ruang isolasi, tidak boleh didampingi, kondisinya kritis, akan dipasang mesin bantu pernapasan dan seterusnya. Sebelum tindakan invasif seperti intubasi, keluarga harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya, termasuk risiko tindakan. Kepada keluarga, kami tak berani berjanji bahwa kondisi pasien akan membaik setelah dipasang ventilator. Kami sampaikan secara jujur, bahwa ventilator bukan obat dari penyakitnya. Alat ini dipasang untuk “membeli waktu”, sambil kita mengatasi penyebabnya. Sejauh ini, jika pasien sudah jatuh dalam kondisi gagal napas dan memerlukan ventilator, angka kematiannya sangat tinggi. Bermacam-macam respon keluarga setelah penjelasan itu. Jika setuju, keluarga membubuhkan tanda tangan persetujuan tindakan.



Kegagalan intubasi[sunting]

Anakku... Intubasi atau memasang sebuah pipa pernapasan ke tenggorokan adalah rutinitas kami sehari-hari. Kami biasa melakukannya di kamar operasi, ICU, atau ruang gawat darurat. Sebelum tindakan, oksigen 100% diberikan dengan masker khusus. Agar cadangan oksigen di paru-paru cukup saat tindakan dilakukan. Untuk mempermudah prosesnya, kami berikan obat tidur dan pelumpuh otot. Di ruang intensif, tindakan ini dilakukan ketika pasien sudah tak lagi mampu bernapas sendiri. Penyakitnya sudah terlalu berat. Napasnya kami ambil alih dengan ventilator. Memberi kami waktu untuk memberi pengobatan. Tindakan intubasi sendiri memicu keluarnya aerosol dari jalan napas pasien. Membuat kami yang melakukan tindakan berisiko tinggi tertular. Jika sesuatu yang buruk terjadi, hidup pasien bisa berakhir saat itu juga. Kondisi covid membuat kesulitan tindakan ini bertambah berkali-kali lipat. Kami melakukannya dengan APD lengkap. Pandangan kabur oleh kacamata google yang berembun, napas terengah-engah karena masker N95 yang ketat, dan tubuh berpeluh karena dibalut hazmat.

Anakku...

Pasien covid dirawat di ruang isolasi bertekanan negatif. Keluarga tak boleh mendampingi. Mereka Sendiri. Kadang ditemani oleh sesama pasien di ruangan yang sama. Menjalani kehidupan isolasi selama berhari-hari di tempat asing tanpa ditemani orang yang dikenal pasti sulit. Meskipun di ruang intensif, sebagian besar pasien tidak sadar atau dibuat tidak sadar. Bayangkan jika yang diisolasi itu anak-anak. Betapa sedihnya mereka. Betapa galaunya orang tua. Hal ini melahirkan empati di hati kami, para tenaga medis. Empati itu mendorong kami bekerja sepenuh hati. Agar mereka bisa pulih. Maka, ketika hari istimewa itu datang. Saat di mana ada pasien yang bisa lepas dari ventilator. Kami semua bergembira. Mereka yang pulih telah melewati jalan yang amat sulit. Mereka pernah amat dekat dengan kematian. Fungsi paru diambil alih, fungsi ginjal diganti mesin, otak dibuat koma, dan seterusnya. Seandainya diberi kesempatan bertemu Kembali dengan para survivor tadi, saya akan bertanya. Apa yang diingat saat sakit. Atau apa yang berbeda dengan saat sebelum sakit.

Anakku....

Pandemi ini menuntut semua kita bersabar dan berkorban. Beberapa dokter dan perawat telah tertular saat bertugas. Ada juga yang sampai meninggal. Seperti yang viral beberapa waktu lalu. Itu memang risiko pekerjaan. Ada yang tidak pulang ke rumah dalam waktu lama sangat tidak nyaman. Itu yang kami rasakan.Saat kita tak mampu menyelamatkan semua orang, maka terpaksa kita pilih yang peluang survive-nya lebih besar untuk diselamatkan. Beberapa pasien gagal napas gagal mendapat ventilator. Dan akhirnya meninggal di ruang perawatan.

Anakku... Ada yang kehilangan anak, kehilangan orang tua, kehilangan teman dan sahabat selama masa pandemik tersebut...sekarang kita sudah mendapatkan vaksin,kamu lah survival yang masih hidup melewati masa suram itu. Adakah kenangan yang lebih buruk daripada pandemik Covid 19 itu?

Dari Ayahmu , di Surga