Lompat ke isi

Kisah Gio anak Lembah Baliem Wamena Papua

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Cerpen anak

[sunting]

Oleh : Tiurma Primadona Theodora Simanjuntak STP M.Si

Sinopsis

[sunting]

Sesudah mengalami peristiwa mengerikan akibat kerusuhan di Wamena sewaktu kecil ,Gio yang telah berumur dua puluhan dan menjadi seorang peneliti penyakit Jacob Desease ,kembali ke kota asalnya Wamena Papua dan berniat membantu orang se kampungnya di Desa Lembah baliem untuk tidak bertindak anarkis dan menjaga toleransi di papua.

Lokasi

[sunting]

Lembah baliem Wamena Papua

Kisah Gio anak Lembah Baliem Wamena Papua

[sunting]

Peneliti muda itu datang bersama seorang kakek tua dengan rambut pirang seperti bule. Banyak yang tidak mengenali kakek tua itu karena maskernya menutupi hingga hampir ke arah mata. Memang ‘jacob desease’ adalah penyakit keahlian kakek tua itu yang membuat Lembah Baliem semakin sunyi untuk memulai kisahnya.


“Gejala ringan nya hanya merasa pusing melihat daging mentah prof", kata peneliti muda itu sambil terus menatap tablet nya yang mulai low baterai. Untunglah tower di sekitar lembah baliem cukup banyak menampilkan sinyal internet yang lancar untuk browsing wajah-wajah suku komoro yang sudah berhasil di obati selama hampir 10 tahun ini.


“Orang ini agak putih dan tidak menunjukkan gejala pusing melihat daging mentah Prof,dan mahir menggunakan panah beracun hingga ke Pulau Jawa.” Peneliti muda itu melanjutkan browsing datanya. “Tampaknya dia dibesarkan dan bersekolah di Pulau Jawa “ sambungnya.

“Wah itu kelihatan tidak baik, tidak significant jika penderita cuma diam dan tidak merasa pusing melihat daging mentah. Kebanyakan mereka itu full attack" . Sahut Kakek Proffesor itu dengan cemas. Terutama setelah pandemik 2019, mereka menjadi Silent Killer diantara wabah yang tengah berlangsung. “Namanya Gio, Prof. Ibunya seorang pengungsi Vanuatu dan Ayahnya ada di Merauke. Selama ini dia diasuh oleh neneknya di Lembah baliem sejak usia 1 tahun” Peneliti muda itu sibuk mencari sesuatu di tabletnya. Entah itu sinyal atau screen shot gambar penderita Jacob desease yang mereka curigai. "Tapi gejala yang di derita Gio sepertinya Anxiety Prof. Kecemasan berlebihan terhadap masa lalunya di sini di kota dingin Wamena", Sahutnya lemah.

Insting peneliti muda itu lebih berkuasa daripada segala literatur penyakit jacob desease yang menjadi judul disertasi Doktoralnya. Baginya tidak semua keturunan Papua mempuyai galur murni DNA dengan protein prion seperti kanibalisme itu. Tapi data kohortnya masih ketinggalan jaman. Jika 20 tahun lalu dia melakukan sampling mungkin saja cara statistika ala Notoadmojo itu masih di percaya. Sekarang sudah tahun 2039, sudah 20 tahun sejak Gio, sahabat baiknya meninggalkan kota dingin Wamena ini.


Selamat datang di Kota dingin Wamena

[sunting]

Tulisan besar itu di baca baik-baik oleh lelaki muda berusia duapuluhan bernama Gio. “Lembah Baliem” Gio menghela napas. Matanya memerah. Ia kembali teringat ketika 20 tahun lalu sebelum pandemik akibat corona virus melanda dunia, Wamena bergejolak. Wamena adalah tempat kelahiran Gio. “Gio, kam jang lama di sekolah ee , kitong ke potikelek saja, jalanan kota padat demo jadi”. Zaki si anak padang mengajaknya Gio keluar kelas sambil berlari.

