Kisah Paijo dan Keikhlasannya

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Kisah Paijo dan Keikhlasannya

Di sebuah kota yang tenang hiduplah seorang anak bernama Paijo. Ia tinggal dengan kedua orangtuanya di sebuah rumah mewah dengan beragam fasilitas yang lengkap. Meskipun Paijo hidup sangat berkecukupan, namun ia bukanlah anak yang sombong. Ia tetap rendah hati dan suka menolong pada orang di sekitarnya. Seperti hari ini, ia membantu menyeberangkan jalan Pak Wagimin, pengemis buta yang tinggal di dekat perpustakaan kota, tak jauh dari lampu merah. Pagi cerah kala mobil yang mengantar Paijo berhenti tepat di lampu merah, tampak kerumunan orang mulai menyeberang satu persatu. Beberapa puluh detik menjelang lampu merah berganti hijau, Paijo melihat Pak Wagimin tampak ragu menyeberang, rupanya tongkat penunjuk jalan yang biasa menemaninya ketinggalan. Dengan segera Paijo turun dari mobilnya, “Tunggu Pak Wagimin, aku dataaang…..!, teriak Paijo. Tampaknya Pak Wagimin mendengar teriakan itu, dengan cepat ia menghentikan langkah kakinya yang hampir menyentuh zebra cross. Paijo segera menggamit tangan Pak Wagimin dan bergegas membimbing Pak Wagimin menyeberang jalan. Sesampai di seberang jalan, “Terimakasih nak Paijo atas bantuannya,” bisik lirih Pak Wagimin dengan mata berkaca-kaca pada Paijo. “Tunggu disini pak, saya ada sesuatu untuk Bapak,” ucap Paijo saat melihat kedua tangan Pak Paijo melenggang tanpa membawa apa-apa. Setelah melepaskan genggaman tangannya, bocah laki-laki yang riang itu berjalan kembali ke mobilnya meninggalkan pria tua yang bekerja sebagai pemijat tunanetra itu menunggunya. Bergegas Paijo masuk ke mobilnya, menyambar tempat bekal berwarna biru di jok mobilnya. “Kenapa diambil tuan muda?”, Tanya Pak Bambang, sopir keluarga yang sedari tadi menunggu Paijo kembali ke dalam mobil. “Ada deeeeeh…..!” Jawab Paijo sambil tertawa lebar. Kembali ia berlari menuju Pak Wagimin yang tampak setia menunggunya di tepi jalan. Rupanya Paijo tahu kalau pagi itu Pak Wagimin ketinggalan membawa bekal. Sebab, biasanya setiap pagi Paijo selalu mengamati Pak Wagimin menyeberang jalan selalu membawa bekal makanan yang terbungkus kain lusuh beserta tongkat penunjuk jalannya. Tapi kali ini Pak Wagimin tak membawanya. “Tumben Bapak tidak membawa bekal?” Tanya Paijo. “Iya nak….” Pak Paijo menjawab lirih serupa gumaman. “Kemarin Bapak seharian keliling-keliling kota mencari orang yang mau pijat, tapi tak ada satupun yang pijat. Bahkan sampai jam satu malam bapak baru pulang ke rumah…. Uhuuk… uhuuuk….”, Pak Wagimin menjawab sambil terbatuk-batuk. “Bapak sudah makan belum?”, Tanya Paijo. Pak Wagimin diam seribu basa, hanya bunyi perutnya yang menjawab, pertanda mulai kemarin tak ada sedikitpun makanan singgah di perutnya. “Hari ini Bapak terburu-buru berangkat, tongkat bapak kemarin dirampas anak-anak nakal pengamen di sekitar sini nak….” Ucap Pak Wagimin lirih sambil mengusap airmatanya. Kebetulan di sekitar lampu merah ada polisi yang sedang menginterogasi anak-anak nakal pengamen yang diceritakan Pak Wagimin. Segera Paijo mengadukan hal itu pada polisi. Tongkat penunjuk jalan Pak Wagimin tampak ada di genggaman salah seorang dari mereka. Segera polisi memberikannya pada Paijo yang meneruskannya pada Pak Wagimin. Bukan main gembiranya Pak Wagimin menemukan tongkatnya kembali, setelah mengucapkan trimakasih. Ia segera berlalu dari pandangan Paijo sambil menunjukkan wajah yang bahagia dengan membawa bekal milik Paijo. Air mata Pak Wagimin pagi itu telah berubah menjadi senyum bahagia meskipun tidak membawa bekal, sebab tak ada persediaan makanan yang bisa dimasak di rumahnya. Namun berkat pertolongan Paijo, hari itu ia tak akan kelaparan lagi. Paijio tersenyum, dia bahagia bisa membantu orang lain. Kembali ia ke dalam mobilnya dengan segera.


