Kisah Tiga Sahabat

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Aji, Dara dan Sembada adalah tiga pemuda yang bersahabat erat. Dalam upaya menyelamatkan kerajaan Shaka, mereka terlibat petualangan ke negeri jauh Jawadwipa. Kisah mereka melibatkan nilai kesetiaan dan irisan sejarah mengejutkan.

Pangeran dari Shaka[sunting]

Peta Kerajaan Shaka dan Satavahana

Pada suatu masa, hiduplah seorang pangeran dari negeri Shaka di India yang bernama Aji. Sang pangeran merupakan pemuda yang pandai, ramah dan rendah hati serta dicintai ayahnya yaitu Raja Nahapana maupun rakyatnya. Dia tidak membeda bedakan kasta sehingga memiliki banyak teman bermain dari kalangan rakyat jelata. Dua sahabatnya yang paling dekat adalah Dara dan Sembada. Seringkali dia mengajak kedua sahabatnya ke perpustakaan kerajaan untuk membaca buku bersama.

“Dara…Sembada…lihat sini, aku barusaja melihat buku bagus”, kata Aji.

“Buku apa itu Pangeran?”, jawab mereka berdua.

“Ini tulisan Mpu Walmiki tentang kisah Ramayana. Ternyata Sugriwa pernah memerintahkan tentaranya ke negeri jauh diseberang lautan bernama Jawadwipa untuk mencari Shinta.”

“Ah…itu kan hanya cerita saja pangeran”, timpal Sembada.

Dara menambahkan, “Iya, Jawadwipa paling negeri khayalan seperti Ayodhya dan Alengka saja hehe”.

Aji merenung dan berkata dalam hatinya, “Andaikan aku punya kesempatan untuk menjelajah negeri baru, akan aku buktikan jika Jawadwipa itu nyata”.

Dari perpustakaan, Dara dan Sembada gantian mengajak Aji melakukan permainan rakyat dan berlatih bela diri di pinggiran kerajaan. Persahabatan ketiga pemuda tersebut tumbuh semakin rekat. Kemudian, pada sore hari di bawah pohon persik, Dara dan Sembada berjanji untuk setia kepada Pangeran Aji.  

Perseteruan dengan Satavahana[sunting]

Tulisan di gua Nasik no. 3 menunjukan kemenangan Satavahana atas Shaka

Kerajaan Shaka memiliki beberapa negara tetangga, dan salah satu yang bersikap bermusuhan adalah Kerajaan Satavahana. Sepanjang tahun, kedua negeri saling mengalahkan dan terus bersaing memperebutkan wilayah. Sampai akhirnya, pasukan Satavahana yang dipimpin Raja Gautamiputra Satakarni berhasil mendesak terus tentara Shaka sampai mundur ke wilayah barat di Gujarat. Penduduk Shaka di wilayah yang dikuasainya diusir sehingga mereka terpaksa mengungsi dan terus memenuhi kota Gujarat. Kondisi ini diperparah dengan musim panas yang berkepanjangan sehingga beberapa wilayah Shaka mengalami gagal panen. Aji sangat sedih dengan kondisi rakyatnya yang terancam mengalami kelaparan.

Berlayar ke Jawadwipa[sunting]

Perjalanan Aji ke Jawadwipa

Pada saat menatap taburan bintang di langit, tiba-tiba Aji teringat dengan buku karya Walmiki yang pernah dibacanya. Apabila dia bisa menemukan negeri Jawadwipa yang subur dan kaya akan padi-padian di wilayah timur, maka rakyatnya tidak akan sengsara. Sang pangeran pun mengumpulkan sahabat setianya untuk mengajak mencari negeri tersebut. Akan tetapi, ketika Raja Nahapana mendengar rencana tersebut, dia menyatakan keberatannya.

“Anak ku, pertimbangkan kembali keputusanmu dengan matang”, nasihat sang Raja.

Pangeran Aji menjawab, “Ayahanda, percayalah kepadaku. Aku yakin bahwa negeri subur itu ada”.

Dara dan Sembada juga berusaha meyakinkan Raja, ”Yang mulia, kami juga akan menemani Pangeran Aji, serta bersumpah akan melindunginya dengan segenap jiwa dan raga kami”.

Akhirnya setelah dibujuk, sang Raja bersedia melepaskan puteranya demi nasib rakyat Shaka. Akan tetapi, Sembada diminta untuk tetap tinggal supaya dapat membantu sang raja mengatur negara. Sedangkan Aji akan berlayar ditemani Dara dengan menaiki kapal dari pelabuhan Gujarat menuju ke arah timur. Sebelum bepisah, Aji, Dara dan Sembada bertemu untuk terakhir kalinya.