“Bu guru suruh sa menulis indah di papan hitam e, nanti saja kitong bajalan. Kam tipu sa sudah.” Gio asik dengan tugasnya menulis indah di papan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan dan dari arah gerbang sekolah para demonstran menyerbu masuk sekolah dan berteriak bakar bakar.

Langsung saja Zaki terinjak-injak oleh para pendemo yang kucar-kacir menuju kota karena di kejar sirena Polisi dan suara tembakan. Asap hitam menguasai halaman sekolah SD nya. Ternyata pendemo itu sempat menyiram bensin dan membakar bangku sekolah yang dihalaman secara bar-bar. Gio terisak..dia bersembunyi di kolong meja guru ketika para demonstran berteriak dan menghajar teman-temannya, termasuk Zaki. Badannya yang kurus akibat stunting membuat tubuhnya mudah bersembunyi dan ketika pendemo berkurang, ia menyelinap ke halaman kebun belakang sekolah menuju Lembah Baliem. Disana ada gereja kecil bernama GKI Bethlehem dan dia sangat dikenal Pak pendetanya. Kesanalah Gio kecil berlari sambil menangis meraung-raung. Kaki dan tangan nya tergores gores paku dan kayu hingga berdarah, tapi bagi anak kecil yang ketakutan setengah mati, di pikirannya hanyalah menuju Lembah Baliem itu mengindari para demonstran.Ketika tiba di halaman gereja GKI yang penuh rumput itu, Gio pingsan.


Hampir dua pekan telah berlalu, setelah kerusuhan Wamena pada tanggal 23 September 2019 terjadi, Gio dan kawan -kawan di rawat dan di pelihara oleh Jemaat GKI Betlehem. Ketakutan dan kepanikan membuat semua orang pergi mengungsi menyelamatkan diri dan berlindung di tempat-tempat yang lebih aman dan damai. Demikian pula dengan Gereja GKI Betlehem Wamena, menjadi salah satu tempat bagi pengungsi yang datang berlindung dan menyelamatkan diri. Betlehem adalah tempat terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang dari suku mana, ras apa, warna kulit, pekerjaan dan agama apa. Ada Suku Batak, Jawa, Makasar, Toraja, Manado, Maluku, dll termasuk Suku Papua. Ada yang beragama Kristen, Katolik dan juga Islam. Ada supir, tukang ojek, petani, ibu rumah tangga, anak sekolah, PNS, Jaksa, swasta, dll. Ada yang keriting, ada yang rambut lurus, ada yang kulitnya hitam dan juga putih. Ada ibu hamil, bayi, anak-anak, pemuda, dewasa bahkan sampai lanjut usia. Semuanya berjumlah 637 jiwa yang berhasil didata dan dicatat petuga gereja dan relawan , namun diperkirakan lebih dari 700an pengungsi yang berada di sekitar halaman Gereja GKI Bethlehem.

Tiga hari pertama adalah hari yang kritis, karena GKI Bethlehem harus berusaha secara swadaya untuk memberi makan pengungsi yang berada di lokasi Gereja. Yang mana pada saat itu situasi belum kondusif, belum ada kios, toko atau pun pasar yang dibuka dan berjualan, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan bahan makanan. Namun berkat dan kasih Tuhan tak pernah berkesudahan, Gereja dapat melayani dan memberi makan secara baik dan teratur, 3 kali makan sehari (sarapan pagi, makan siang dan malam). Dibagian belakang Pastori Klasis dijadikan dapur umum, Ibu Pendeta (isteri dari Ketua Klasis GKI Baliem Yalimo) dan beberapa ibu Majelis serta dibantu juga oleh beberapa ibu-ibu yang mengungsi, memasak menyediakan makanan bagi para pengungsi.