Setelah selesai mengikuti pelajaran di sekolahnya, tiba datangnya bunyi bel istirahat. Semua teman Paijo sibuk membuka bekal masing-masing, hanya Paijo yang tidak membuka bekal’ “Waduuuh perutku lapar banget, bekalku udah kuberikan pada Pak Wagimin tadi pagi…,” Paijo garuk-garuk kepala. “Astaghfirullah…. Aku harus ikhlas!” ucap Paijo dalam hati. Tampak teman-temannya ceria memakan bekal yang mereka bawa. Paijo berusaha tetap tidak kalah ceria, “Krrrrkkkk…krrrrk…., bunyi perutnya keroncongan. Dia teringat nasehat ayah dan ibunya untuk menolong sesama, “Ketika kamu sudah berniat menolong terutama bagi mereka yang lebih memerlukan, kamu harus ikhlas. Anggaplah seakan-akan barang yang kau berikan hilang, jadi kamu bisa ikhlas tanpa mengingatnya kembali,” nasehat ibunya terngiang-ngiang. “Jangan pernah mengingat lagi apa yang pernah kamu berikan pada orang lain, apalagi sampai meminta balasannya… pantangan, ingat itu! Hanya berharaplah pada Allah pencipta-Mu,” pesan yang sama dari ayahnya tetap lekat di ingatan. Paijo sadar bahwa Pak Wagimin lebih memerlukan makanan daripada dirinya. Berbeda dengan Pak Wagimin yang tidak memiliki makanan sedikitpun di rumahnya, Paijo bisa memakan beragam makanan di kulkas besarnya di rumah, ataupun memesannya secara instant melalui aplikasi. Kini Paijo sangat ikhlas melakukan kebaikannya, dan ia tak memikirkannya lagi. Ia beranggapan bahwa makanannya hilan, sehingga perutnya tidak meronta-ronta lagi. Tiba-tiba datanglah Bu Atun, ibu gurunya yang ramah dan sangat penyayang pada murid-muridnya. “Kenapa kamu tidak makan Jo?”, Tanya Bu Atun. “Saya tadi pagi memberikan bekal saya pada Pak Wagimin, beliau belum makan mulai kemarin Bu….” Paijo menjawab lirih. Bu Atun mengangguk-angguk, ia tidak menanyakan lagi, sebab seluruh kota mengenal Pak Wagimin, pemijat tunanetra yang hidup sebatangkara di sebuah gubuk dekat perpustakaan kota. “Ayo ikut Ibu!” ajak Bu Atun dengan ramahnya. Paijo mengikuti Bu Atun ke ruangannya. Setelah duduk berhadap-hadapan di meja Bu Atun, ibu guru yang baik itu mengeluarkan bungkusan dari dalam lemarinya. Tercium aroma sedap ayam goreng kesukaan Paijo. “Krrrk…. Krrrrrk…….,” kembali perut Paijo meronta-ronta. Seakan memahami perut Paijo yang meronta-ronta, Bu Atun segera menyorongkan bungkusan itu kepada Paijo. “Ini untukmu, Ibu sengaja beli tadi pagi karena nilai ulanganmu kemarin terbaik dari seluruh teman-temanmu,” Paijo tertegun, tak bisa berkata apa-apa, apalagi merk ayam goreng bertabur paprika bubuk itu adalah brand kesukaannya. Paijo makin tak bisa berkata apa-apa, air liurnya makin deras, “Sudah sana bawa, cepat makan dan habiskan sebab sebentar lagi bel masuk berbunyi,” tukas Bu Atun. Tanpa dikomando, Paijo berterimakasih, kemudian secepatnya meninggalkan ruangan Bu Atun. Sesampai di ruangan kantin, Paijo berbaur dengan teman-temannya memakan bekal makan siang. “Bagi dong Jooooo…..!, rengek Tunik, teman perempuan yang biasanya duduk tepat di belakang bangkunya. Paijo tersenyum lebar, kemudian memberikan sepotong ayamnya pada Tunik, “Nih…!” Tunik tampak sangat senang sekali dengan pemberian ayam goreng tepung. Segera ia melahap cepat ayam yang masih hangat itu. Tak lupa Paijo berdoa sebelum memulai makan siangnya. Dalam doanya saat makan siang ia bersyukur pada Tuhan atas keMahaBaikannya memberinya makanan melalui Bu Atun di saat perutnya meronta-ronta kelaparan. “Alhamdulillahirobbil alamien….., tutup doanya. Segera ia mencomot ayam goreng tepung yang renyah dan lezat itu. Setelah mencomot ayam goreng dengan balutan tepung yang renyah dan lezat itu, Paijo beralih menikmati sup krim ayam. Dengan