Lea Yang Istimewa

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

KATA PENGANTAR[sunting]

Halo, namaku Ruwi Meita. Witaru Emi adalah nama penaku untuk karya-karya cerita dan buku anak. Aku berasal dari Yogyakarta tetapi saat ini aku menetap di Ponorogo. Sehari-hari aku menghabiskan banyak waktu dengan menulis. Meskipun menulis cerita anak jauh lebih sulit tetapi prosesnya sangat menghangatkan.

PREMIS[sunting]

Zikri adalah seorang anak laki-laki dari Desa Komodo. Dia adalah pemandu wisata termuda. Semua hal tentang Pulau Komodo dia tahu dengan baik. Suatu hari Ema (ayah) menyuruhnya menemani seorang anak perempuan dari Jakarta yang bernama Lea untuk berkeliling desa. Kata Ema, Lea adalah seorang anak yang istimewa. Zikri menjadi penasaran apa yang membuat Lea istimewa. Sepanjang perjalanan dia berusaha mencari tahu. Hasilnya sungguh di luar dugaan.

SETTING[sunting]

Desa Komodo merupakan bagian dari Pulau Komodo yang letaknya di Nusa Tenggara Timur. Selain itu desa ini juga masih berada di area Taman Nasional Komodo.

Desa Komodo merupakan bagian dari Pulau Komodo yang letaknya di Nusa Tenggara Timur. Selain itu desa ini juga masih berada di area Taman Nasional Komodo.

ISI CERITA[sunting]

Lea Yang Istimewa[sunting]

oleh : WitaruEmi (Ruwi Meita)


Jika kamu tidak tahu jalan, bertanyalah pada Zikri. Jika kamu ingin ke tempat di mana matahari terbenam paling indah, mintalah Zikri menunjukkannya. Zikri si serbatahu.  Dia pemandu wisatawan termuda di Desa Komodo. Apapun yang ada di Desa Komodo dia sangat tahu.

Hari ini Zikri mendapat tugas penting dari Ema. Zikri harus menemani anak dari Pak Dosen yang berkunjung di sini. Kemarin rombongan yang terdiri dari mahasiswa dan dosen dari Jakarta tiba. Mereka hendak membantu warga desa Komodo untuk menyiapkan Festival Budaya Komodo. Kata Ema supaya tradisi dan budaya di Desa Komodo dikenal lebih luas lagi.

“Namanya Lea dan dia sangat istimewa,” kata Ema. Zikri bertanya apa yang membuat Lea istimewa.

“Nanti kamu tahu setelah bertemu.”

Ema menyuruh Zikri untuk pergi ke rumah kepala desa sebab Lea menginap di sana. Setelah itu Ema pergi menemui rombongan yang akan melihat-lihat tempat di mana panggung festival nanti didirikan.

Zikri berjalan ke rumah kepala desa. Sepanjang jalan dia bertanya-tanya apa keistimewaan Lea. Hatinya semakin berdebar-debar. Langkahnya jadi tak sabar. Dari jauh dia melihat seorang anak perempuan duduk di depan rumah kepala desa. Itu pasti Lea. Hei, dia sedang apa? Kepalanya mengangguk-angguk. Kadang menggeleng. Kedua tangannya juga bergerak-gerak seperti memukul sesuatu.  

Zikri sudah dekat tetapi Lea tidak menyadari kedatangannya. Dia masih asyik menggeleng dan mengangguk.

“Hai!” sapa Zikri. Lea tidak bereaksi. Rupanya dia sedang mendengarkan sesuatu. Ada penyuara jemala di telinganya.

”Hai!” ulang Zikri lebih keras. Lea menoleh lalu buru-buru melepas penyuara jemala. Senyumnya sangat cerah.

“Kamu pasti Zikri, ya!” suaranya sangat lantang. Zikri tertegun. Apakah Lea begitu senang melihat Zikri sehingga suaranya terdengar riang?

“Aku Lea. Maaf, tadi aku terlalu asyik mendengarkan musik,” katanya sambil memasukkan penyuara jemala ke dalam tas lalu memakai tas yang besar itu. “Ayo, aku siap jalan-jalan.” Lea mengambil kruk yang berada di sebelahnya. Zikri baru menyadari keberadaan kruk itu.

“Kamu habis jatuh?” tanya Zikri.

