LAPAR

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Kondisi hiruk-pikuk kota Palu

Adek dan Kakak merupakan sepasang kakak beradik yang berjuang untuk hidupnya. Berbagai macam cacian, hinaan, bahkan tak jarang mendapatkan siksaan fisik. Hidup mereka memang sangat menyedihkan. mereka hanyalah dua bocah jalanan yang tidak diperdulikan oleh pemerintah, yang dicampakan oleh Tuhan dan dipermainkan sesuka hati oleh takdir. mampukah mereka bertahan dalam kerasnya dunia?

Lakon[sunting]

  1. Adek
  2. Kakak
  3. Bang Opet

Lokasi[sunting]

Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah

Cerita[sunting]

Ada beberapa orang yang mungkin bisa menahan rasa lapar, ada beberapa yang tidak. Ada yang harus mengusahakanya mati-matian, ada juga yang dengan mudahnya mengengeluarkan sejumlah rupiah, kemudian mendapatkan apa yang ia inginkan disebuah warung makan, atau restoran mahal. Bagi kami, makanan adalah barang berharga, yang tak mungkin tiap harinya kami nikmati. Aku dan kakak sudah terbiasa melewati hari-hari tanpa makanan. Lapar dan haus, sudah menjadi sahabat kami sejak lama. Ditambah suara perut yang meski sudah kuperitah untuk jangan berisik, tidak juga mendengarkanku. Kalau sudah seperti itu kakak hanya mengusap dadaku sambil mengatakan “sabar ya dek, besok kakak akan cari makanan untuk kita” katanya sambil tersenyum.

Hidup kami berdua memang sangat menyedihkan. Kami hanyalah dua bocah jalanan yang tidak diperdulikan oleh pemerintah, yang dicampakan oleh Tuhan dan dipermainkan sesuka hati oleh takdir. Saat kami mengemis, memintah sedikit makanan pada orang yang lalu-lalang di alun-alun kota, tak sedikit dari mereka yang mengacuhkan kami. Tatapan sinis dan jijik tergambar jelas dari raut wajah mereka. Badan yang kurus kering, kumal, kucel dan bau sudah cukup membuat kami dijauhi. Hal itu juga lah yang membuat kami merasa benar-benar seperti sampah.

“Kak, kenapa kita hidup seperti ini?” Tanyaku suatu hari. Kakak hanya diam saat itu.

“Apakah Tuhan membenci kita?” masih dengan seputar pertanyaan yang sama.

“Ssstt! Kamu ngomong apa sih. Gak baik ngomong gitu...” kakak tiba-tiba membalikan badanya dan mulai serius memperhatikanku dengan ekspresi sedih.

“Trus kenapa? Kenapa kita serba kekurangan? Kita kelaparan disini, kita sudah sekarat!! Meski tiap hari kita berdoa tapi apa hasilnya?” Amarah ku kian meledak. Aku tak tahan lagi, sekalian saja ku keluarkan unek-unekku.

“Tiga hari yang lalu kita sudah coba ngemis di warung padang, Kakak bilang disana tempat paling cocok untuk kita mencari rezeki. Tapi apa? Kita malah disiram air, kita diusir oleh para bajingan yang makan disana.” kataku setengah mengamuk.

Kakak terdiam, tak mampu lagi membalikan ucapanku. Dia hanya menunduk sedih sambil berucap “Maafkan kakak dek”.

“Trus kemarin juga, kakak bilang di alun-alun kota  orangnya baik baik tapi kenyataanya apa? Kita diusir, kita dihina bahkan dilempar batu oleh mereka. Apanya yang baik seperti itu? Hah?!”

“Bahkan kakiku masih sakit karna lemparan mereka” kataku setengah berteriak sambil mengusap-usap luka korengku yang mulai membusuk.

Aku sudah tersakiti, aku sudah menderita, aku teraniaya. Aku tidak perduli lagi dengan rasa sakit yang terus menggerogoti luka di kakiku. Karena faktanya hatiku lebih sakit lagi. Melihat perlakuan buruk orang-orang terhadap kami.

“Dek kamu sabar dulu ya.. besok kakak akan cari makanan untuk kita. Kamu gak perlu ikut ngemis lagi. Kamu tinggal dirumah aja”

Dengan wajah bersalah kakak mulai mencoba membujukku, lebih tepatnya mencoba membujuk amarahku agar tak semakin meledak-ledak. Meski sudah dibujuk dengan nada yang lembut dan penuh simpati, bahkan sudah berusaha untuk meyakinkanku, tetap saja ego ku lebih kuat darinya.

