Lompat ke isi

Kepel

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Kepel seorang gadis yang hidup di hutan sendirian setelah ditinggal kedua orangtuanya. Bertemu dengan Panji Seputro dan Wasanta yang sedang berburu

Lakon

[sunting]

Kepel

Panji Seputro

Wasanta

Tok Tok Kerot

Lokasi

[sunting]

Hutan Paringga Nabastala


Alkisah di sebuah hutan bernama Paringga Nabastala hidup seorang anak bernama Kepel. Dulu dia tinggal bersama ibu dan bapaknya, namun bapaknya sudah meninggal beberapa minggu yang lalu. Kini dia hanya tinggal dengan ibunya saja.


Sayangnya, ibu Kepel saat ini dalam kondisi sakit akibat rasa sedih ditinggalkan oleh suaminya. Kepel sebagai anak yang berbakti sangat ingin membuat hati ibunya bahagia dan melupakan kesedihannya.


Setiap hari Kepel pergi ke kedalaman hutan untuk mencarikan ibunya bunga anggrek beraneka warna yang banyak tumbuh menempel di pohon-pohon. Hanya dengan memandang bunga-bunga anggrek itu ibunya bisa sedikit tersenyum.


Namun tampaknya Sang Maha Kuasa berkehendak lain. Beberapa minggu setelah bapak Kepel meninggal, ibunya ikut menyusul meninggalkan Kepel seorang diri. Kesedihan begitu Nampak di wajah Kepel.


Karena kesedihannya, Kepel memutuskan untuk tinggal dekat dengan makam kedua orangtuanya di dekat sendang. Kepel sengaja mengikatkan diri di salah satu dahan pohon beringin yang memayungi sendang, berharan Sang Maha Kuasa juga cepat memanggilnya.

***

“Wasanta siapkan berpekalan dan peralatan berburu, kita berangkat setelah matahari bergeser ke barat”. Panji Seputro memerintah pengawalnya.


“Baik Kanjeng”. Wasanta berbalik cepat menuju gudang besar.


Tepat matahari beranjak kea rah barat dua laki-laki menunggang kuda bertolak ke arah barat menuju hutan terlarang.

***

Yung Biyung, Biyung Biyung

Nyuwun sega wadahe tuwung

Nyuwun bojo sing diiring paying


Dari keheningan hutan terdengar suara lirih Kepel yang bersenandung sambil berlinangan air mata. Di bawah terlihat kuburan ibu dan bapaknya. Sudah berbulan-bulan Kepel terikat kuat di dahan pohon. Badannya ringkih tinggal tulang berbalut kulit. Anak yang sangat berbakti pada kedua orangtuanya itu begitu patah hati.


Tanpa makan, minum dan membersihkan diri, Kepel terlihat sama dengan dahan pohon. Tidak Nampak sama sekali ada manusia di dahan pohon itu.

***

Panji Seputro dan Wasanta tiba di bibir hutan tepat ketika matahari mulai muncul di ufuk timur. Perjalanan menempuh puluhan kilometer mereka lakukan demi menebus rasa penasaran. Konon katanya hutan tersebut pantang dikunjungi karena berbahaya. Tetapi Panji Seputro tahu semakin sedikit manusia yang masuk hutan tersebut maka semakin banyak pula hewan buruannya.


“Wasanta dari mana sebaiknya kita mulai perburuan?”. Panji Seputro sambil lalu bertanya pada pengawalnya setelah istirahat sejenak.


“Sebaiknya kita menyisir tepi hutan dahulu Kanjeng, baru masuk ke dalam hutan. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana”. Jawab Wasanta.


Panji Seputro mengangguk dan segera membereskan perlengkapan mereka. Beberapa menit kemudian dua kuda sudah berderap menyisir tepi hutan dengan gagah.


Namun setelah beberapa waktu mereka tak kunjung menemukan hewan buruan. Panji Seputro memutuskan langsung masuk ke kedalaman hutan. Baru beberapa menit berjalan di sisi kiri berjarak sekitar 300 meter terlihat rusa yang sedang asyik memakan rumput.


Insting hewannya bekerja dengan cepat menyadari kehadiran orang asing di sekitarnya sehingga rusa itu dengan cepat berlari menjauh. Panji Seputro dan Wasanta bergegas mengejar rusa itu.