“Bukan jatuh. Kakiku kecil sebelah. Polio,” jawabnya dengan masih tersenyum. Zikri buru-buru minta maaf,”Maaf, aku tidak tahu.”

“Tak apa, Zikri. Aku pakai celana panjang. Jadi tidak kelihatan.”

“Kalau begitu kita berangkat sekarang.”

Mereka berjalan berdampingan. Zikri bertanya dalam hati apakah ini yang dimaksud Ema dengan istimewa. Selama ini Zikri belum pernah mendampingi tamu istimewa seperti Lea. Dia jadi ragu bagaimana cara berjalan di samping Lea. Apakah berjalan seperti biasa atau lebih lambat? Akhirnya Zikri memulai dengan menawarkan diri untuk membawakan tas  tetapi Lea menolak. Di luar dugaan Lea sangat lincah. Dia begitu bersemangat seolah perjalanan ini sudah lama ditunggu-tunggu. Zikri tak perlu berjalan lambat. Justru dia harus mempercepat langkahnya agar bisa mengimbangi Lea.  

“Sebelum ke sini aku membaca buku-buku tentang Pulau Komodo,” katanya riang. “Jadi apakah benar komodo saudara kembar Suku Komodo?”

“Ya, begitulah cerita turun-temurun. Jadi, apa kata buku yang kamu baca?” Mendengar pertanyaan Zikri, bola mata Lea membulat dan berbinar-binar. Dengan semangat dia menceritakan kisah itu. Dulu di kampung Najo hiduplah sepasang suami istri bernama Epa dan Wake. Epa, si istri sedang hamil besar. Epa pun melahirkan sepasang bayi kembar dengan wujud yang sangat berbeda. Satunya anak laki-laki yang diberi nama Gerong. Satunya lagi seekor biawak bernama Ora. Epa dan Wake mengasuh keduanya penuh kasih sayang. Namun, semakin besar Ora yang suka makan daging merasa tidak cukup hanya makan gebang yaitu sejenis sagu. Dia pun mulai mencuri ayam-ayam kepunyaan tetangga. Melihat hal itu warga menjadi marah. Mereka mengusir Ora dan menyuruhnya tinggal di hutan. Ora tidak keberatan sebab di hutan banyak sekali makanan kesukaannya. Dia bisa berburu rusa dengan mudah. Lama-kelamaan tubuhnya menjadi besar. Ternyata dia bukan hanya sekadar biawak biasa.

Dalam legenda Pulau Komodo, hewan ini dianggap sebagai saudara kembar Suku Modo yang merupakan suku asli. Komodo disebut juga Ora yang artinya biawak.

Setiap kangen dengan keluarganya Ora selalu datang ke kampung. Sejak itulah keberadaan Ora yang kemudian disebut komodo sangat diterima oleh warga desa. Mereka hidup berdampingan tanpa takut terusik satu sama lain. Sampai sekarang komodo juga kadang terlihat di kampung warga.

“Ceritamu benar. Hanya saja ada juga yang menyebut Ora dan Gerong itu Komodo dan Ata Modo. Ibunya bernama Putri Naga,” kata Zikri.

“Oh ya, kamu dari klan apa?” tanya Lea tiba-tiba. Belum sempat Zikri menjawab Lea sudah menyambung perkataannya,”Ada lima klan bukan? Umpu Najo, Wai Sumba, Ginggo Kele, Siti Hadijah, dan Ina Babu.”

Zikri semakin terpana dengan pengetahuan Lea. Mungkin itulah letak keistimewaan Lea,”Aku dari klan Umpu Najo.”

“Ceritakan lebih banyak soal lima suku itu,” kata Lea tak sabar.

Zikri bercerita dengan senang hati. Suku asli Pulau Komodo disebut juga Suku Modo. Dari suku ini muncullah lima leluhur yang akhirnya membentuk klan. Tadinya kelima klan ini sering bertikai. Biasanya karena berebut makanan dan daerah kekuasaan. Akhirnya mereka memutuskan untuk berdamai dan bermusyawarah. Sesuai kesepakatan mereka menunjuk Umpu Najo sebagai tetua klan atau pemimpin Suku Modo.

“Kudengar empat klan lainnya memiliki keistimewaan,” kata Lea.

Zikri mengangguk,”Wai Sumba sangat berjasa dalam menemukan cara melahirkan bayi secara normal dan aman. Siti Hadijah berjasa menemukan sumber mata air yang sangat berharga. Ginggo Kele pandai bercocok tanam.”

