Keunikan Masjid Kuno Bayan
Keunikan Masjid Kuno Bayan
Selepas salat Asar berjamaah, Opin menemui kakeknya. Dia hendak menagih janji. Kakeknya tersenyum lalu mengajak semuanya untuk bersiap-siap.
“Ayo kita jalan, Nak! Kakek sudah siap, nih!” kata Kakek Opin di depan pintu rumah.
Dari dalam rumah Opin menyahut, “Siap, Kek! Opin juga sudah siap ini. Tunggu sebentar, ya.”
Tidak butuh waktu lama bagi Opin untuk menyiapkan diri. Selain membawa bekal air minum dalam botol khusus, dia tidak lupa membawa peralatan menggambar.
“Ayo, Kek! Oya, ayah, ibu sama nenek tidak ikut, Kek?” tanya Opin saat dia dan kakeknya melangkah menuju halaman rumah.
Tanpa mereka sadari, di belakang mereka telah berdiri ayah, ibu, dan nenek Opin.
“Ayah mau bantu ibumu menangkap ayam. Kamu jangan nakal ya!” Terdengar suara ayah Opin di depan pintu.
Opin menghentikan langkahnya dan menjawab, “Beres, Bos! He he he.”
Sebelum Opin benar-benar berangkat, nenek Opin berkata, “Nenek sama ibumu mau masak. Jadi tidak bisa ikut. Kami hati-hati, ya. Jagain kakeknya.”
“Siap, Komandan!” jawab Opin sambil tersenyum dan menggerakkan tangannya dalam sikap hormat.
Setelahnya Opin menghampiri mereka dan mencium tangan mereka bertiga secara bergantian.
Tawa pun melepas keberangkatan mereka berdua. Opin terlihat semangat menggendong tas ransel warna hitamnya. Sesekali dia terlihat membetulkan letak topi merah marunnya. Di sampingnya, kakeknya melangkah pelan.
“Kakek kenapa kita tidak minta tolong ayah untuk mengantar kita?”
Kakeknya tersenyum kemudian berkata, “Tidak perlu, Nak. Cuma dekat, kok. Tidak sampai lima menit jalan kaki. Ya hitung-hitung olahraga kita. Ha ha ha.”
Keduanya pun tertawa sambil terus menyusuri jalanan kampung. Sambil berjalan, mata Opin tidak pernah lepas dari sekeliling. Di kanan dan kirinya dia menemukan banyak rumah penduduk yang mirip dengan milik kakeknya.
Kebanyakan dirancang sebagai bangunan tahan gempa. Anak kecil berkaus cokelat itu tersenyum. Anak laki-laki berusia 11 tahun itu seolah-olah menemukan permainan baru. Permainan itu bernama pengalaman yang akan dia coba mewujudkannya dalam bentuk gambaran. Dia menyimpan rapi ingatan agar lebih mudah dalam mengubahnya menjadi lukisan.
Opin mendadak merasakan pundaknya dicolek. Dia pun menoleh ke arah kakeknya.
“Jangan senyum-senyum terus. Kita sudah sampai ini,” kata kakeknya mengejutkan Opin.
Opin menghentikan langkahnya dan berkata, “Serius, Kek? Kok cepat sekali?”
Kakek Opin tidak menjawab. Dia mengelus-elus kepala Opin. Dia pun menunjuk pintu masuk dan menggandeng tangan Opin menuju ke sana.
Setelah melewati pintu masuk, keduanya menuju bangunan sederhana tidak jauh dari gerbang. Di sana mereka membayar uang masuk. Meskipun keluarga Opin penduduk asli daerah yang dikenal dengan nama Bayan itu, tetapi tetap berlaku sebagai pengunjung biasa.
Keluarga Opin tidak mau diistimewakan. Kecuali saat ada seorang pemuda menawarkan diri hendak menawarkan sebagai penunjuk jalan. Kakek Opin menolak karena memang mereka berdua tidak memerlukan pemandu.
Setelah melewati turunan panjang yang agak landai, mereka berdua menaiki beberapa anak tangga. Tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah bangunan. Di atas hamparan rumput hijau di bawah pohon kemboja dengan bunga putih bermekaran, Opin mengajak kakeknya duduk.
Dengan saksama Opin memperhatikan setiap detail bangunan yang terlihat. Dimulai dari bagian bawah hingga atap. Sesaat kemudian, Opin telah membuka tasnya dan mengeluarkan perlengkapan menggambarnya. Dengan tekun dia menggambar bangunan itu. Sambil mencoret-coret, dia mendengarkan penjelasan kakeknya.
“Masjid ini dinamakan Masjid Bayan Beleq atau Masjid Bayan Besar. Pada zaman dulu, masjid berusia lebih dari 300 tahun ini digunakan sebagai tempat ibadah penganut Wetu Telu,” kata kakek Opin mengawali cerita.
Opin memutuskan menghentikan gerakan tangannya. Dia pun menoleh ke arah kakeknya. Satu pertanyaan disampaikan untuk mengobati penasaran.
“Wetu Telu itu apa, Kek?”
