Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita
Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita
[sunting]Penulis: Haidir Andi Novianto
Penafian
[sunting]Cerita ini hanya fiktif belaka meski menggunakan latar tempat yang nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Isi Cerita
[sunting]Aku Nadya, lahir dari Ayah keturunan Inggris dan Ibu dari Indonesia bersuku Jawa. Sejak saat itu aku merasa muak dengan kata sekolah, entahlah, mungkin karena aku terlalu mengambil hati dan merasa tidak dihargai berada dalam lingkungan mereka. Semenjak orang tuaku memutuskan pindah ke Indonesia semua kehidupan di sekolahku sebelumnya berubah.
“Nad, kamu kemana aja? Sudah 2 hari kamu tidak masuk sekolah” tanya Bu Dinda yang merupakan wali kelasku. “Saya?, ya di rumah Bu,” jawabku singkat. “Kalau kamu di rumah, kenapa orang tuamu tidak memberitahu ibu?” jelas Bu Dinda. “Saya yang minta Bu,” singkatku. “Mau saya telepon orang tuamu?” ancam Bu Dinda. Saat itu aku hanya memandangi langit-langit ruangan kantor. Seandainya yang ada di hadapanku bukanlah orang tua pasti aku akan lawan dan mengelak.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Bu Dinda lagi. “Ya bu, saya berbohong dan saya minta maaf, saya bolos tanpa sepengetahuan orang tua saya.”
“Ada alasan apa kamu berani bolos seperti itu? Dari yang Ibu lihat, kamu ini sedang ada masalah. Kamu itu baru sebulan sekolah di sini dan masih kelas X tapi sudah berani bolos,” ucap Bu Dinda.
“Saya baik-baik saja kok, Bu. Lagi malas aja. Hehehe.” Kujawab Bu Dinda dengan berbohong. “Ibu bisa baca tatapan matamu yang berbohong, Nadya. Ayo sini cerita aja sama Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu.”
Aku pun menceritakan apa yang sedang kualami saat ini, merasa tidak dihargai dan dikucilkan karena aku berbeda dengan mereka. Perbedaan membuat mereka tidak menghargaiku, mereka berbicara seenaknya dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Terkadang aku hanya diam dan mencoba untuk bersabar, tapi rasanya kesabaran itu hilang ketika mereka benar-benar tidak menganggapku lagi.
“Kenapa kamu mengambil hati? Mungkin mereka hanya ingin bercanda dan ingin dekat denganmu,” jelas Bu Dinda. “Tapi kan bercanda gak harus kayak gitu juga kan, Bu? Mereka keterlaluan Bu, kadang mereka membicarakan aku di belakang dan suka mengejekku.”
“Iya sih memang, tapi tidak semua seperti itu. Masih ada kok yang mau berteman sama kamu. Kamu hanya melihat sebelah mata, Nadya. Cobalah kamu lihat yang lain.” Ucap Bu Dinda.
“Iya sih, Bu. Tapi saya jera, saya capek dengan ledekan-ledekan seperti itu. Ada beberapa yang membuat saya jadi malas. Pertama, ada Sena yang suka menganggap dirinya paling benar, Bu. Dia kayaknya benci Bu sama saya. Setiap saya ajak bicara dia selalu tertawa dan tidak menganggap saya. Kedua, Lita. Dia terkadang baik sekali tapi dia tiba-tiba berubah jutek kalau sudah bergabung dengan teman-temannya. Yang terakhir ada Denis yang suka menyontek sama saya, Bu. Eh, dia malah gak pernah bilang terima kasih sama saya, Bu.” Jelasku lagi supaya Bu Dinda mengerti akan persoalanku.
“Nanti Ibu akan panggil siapa yang meledek kamu tadi. Sekarang Ibu harap kamu jangan malas untuk ke sekolah dan kamu harus fokus mengikuti setiap pelajaran yang ada. Kamu itu pintar, Nadya. Jadi sayang kalau disia-siakan. Nanti ibu akan minta penjelasan dari mereka. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas,”
Bu Dinda mencoba menenangkanku dan memberi saran yang baik. Setelah aku pikir-pikir lagi tidak ada salahnya jika aku menuruti saran yang Bu Dinda berikan.
“Baik, Bu, saya minta maaf karena sudah bolos sekolah, saya tidak akan mengulanginya lagi, Bu.” Balasku dengan kepala tertunduk. Aku pun kembali ke kelas. Seperti biasa, aku hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru.
Beberapa jam kemudian.
“Permisi… Maaf, bu, saya ada perlu dengan Nadya.” Seorang siswa yang meminta izin pada guru kami untuk memanggilku karena ada keperluan. Aku pun keluar sembari memikirkan apa yang akan terjadi.
“Ada apa, ya?” tanyaku saat di depan kelas. “Ikut aja, ayo, Bu Dinda panggil kamu,” jawabnya singkat. Aku pun mengikuti anak laki-laki itu dan melihat lebih jelas, sontak aku teringat bahwa dia adalah salah satu siswa yang sering kali menggangguku. “Selamat siang, Bu. Ini Nadya-nya sudah datang,” sapanya. “Oh, iya-iya. Kalian berdua duduk dulu sebentar, ya. Ibu mau panggilkan yang lain,” seru Bu Dinda.