***

Panji Seputro memutar kepalanga, mereka kehilangan jejak rusa dan tersesat di kedalaman hutan.

“Wasanta bagaimana ini, rusa itu hilang dan sepertinya kita tersesat”. Panji Seputro menepuk pelan bahu Wasanta.


“Tidak perlu khawatir Kanjeng kita ikuti saja arah matahari, nanti kita akan sampai di tepi hutan lagi”. Wasanta mengawasi sekeliling.


Karena takut harus bermalam di hutan yang gelap, kedua laki-laki itu menyentak tali kekang kuda mereka dengan bergegas. Hanya saja mereka tidak juga sampai di tepi hutan dan seperti hanya berputar-putar.


“Wasanta, apa kau dengar itu. Sepertinya ada yang sedang bersenandung”. Panji Seputro menghentikan laju kuda dengan tiba-tiba.


Wasanta mencoba mendengar dengan lebih teliti. Memang terdengar senandung dan suara tangis. Tapi siapa yang bersenandung di hutan terlarang seperti ini. Apakah itu hantu?


Wasanta melesat memeriksa berkeliling, sementara Panji Seputro menajamkan telinganya dan mengikuti insting. Mendekat kea rah pohon beringin yang menaungi sendang. Benar dugaannya dari sanalah suara berasal.


“Wasanta, cepat kemari. Sepertinya suara tadi berasal dari sini. Tapi tidak ada seorangpun di sini. Apa benar itu hantu?”. Teriak Panji Seputro.


“Saya manusia, Kanjeng”. Kepel menjawab dari balik dahan.


Sontak Panji Seputro dan Wasanta kaget sampai terjatuh. Mereka bergegas menuju arah suara, namun tidak menemukan adanya manusia di sana. Ternyata Kepel sudah berbentuk seperti tonjolan pohon yang kurus kering dan kucel.


Panji Seputro memerintahkan Wasanta untuk menurunkan Kepel dengan hati-hati. Sosok Kepel yang lusuh dan kurus kering membuat Panji Seputro kasihan. Dia gendong tubuh Kepel dan membawanya ke sendang.


Panji Seputro mulai membilas tubuh kotor Kepel dengan air sendang. Dan betapa terkejutnya dia melihat sosok di depannya ternyata seorang perempuan dengan paras rupawan.


Wasanta segera mengambil apapun yang bisa menutupi tubuh Kepel, namun tidak menemukan sesuatu yang bisa digunakan.


“Tolong Kanjeng ambil tongkat di atas makam itu dan patahkan:. Kepel berkata pada Panji Seputro sambil memeluk erat tubuh telanjangnya.


Wasanta segera mengambil tongkat di atas makam itu dan memberikannya pada Panji Seputro. Itu adalah tongkat peninggalan bapak Kepel. Jika Kepel membutuhkan tinggal mematahkan tongkat tersebut dan keinginannya akan tercapai.


Begitu tongkat dipatahkan, muncullah puluhan baju-baju dan kain cantik yang bertebaran, siap dipakai oleh Kepel. Panji Seputro menyerahkan baju dan kain itu untuk dipakai oleh Kepel.


Panji Seputro benar-benar terpesona melihat Kepel yang sudah malih rupa menjadi gadis cantik seperti bidadari di hadapannya. Mereka bertiga lantas duduk-duduk di tepi sendang sambil makan bekal yang dibawa oleh Panji Seputro.


Berhari-hari mereka tinggal di hutan itu, dan semakin hari Panji Seputro semakin jatuh hati. Akhirnya Panji Seputro memberanikan diri meminta Kepel menjadi istrinya. Kepel karena sama juga jatuh hati pada Panji Seputro akhirnya bersedia menikah dengan Panji Seputro.


Panji Seputro dan Kepel bahagia setelah pernikahan mereka, namun di hutan ini tidak ada tempat yang bisa ditinggali. Untuk membuat gubuk saja dibutuhkan peralatan yang memadai dan mereka tidak membawanya.


“Tolong Kanjeng ambil buntalan kain di atas makam itu dan bakarlah”. Perintah Kepel pada Panji Seputro.


Wasanta yang berjalan menuju makam dan mengambil buntalan kain. Membuka dan memberikan isinya pada Panji Seputro. Ternyata isinya adalah kemenyan. Kemenyan itu adalah barang yang ditinggalkan oleh ibu Kepel dulu sambil berpesan jika membutuhkan sesuatu Kepel tinggal membakar kemenyan itu.