“Besok terus.. besok terus.. capek kak. Kakak selalu bilang besok. Tapi buktinya apa? Kita masih kelaparan! Coba aja seandainya kita ditakdirkan untuk kaya, mungkin bapak gak akan ninggalin kita, dan mamak gak harus cari nafkah untuk kita berdua. Dengan begitu mamak pasti masih hidup, bukan malah mati jadi korban tabrak lari supir angkot setan itu.” Suaraku semakin meninggi.

“Lihat kan Tuhan benci sama kita!!”

PLAK!!

Tamparan keras mendarat di pipiku. Untuk sesaat gubuk kecil tempat kami tinggal yang hanya beratapkan tumpukan seng karatan compang-camping dihampir semua sisinya itu hening. Kami berdua diam. Aku tak mampu melanjutkan lagi kata-kataku. Yang kulakukan saat itu hanya menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian kakak mulai bicara

“Dek...” katanya

“Kakak minta maaf, kakak belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu, kakak gak bisa buat kamu bahagia, kakak gak bisa kasih makanan enak buat kamu, buat kamu sehat, buat kamu nyaman, buat kamu gak perlu memikirkan apakah besok masih bisa makan atau tidak... untuk semua itu kakak minta maaf...”

Suaranya mulai parau. Tanda bahwa ia setengah mati mengucapkan kalimat itu dengan peraaan sedih sambil menahan agar air matanya tidak tumpah. Agar ia terlihat tegar, terlihat kuat, terlihat mampu diandalkan dalam situasi apapun. Karena begitulah sifat kakakku. Dia tidak pernah mau menunjukan wajah sedih ataupun meyerah. Dia selalu menunjukan wajah riang bersemangat. Agar adiknya tidak kesusahan. Meski entah berapa kali dia dihina dan disakiti oleh orang-orang jahat diluar sana, tapi ia tak mau menunjukan wajah sedih pada adiknya. Sifat itulah yang membuat aku begitu sayang dan hormat padanya. Karena sifat itulah yang membuat dia menjadi super hero untukku.

“Tapi Dek..” dia melanjutkan

“Kakak janji besok apapun yang terjadi. Kakak akan bawakan makanan yang enak untuk kamu. Biar kamu gak lapar lagi, dan bisa makan sampe puas. Jadi besok kamu tunggu dirumah saja ya..” Katanya dengan penuh keyakinan. Entah darimana keyakinan itu ia peroleh. Tapi dari sorot matanya aku percaya dia sungguh sungguh untuk membuktikan ucapanya.

Kue Lalampa

Semenjak pertengkaran hari itu aku jarang berbicara dengan kakak lagi. Entah karena gengsi, atau takut untuk meminta maaf duluan. Sementara itu siang hari di kota Palu sedang terik-teriknya, angin hangat bercampur debu berhembus melewati tiap-tiap sudut kota. Palu merupakan provinsi Sulawesi Tengah, yang berada tepat di jantung katulistiwa. Membuat iklim disini begitu panas. Terkadang suhu panasnya bisa mencapai 36oC dan hari ini sama seperti biasanya, perutku masih sangat lapar. Kakak yang berjanji akan membawakan makanan yang enak juga tak kunjung pulang, mungkin kalau dihitung ini sudah tiga hari lamanya kami belum makan. Hanya air keran masjid yang menjadi penganjal perut ketika perut sudah berbunyi nyaring. Oh iya, sampai lupa, masjid! Masjid adalah tempat biasa aku dan kakak meminta makanan, marbot disana sangat baik. Biasanya tiap senin dan kamis kami selalu mendapat makanan lebih. Jenis kue yang diberikan berupa Lalampa, jenis kue tradisional yang berisikan ikan yang dibalut oleh nasi dan dipanggang diatas arang. Kalau mengingat itu perutku jadi sangat lapar dan  pada hari-hari itulah kami tahu apa arti kenyang sesungguhnya. Namun ketika hendak akan kesana, terlihat sosok Opet anak jalanan yang terlantar seperti kami mendatangiku dengan berlari  kencang dan napas yang menderu.

“Dek, kamu kemana saja sih... dari tadi aku cariin” katanya dengan masih kesulitan untuk mengatur ritme napas nya.

“Emang kenapa bang Opet nyariin aku? Kayak dikejar setan aja” kataku dengan masih bingung.

Bagaimana tidak, sosok bang Opet yang biasa kalem dan paling santai kini berubah menjadi pucat ketakutan. Dengan banyak keringat yang bercucuran diwajahnya jelas saja dia berlari cukup lama untuk mencariku.

“Udah sekarang kamu ikut abang aja.” Kata bang Opet ringkas dengan setengah memaksa sampai mendorong-dorong badanku.

“Emang kenapa sih bang?” kataku masih enggan untuk beranjak pergi. Kemudian ekspresi wajah bang Opet berubah sedih.