Kakek Opin mengerutkan kening. Lelaki berpeci putih itu sedang mencari kata-kata yang tepat agar mudah dimengerti oleh Opin. Hingga akhirnya dia pun membuka suara.
“Wetu Telu yang artinya Waktu Tiga dalam Bahasa Indonesia merupakan praktik unik sebagian masyarakat asli Lombok yaitu suku Sasak yang menjalankan hanya tiga rukun Islam. Ketiganya adalah sahadat, salat, dan puasa.”
“Terus kenapa ada praktik ini di Lombok, Kek?” tanya Opin sambil menatap kakeknya.
Kakek Opin membetulkan letak kacamatanya lalu berkata, “Praktik unik ini ada karena para penyebar Islam di masa lampau berusaha mengenalkan Islam secara bertahap. Nah pada saat sampai tahap ketiga, para penyebar itu menghilang. Jadi mereka baru memahami sampai tiga saja. Begitu, Nak.”
Opin mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat kemudian dia meneruskan menggambarnya. Dia menghentikan gerakan tangannya ketika hendak menggambar bagian atas.
“Bagian atas itu namanya kubah ya, Kek? Kok beda dengan masjid-masjid lain?” Opin bertanya dan menatap bagian atap masjid.
Setelah membetulkan posisi duduknya, kakek Opin pun mulai bercerita, “Betul! Itu salah satu keunikan arsitektur tradisional Lombok khususnya masjid, Nak. Masjid ini memiliki gaya arsitektur kubah yang disebut dengan tajug. Pasti kamu mau bertanya apa itu tajug, kan. Baiklah Kakek jelaskan ya. Tajug adalah atap berbentuk piramida atau limas bujursangkar, yaitu dasar persegi empat sama sisi dan satu puncak.”
Opin tidak henti-hentinya tersenyum mendengar penjelasan kakeknya. Terdorong rasa ingin tahu, dia pun bertanya banyak hal terkait masjid itu kepada kakeknya.
“Jadi arsitektur masjid ini termasuk jenis tradisional. Tidak heran jika bentuknya sederhana karena memang masjid ini merupakan masjid pertama di Lombok. Masjid kuno ini memiliki ukuran sembilan kali sembilan meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran rendah. Sedangkan bagian atapnya berbentuk tumpang yang disusun dari bilah-bilah bambu. Kamu tahu sembilan kali sembilan itu berapa tidak? He he he ...” kata kakek Opin melanjutkan ceritanya.
Mendengar pertanyaan itu, Opin hanya menjawab dengan tawa singkat. Secara jujur dia mengaku pada kakeknya kalau dia lupa jawabannya. Kakeknya hanya tertawa sambil memberitahu hasil perkaliannya.
“Makanya belajar Matematika yang benar. Ha ha ha ...,” kata Kakek sambil mengelus kepala Opin.
Mengetahui kakeknya sedang meledeknya, Opin pun mengalihkan topik pembicaraan.
“Bagaimana dengan pondasi dan lantainya, Kek? Opin lihat ada batu-batu di bagian bawah,” kata Opin sambil menunjuk ke arah pondasi masjid.
Kakek Opin pun memberikan syarat sebelum melanjutkan ceritanya. Dia meminta Opin untuk menjawab pertanyaan perkalian dari 1 sampai 10. Dengan semangat Opin menerima syarat dari kakeknya. Namun, dia tiba-tiba berhenti ketika sampai di perkalian angka 9. Dengan bantuan kakeknya, Opin pun akhirnya berhasil menghitung hasil perkalian tersebut.
Kakek Opin tersenyum dan selanjutnya berkata, “Pondasi bangunan ini terbuat dari batu kali. Sedangkan lantainya terbuat dari tanah liat yang ditutupi tikar buluh.”
“Keunikan lain dari masjid apa, sih, Kek?” tanya Opin sambil merapikan gambarnya yang belum selesai.
Sambil menunggu kakeknya menjawab, Opin memasukkan perlengkapan menggambarnya ke dalam tas. Dia pun menggendong tas itu dan mengajak kakeknya mendekati masjid.
Setiba di depan masjid, dia mendengar kakeknya memberikan syarat lagi sebelum melanjutkan cerita. Dia pun menyebutkan perkalian dari 6 sampai 10. Namun, baru sampai perkalian angka 8, kening Opin terlihat berkerut.
Melihat hal itu, kakeknya pun membantu Opin menyelesaikan hafalan perkalian sampai 10. Tidak lama kemudian kakek Opin melanjutkan ceritanya.
“Di dalam masjid ini terdapat empat tiang penyangga terbuat dari kayu nangka berbentuk silinder. Selain itu juga terdapat bedug yang digantung di atap masjid. Tidak kalah uniknya, di dalam masjid ini terdapat makam salah seorang penyebar Islam di kawasan ini, yaitu Gaus Abdul Rozak. Begitu ceritanya.”
Opin terlihat puas mendengar cerita sekaligus penjelasan dari kakeknya. Setelah puas berkeliling area masjid, mereka pun memutuskan pulang. Setiba di rumah mereka disambut aroma sedap masakan ibu dan nenek Opin.