Laka, Numa, dan Mandalika

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Fotografer cilik itu bernama Laka, lahir dari keluarga yang berkekurangan dan harus berjuang demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Suatu hari ia menemukan amplop kuning terjatuh di area pantai dan sejak saat itu jalan hidupnya berubah. Begitu pula hidup teman baiknya.

Lakon[sunting]

  1. Laka
  2. Numa
  3. Ibu
  4. WIsatawan

Lokasi[sunting]

Lombok, NTB


CERPEN[sunting]

Peluh Senja[sunting]

Anak laki-laki itu mengusap peluh di dahinya sembari makan sebungkus tepung gandum goreng buatan ibunya dan meneguk teh yang dia bawa dari rumah.

“Laka” teriak seorang anak laki-laki lain lantang sambil berlari ke arahnya. “Sudah dapat berapa hari ini?” tanya anak laki-laki tersebut penasaran melihat wajah Laka yang kelelahan. Nama anak tersebut Numa, teman sekelasnya di salah satu SD Negeri Impres. “Tiga puluh ribu, Num. Alhamdulilah. Banyak saingan hari ini.” Jawab Laka. “Syukuri Ka, masih ada uang untuk ibu” tandas Numa. “Iya, ibu pasti senang bisa beli beras 2 kg besok.” timpal Laka bahagia.

Laka dan Numa bersahabat sejak kecil karena rumah mereka berdekatan. Numa hafal sekali keadaan keluarga Laka. Sejak usia 7 tahun Laka sudah ditinggal ayahnya yang meninggal akibat kecelakaan kerja ketika menjadi buruh bangunan, sedangkan ibunya hanya buruh cuci serabutan karena harus bekerja sambil menjaga adiknya yang masih balita. Maka Lakalah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sedangkan Numa hidup tanpa orangtua dan saudara. Ia anak yatim sejak kecil dan hanya hidup dengan neneknya yang mulai renta. “Matahari mulai rendah, Ka. Ayo siap-siap pulang.” ajak Numa bersemangat. “Ayo Num, kita lanjut berjuang besok” tandas Laka penuh syukur.


Kedua anak kecil itu pun berjalan riang menuju Desa Yellu, tempat tinggal mereka yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Kuta Mandalika tempat mereka mencari rezeki sehari-hari. Dua anak ini dulunya hanya penjual gelang-gelang mutiara di Pantai Kuta Lombok. Namun, sejak mereka bertemu fotografer mancanegara yang sedang berfotoria di sana, mereka diajarkan teknik-teknik mengambil foto yang baik dan professional. Mulai dari angle, pencahayaan dan komposisi, sehingga anak-anak ini paham bagaimana menghasilkan foto yang bagus layaknya profesional. Sejak itulah mereka beralih profesi menjual jasa foto kepada setiap wisatawan yang singgah ke Pantai Kuta Mandalika.

Rumah dan Mata Ibu[sunting]

“Cuci tangan, kaki, mandi, lalu makan Ka” pinta ibu setelah melihat tubuh mungil memasuki taman kecil rumah mereka. “Iya Bu, ini Laka mau ambil handuk dulu”

“Jangan lupa sholat” kata ibu lembut mengingatkan.


Tak lama kemudian Ibu, Laka, dan adiknya sudah berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. Ada tempe goreng yang dipotong tipis-tipis, daun singkong samping rumah, sambal, juga kerupuk uli khas buatan ibunya. “Hari ini Laka dapat tiga puluh ribu, Bu” tandas Laka mengawali pembicaraan. “Alhamdulilah, bisa buat beli beras 2 kg Nak besok. Terima kasih ya. Ibu hari ini dapat empat puluh ribu dari terima cucian Bu RW. Lumayan buat beli telur dan sarden buat laukmu besok.” timpal ibu penuh rasa syukur. “Ditabung saja Bu, Laka bekal nasi dan kerupuk uli ibu saja”


Laka memang anak yang sangat berbakti, ia tidak ingin merepotkan ibu dan adiknya, sehingga ia akan menahan segala keinginannya. Makan seadanya, melakukan apapun yang halal demi membantu ibunya agar tidak harus bekerja keras. Ia selalu ingat pesan ibunya bahwa apapun keadaan kita, beryukur itu suatu kewajiban. Tanpa bersyukur, tak ada nikmat Pencipta di dalamnya. Selanjutnya, kita hanya perlu berusaha dan selalu jujur. Itu kunci hidup yang diturunkan ibu kepada Laka sejak kecil. Malam itu jadi malam yang indah di hati Laka juga ibu. Namun, tak bisa dipungkiri ada butir air yang diam-diam jatuh tipis di sudut mata ibu, rasa haru memiliki anak seorang Laka.