aroma bawang yang sangat gurih, ditambah lembutnya jagung yang telah digiling lembut. Sesaat kemudian Paijo baru sadar bahwa ia telah melupakan salad. Segera dikunyahnya potongan sayuran segar uang dibanjiri saus mayonnaise itu. Selada segar, wortel, semua dilumatnya tanpa ampun. Giliran burger segera disikatnya. Potongan roti berbentuk bulat dengan taburan wijen terasa lembut di mulut saat mengunyahnya, dipadu beef panggang yang gurih dipadu saus sambal pedas yang lezat. Dan…. “Kries…..” kembali daun selada dikunyahnya. Berikutnya, kentang goreng lezat dengan sedikit taburan garam. Sungguh sulit dilupakan rasanya, Paijo merasa dunianya berputar ke fantasi alam warna-warni yang indah. “Hmmm…. Alhamdulillah ya Allah, enaknya makan saat perut lapar begini,” Paijo mengunyah terus kentangnya hingga tandas. Tiba giliran terakhir, es krim vanilla dengan taburan choco chips di atasnya. Tapi…. “Duuaaaak…!!!,” es krim lepas dari genggamannya, jatuh menghantam lantai. Paijo segera memeriksanya, “Alhamdulillah tidak tumpah,” Paijo tersenyum lebar, memungut kembali wadah es krim mungil itu, membersihkannya dengan tisu, lalu membukanya perlahan. Kembali dia tenggelam dalam keasyikan menikmati es krim yang manis dan segar itu. Bel sekolah berbunyi, tanda jam pelajaran berikutnya dimulai kembali. Paijo bergegas kembali ke kelasnya.

Bel pulang sekolah berdentang. Paijo bergegas membereskan buku-bukunya, memasukkan ke dalam tas, segera berjalan menuju gerbang sekolah. Tapi di tengah perjalanan ia menjumpai Pakinyul, teman sekelasnya yang paling penakut. Pakinyul menangis terisak-isak, “Kamu kenapa?,” Tanya Paijo. “Hari ini emakku tidak bisa jemput aku, sepeda ontel emak dijual untuk beli beras, aku pulang dengan siapa? Hiiik hiiiik……” Pakinyul mengatakan itu di antara sedu sedan tangisnya. Paijo terhenyak, ia diam sesaat membayangkan betapa sulitnya posisi Pakinyul saat ini. Dalam hati berucap, “Kasihan Pakinyul, jarak pulang ke rumahnya sangat jauh, belum lagi resiko kehujanan,” mata Paijo mengerling ke langit, mendung tebal menggelayut, hujan mulai turun rintik-rintik namun angina berhembus kencang. “Ayo pulang bareng aku, cepetan keburu hujan!”, Paijo segera menggamit tangan Pakinyul. Tanpa berkata-kata lagi, Pakinyul bergegas mengikuti langkah Paijo. Mereka secepat kilat masuk ke dalam mobil. Pak Bambang tersenyum lebar melihat kedatangan anak majikannya itu, “Anak yang baik, pasti kali ini membantu orang lain lagi…”, gumamnya dalam hati. “Pak Bambang, tolong antarkan Pakinyul pulang dulu, mamanya tidak bisa jemput,” ujar Paijo dengan sopan. “Siap Tuan Muda!” jawab Pak Bambang dengan nada suara mirip tentara di film-film militer. Dan mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Mobil melaju di tengah derasnya guyuran hujan. Paijo berusaha menenangkan Pakinyul yang merasa tak enak hati diantarkan pulang. Enampuluh menit berlalu, sampailah di lokasi dekat rumah Pakinyul. Hujan telah reda, meskipun tidak mengantar sampai depan rumahnya, namun Pakinyul tetap berterimakasih dan merasa senang. “Terimakasih Paijo, terimakasih Pak Bambang,” Paijo membungkukkan badan, kemudian berlalu memasuki gang sempit menuju rumahnya. Paijo dan Pak Bambang tersenyum bahagia berhasil mengantar Pakinyul pulang ke rumahnya. Tiba saatnya kembali pulang ke rumah Paijo. Sampai di rumah, tampak Ayah dan Ibu Paijo di depan pintu rumah. Wajah mereka mengekspresikan kecemasan yang luar biasa sebab tak biasanya anak mereka pulang terlambat. “Apa yang terjadi?” Tanya Ibu Paijo saat melihat anaknya turun dari mobil. Paijo segera menceritakan penyebab keterlambatannya pulang ke