Kisah Seorang Pramuantar
Sinopsis
[sunting]Riono, seorang mahasiswa akhir di kota Yogyakarta menemukan pengalaman berharga dalam hidupnya. Pengalaman itu diperoleh ketika dia yang bekerja sambilan sebagai pramuantar (porter) sedang membawa barang peralatan mendaki milik rombongan pendaki dari Makassar. Dia menolong seorang pendaki yang sedang berjuang melalui masa kritis ketika hipotermia menyerang tubuhnya.
Tema
[sunting]Kesadaran untuk mencintai diri sendiri.
Sasaran
[sunting]Untuk usia 17 tahun ke atas.
Tokoh
[sunting]Latar Tempat
[sunting]Gunung Prau, Dataran Tinggi Dieng (masuk wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah )
Penafian
[sunting]Cerita ini hanya fiktif belaka meski menggunakan latar tempat yang nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Isi cerita
[sunting]
Libur Semester Telah Tiba
[sunting]Libur semester sudah seperti hari raya bagi mahasiswa rantau yang jauh dari kampung halamannya. Setelah satu semester terbelenggu rutinitas membosankan setiap hari. Bagiku, libur semester menjadi permulaan perjalanan menuju suatu tempat yang tak hanya diukur oleh jarak, tetapi juga oleh rindu yang menyimpan banyak kenangan.
Aku terlahir di desa Bakal yang terletak sebelah barat desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Sebuah desa kecil yang tidak terkenal seperti desa Dieng. Meski Bakal hanya desa kecil, di sini setiap hari selalu dihiasi oleh senyum hangat warga yang saling sapa. Kehangatan kehidupan desa ini seperti sebuah pelukan di tengah dinginnya udara pegunungan.
Hari ini adalah hari pertama libur semester. Aku pun mulai bersiap-siap untuk kepulanganku besok pagi. Menyusun isi ransel yang akan aku bawa pulang dan merapikan kamar agar tidak menjadi sarang tikus ketika aku tinggal. Pada malam hari ketika hendak beristirahat seseorang menghubungiku melalui WhatsApp.
“Selamat malam kak, benar ini dengan Kak Rion dari Dieng Porter & Guide”? seseorang dengan nomor baru memulai basa-basinya. Dieng Porter & Guide adalah tempatku bekerja sampingan sebagai porter atau pramuantar gunung.
“Ya, benar. Saya Riono. Maaf ini dengan siapa ya?”
“Oh iya, Kak. Perkenalkan saya Rendra dari Tangerang, Banten. Jadi begini, Kak. Kami, rombongan dari Tangerang berencana akan mendaki Gunung Prau pada hari Jumat besok. Kemarin saya mencari informasi tentang jasa porter terus di kasihlah nomor Kak Rion. Apakah Kak Rion bisa hari Jumat besok menjadi porter sekaligus memandu kami yang kebetulan masih pendaki pemula?” tulisnya.
“Baik, Kak. Silahkan bisa di isi dulu ya formulir pendaftarannya di link berikut!” balasku. Kemudian aku mengirimkan link formulir pendaftaran dan menutup ponsel. Aku merebahkan badanku di kasur kamar kost dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Tiba-tiba saja aku tenggelam pada ingatan dua tahun lalu ketika baru pertama kali menjadi seorang porter. Waktu itu aku mendapat tugas mengantar barang dan memandu rombongan pendaki pemula dari Makassar. Kenangan itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidupku. Ingatan itu selalu muncul ketika aku mendapatkan klien pendaki pemula dari kota.
Bertemu Badai
[sunting]Cerita ini terjadi pada saat aku sebagai seorang porter gunung sedang membawa barang milik rombongan pendaki dari Makassar di Gunung Prau. Mereka berjumlah lima orang, dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki, ditambah dengan aku dan Erik, jadi tujuh orang. Erik adalah temanku sesama porter yang lebih senior dan dia sekaligus menjadi pemandu pada pendakian kali ini. Rombongan ini dipimpin oleh Rudy, orang yang paling senior diantara mereka.
Kejadian itu berawal pada saat rombongan kami sedang melintasi hutan yang jalannya cukup menanjak. Hembusan angin yang sejuk di tengah rimbunnya hutan meredakan nafas kami yang kelelahan. Suasana berubah dengan cepat ketika kabut tebal tiba-tiba turun menutupi jarak pandang kami.
“Teman-teman, kita sudah sampai di pos terakhir sebelum sampai di camp area. Berhubung cuaca berkabut, ayo kita istirahat dulu sebentar!” Erik memimpin rombongan untuk beristirahat.
