Kepingan Memori Suatu Negeri
Premis
[sunting]Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun yang tidak sengaja pergi ke masa lalu dan mengetahui kepingan sejarah negerinya yang hilang dimana dari kejadian tersebut mengubah cara pandangnya tentang sejarah dan kehidupan.
Lakon
[sunting]- Dika
- Kakek
- Ibu Dika
Lokasi
[sunting]Di suatu negeri
Cerita Pendek
[sunting]Bertemu Seorang Kakek
[sunting]Siang ini langit tampak mendung dengan embusan angin yang cukup dingin untuk membuat bulu kuduk berdiri. Sepertinya, badai akan datang sebentar lagi. Kupercepat langkahku agar segera sampai di rumah, aku tidak ingin satu-satunya tas sekolah yang kumiliki basah kuyup. “Harusnya aku menuruti perkataan ibu untuk membawa payung lipat itu.” gumamku.
Sampai di perempatan jalan dekat rumah, aku melihat seorang lelaki tua berdiri di pinggir jalan memandangi ramainya lalu lalang kendaraan, “Sepertinya kakek itu ingin menyeberang jalan” pikirku. Kudekati kakek yang memakai setelan pakaian berwarna putih tersebut dan menawarkan bantuan, “Kakek ingin menyeberang? Mari saya bantu, Kek.” ujarku pada kakek itu. Kakek tersebut berbalik dan menghadap ke arahku menganggukkan kepalanya pertanda setuju dengan apa yang aku tawarkan.
Terlihat wajah kakek tersebut tegas namun bijaksana dengan jenggot putih tipis di dagunya, kakek tersebut juga memakai kain yang diikatkan di kepala. Dari penampilan kakek tersebut aku berkesimpulan bahwa kakek tersebut berumur sekitar 60-an tahun dan sepertinya tipe orang yang masih memegang teguh adat.
“Terima kasih, Nak.” ucap kakek setelah sampai di seberang jalan. “Sama-sama, Kek. Senang bisa membantu.” jawabku sambil tersenyum. “Nak, apakah kamu mengetahui bagaimana sebenarnya negerimu ini di masa lalu?” tanya kakek tiba-tiba. Diberikan pertanyaan seperti itu aku pun gelagapan, jawabannya jelas aku tidak mengetahuinya, “Saya tidak tahu, Kek. Hehe.” jawabku.
Malu rasanya tidak bisa menjawab pertanyaan kakek, boro-boro bisa menjawab pertanyaan itu, ketika pelajaran sejarah di kelas pun mata ini rasanya seperti ada lem yang merekat kuat. Kakek tersebut hanya tersenyum mendengar jawabanku, kemudian dia melepaskan ikat kepala miliknya dan memberikan benda tersebut kepadaku, “Ini untukmu sebagai rasa terima kasih kakek. Kakek ingin berpesan, sebagai generasi muda penerus negeri ini wajib hukumnya mempelajari sejarah negerimu sendiri, agar kesalahan yang dilakukan pendahulumu di masa lalu tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.”
“Terima kasih, Kek.” Kuterima kain ikat kepala pemberian kakek. “Ingat baik-baik pesan Kakek ya, Nak. Kakek mau melanjutkan perjalanan dulu.” ujar kakek. “Siap, terima kasih, Kek. Hati-hati di jalan dan salam untuk keluarga di rumah.” Kakek tersebut berjalan meninggalkanku dan aku masih berdiri di tempat yang sama menatap kepergiannya. “Hm.. apa maksud kata-kata kakek itu?” tanyaku pada diriku sendiri. ‘Tik..tik’ tetesan gerimis membuyarkan lamunanku. Segera aku bergegas melanjutkan perjalanan ke rumah.
Aku Ada Di mana?
[sunting]Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB. Aku teringat ikat kepala pemberian kakek tadi, kuambil benda tersebut dari dalam tas. Kuamati kain putih tersebut sambil rebahan di tempat tidur, “Hm, seperti kain putih biasa pada umumnya.” gumamku. “Kenapa kakek tadi tiba-tiba membahas tentang sejarah? Kesalahan apa yang dibuat pendahulu negeri ini? Dan siapa pendahulu yang dimaksud?” Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku yang entah akan terjawab atau tidak. “Mungkin aku akan menanyakan hal tersebut ke Pak Yos (guru sejarah di sekolah).”
‘Hoam’ Cuaca yang gerimis dan sedikit dingin membuatku mengantuk. Kurapatkan badanku ke guling yang ada di sebelahku dengan tangan yang masih menggenggam kain putih itu. Beberapa detik kemudian, entah mengapa aku melihat sekelilingku menjadi gelap, benar-benar gelap, bahkan aku tidak melihat sedikit pun cahaya dari luar jendela, padahal hari masih siang menjelang sore. Aku merasakan guncangan yang hebat, aku berusaha keras untuk berdiri dan mencari jalan keluar. Namun sia-sia, akhirnya aku memutuskan untuk meringkuk di atas tempat tidurku. Kudekap bantal di sekitar kepalaku, untuk melindungi kepalaku jika kamarku roboh. Aku sangat takut, “Ibu, ibu!!!” teriakku. Namun, aku tidak mendengar suara ibu menyahut panggilanku. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa.