“Dek... kakakmu sekarang lagi sekarat digebukin warga karena ketahuan nyolong di restoran”

“Apa?! Terus kakakku dimana bang? Gimana kondisinya? Tanyaku dengan ekspresi panik

“kakakmu masih ada di alun-alun. Udah pokoknya kamu ikut aja!” kata bang Opet singkat. Tanpa pikir panjang aku segera berlari bersama bang Opet menuju alun-alun tempat kakak tergeletak lemas tak berdaya.

Saat itu banyak perasaan berkecamuk di dalam dadaku. Rasa takut untuk kehilangan kakak, rasa bersalah karena aku ngambek waktu itu kakak sampai nyolong, hanya karena keegoisanku kakak harus menderita. Ya Tuhan.. selamatkanlah kakakku, dia satu-satunya keluargaku yang masih tersisa. Jangan ambil dia.. aku janji gak akan marah ke kakak lagi, janji gak akan ngambek soal makanan lagi, aku juga janji jadi adik yang baik. Jadi tolong selamatkanlah dia, aku gak mau melewati hari di dunia yang kejam ini sendirian. Sesampainya di alun-alun aku langsung menghambur kearah kerumunan orang. aku mendapati kakakku yang tengah sekarat. Darah segar mengucur deras di hidung mulut dan mata kakakku. Tubuh yang kurus kering penuh dengan luka lebam dan jejak pasir menggambarkan betapa kejam siksaan yang mereka lakukan pada tubuh rapuh kakakku. Kemungkinan dia di pukul, ditendang dan di injak-injak dengan sepatu mereka. Sungguh biadab! Begitu tega sekali mereka. Tubuh kurus kering yang bahkan tulang dadanya terlihat jelas masih mereka injak dengan begitu sadis nya. dimana empati mereka?

Aku terus menatap kakakku yang tengah sekarat. Hidupnya tak lama lagi tulang dadanya remuk, tengkorak kepalanya mungkin pecah, karena kerasnya benda yang menghantam kepalanya, mungkin batu atau kayu. Tapi ditengah sekaratnya itu kakak menatapku nanar, dengan darah yang masih keluar dari mulutnya, dengan napas yang tingal satu-satu dia berbicara lirih..

“Dek.. kamu harus tetap bertahan hidup...”

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan kakakku. Kini aku benar-benar sendirian, super hero yang selalu melindungiku telah tiada.

Di hari itu, di teriknya cuaca alun-alun kota Palu aku menangis sejadi-jadinya. Aku memanggil kakakku berulang kali seperti orang gila sementara orang-orang yang mengeroyok kakakku hanya terdiam tanpa melakukan apapun. Seolah merayakan kematian kakakku, dan seolah kematian adalah ganjaran yang pantas di dapatkan oleh kakak tersayangku, pelindungku, super hero kebangaanku...

***

Sementara itu, tak jauh dari alun-alun ada orang berseragam gojek menepuk pundak teman disebelah yang tengah asik memainkan hanphone nya.

“Bro itu kenapa disana rame-rame?”

“Oh itu.. tadi ada kucing liar nyolong ikan di restoran depan. Terus digebukin sampe mati..”

***

Tamat

Pesan Moral[sunting]

Kisah adek dan kakak diatas merupakan kisah dua ekor anak kucing yang berjuang di tengah kerasnya dunia. Sengaja saya mengambil sudut pandang seekor kucing, karena saya sering melihat di warung makan ataupun di restoran, kucing dianggap sebagai hewan pengganggu. Kadang di pukuli, di lempar atau disiram air panas bahkan ada diberita kucing disiksa dengan dimasukan petasan dalam anusnya dan meledak yang membuat kucing tersebut harus mengalami luka robek parah dan infeksi usus. Kucing jalanan juga kerap kali dianggap sebagai hewan nakal yang suka nyolong. Tapi coba lihat sudut pandang lain deh.. Bisa saja makanan yang dia curi akan diberikan sama anaknya. Bisa saja makanan itu harus ia bagi ke saudaranya. Emang gak kasihan sama mereka yang berjuang demi keluarganya..

Lain kali kalo gak suka sama kucing, usir saja. Jangan di sakiti cukup usir saja agar tidak mengganggu, kalo suka masuk dalam rumah tutup saja pintunya. Kalo suka nyolong makanan di meja masukan saja dilemari atau di tutup makananya. Tapi jangan disakiti soalnya kasihan dia juga makhluk Tuhan yang sedang bertahan hidup. Hanya itu..

Semoga dengan membaca ini dapat lebih aware lagi sama kucing jalanan ya.. terima kasih sudah membaca sampai habis. See you untuk kisah-kisah lainya..