Lompat ke isi

Kenangan dan Buku Monster

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Judul Cernak Proyek Yuwana

[sunting]

Kenangan dan Buku Monster

Buku Dongeng Rona

Pengarang

[sunting]

Istikharoh

Premis

[sunting]

Rona anak berumur 10 tahun kelas 5 SD yang tinggal bersama ibunya, ia ingin memaafkan dirinya sendiri dengan cara tetap membawa buku dongeng bersampul biru itu kemana saja ia pergi, namun karena pengalaman traumatis tentang buku itu, ia suka memperlakukan buku dongeng berwarna biru sesuka hati. Sampai suatu hari buku tersebut secara tiba-tiba bisa berbicara dan memiliki gigi.

Tokoh

[sunting]

- Rona berumur 10 tahun

- Siska teman sekelas

- Nenek Rona

- Ibu Rona

Tempat

[sunting]

Sekolah SD dan di rumah Rona

Cerita Anak

[sunting]

Pagi itu, sebelum bel sekolah masuk kelas berbunyi setelah istirahat, Siska menghampiri ku sembari berlari dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Aku tidak tahu sebenarnya ada apa, kenapa dia tiba-tiba seperti orang yang mau menangis. Padahal dari tadi pagi aku belum sama sekali menyapanya.

“Rona, kamu kok tega sih menjadikan bukumu itu (sembari menunjuk buku yang aku bawa) barusan sebagai tempat duduk tadi di kantin sekolah. Tadi pagi juga di kelas, buku itu kamu jadikan lap mejamu yang berdebu. “

Aku terbengong tidak tahu harus merespon apa, masa hanya karena buku kujadikan fungsi lain dia bisa berlebihan gitu sudah seperti orang yang dijahili sih. Apalagi buku cokelat itu kan bukuku, kenapa dia yang sedih. Aneh, batinku.

“Kamu sedih karena buku ini?, “ ia mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan ucapanku.

“Ini kan bukuku, kenapa kamu yang malah bersedih. Dan kenapa pula kamu harus menangis juga” protesku.

“Rona, memang betul itu bukan bukuku, tetapi apa ya harus buku bacaan diperlakukan seperti itu tadi? Apa ya pantas sebuah buku tidak dihargai sama sekali?”

“Soal aku sedih, ya pasti lah—bagaimana mungkin aku tega melihat buku diperlakukan sekasar begitu; kita tidak akan pernah tahu kan jika terkadang isi buku itu membantu kita mendapatkan pengetahuan?—jika seandainya buku itu bisa berbicara, pasti dia sudah marah! Kalau dia punya gigi—kamu pasti bakal menjadi korbannya, kamu tidak takut?” tambahnya lagi sambil melengos berlalu meninggalkanku yang masih tidak percaya dengan sikap Siska. Kenapa harus bersedih untuk sebuah benda mati?, batinku.

Toh, buku ini bukan buku pelajaran, hanya sebuah kumpulan dongeng bersampul cokelat tua dengan cover bergambar matahari dan luar angkasa berjudul Putri Bulan-- yang sebenarnya tidak penting juga untukku. Aku sengaja membawa buku ini setiap hari, karena buku itu kenangan hangat sekaligus pahit dari nenek.

Aku ingat buku ini adalah buku pertama yang dibacakan nenek ketika usiaku 5 tahun dulu, namun buku ini juga penyebab nenek harus mengalami kecelakaan dua tahun lalu ketika aku masih kelas 2 SD.

Ceritanya saat aku perjalanan pulang dari sekolah bersama nenek yang menjemputku, secara tidak sengaja buku ini tersenggol orang yang mengendarai motor dan jatuh di pinggir jalan besar, nenekku yang berada di belakangku tergopoh-gopoh berjalan cepat maju mendahuluiku untuk membantu mengambilkan buku itu. Siapa yang bakal menyangka akan ada sopir bus yang mengantuk dari arah belakang dan tidak sengaja menyerempet nenek hingga terpental jauh ke arah depan dan nenek tidak bisa diselamatkan. Hari itu aku menangis histeris. Nenek kesayanganku hilang. Dan sampai hari ini masih saja aku ingat nenek.

Sebenarnya aku sudah lama ingin membuangnya, karena buku ini selalu mengingatkan peristiwa itu, tetapi setiap kali aku ingin menyingkirkannya selalu teringat masa-masa nenek membacakan buku tersebut setiap hari Minggu; aku sambil bersandar di kursi kesayangan nenek, ia membacakan pelan-pelan sambil tersenyum. Buku yang hangat dan perih untukku.

Meski begitu, toh buku ini juga bukan benda hidup, bukan? Hanya kenangan saja.

***

Rumah dan sekolah ku sangat dekat sebenarnya. Tetapi aku suka sekali berjalan pelan. Rasanya menyenangkan—mengingat kenangan manis dan pahit yang telah kulalui di jalan ini.

Tetapi hari ini ada yang berbeda, selama perjalanan ini, aku sangat kacau. Aku masih saja kepikiran percakapanku di sekolah tadi dengan Siska. Padahal tidak ada yang istimewa. Aku teringat kalimat terakhirnya: seandainya buku ini punya gigi pasti dia menggigitku. Membayangkannya saja menyeramkan, apalagi benar-benar kejadian. Ngeri! Aku merasa takut dan merinding secara tiba-tiba.