rumah. Ayah Ibunya hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Segera menyuruh Paijo membersihkan diri dan beristirahat. Pak Bambang turun dari mobil, bergegas menghampiri majikannya, dan menceritakan hal-hal mulia yang dilakukan Paijo hari ini. “Alhamdulillah….” Ayah Paijo berbisik lirih. Saat tiba makan malam, Ayah Paijo membuka percakapan dengan berita kenaikan laba perusahaannya yang berlipat ganda hari ini. “Jadi, ayah dapat bonus tahunan sepuluh kali lipat, kita akan liburan kemana? Ke New Zealand seperti tahu lalu setuju tidak?”, Tanya Ayah Paijo. Paijo menggelengkan kepala, Ayah Paijo kaget, “Lha terus kemana maumu?”, pria itu mengerenyitkan dahi. “Paijo ingin sebagian uang itu diberikan ke panti-panti asuhan dan rumah-rumah ibadah,” jawab Paijo sambil tersenyum. Kedua orangtua Paijo tertawa lebar. Sudah bukan hal mengejutkan lagi bila anak itu sering mengusulkan hal tersebut. Mereka telah hapal dengan kebiasaan Paijo untuk membantu sesama. “Baiklah ayah setuju, tapi sebagiannya tetap kita pakai untuk jalan-jalan,” tukas ayah Paijo. “Jangan semua ayah, sisihkan sebagian untuk tabungan,” usul Paijo. “Bagaimana bu, setujukah dengan usul Paijo?” Tanya Ayah Paijo pada istrinya. “Iya pak aku setuju saja, mana yang terbaik untuk kita semua,” jawab Ibu Paijo. Dan suasana makan malam berlanjut kembali dengan canda tawa dan kehangatan di keluarga Paijo. Malam kian larut, Paijo bersiap-siap untuk tidur, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamarnya. “Siapa?,” tanya Paijo dari balik kamar. “Ini ibu Jo, jangan lupa sebelum tidur sikat gigi dahulu!,” jawab Ibu Paijo dari balik pintu. “Iya bu, siap!,”Paijo menjawab sambil membuka pintu kamarnya, tapi Ibunya sudah berlalu. Setelah sikat gigi, Paijo beranjak menuju peraduannya, berdoa sejenak sembari membayangkan kejadian yang telah dijalaninya seharian tadi. Ia tak pernah menyangka bahwa keikhlasan dalam membantu sesama akan berbuah manis, berupa hadiah indah tak ternilai baik dari-Nya. Ia ingat betul bekal yang diberikan pada Pak Wagimin hanya setangkup roti tawar berlapis mentega, namun balasan yang diterimanya dari Tuhan sungguh luar biasa, “Bu Atun tadi memberiku empat potong ayam goreng tepung paprika yang lezat, ditambah semangkok sop cream, salad, ice cream, burger, dan…. kentang goreng,” gumam Paijo sambil mengingat-ingat yang diingatnya tadi pagi. Kemudian kembali terngiang kata-kata ayahnya tadi sewaktu di meja makan tentang laba keuntungan perusahaan yang hari ini tiba-tiba melejit menjadi sepuluh kali lipat, sungguh merupakan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan pada keluarganya. Dan…. Paijo pun terlelap dalam mimpi indahnya beserta sebuah pelajaran yang dapat dipetik manfaatnya, yakni keikhlasan membantu sesama.


Keesokan paginya Paijo bangun tidur dengan sebuah semangat baru ke sekolah. Setelah berpamitan dan mencium tangan kedua orangtuanya, Paijo bergegas ke mobil. Tampak Pak Bambang yang selalu siap mengantar jemput tampak bersiap-siap di mobil. “Pagi Pak Bambang,” sapa Paijo ramah. “Pagi juga Paijo,” Jawab Pak Bambang ramah. Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang mulai ramai. Saat di lampu merah mereka melihat Pak Wagimin menyeberang dengan bantuan tongkat penunjuk arahnya,tak lupa di tangan kirinya membawa makanan, yang tentu saja ditempatkan dalam tempat bekal pemberian Paijo. Pak Wagimin tersenyum dan melambaikan tangannya dari kejauhan, seakan tahu bahwa Paijo sedang memperhatikannya. Dan Paijo pun membalas senyuman itu, meskipun Pak Wagimin tak dapat melihatnya, namun Paijo yakin naluri Pak Wagimin sangat tajam.


SELESAI