“Sahabatku Sembada, maaf aku tidak bisa mengajakmu pergi. Aku perlu orang yang kupercaya untuk menjaga dan mendampingi ayahandaku selama aku tiada disini”.

Sembada berusaha menghibur sang Pangeran, ”Aku tidak apa-apa Aji. Ada Dara yang akan bersamamu”.

“Tenang aja hei Sembada, selama ada aku semua akan beres hehehe”, timpal Dara.

Dara melanjutkan, “Pangeran Aji, aku pamit dulu karena mau mempersiapkan kapal dan perlengkapan kita.”

Sepeninggal Dara, Aji menitipkan pusaka nya kepada Sembada.

“Sahabatku, selama aku pergi, kutitipkan pusakaku kepadamu sebagai tanda kepercayaanku”.

“Janganlah kau serahkan pusaka itu kepada siapapun. Aku akan mengambilnya sendiri saat sudah berhasil menemukan negeri Jawadwipa”.

“Baik pangeranku, perintahmu akan aku ingat baik-baik”, jawab Sembada.

Kedua sahabat tersebut mengarungi luasnya samudera Hindia dan menemui beragam pengalaman baru. Mulai dari hewan-hewan laut yang belum pernah mereka lihat sebelumnya sampai dengan kapal-kapal dengan beragam bentuknya. Sampai akhirnya, mereka tiba di pulau Swarnadwipa yang kaya akan emas dan hasil tambang. Di wilayah ini mereka mendapatkan petunjuk dari penduduk setempat, tentang rute menuju pulau yang dipenuhi suburnya pepohonan. Sesampainya di Jawadwipa, Aji dan Sembada sangat takjub akan keindahan pulau ini. Apalagi saat mereka berlabuh, rakyat negeri tersebut sangat ramah dan menerima mereka dengan tangan terbuka.

Raja Medang Kamulan[sunting]

Akan tetapi, dibalik senyuman ramah penduduk ternyata tersimpan kesedihan dan ketakutan yang mendalam. Saat Aji bertanya, pemuka desa mulai bercerita tentang kondisi mereka.

“Kisanak Aji, negeri ini bernama Medang Kamulan”, buka sang Pemuka Desa

“Tanah kami subur dan makmur, akan tetapi saat ini penduduk menderita karena Raja kami berlaku sewenang-wenang dan memungut pajak yang tinggi”, lanjutnya.

“Bapak sudah berbuat baik kepada kami, apakah ada yang dapat kami lakukan untuk membalasnya?”, kata Aji menawarkan bantuan.

Sambil menghela nafas panjang, sang pemuka berkata, ”Sebenarnya rakyat dan punggawa kerajaan ingin menggulingkan Raja Dewata Cengkar, tapi kami tidak punya kemampuan untuk mengalahkannya”.

“Bapak tidak usah khawatir, saya dan sahabat saya Dara akan membantu rakyat Medang. Percayakan kepada kami.” kata Aji.

Rakyat, punggawa kerajaan dan kedua sahabat tadi kemudian berkerjasama untuk menggulingkan sang raja. Kebetulan sang raja memiliki kebiasaan untuk berburu di dekat desa Canggal, Kadiluwih. Sehingga direncanakan saat raja Dewata Cengkar keluar dari istana maka Aji akan menantang tanding, kemudian rakyat akan berusaha menghalangi pasukan pengawal yang setia pada raja supaya tidak dapat membantu.

Akhirnya, pada hari dimana raja Dewata Cengkar berburu, Aji mencegat rombongan dan menantang sang raja. Marah karena ada yang berani melawannya, sang Raja langsung menyerang secara membabi buta menggunakan senjata andalannya, keris bajul putih. Walaupun Aji sempat kewalahan meladeni gerakan sang Raja, akan tetapi pada satu kesempatan dia berhasil memanfaatkan kelengahan Dewata Cengkar dan membunuhnya. Melihat rajanya tewas, sisa pasukan yang setia pada Dewata Cengkar menyerah.

Beberapa waktu kemudian, melihat kebaikan dan kemampuan pada diri Aji, perwakilan rakyat dan punggawa kerajaan meminta Aji untuk membimbing mereka sebagai Raja baru Medang Kamulan. Setelah berdiskusi dengan Dara, Aji bersedia untuk tetap tinggal di Medang Kamulan menjadi Raja.