Aku mulai berjalan lebih cepat dari biasanya, langkahku terpontal-pontal bahkan sedikit berlari hingga sampai di perempatan jalan dan membelok ke arah kiri sampai terlihat rumah putih itu, rumahku.

Air mataku mulai mengambang. Aku tidak tahu kenapa aku segitu takutnya, padahal tidak ada apa-apa, hanya terbayang ucapan Siska saja.

Kulangkahkan kakiku memasuki rumah, dengan ngos-ngosan capek-- aku mengucapkan salam sekaligus mensalami ibu yang berada di di dapur.

“Seragamnya dilepas dan ganti baju ya, makanan bentar lagi jadi nih” ucap Ibu yang sedang menggoreng tempe.

Aku berlari cepat ke arah kamar.

***

Mataku terbuka pelahan, matahari mulai berwarna campuran antara orange dan jingga, suasana luar tampak mulai gelap. Angin bertiup pelan menyapa korden putih di jendela kamarku ini.

Aku memandang seluruh kamarku, dan kulihat nenek duduk di kursi dekat jendela dengan membawa buku biru itu, ia menatapku lembut dan tangannya mengayun ke arahku meminta untuk mendatanginya. Masih dengan senyum lembutnya, “Kamu mau mendengarkan nenek membacakan buku ini?”

Aku tersenyum dan menjawab ‘iya’. Aku bangun dan berjalan menuju ke arah nenek, menyalami tangannya dan memeluknya erat.

“Aku kangen nenek”

“Wah, nenek juga rindu cucu satu-satunya” jawabnya sumringah.

Ia memintaku untuk duduk di kakinya. Entah kenapa kulihat kaki bawah nenek penuh luka seperti sayatan-sayatan yang tak beraturan. Aku tak tega.

“Ini apa nek?” tanyaku mulai menunduk dan berjongkok melihat sayatan itu langsung.

“Tidak apa-apa sayang”

Aku menyentuhnya pelan. Ia meringis menahan sakit. Nenekku sayang kesakitan. Apa yang terjadi?

“Jadi dibacakan cerita kan sayang?” ujarnya mengalihkan pembicaraan.

Aku menganggukkan kepala, aku memilih duduk di lantai dekat kaki nenek. Dan entah kenapa debu kamar banyak sekali. Aku tidak tahan melihatnya. Ku ambil buku dongeng di paha nenek dan kujadikan alas duduk. Tiba-tiba nenek menghilang lenyap. dan buku biru di bawahku bergerak-gerak memberontak. Aku terkejut dan melompat.

Aku kaget. Buku itu berubah. Ia memiliki gigi tajam yang runcing seperti buaya, dan memiliki dua mata tepat di dekat gambar matahari. Ia menatapku tajam dan marah. Ia melompat ke arahku, aku kaget dan mundur selangkah, ia melompat lagi ke arahku sembari memperlihatkan gigi tajamnya. Aku berteriak histeris, serupa lolongan serigala di tengah bulan purnama.

Aku takut, sangat takut. Badanku gemetar. Teriakan dan tangisanku berbaur menjadi satu. Aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa.

“Pergi!” teriakku berulang.

“Kenapa aku pergi, aku bukumu dan setiap hari diperlakukan seperti benda mati yang tidak berguna” jawabnya dengan suara yang menggelegar seperti suara petir.

“Aku marah dan kali ini aku ingin menerkammu” tambahnya lagi.

Aku menangis menjadi-jadi, tidak tahu harus membalas apa. Karena semuanya adalah fakta. Aku memperlakukannya dengan tidak baik: menjadikannya alas duduk, menjadikannya lap pembersih debu, sesekali juga kugunakan alas tidur.

“Maaf, maaf.. aku janji tidak akan mengulanginya” pintaku memohon dengan menangkupkan kedua tanganku.

Ia tidak peduli. Dengan gigi tajamnya ia mengamuk dan menggigit semua benda yang ada di situ: dari kursi, meja, kasur. Semua menjadi hancur, porak poranda. Ia melompat ke arahku.

Air mataku membanjiri pipi. Suaraku mulai parau. Aku memohon maaf dengan tulus. Aku sungguh menyesali sikapku selama ini yang seenaknya sendiri. Kini dalam kondisi putus asa, aku pasrah—apapun yang terjadi kepadaku.

“Rona…Rona… bangun, Nak, bangun” suara ibu memanggil cemas.

Kubuka mataku perlahan yang penuh dengan air mata. Aku terkejut. Lho aku kok bisa di atas kasur. Sepertinya tadi aku sedang diserang buku bergigi tajam. Kenapa sekarang aku baru bangun tidur. Apakah tadi hanya mimpi atau kenyataan? Semua terasa nyata. Masih gemetar tubuh ini. Air mata juga masih belum kering.

Ibu memeluk erat. Sangat erat. Hangat sekali.

Di dalam pelukannya, kulihat tasku masih di meja dan buku itu masih tergeletak di atasnya. Semua ternyata hanya mimpi. Semua berakhir. Aku lega. Menatap buku itu, aku benar-benar menyesal. Maaf, sungguh, batinku.

***