Di hari-hari selanjutnya bantuan bahan makanan (seperti beras, indomie, telur, gula, kopi, pampers, dll) mulai berdatangan ke Posko Pengungsian Betlehem, ada dari Pemerintah Daerah Kabupaten Jayawijaya (Bazarnas), Kanwil BPN Provinsi Papua, Kantor Pengadaian, Deraya Peduli, dan Labewa + IPDN. Ada juga bantuan atau sumbangan sayur-sayuran (hipereka, kol, sawi, kangkung, daun bawang, rica, tomat, dll) dari saudara-saudara kami di pinggiran Kota Wamena, yaitu Umat Katolik Yiwika, Jemaat Musaima, Jemaat Kurulu, Jemaat Hulesi dan Kurima.

Betlehem yang memiliki arti Rumah Roti, dalam pelayanannya dapat turut serta menyediakan/menerima – mengolah – dan membagikan Roti kepada setiap orang yang datang mengungsi dan berteduh di tempat ini. Gio pun bersyukur dapat sampai di tempat ini pada waktunya. Setelah pesawat dapat masuk ke bandar udara Wamena , Gio dijemput oleh saudara ayahnya, seorang pilot di Merauke yang sedang ditugaskan membawa pengungsi ke Malang. Sejak itu, Gio pindah dan bersekolah ke Pulau Jawa dan tinggal bersama pamannya.

Hari-hari pertama di sekolah dasar baru di Malang, Gio menjadi anak pemurung dan paling pendiam. Untunglah bahasa Indonesianya cukup baik dan karena dia suka menulis indah, ibu guru menyukai tulisan tangannya. Teman-teman sekolahnya sungkan menanyakan kabarnya dan cenderung membiarkan Gio histeris dan trauma mengingat-ingat masa lalunya.

“ Hitam kulit keriting rambut, aku Papua .” Terdengar lagu sedikit sumbang dari temen SDnya. “ Sudah jangan ganggu Gio ” Temannya yang dari kelas lain membelanya. “ Saya memang papua , jadi kenapa?” Gio mulai bersuara lantang. Dia kelihatan mulai tersingung dengan lagu temannya dan membuka view kamera Zooming. “ Ah, kawan kami bangga dengan saudara dari Papua. Ibu guru mengajarkan kita Bhineka Tunggal Ika ,berbeda-beda tetapi kita tetap satu jua,” seorang temannya bernama putri berusaha menjernihkan situasi. Gio pun akhirnya leave Zoom meeting itu, memang setelah tahun 2019 terjadi Pandemik akibat Corona Virus di tahun 2020 yang mengakibatkan aktifitas sekolah dan kerja dilakukan secara daring, baik menggunakan Zoom, Google meetings, Webex atau Whatsapp group. Pembatasan kontak fisik atau Physical Distancing mengakibatkan terjadi Social distancing.

“Ini Video tahun 2019 Ketika itu intoleransi dan rasisme di Pulau jawa juga marak.” Peneliti muda itu menunjukkan tabletnya kepada Gio. “Saya baru melihat video ribuan atau puluhan ribu massa di depan kantor Gubernur Papua, acara kemarin, seorang ibu berpidato. Ibu itu mengatakan bahwa anak-anak Papua yang di Jawa adalah anak-anak yang dia lahirkan, bukan anak monyet. Dia berkeringat membesarkan anak-anak itu. Dalam keringat itu mengalir darah Papua. Tapi mengapa Jawa dan NKRI menindas anak-anak Papua? Lalu ibu itu meneriakkan yel yel, setelah berhenti menghela nafas, teriaknya: Papua!, puluhan ribu rakyat langsung meneriakkan, "MERDEKA!, sambutnya lagi, Referendum!, sahutan massa, YES!” Cerita Gio dengan takjub melihat adanya dokumentasi sejarah yang meliput masa-masa suram itu.

“Perlu waktu 20 tahun untuk mengumpulkan keberanian membuka kembali asap tebal kerusuhan itu,” jawab peneliti muda itu. “ Yah, dan semua dalang kerusuhan itu satu per satu di tangkap dan diadili” “Intoleransi, satu kata yang menjawab segala dalang kerusuhan dan separatisme’’. Sahut Gio Dulu ketika anak-anak Zooming dan menghina dirinya , dia langsung leave dan tidak muncul dalam sekolah daring itu. Setiap ada anak tetangga yang menyapa di luar rumah, Gio sangat cemas dan takut di hina sehingga langsung berbalik arah ke rumah. Keadaan kecemasan luar biasa ini dideritanya hingga masuk SMP.