Tidak lama setelah itu, aku mendengar suara kicauan burung dan gemercik air. Karena penasaran, kubuka mataku perlahan. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat, aku berada di mulut gua yang di luarnya terdapat sungai dengan arus yang tidak terlalu deras. Airnya sangat jernih dan bersih. Di sekitar tempat itu terdapat pepohonan yang rindang dan tersusun rapi, banyak burung kecil yang hinggap di dahannya. Indah sekali pemandangan di tempat itu. Kurasakan aku sedang menggenggam sesuatu. Setelah kulihat ternyata kain yang diberikan kakek tadi. Kumasukkan kain tersebut dalam saku celana.
“Kenapa aku bisa berada di sini? Ini di mana? Apakah aku bermimpi?” Kucubit lenganku untuk memastikan bahwa ini nyata, “Aw, sakit!” Walaupun masih berada dalam kebimbangan antara nyata atau tidak, aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Kulangkahkan kakiku untuk mengeksplorasi tempat tersebut. Sekitar lima belas menit aku berjalan menyusuri jalan setapak, aku menemukan sebuah pemukiman yang bisa dibilang itu sebagai pusat kota. Namun berbeda dengan kota seperti Jakarta yang didominasi oleh gedung-gedung tinggi, kota di tempat tersebut terlihat seperti kota kuno namun tidak primitif dan mereka telah memiliki peradaban yang cukup maju menurut pandanganku.
‘Puk’ Aku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku. Betapa terkejutnya aku ternyata orang itu adalah kakek yang aku temui sepulang sekolah tadi. “Eh, kakek. Kenapa kakek ada di sini?” tanyaku. “Mari, Nak. Ikut ke rumah kakek, kakek akan menceritakan semuanya kepadamu. Tapi sebelum itu, apakah kamu membawa kain putih yang kuberikan padamu?” tanya kakek. “Maksud kakek ini?” tanyaku sambil memperlihatkan kain itu. Kakek mengambil kain putih tersebut dan mengikatkannya di kepalaku. “Semua laki-laki di tempat ini menggunakan kain ikat kepala, Nak. Jadi kamu harus memakainya juga.” jelas kakek. Kemudian kami berjalan menuju ke rumah kakek.
Rumah kakek tersebut terbuat dari kayu jati, mirip rumah-rumah kuno yang ada di Jawa. Beberapa dinding bagian depan terdapat ukir-ukiran berbentuk seperti bunga. Ketika masuk ke bagian dalam, terdapat semacam kolam kecil yang di atas permukaan airnya terdapat beberapa bunga teratai putih bermekaran.
“Duduklah, Nak.” ujar kakek mempersilakanku duduk. “Baik, Kek. Kek, apakah saya boleh bertanya. Ini sebenarnya di mana? Dan kenapa saya tiba-tiba bisa ada di sini?” tanyaku pada kakek. “Ini adalah keadaan negerimu 12.000 ribu tahun lalu, 500 tahun sebelum terjadinya malapetaka dahsyat yang menghancurkan negeri ini.” jawab kakek sambil menuangkan air ke sebuah cawan dari tanah liat dan memberikannya padaku. “Hah, 12.000 tahun yang lalu!? Bagaimana bisa aku sampai di 12.000 tahun lalu?” sulit bagiku untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh kakek. Kakek tersebut hanya tersenyum dan berkata, “Jika Sang Maha Pencipta telah menakdirkanmu untuk bisa sampai di sini, hal tersebut pun akan terjadi, mudah saja bagi-Nya untuk melakukan hal tersebut.” Aku hanya menganggukkan kepalaku, dalam hati aku berkata, ‘Benar juga apa yang dikatakan kakek.’
“Tapi bukti sejarah atau tulisan tertua di negeri ini berasal dari abad ke-4 atau 1.600 tahun yang lalu. Bagaimana dengan hal tersebut? Belum pernah ditemukan bukti prasasti yang berumur 12.000 tahun yang lalu.” sedikit aku mengingat tentang pelajaran sejarah. Kakek pun menceritakan semua kepadaku , “Belum ditemukan, bukan berarti tidak ada kan? Jauh sebelum itu, leluhur kami, yang juga leluhurmu, telah menghuni dan membangun sebuah peradaban yang maju di wilayah negaramu saat ini. Kami sudah mengenal tulisan, ilmu matematika dan astronomi sangat berkembang, dan kami mengaplikasikannya untuk kehidupan kami, seperti membangun bangunan dengan presisi, pertanian yang sangat luas dengan sistem pengairan yang kompleks, dan navigasi pelayaran. Bahkan kami juga bisa memisahkan logam dari bijihnya.” jelas kakek. Aku hanya terdiam dan mendengarkan dengan penuh antusias.