“Ibu, Laka pergi dulu sama Numa ke pantai ya” pamit Laka sambil mencium tangan ibu dan mengecup kening adik lucunya. “Hati-hati Laka, jangan lari begitu.” teriak ibu  khawatir melihat tubuh mungil itu melangkah berlari lincah. “Sudah siang ini Bu, Numa sudah menunggu” jawab Laka yang mulai terdengar sayup tenggelam bersama angin.

Benih Kebaikan[sunting]

“Hai Num, maaf aku telat” kejut Laka memukul pundak Numa diam-diam. “Lama sekali kamu, nanti nggak kebagian rezeki kita, tuh lihat rame banget mereka. Sepertinya makin bertambah anak-anak yang beralih profesi seperti kita” tandas Numa sedikit khawatir. ‘Tenang Num, rezeki sudah Allah yang atur, tidak akan tertukar, asalkan kita jujur” timpal Laka menenangkan teman baiknya.


Selang beberapa menit kemudian datanglah seorang wisatawan lokal yang duduk di samping mereka. Laka dan Numa pun bergegas menawarkan jasa fotografi mereka kepada wisatawan tersebut. “Maaf Kak, apa mau difotokan? Kami bisa fotokan Kakak dengan angle yang bagus. Untuk kenang-kenangan sudah datang ke Pantai Kuta Mandalika Kak.” kata Laka memulai aksinya. “Oh boleh, berapa biaya jasanya ya?” tanya wisatawan tersebut. “Terserah Kakak, seikhlas Kakak saja” jawab mereka.

Tanpa pikir panjang, wisatawan tersebut pun mengiyakan tawaran Laka dan Numa. Wisatawan tersebut sontak kaget dengan hasilnya karena sangat memuaskan. Angle, komposisi, dan pencahayaannya nyaris sempurna dengan latar belakang yang indah. Laka dan Numa pun menerima tips dua puluh ribu yang dibagi dua. Mereka saling mengucapkan terima kasih. Baru saja wisatawan tersebut melangkah sepuluh menit yang lalu, Laka kaget mendapati amplop kuning yang tergeletak di pasir tempat ia berdiri. Dengan penuh keberanian ia mencoba mendekati dan membuka isinya. Alangkah terkejutnya Laka melihat tumpukan uang kertas berwarna merah dengan segala identitas diri di dalamnya. Diberanikannya diri untuk melihat foto identitas tersebut. Ternyata milik kakak wisatawan yang jadi client pertamanya tadi. Sontak Laka pun mencari Numa yang sedang sibuk menawarkan jasa ke calon client lainnya.


“Nummmm, ayo kita cari kakak yang tadi kita foto. Ini barangnya dia ketinggalan.” teriak Laka sambil terengah-engah menuju Numa. “Isinya KTP, surat-surat penting dan uang Num, kakak tadi pasti kebingungan kalau kehilangan ini” jelas Laka khawatir.


Mereka pun memutuskan mencari kakak wisatawan tadi di dekat tulisan parkiran Pantai Kuta Mandalika, coba-coba menebak mungkin kakak tadi ke arah sana hendak pulang. Benar saja, ternyata kakak tadi sedang bersiap memakai helm dan menyalakan mesin motor.


“Kakakkkkkk tunggu” teriak Laka dan Numa seirama kencang sekali. Laki-laki tersebut pun mengubah arah pandangan ke arah teriakan tersebut. “Kalian? Ada apa teriak-teriak?” tanya wisatawan tersebut kebingungan. “Kak jangan pergi dulu, apa kakak kehilangan sesuatu?” tanya Laka dengan nafas terengah-engah.

“Hilang?”

“Iya Kak, sepertinya ini milik Kaka. Terjatuh tak jauh dari spot kita foto-foto tadi” jelas Laka semangat.


Wisatawan tersebut pun memeriksa barang bawaannya dan isi tasnya. Benar ternyata, ia ceroboh sudah menjatuhkan barang penting karena lupa menutup tasnya dengan baik saat iya mengeluarkan kamera kesayangannya. Kakak wisatawan itu pun terharu atas kebaikan dan kejujuran anak-anak itu. Iya tidak menyangka anak-anak kecil sederhana ini punya hati yang mulia.


“Siapa yang mengajarkan kalian untuk berbuat seperti ini?” tanya Kakak itu. “Ibu Kak, ibu selalu berpesan jangan lupa bersyukur, tetap berusaha dan jujur”

Sejak peristiwa itu, wisatawan tersebut berteman baik dengan Laka dan Numa. Mereka bertemu seminggu sekali di Mandalika, mengajari Laka dan Numa matematika dan Bahasa Inggris. Kakak tersebut ternyata seorang pengusaha muda yang sukses. Dia pun dengan senang hati berbagi ilmu marketing dan finansial pada Laka dan Numa. Sepuluh tahun berlalu sejak kejadian itu, Laka dan Numa menjadi pengusaha dan investor hebat berhati mulia di Tanah Nusa Tenggara Barat.