Kami hanya mengangguk dan duduk manis sambil menunggu Bu Dinda memanggil yang lainnya. Tidak lama kemudian datang segerombolan orang-orang yang selama ini aku tidak sukai, orang-orang yang selalu menggangguku karena sebuah perbedaan.
“Ya, karena kalian sudah berkumpul di sini, Ibu mau bertanya terlebih dahulu kepada Sena,” seru Bu Dinda memulai percakapan serius kami.
“Saya bu? Ada apa dengan saya?” Sena kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidaklah gatal.
“Sena, kamu kenal perempuan yang di sebelah kamu?”
“Ya kenal lah Bu, dia kan teman sekelas saya.”
“Apa kamu merasa ada yang salah antara kalian berdua?” tanya Bu Ida lagi.
“Emmm...” Sena mulai berpikir.
“Kayaknya gak ada deh, Bu. Saya berteman baik-baik aja dengan Nadya. Ya ‘kan, Nadya?” jawab Sena dan aku hanya melihatnya dengan wajah kebingungan.
“Sekarang Ibu tanya kalian berdua, Lita dan Denis. Kalian juga kenal kan sama Nadya?” Ku lihat mereka hanya tersenyum sinis dan mengiyakan pertanyaan Bu Dinda.
“Ibu kenapa sih tiba-tiba nanya-nanya kayak gitu? Kami kan sekelas, Bu. Ya pasti kami kenal lah. Huuhh,” jawab Lita yang sedikit kesal.
“Kalian bertiga tidak merasa ada yang salah? Ibu dengar dari Nadya kalau kalian suka sekali mengejek dan menyontek?” tanya Bu Dinda lebih serius lagi.
“Hah? Ngejek Nadya? Nyontek?” sontak Sena, Lita, dan Denis menjawab dengan bersamaan. “Hahaha. Ya nggak lah, Bu. Masa’ kita ngeledekin temen sendiri. Ya kalaupun nyontek kan wajar ya, Bu. Namanya juga ada yang saya gak bisa. Nah, Nadya kan pinter, bu, jadi kami nyontek dong” jawab Denis. “Iya, Denis. Ibu tau kalau kamu tidak pintar. Tapi kamu seharusnya belajar, bukan nyontek sama teman!” jawab Bu Dinda yang sedikit kesal.
“Baiklah, Bu. Maafkan kami, ya. Saya suka mengejek Nadya karena menurut saya dan teman-teman yang lain kalau dia itu susah untuk diajak bergaul, Bu. Dia itu selalu menutup diri kalau bergabung dengan kami,” jawab Lita dengan wajah serius dan sebentar-sebentar dia melirik ke arahku.
“Baiklah, Ibu sudah menemukan permasalahannya. Ibu akan membantu kalian berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini.”
“Bu, kami malah gak bermaksud untuk menyakiti perasaan Nadya. Kami pikir kami bisa bergaul baik dengan Nadya, ya kami sadar ternyata cara kami bercanda itu salah,” seru Sena mencoba menjelaskan.
“Iyaaa emang jelas salah dong kalau bercandanya kayak gini. Jangan bawa-bawa fisik kan bisa. Aku emang beda sama kalian tapi jangan ledekin aku dong,” jawabku.
“Tolong maafin kami, ya. Kami janji gak akan lagi bercanda yang kelewatan. Semoga kita bisa jadi teman dekat dan semoga kita bisa saling berbagi ya, Nad.” Seru Sena lagi yang membuat hati ku sedikit tenang.
“Ya udah, aku maafin, soalnya orang tuaku juga ngajarin buat maafin orang lain. Aku gak nuntut banyak kok, cukup hargai aku aja temen-temen.” Mereka pun memahami perkataanku dan hanya mengangguk serta tersenyum padaku.
“Nah, gitu dong. Perbedaan itu wajar. Nadya yang orang tuanya campuran Inggris-Indonesia membuat fisiknya agak berbeda dari kalian. Dia baru pindah dari negara asal ayahnya, wajar ada sedikit perbedaan kultur dan budaya. Jadi seharusnya kalian rangkul Nadya, bukan menjauhi dan menyinggung perasannya.
Setelah kejadian itu, aku pun memiliki banyak teman di kelas. Bukan hanya di kelas saja, tetapi satu sekolah. Aku mulai mengikuti ekstrakurikuler seperti basket, paduan suara, dan drama. Aku begitu menikmati setiap harinya membuatku semangat untuk pergi ke sekolah, belajar, dan bermain bersama-sama dengan teman-temanku. Kami sering kali saling bertukar cerita.
Hal itu membuat kami menjadi semakin akrab dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Bahkan, orang yang dulu aku kenal jahat ternyata mereka begitu baik dan ceria. Aku salah menilai mereka dan begitu pun dengan mereka yang salah menilaiku. Terima kasih teman karena sudah mau menerima perbedaan ini.