Kakek pun melanjutkan ceritanya, “Penduduk negeri ini mempunyai jiwa spiritual yang tinggi, kami menyadari adanya suatu kekuatan Yang Maha Agung, yaitu Sang Pencipta alam semesta. Untuk itu kami menyelaraskan diri dengan alam dengan melakukan olah cipta, rasa, dan karsa. Dengan ketiga hal tersebut, kami memanfaatkan sumber daya alam pemberian Sang Pencipta untuk bertahan hidup. Sebagai bentuk rasa syukur, kami tidak hanya menggunakan akan tetapi juga menjaga dan bertanggung jawab atas keseimbangan alam di bumi ini.”
“Lalu mengapa peradaban tersebut berakhir?” tanyaku. “Ratusan tahun berlalu, generasi pun berganti, penduduk negeri ini mulai lupa kepada Sang Pencipta. Puncaknya ketika ilmu pengetahuan berada di titik tertinggi, ilmu tersebut tidak membuat manusia mendekatkan diri kepada Sang Pencipta namun malah digunakan untuk menantang Sang Pencipta. Jiwa spiritual yang ada pada penduduk negeri telah mati, manusia menjadi tidak bermoral yang tersisa hanya kesombongan, nafsu, dan keserakahan yang mengakibatkan kerusakan pada negeri ini. Bahkan para pemimpinnya saling berebut takhta dan kekuasaan hingga saling menumpahkan darah. Mungkin hanya beberapa puluh orang saja yang masih berpegang teguh pada kebenaran. Hingga suatu hari terjadi malapetaka yang sangat dahsyat, beberapa kali gempa bumi ringan mengguncang negeri ini dalam sehari semalam, namun gempa terkuat datang pada dini hari, ketika orang-orang sedang tertidur, dan tiba-tiba muncul air bah yang sangat tinggi menerjang seluruh negeri dan menenggelamkannya. Hari itu banyak penduduk negeri yang mati, hanya segelintir manusia saja yang selamat. Mereka yang selamat kebanyakan tinggal di dataran yang lebih tinggi. Mereka berkumpul di suatu bangunan suci yang kami bangun di atas bukit. Bencana tersebut merupakan teguran dari Sang Pencipta kepada penduduk negeri ini. Sebagian peduduk yang selamat memutuskan untuk keluar dari negeri ini dan membangun peradaban di tempat baru sedangkan sebagian lainnya tetap tinggal di negeri ini dan membangun kembali semuanya dari awal.”
“Jadi seperti itu ya Kek, terima kasih sudah menceritakan hal ini kepada saya. Dan sekarang saya mengerti apa maksud dari perkataan kakek sepulang sekolah tadi.” jelasku. Kakek tersebut hanya tersenyum padaku, tapi penglihatanku semakin lama rasanya semakin kabur dan semua berubah menjadi putih.
Aku Kembali
[sunting]Aku membuka mata, mataku berkeliling melihat sekitar. Tembok putih, meja belajar coklat, lemari pakaian abu-abu, tempat yang familier bagiku, ya.. ini kamarku. Aku yang dalam keadaan berbaring di tempat tidur mengubah ke posisi duduk. “Apakah ini mimpi?” Aku mencubit lenganku, “Aww, sakit!” Untuk memastikan bahwa aku benar-benar di dunia nyata, aku menampar pipiku “Aduh, sakit! Berarti tadi aku hanya bermimpi? Tapi mengapa tampak begitu nyata?” tanyaku pada diriku sendiri.
‘tok tok tok’ terdengar suara ketukan di pintu kamarku. “Dika, bangun, Nak! Ini sudah sore. Ibu sudah siapkan air hangat untuk mandi.” teriak ibu dari luar kamarku. “Iya, Bu. Dika sudah bangun.” Segera aku mengambil pakaian dan menuju ke kamar mandi.
Pelajaran Hidup
[sunting]Semenjak saat itu, aku mulai tertarik dengan sejarah. Aku senang membaca buku-buku sejarah peradaban manusia, karena aku seperti pergi ke masa lalu dan membayangkan berada di antara tokoh-tokoh yang diceritakan dalam sejarah tersebut. Namun, hal yang terpenting adalah aku dapat mengambil pelajaran kehidupan dari suatu tulisan. Seperti kata kakek tua yang pernah aku temui waktu itu, jangan lupakan sejarah dan belajarlah dari hal itu agar kesalahan orang-orang terdahulu tidak akan terulang di masa yang akan datang.
TAMAT