Jam tanganku menunjukkan pukul dua siang. Cuaca di gunung memang cepat sekali berubah. Tapi, kali ini suasana semakin gelap seolah badai akan datang. Pada saat itu aku melihat salah satu anggota rombongan tampak mulai terlihat tidak baik. Wajahnya pucat, dan matanya mencerminkan rasa kelelahan.
"Katya, apa kamu baik-baik saja?” aku mendekatinya dan bertanya.
“Iya, Kak Rion. Aku baik-baik saja, kok.” jawab Katya sambil memaksakan bibirnya tersenyum sambil menyembunyikan sesuatu. Namanya Katya. Dia yang paling muda di antara mereka. Dari awal berkenalan, dia orang yang pendiam dan sedikit sekali bicara.
“Sebentar lagi kita akan sampai camp area, apa masih kuat bertahan sebentar lagi? Aku liat kamu kelelahan." kataku.
“Tidak apa-apa, Kak. Aku masih kuat, kok.” jawabnya dengan senyum lemah. Pendakian kami lanjutkan dengan hati-hati karena jarak pandang terhalang kabut. Keadaan Katya semakin memburuk. Dia tampak kedinginan, dan langkahnya menjadi tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, akhirnya kami tiba di camp area.
Rasa lega dan bahagia terpancar di wajah kami. Namun, kegembiraan itu berubah ketika mendadak langit menjadi gelap dan gemuruh petir menggema. Badai menyambut kedatangan rombongan. Kami pun bergegas untuk mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, angin kencang melanda kawasan perkemahan, hujan deras mengguyur, dan petir menyambar di langit. Kami segera berlindung di tenda. Rombongan tampak ketakutan, namun Erik kemudian memberikan arahan agar tetap tenang dan waspada.
Badai itu membawa tantangan baru pada petualangan pertama mereka saat mendaki gunung. Meskipun keadaan sulit, kami bersama-sama bertahan, menghadapi cuaca di gunung yang terkadang tidak bisa diprediksi.
Hampir Mati Kedinginan
[sunting]Badai yang datang membuat kondisi Katya semakin memburuk. Tubuhnya mulai gemetar, sorot matanya terus meredup menunjukkan ketidakberdayaan, dan bibirnya membiru kedinginan. Ketika teman satu tendanya, Maria, menyadari kondisinya yang memburuk, dia kemudian memanggilku dan temanku sesama pemandu yang baru saja selesai mendirikan tenda. Aku dan Erik langsung berlari menghampirinya.
Dalam hati aku menduga, dia terkena hipotermia, sebuah kondisi penurunan suhu tubuh secara drastis yang membahayakan tubuh. Sesampainya di tenda, aku memeriksa kondisinya untuk memastikan. Ternyata benar dugaanku. Aku langsung menyuruh Maria untuk mengganti bajunya dengan yang kering dan hangat.
Setelah itu aku menyalakan penghangat di dalam tenda dan menghubungi tim evakuasi melalui saluran radio untuk jaga-jaga jika kondisi tidak membaik. Aku memberikan laporan kondisi Katya dan meminta mereka siap sedia jika diperlukan evakuasi darurat.
Beberapa saat kemudian, badai mulai mereda, namun kondisi Katya belum juga membaik. Akhirnya kami memutuskan membawanya turun. Tanpa menunggu lama, Aku dan Erik segera membuat tandu darurat menggunakan peralatan yang kami bawa. Tepat setelah aku dan Erik selesai membuat tandu darurat, tiga orang dari tim evakuasi datang sesuai dengan permintaanku. Kami pun dengan hati-hati, menyiapkan Katya ditandu dan bersiap untuk menuruni gunung.
Jalur pendakian menjadi licin setelah diguyur hujan. Kami pun berjalan dengan hati-hati sekali, memastikan bahwa Katya tetap nyaman selama perjalanan turun. Meskipun badai telah mereda, kami tetap berjaga-jaga dengan cuaca di gunung yang tidak bisa diprediksi.
Sesampainya di basecamp, tim evakuasi sudah menyiapkan ambulan untuk membawa Katya ke layanan kesehatan terdekat. Tim evakuasi langsung memindahkan Katya dari tandu darurat ke ambulan. Segera setelah itu ambulan berjalan dan sirine berbunyi beriringan dengan suara rintik hujan yang mulai turun kembali di sore itu.
Maria dan teman-teman satu rombongannya turun menyusul di belakang dengan ditemani oleh Erik. Tenda dan semua perlengkapan mendaki ditinggal di camp area untuk memperingkas perjalanan turun mereka. Mereka turun hanya membawa baju ganti dan barang-barang yang dirasa penting.