Seorang Psikolog anak,Mbak Mia mencoba membantu Gio kecil menghilangkan rasa cemasnya dengan memberikan latihan menulis cerpen setiap akhir minggu dan makanan tambahan yang bernutrisi tinggi. Dia juga mencoba mengajak Gio bercerita tentang hal-hal yang dia sukai dan dia tidak sukai serta mengurangi kecemasannya untuk sekolah online karena di hina teman-temannya.

Hingga akhirnya suatu hari teman-teman sekolah mendatangi rumahnya dan meminta maaf kepadanya. Waktu telah menyadarkan teman-teman sekolahnya bahwa tidak ada masalah dengan suku dan agama yang dianut seseorang. Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika.Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

September 2039.

[sunting]

Lembah Baliem yang mengelilingi desa kelahiran Gio terlihat sepi di kota dingin Wamena. Ia berjalan menyusuri jalan kecil dari potikelek menuju arah sebuah gereja kecil yang sekarang berdiri kokoh dengan penjaga keamanan dan QR code untuk absensi masuk. Itulah GKI Betlehem yang menyelamatkan Gio kecil. Gedung itu tampak semakin megah karena berbagai kebaikan yang telah di tebarnya.

“Bagaimana analisa jacob desease pada penduduk wamena” tanya Gio pada peneliti muda yang ternyata Zaki, temen SDnya itu. Zaki sempat hampir tewas terinjak massa kerusuhan Wamena 20 tahun yang lalu itu , untung saja polisi menyelamatkan Zaki dan teman-temannya. “Entahlah, saya masih harus mengambil sampel darah dan tulang untuk memastikan galur murni penyakit ini pada penduduk Wamena” sahut peneliti muda itu pada Gio dengan cemas. Tampaknya akan sulit bagi Zaki menyelesaikan Disertasinya, terutama di tambah lagi akan kecemasan yang berlebihan juga muncul pada dirinya. Akankah bakal terjadi kerusuhan Wamena seperti 20 tahun lalu. Kemungkinan selalu ada. Mungkin yang harus dia teliti sekarang adalah kecemasan akibat adanya kehidupan intoleransi itu.


Mungkinkah anak-anak jaman Now dapat membantu Gio dan Zaki dewasa mengatasi intoleransi di kota kelahirannya Wamena Papua?.








.

Profil Penulis Tiurma PT Simanjuntak STP, MSi


Tiurma Primadona Theodora Simanjuntak STP,M.Si Lahir di Pematang siantar tanggal 22 september 1978. Anak pertama dari lima bersaudara dari Ayahanda bernama Proffesor Matheus Timbul Simanjuntak, PhD.MSc.Apt (ALM) dan Ibunda bernama I.Manullang, M.Sc. Lulus SD St.Antonius II Medan tahun 1990, Melanjutkan ke SMP St Thomas 1 Medan Sumut dan Lulus tahun 1993, Melanjutkan ke SMA St. Thomas 1 Medan Sumut dan Lulus tahun 1996. Lulus Masuk UMPTN ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Lulus tahun 2000 dengan predikat Lulusan tercepat dan terbaik seangkatannya, Melanjutkan study Magister Biokimia di FMIPA dengan beasiswa BPPS-DIKTI ke Institut Teknologi Bandung dan Lulus tahun 2004.Pernah menjabat sebagai ketua 2 Kimiawan PAPUA di Himpunan Kimiawan Indonesia tahun 2015. Menjadi Dosen Biokimia di Sekolah Tinggi Kesehatan Sari mutiara Medan sejak tahun 2000-2009 dan Dosen Kontrak Biokimia Gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih Papua tahun 2011-2017.Pernah masuk sebagai peserta Riset Asisten Bioteknology Inwent-GBF DAAD ke German tahun 2003-2004.Sekarang aktif bekerja sebagai Guru di SMA Talenta Kopo Bandung.