Tiba-tiba Zikri berhenti lalu menunjuk sebuah masjid,”Dulu ada komodo yang naik sampai atap. Tidak ada yang tahu bagaimana dia bisa sampai sana. Untung ada Pak Zainal. Dia dari klan Ina Babu yang sejak dulu terkenal sebagai pawang komodo.”

“Komodonya bisa turun?” tanya Lea. Zikri mengangguk.

“Woaaa keren.”

Dukduk…prokprok…dukduk…prokprok

Lea menoleh ke arah sumber suara,”Itu suara apa?”

Zikri tersenyum,”Mereka sedang berlatih untuk festival nanti. Ayo, kita ke sana. Akan kutunjukkan padamu.” Mereka berdua berjalan ke arah lapangan. Di sana anak-anak berkumpul. Suara itu berasal dari empat bambu yang dipegang oleh empat anak yang jongkok dan saling berhadapan. Bambu-bambu itu diletakkan di tanah lalu ditepuk-tepuk sesuai ketukan. Dua orang anak perempuan melompati bambu-bambu itu sambil menari. Gerakan mereka sangat tepat sesuai irama ketukan bambu. Kalau mereka kehilangan ketukan, kaki mereka bisa terjepit. Itu artinya mereka harus gantian memegang bambu.

“Ini namanya…”

“Rangku Alu!” seru Lea. Suaranya yang lantang membuat anak-anak itu berhenti. Mereka menoleh ke arah Lea. Zikri yakin Lea pasti juga sudah membaca tentang rangku alu. Permainan bambu ini biasanya untuk merayakan panen raya saat bulan purnama.

“Teman-teman, ini Lea dari Jakarta.”

Semua anak melambai dan berseru,”Hai Lea!”

“Hai! Bolehkah aku mencoba bermain juga?”

Zikri menoleh ke arah Lea yang sangat bersemangat. Tatapannya bingung. Apakah Lea bisa melompat? Teman-teman Zikri juga saling berpandangan.

“Aku tidak pandai melompat tetapi kurasa aku jago memainkan bambunya. Boleh, ya?”

Seorang anak perempuan yang tadinya jongkok langsung berdiri,”Kamu bisa menggantikan aku.” Senyum Lea mengembang. Dia langsung meletakkan kruk dan duduk di atas tanah.

“Ketukannya seperti tadi, kan?”

Mereka semua mengangguk. Salah seorang dari mereka memberi aba-aba.

Dukduk…prokprok…dukduk…prokprok.

Mata Zikri membulat. Hanya dengan sekali coba Lea langsung hapal pola dan ketukannya. Jadi apakah ini yang dimaksud istimewa? Zikri masih bertanya-tanya.

Setelah bermain beberapa putaran Lea pun berdiri.

“Terimakasih, Teman-teman. Ini sangat menyenangkan.”

Lea berpamitan. Mereka semua melambai pada Lea,”Besok main lagi, ya!” seru mereka.

Lea dan Zikri berjalan lagi.

“Bagaimana kamu bisa menghapal ketukan dengan sekali coba?” tanya Zikri yang akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya.

“Itu karena aku pemain drum. Jadi aku terbiasa dengan ketukan.”

Ah, itu sebabnya tangan Lea seperti memukul-mukul saat mendengarkan musik tadi.

“Kalau begitu ayo kita ke suatu tempat. Kamu pasti suka.”

Zikri membawa Lea ke halaman luas sebuah rumah. Di tengahnya ada lesung dan alu. Lima orang anak perempuan duduk-duduk di sana.

Hou tidak latihan?” tanya Zikri pada salah seorang anak perempuan dikuncir satu. Dia adalah Dida, kakak perempuan Zikri.

Hité kekurangan satu pemain lagi,” kata Dida.

“Bukannya kemarin sudah genap?”

“Nita tidak jadi ikut. Dia memilih menari daripada memukul lesung. Sekarang para penari sedang latihan menari di tempat lain.”

Dukduk…duk…dukduk…duk.

Mereka semua menoleh. Lea sedang memukul lesung dengan alu. Sementara itu tubuh bertumpu pada kruk. Ketukan pukulannya sangat mantap. Wajahnya terlihat antusias.