Begitu kemenyan dibakar, muncullah istana megah seperti sulap dari asap kemanyan itu. Wasanta kembali terkejut, begitu pula Panji Seputro. Namun mereka sama-sama bahagia karena sekarang punya rumah untuk ditinggali.

***

Kebahagiaan pasangan baru itu terganggu dengan datangnya Tok Tok Kerot, raksasa perempuan yang tinggal di sebelah barat hutan. Dia kepincut dengan Panji Seputro dan ingin menjadikannya suami. Karena itu dia mendatangi rumah Kepel untuk menakuti dan menjadikan Kepel terlihat buruk di mata suaminya.


Iki opo?”. Tanya Tok Tok Kerot pada Kepel.


Niku gaman Bibi”. Jawab Tok Tok Kerot

“Mengko yen teko irisen ilate, yen ora kowe tak rajang-rajang koyo kembang, tak iris-iris koyo buncis”. Tok Tok kerot mengambil pisau dan menyuruh Kepel mengiris lidah Panji Seputro atau jika menolak maka Kepel akan di jadikan bunga rajangan.


Iki opo?”. Tanya Tok Tok Kerot pada Kepel.


Niku duren Bibi”. Jawab Tok Tok Kerot

“Mengko yen teko kepruken sirahe, yen ora kowe tak rajang-rajang koyo kembang, tak iris-iris koyo buncis”. Kemudian Tok Tok Kerot mengambil durian di atas meja dan menyuruh Kepel memukul kepala Panji Seputro dengan durian itu.


Panji Seputro dan Wasanta menjadi marah karena Kepel melukai Panji Seputro demikian rupa. Menuduh Kepel sudah gila dan meninggalkan Kepel di hutan itu sendirian. Kepel memandang sedih kepergian mereka berdua. Sementara Tok Tok Kerot mengawasi dengan senyum di wajahnya.


Namun Wasanta tahu ada sesuatu yang aneh, di sepanjang jalan dia menaburkan kulit padi sebagai jejak. Tadi meski Panji Seputro berdarah setelah dilukai Kepel, tapi sekejap kemudian dengan kain jaritnya Kepel dengan mudah mengobati luka itu.

***

Kepel memantau terus sepak terjang Tok Tok Kerot dan tahu bahwa raksasa itu tidak berhasil menyusul Panji Seputro. Pastilah suaminya saat ini sudah keluar dari hutan dana man. Kepel bergegas membungkus beberapa kain dan makanan dan melangkahkan kaki menuju batas luar hutan.


Tidak pernah sekalipun seumur hidupnya Kepel keluar dari hutan itu. Tapi demi bertemu kembali dengan suaminya dia bertekad akan terus mencari. Dengan mengandalkan remah-remah kulit padi, Kepel melanjutkan langkah sampai keluar dari hutan.


Setelah beberapa minggu berjalan, mencari ke segala arah, dan bertanya pada setiap orang yang dijumpai Kepel merasa gelisah. Tidak ada yang kenal dengan Panji Seputro. Akhirnya Kepel berjalan kembali ke hutan Karena putus asa.


Tetapi untungnya harapan Kepel tidak pupus, di tepi hutan sebelum Kepel masuk terlihat sesosok berkuda yang ternyata Wasanta. Kepel begitu gembira begitu juga Wasanta. Wasanta bergegas memberikan kuda satunya untuk Kepel dan menuntunnya menjauhi hutan.


Sehari berkuda mereka sampai di sebuah bangunan megah. Kepel terpesona melihat bangunan itu sampai tidak menyadari Panji Seputro sudah berada tepat di sampingnya. Begitu sadar Kepel segera turun dan memeluk suaminya dengan erat.


Kepel menjelaskan tindakannya dengan tergesa dan memohon maaf pada Panji Seputro. Panji Seputro sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang disembunyikan istrinya dan memeluk erat perempuan cantik di depannya.


Mereka bertiga masuk ke dalam bangunan megah yang ternyata adalah istana kerajaan. Kepel baru menyadari bahwa Panji Seputro adalah seorang pangeran. Mereka berdua tinggal dengan bahagia di istana tersebut.