Langkah di Jalan Istimewa
Tampilan
Langkah di Jalan Istimewa
Tung Widut
"Nanti ibu lihat ke madrasah," kata Shakila.
Bu Hastuti hanya mengangguk. Menghiyakan permintaan sang anak. "Bilang Iya," lanjut Shakila. "Ibu lagi nggak enak badan," jawab Bu Hastuti. "Kalau begitu lihat di depan rumah. Nanti aku akan baris sama teman-teman," permintaan Shakila. Jawaban Bu Hastuti yang mengiyakan membuatnya begitu semangat. Gadis kecil itu melonjak-lonjak kegirangan. Sambil mengucap salam melambaikan tangan kanannya. Tas kecil berisi sebotol air dan uang jajan lima ribu rupiah melekapi kata pamit. Selepas si kecil berangkat Bu Hastuti merebahkan badan. Rasa pusing dan perut kembung membuatnya berdiat menidurkan diri sebentar. "Ma, aku mau ke kota. Pentingnya sih cuma potong rambut. Ikutan ta,"kata suaminya dari luar kamar. "Ah nggak usah. Kalau Shakila pulang nggak ada orang bagaimana?" Jawabnya. "Bentar juga. Hanya potong rambut makan soto nggak ada satu jam. Nggak ingin jalan-jalan?" jelas suaminya. Dengan sedikit kecewa pak Imam berangkat sendirian. Bu Hastuti tetap saja pada pendiriannya. Benar-benar ingin tidur walau sebentar. Mengusir pusing menyegarkan badan. "Trak, Trak, Trak, pyar," terdengar dari dalam kamar. Bu Hastuti membuka jendela kamar. Dia tahu betul itu suara kembang api. Tapi saat jendela di buka langit diam. Hanya ada bintang dan bulan sabit yang menari bebas di awan. Mendung tipis melintas manja. Tak peduli ada yang mengintip dari balik jendela. Samar suara anak kecil tertawa gembira. Bersama deru mesin pick up yang semakin jauh. Jendela kembali di tutup. AC Sanken yang meniupkan udara segar di nyalakan. "Bismillah, ucap Bu Hastuti. Entah menit keberapa dekuran keluar. Tak ada seorang pun yang tahu. Alam diam dalam gelap. Sekarang tanpa bintang yang tadi ada. Tanpa bintang yang memancar. Mendungpun pergi tanpa pesan.
"Hai ayo naik,ayo naik,"teriak Aulia. Gadis kecil bersuara melengking membubarkan segerombol teman ngajinya. Mereka berlari berebuenaik sebuah pick up hitam. " Hai pelan-pelan nanti jatuh," teriak ustadzah Mudah. Tapi teriakan itu tak dipedulikan oleh murid didiknya. Semua berlari menuju pickup. "Hai itu sandalku," teriak Hasna. Anak kecil itu selanjutnya menangis. "Sandalku hilang ust," ucapnya ke ustadzah Mudah. "Makanya pelan. Ayo sini nanti kita cari," kayanya pelan. Hasna mendekati ustadzah Mudah. Tangan ustadzah menyabut dengan pelukan. Sambil memperhatikan murid didiknya yang terus berebut menaiki pick up. Tiba-tiba Shakila berdiri di depan Hasna. "Ini sandalmu," kata Shakila. Dia menyodorkan sebuah sandal berwarna merah. Hasna yang masih sesegukan menggelengkan kepala. Sandal merah itu bukan miliknya. Bersamaan ustadzah Mudah dan Shakila melihat ke kaki Hasna. "Eh bukan ya," katanya malu. Matanya kemudian menjelajah ke seluruh halaman madrasah. Dicermati pula sudut-sudut tempat yang memungkinkan adanya sandal milik Hasnah. Tapi rumput-rumput itu pun membisu.Dia tak tahu keberadaan sandal. Kala semua mencari sambil berteriak memanggil sandal warna pink. "Ruuuuuung," suara knalpot pickup melaju. Shakila berlari sambil berteriak. "Akuuuuu," "Nanti, nanti, nanti," jawab ustadz Munir. Ustadzah Mudah tak tinggal diam Spontan tangannya meraih pundak santinya itu. Menahan agar Shakila tak berlari mengejar pickup. Wajah Hasnah kelihatan kwatir. Raup penuh air mata diam memandangi pickup yang mulai meninggalkan madrasah. "Nanti, nanti, kita naik Tosa," kata ustadzah Mudah. "Tapi, aku ingin bersama Aulia," kata Shakila. "Ya. Nanti ketemu di sana," kata ustadzah Mudah. Semua orang yang ada di halaman madrasah melihat pada pickup yang melaju meninggalkan halaman. "Itu sandalku," terdengar suara melengking. Suara itu Lik gadis kecil yang bernama Hasna. Hasna berlari menuju sandal warna pink yang tergeletak di halaman. Rupanya sandal pink tadi terlempar ke bawah pickup kala para santri berebut keluar ruang. Wajah murung berubah riang. Gadis mungil itu segera kembali bersama Shakila dan beberapa teman lain. Mereka mulai tertawa terbahak ketika naik di Tosa. "Heee," terdengar suara Shakila. Kata itu terucap kala Tosa mulai berjalan. Degup jantung Shakila tiba-tiba cepat. Kedua tangannya memegang erat besi di depannya. Senyum tiba-tiba pudar. Apalagi ketika Tosa di belokkan. Badan Shakila terdesak ke sebelah kiri oleh Hasna. "Mbak Sha," teriak gadis mungil itu. Dia kelihatan khawatir melihat wajah taku Shakila. "Ya Allah, ya Allah," kata yang sering diucapkan Shakila sepanjang jalan. Baru setengah perjalanan dia bisa ikuttertawa. Itupun penggangan tangan tetap kuat. Maklum masih pengalaman pertama naik Tosa. Sebelumnya yang Shakila tahu, Tosa untuk memuat barang.