“Sudah lama aku ingin mencobanya. Asyik, ya. Wah, kayunya berat juga. Kalian sedang berlatih arugele untuk festival?” tanya Lea. Lagi-lagi Zikri terpana. Belum juga dia menjelaskan, Lea sudah tahu. Arugele berasal dari kata aru yang berarti batang kayu dan gele yaitu sejenis kerang laut. Biasanya kesenian ini dilakukan saat tanam atau panen. Ada kelompok perempuan yang menumbuk lesung. Biasanya berjumlah enam atau delapan. Selain penumbuk lesung ada juga kelompok lain yang bernyanyi dan menari.

Dulu mereka menumbuk batang gebang di dalam lesung yaitu sejenis sagu yang disebut juga mbutaq. Sekarang hal itu tidak bisa dilakukan sebab gebang tumbuh di kawasan taman nasional. Apapun yang tumbuh dan tinggal di taman nasional tidak boleh diambil atau diburu sembarangan.

“Kalau boleh, aku bisa bantu,” kata Lea. Kelima anak perempuan itu saling berpandangan. Tatapan mereka tampak ragu.

“Berdirinya lama dan kayunya agak berat,” kata Zikri hati-hati. Dia tidak ingin melukai perasaan Lea. Meski begitu Zikri juga tidak ingin Lea kesulitan.

“Tenang saja, aku akan membantu dengan cara lain. Zikri, maukah kamu mencarikan aku meja dan kursi?”

Meskipun Zikri tidak tahu apa yang akan Lea lakukan dia tetap pergi mencarinya. Tak lama kemudian meja dan kursi sudah tersedia. Lea mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan meletakkannya di meja. Alat itu berbentuk bulatan-bulat yang terhubung pada pengeras suara.

“Ini namanya drum elektronik yang mudah dibawa kemana-mana. Aku biasanya berlatih dengan ini.” Lea mengeluarkan stik drum dan mulai memukul. Dung cek dung cek. Mereka semua terpana dengan permainan Lea.

“Aku akan mengiringi kalian. Ayo, kita latihan.” Kelima anak perempuan itu tersenyum. Mereka mengambil alu dan bersiap memukul. Satu, dua, tiga.

Gele Arugele

Ura bura aka main onto doro

Madama dodo dasaina tolo

Jagaku mbeca tembe do’o ra cepe

Arugele adalah salah satu kesenian tradisional dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang menggabungkan musik, tarian, dan nyanyian. Musiknya menggunakan lesung yang dipukul oleh 6-8 perempuan dengan menggunakan alu. Saat memukul lesung mereka juga menyanyi. Sementara itu ada kelompok penari yang juga menyanyi. Kesenian ini biasanya ditampilkan saat masa tanam atau masa panen sebagai perwujudan ucapan syukur, kegiatan pertanian, dan perlindungan dari teriknya matahari.

Suara alu berdebak. Nyanyian melantun. Suara drum berdebuk. Semua selaras. Lea sangat pandai menimpali dan mengiringi. Mereka menjadi semakin bersemangat memukul lesung. Suara nyanyian mereka juga terdengar lebih padu. Zikri menonton dengan penuh kagum.

Rombongan dosen dan mahasiswa yang melewati tempat itu segera berhenti dan ikut menonton. Papa Lea mengacungkan jempol pada Lea yang tersenyum cerah. Ema mendekati Zikri,”Jadi bagaimana? Sudah tahu keistimewaan Lea?”

Lea memang sangat periang dan penuh semangat. Dia juga pandai berkawan karena sikapnya yang hangat. Semua orang nyaman berbicara dan bermain dengannya. Ditambah lagi dia punya bakat menabuh drum.

Ema, Lea memang istimewa. Itu karena dia juga serbatahu. Jika dia tinggal di sini dia bisa jadi pemandu seperti aku. Wah, aku dapat saingan.”

Ema tertawa mendengar jawaban Zikri.

“Aku senang dia ada di sini,” kata Zikri. Festival Budaya Komodo pasti semakin semarak nantinya.

KETERANGAN[sunting]

Ema : ayah

Hou : Kamu

Hité  : kita

Nyanyian rakyat arugele di atas merupakan cuplikan dari lirik arugele. Secara keseluruhan artinya berupa ucapan syukur atas tanah pertanian, menggambarkan kegiatan pertanian saat masa tanam, dan perlindungan akan terik matahari.