Penanggalan Shaka[sunting]

Aji masih ingat akan tujuan semula mereka datang ke Jawadwipa. Dia memerintahkan Dara untuk kembali ke Shaka dan melaporkan berita ini kepada Raja Nahapana. Kemudian menemui Sembada untuk mengambil pusaka dan mengajaknya bersama supaya bertiga dapat bersatu kembali. Pada hari yang ditentukan, Dara dengan didampingi utusan dari Medang Kamulan berlayar kembali ke Gujarat dengan membawa muatan padi-padian untuk membantu rakyat Shaka.

Setibanya di Shaka, Dara menghadap kepada raja Nahapana dan menceritakan seluruh kisah mereka di Medang Kamulan. Sang Raja menangis karena kerinduan akan putra tercintanya, akan tetapi dia juga bahagia bahwa anaknya sudah menjadi Raja Medang Kamulan yang bijaksana dan masih tetap memikirkan nasib rakyatnya yang jauh di Shaka. Raja Nahapana juga menceritakan bahwa kerajaan Shaka dan Satavahana sudah berdamai dan untuk memperingatinya mereka menetapkan sebagai awal penanggalan Shaka.

Huruf Jawa dan Penyesalan Aji[sunting]

Setelah semua laporan disampaikan, Dara mohon undur diri untuk menemui sahabatnya Sembada. Di rumah Sembada, kedua sahabat tadi saling melepas rindu dan berbagi cerita selama tidak berjumpa. Sampai saatnya, Dara menyampaikan pesan dari Aji untuk mengambil kembali pusaka yang dititipkan kepada Sembada.

“Demikian sahabatku Sembada, pesan dari Raja Aji kepadaku”, ucap Dara.

Sembada berfikir sebentar, kemudian berucap dengan suara berat, ”Aji mempercayakan pusaka ini kepadaku, dan aku sudah berjanji hanya akan menyerahkan kembali kepadanya secara langsung”.

Kedua sahabat tadi terus beradu argumentasi akan sumpah setia mereka kepada pesan Aji dan tidak ada yang bersedia mengalah. Sambil berlinang air mata, keduanya berkelahi demi melaksanakan tugas yang sudah diembankan kepada mereka. Dara dan Sembada merupakan satria pilihan yang gagah perkasa sehingga perkelahian berjalan dengan hebat dan seimbang. Sampai akhirnya, keris Dara menusuk dada Sembada, dan begitupula keris Sembada menusuk dada Dara. Keduanya tewas demi memegang teguh amanah dari sahabatnya.

Peristiwa ini sampai ke telinga Raja Nahapana. Dengan sedih, sang Raja memerintahkan kedua sahabat anaknya tadi dikuburkan bersebelahan dengan upacara kerajaan sebagai bentuk penghormatan akan abdi yang setia. Kemudian, kepada utusan Medang Kamulan, sang Raja menitipkan pusaka tadi dan sepucuk surat yang menceritakan nasib sahabatnya. Sang utusanpun undur diri dan berlayar kembali ke Jawadwipa.

Utusan yang sudah kembali ke Medang segera menuju istana untuk melaporkan kepada Raja Aji. Pada saat itu, Aji sedang mengajarkan kepada rakyat tentang huruf palawa sebagaimana yang dia pelajari di Shaka untuk memberantas buta huruf. Akan tetapi, begitu membaca surat ayahnya, Aji sangat terpukul dan bermuram durja.

“Dara…Sembada…sahabat setiaku, maafkan kecerobohanku.’ Ratap Aji. Tak terasa kedua matanya basah menahan kesedihan yang dalam.

“Aku berjanji jasa kalian tidak akan dilupakan dan kesetiaan kalian akan terus diceritakan oleh orang-orang setelahku”, janji Aji dalam hati.

Huruf Jawa

Untuk memperingati kisah kedua sahabatnya, Aji berusaha keras menyusun ulang huruf palawa yang dia ajarkan sebelumnya. Dia memilih 20 huruf saja dan diurutkan menjadi suatu pangram yang sempurna, yaitu: ha na ca ra ka (ada dua utusan), da ta sa wa la (yang berselisih pendapat), pa dha ja ya nya (sama kuatnya), ma ga ba tha nga (inilah jenazah mereka). Sampai saat ini, huruf baru yang dia ciptakan masih digunakan dan dikenal luas sebagai Huruf Jawa.

Aji Shaka Raja Bijaksana[sunting]

Aji memerintah kerajaan Medang Kamulan di Jawadwipa secara bijaksana dengan tetap memelihara hubungan perdagangan dan diplomasi dengan kerajaan Shaka. Kerajaan semakin makmur dan bahagia sehingga dia dicintai rakyatnya. Untuk mengenang asal-usulnya, Aji menggunakan gelar kerajaan Raja Aji Shaka.

(Selesai - Syabani)