Setelah sampai di basecamp, mereka lalu bersiap-siap untuk menyusul Katya. Aku mengantarkan mereka berempat ke layanan kesehatan terdekat. Sesampainya di sana, suasana tegang memenuhi udara ruangan. Katya sedang menjalani pemeriksaan oleh dokter di UGD. Beberapa saat kemudian, dokter keluar dan menemui kami.
"Beruntung kalian segera bertindak cepat, dia sudah mencapai titik kritisnya.” ucap dokter dengan ekspresi lega.
“Bagaimana kondisi teman saya, Dok?” tanya Rudy yang menjadi pemimpin rombongan. Dia sejak kejadian di camp area terlihat begitu gelisah. Rudy menjadi menjadi orang yang paling bertanggung jawab dengan semua yang terjadi pada pendakian ini.
“Kondisinya semakin membaik sejak awal kami tangani. Sekarang berdoalah agar dia cepat pulih." jawab dokter.
Kami merasa bersyukur dan lega mendengar pernyataan dokter. Kami tinggal menunggu dengan hati penuh harap, berharap agar usaha kami untuk menyelamatkan Katya memberikan hasil yang baik. Kami duduk bersama, menunggu dengan doa dan harapan agar Katya segera pulih.
Pelajaran untuk Pendaki
[sunting]“Ting!” bunyi pemberitahuan di ponsel menyadarkan lamunanku.
“Sudah saya isi formulirnya, Kak. Ini pembayarannya bagaimana ya, Kak?” tulis Rendra di pesan WhatsApp.
“Oh, baik, Kak. Pembayarannya nanti aja kalau udah selesai trip. Dan mohon juga ya, Kak, untuk melengkapi dokumen pendaftaran juga diharapkan untuk membaca panduan keselamatan pendakian untuk kenyamanan bersama yang saya lampirkan.” jawabku. Kemudian aku mengirimkan artikel panduan keselamatan yang menjadi pedoman bagi pendaki sebelum memulai pendakian.
Belajar dari kejadian dua tahun yang lalu dan seringnya kejadian serupa di pendakian gunung membuat komunitas porter juga pengelola jalur pendakian memperketat peraturan bagi pendaki. Seperti surat keterangan sehat dari dokter, dan membawa perlengkapan yang memadai.
Kejadian seperti yang dialami Katya adalah salah satu contoh dari ratusan kecelakan yang terjadi di dalam pendakian. Bahkan, hipotermia seringkali mengakibatkan penderitanya meninggal dunia. Beruntung, Katya masih bisa diselamatkan karena tim evakuasi segera bertindak.
Rentetan peristiwa yang aku alami sejak pertama kali menjadi seorang pendaki gunung membawa banyak pelajaran berharga. Salah satu hal penting yang aku dapatkan adalah tentang persiapan. Persiapan harus benar-benar matang sebelum mulai mendaki. Banyak kecelakaan yang terjadi dialami oleh para pendaki pemula. Seringkali penyebabnya sama, persiapan yang tidak matang. Terutama persiapan fisik mereka yang belum terbiasa dengan suhu dan cuaca ekstrim di gunung.
Malam di kota ini masih saja ramai meski jarum jam pendek di dinding semakin menghadap ke atas. Aku pun tertidur di dalam kebisingan suara mesin kendaraan kota.
TAMAT
Daftar Istilah
[sunting]Istilah | Arti |
---|---|
Porter | Pramuantar atau pramubarang (bahasa Inggris: porter) adalah seseorang yang membantu bawakan barang milik orang lain. |
Guide atau Tour Guide | Pramuwisata atau pemandu wisata (bahasa Inggris: tour guide) adalah seseorang yang memberikan informasi terkait tempat wisata. |
Camp area | Area kemah atau Perkemahan (bahasa Inggris: Camp area) adalah tempat di alam terbuka yang memenuhi syarat untuk berkemah atau mendirikan tenda |
Link atau Pranala | Pranala atau hipertaut (bahasa Inggris: link) adalah sebuah acuan dalam dokumen hiperteks ke dokumen yang lain atau sumber lain. |
Tentang Penulis
[sunting]
Penulis bernama pena Aksata Kivandra yang lahir di wilayah kecil di Provinsi Jawa Tengah. Aktivitas sehari-harinya sekarang adalah bekerja. Dia menyukai penjelajahan, perjalanan, dan eksplorasi hal-hal yang baru. Pernah juga bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah sebagai pemanen. Dengan pengalaman penjelajahannya itu dia menemukan cerita-cerita menarik yang kemudian di tulis di buku hariannya. Menulis merupakan salah satu kegemaran dari beberapa kegemaran yang dijalaninya.