"Kretak," Bu Hastuti terjaga. Dia kaget mendengar derit pintu garasi. Badanya dipaksa bangkit. Rasapusing menyerang. Kembali dia terduduk. Menunggu beberapa waktu baru bangkit. Dibukanya pintu kamar berwarna coklat. Tak seorangpun terlihat. Rasa penasaran makin memuncak. Dia berjalan menuju halaman. Tak ada tanda-tanda akan ada pawai lewat. Rasa bingung mulai. Bu Hastuti melihat Shakila duduk sendirian di madrasah. Menunggu dirinya sambil menangis tersedu. "Mau kemana ma?" tanya papi. "Shakila pawai hari Santri belum pulang. Mau tak lihat di jalan," jawab Bu Hastuti. Tapi suaminya ituengatakan kalau pawai bukan dijalan depan rumah seperti biasa, tapi di kota kecamatan. Kekuatiran serentak timbul. Anak gadis itu hanya dibekali sebotol air putih dan uang dua ribu seperti biasa. Biasanya hanya dua ribu untuk beli satu jajanan saja. Kembali Bu Hastuti masuk kedalam rumah. Tangannya mulai pengarahkan pesan ke ustadznya. "Assalamualaikum ustadz. Pawai sudah sampai mana? Nanti di kabari di grup nggih!" Pesan yang ditulisnya. Pesan centang dua. Lama Bu Hastuti memperhatikan hp. Berharap centang biru di hp terlihat. Tapi semua hanya seri u harapan. Sampai sepulu menit lebih pesan tak dibuka jua. Rasa kantuk kembali menghampiri mata. Jam dinding yang terus berdetak tak mampu menghibur mata. Bu Hastuti merebahkan badan dikasur kamar pribadinya. Sekali lagi sebelum terpejam hp disampingnua di buka. Masih saja centang dua.
"Brak," terdengar pintu dibuka dengan kasar. Bu Hastuti terkejut. Dia terbelalak dari tidurnya yang sempurna. Badannya serasa ringan. Seakan darahnya mengalir dari ubun-ubun. Belum juga merasa tenang terdengar di telinga. "Assalamualaikum," suara Shakila didekat telinga. "Ya Allah," teriak Bu Hastuti. Mendengar ibunya terkejut tertawalah gadis kecil itu. Ucapan salam pun diulang beberapa kali dengan suara yang lebih keras. Bila sang ibu marah dia lebih tertawa lagi. "Ibu sih nggak mau lihat aku pawai," candanya.
Pagi datang di hari libur. Tak terburu harus melawan jam dinding yang terus berputar. Pagi yang santai. Menikmati munculnya matahari dari balik rimbun pepohonan di sekeliling rumah. Kicau burung menghiasi pagi. Jalan lengang pedesaan terlihat. Tangan Bu Hastuti mengambil hp di atas meja. Melihat bila sang bujang mengirim pesan. Tapi yang diharap tak juga ada. Hanya grup ngaji Shakila yang terdapat beberapa pesan. Satu persatu di buka. Pesan wali santri menanyakan kegiatan pawai. Beberapa video selanjutnya berderet ke bawah. Video kegiatan tadi malam. Video pawai ta'aruf. Ibu muslimah mendampingi para santri berpawai. Memakai baju putih disertai kerudung senada. Lampu hias kerlap kelip di tangan para santri. Digerakkan ke kiri ke kanan. Malam menjadi seribu bintang. Sambil berjalan mereka terus menggerakkan tangan. Bibir manis mengucapkan sholawat nabi.inta keridhoan Allah SWT. Hari santri yang terkenang. "Bun bajuku tadi malam sobek," ucap Shakila tiba-tiba. "Kenapa," tanya Bu Hastuti "Aku jatuh," jawab Shakila "Jatuh dari mana?" tanya Bu Hastuti lanjut. Dia bergegas melihat sekujur tubuh Shakila. Tergopoh menanyakan serentetan pertanyaan. Tapi sang anak diam tak menjawab. "Mana yang sakit, yang mana?" Kata yang selalu diulang sebagai wujud rasa perhatian. "Tadi malam mau jatuh, ya ini bajuku nyakut di bak pickup. Untung lo Bun pak Rodi di sampingku. Langsung di pegang dan nggak jadi jatuh?" katanya sambil tertawa. "Hem" kata Bu Hastuti sambil membuka baju yang terjaga sobek bagian bawahnya.