Lelaki di Balik Celana Dalam
Di sebuah kampung di sudut kota Morosukmo, aku tinggal, tumbuh dan berkembang. Sejak kematian ibuku tujuh tahun yang lalu, aku sering merasa kesepian ketika menghabiskan waktu di rumah. Sempat terpikirkan untuk pindah saja. Namun itu tak mungkin kulakukan, karena ini satu-satunya tempat yang menyimpan banyak kenangan ibu. Meski seringkali kerinduan menyudutanku dalam kesepian tak terperi. Akhirnya pilihanku tetaplah bertahan dirumah ini.
Kawasan yang kudiami merupakan kampung padat penduduk, di mana tak jarang antar rumah berbagi dinding yang sama. Sehingga seringkali terdengar suara yang mengganggu telinga, ketika tetangga sebelah rumah memukul paku di dinding, menyeret kursi, maupun tertawa keras-keras. Selain harus berbagi dinding yang sama, kami juga harus berbagi lantai. Aku menempati lantai dua, dan tetangga sampingku menempati sebagian lantai satu. Rumahku menghadap ke utara. Sedangkan rumahnya menghadap ke barat. Rumahku terdiri dari dua lantai. Namun sebagian dari lantai satu sudah dipindah tangankan kepadanya. Sehingga bangunan yang kuhuni sekarang ini, memiliki lantai dasar yang lebih sempit dari pada lantai di atasnya. Oleh karenanya aku lebih senang tinggal di lantai dua, tepat berada di atas rumah tetanggaku itu. Alasan lainnya lagi adalah, jika posisiku di lantai dua, maka aku bisa lelusa membalas berbuat gaduh jika ia mulai berbuat rusuh.
Sebenarnya mungkin tetanggaku itu orang yang baik, tetapi ia bermulut pedas dan gemar berbicara keras-keras. Orang-orang biasa memanggilnya Tante Marko. Ia akan sangat marah jika dipanggil dengan nama lengkap, Markonah. Karena katanya nama itu tak sesuai dengan dirinya. Aku secara pribadi tidak begitu suka bergaul dengannya. Karena setiap ucapannya rasanya begitu menyakitiku, norak, sinis dan tidak peduli perasaan orang lain.
Di lain sisi, aku suka mencuri dengar pembicaraannya. Setiap berada dikamar, aku sering menempelkan telingaku di lantai. Berharap aku bisa menangkap pembicaraan Tante Marko di lantai bawah. Dahulu aku sangat takjub. Bagaimana mungkin suaranya mampu merambat hingga mencapai gendang telingaku, padahal harus melewati lantai marmer yang tebal. Tetapi lambat laun ketakjubanku memudar, kemudiam menjadi kebiasaan dan candu untuk dilakukan. Sesekali terdengar serupa gumaman, percakapan, tawa keras, suara kucing, atau bahkan suara pintu yang dibanting. Namun, tak jarang yang kutemukan hanya keheningan.
Suatu hari ada penghuni baru di kawasanku. Namanya Pak Rahmad. Dia adalah putra tunggal Tante Marko. Bangunan yang ia huni tepat berada di depan rumahku. Ia beserta istri dan kedua buah hatinya pindah ke daerah ini, setelah sebelumnya tinggal di kota sebelah. Menurut kabar burung, Tante Marko sedang sakit. Sehingga beliau meminta putra beserta anak dan menantunya untuk tinggal di dekatnya. Sebenarnya selain ketagihan mengamati tante Marko yang menyebalkan itu, aku juga sangat senang mengamati tetanggaku yang lain. Seperti Mbak Juwa, tetangga sebelah kananku, yang ketika marah maka satu kampung akan mendengarnya. Aku selalu antusias melihat kelakuannya yang ganjil. Ia gemar sekali melempar barang dari balkon rumahnya ke jalan. Tak peduli apakah di sana ada anak-anak yang sedang bermain dan akan terkena lemparannya atau tidak. Lucu sekali. Bagiku itu sangat lucu. Sesekali kusempatkan memperhatikan Bu Mahmudah. Ia pemilik toko kelontong, yang merupakan basis utama perputaran informasi seputar gosip terlaris, di tingkat lokal kami. Lalu ada juga Pak Haji yang sumringah sekali, ketika berhasil memarahi gerombolan bocah kecil yang bermain atau membuat gaduh, di jalan komplek kami yang sempit.
Rasanya menyenangkan sekali melihat daerah ini riuh dengan gelak tawa, percakapan yang terlampau keras, pertikaian, tangis anak-anak hingga sumpah serapah. Menyimak keriuhan kampungku membuat hidupku lebih terasa nyata, dari pada hanya menghabiskan waktu dengan kawan-kawan di sosial media. Mereka sibuk menatap benda pipih bercahaya, yang selalu membuat banyak orang merunduk dimana-mana. Kunamakan mereka generasi tengkuk tertekuk, yang hanya peduli pada layar gawai daripada orang disekitarnya.
Aku selalu bergegas melongok ke balkon ketika sayup terdengar suara pertengkaran, adu mulut, keramaian atau jenis kericuhan apapun. Saat ini objek pengamatanku bertambah satu lagi, siapa lagi jika bukan Pak Rahmad, tetangga baru di rumah nomor 07, tepat depan rumahku. Selain kebiasaan mengintai, aku juga gemar mencuci saat waktu beranjak malam. Air hanya akan mengucur deras di saat mata hari mulai tenggelam. Jika siang atau pagi aku memaksa mencuci, maka resiko terburuknya adalah aku terancam tak bisa mandi atau buang air.
Hingga pada suatu malam, saat dengan santainya ku jemur beberapa potong celana dalam di balkon lantai dua, seorang lelaki menatapku. Wajahnya kutemukan terperangkap tepat didepanku, menyembul diantara keremangan. Seketika itu juga aku hanya diam, berkedip beberpa kali sambil mencerna informasi di otakku yang tiba-tiba tumpul seperti pensil patah. Hingga aku sadar bahwa ia adalah Pak Rahmad, yang entah mengapa malam ini ia terlihat begitu tampan. Rasanya Lelaki itu melihat tepat dimanik mataku, ketika tanganku masih menggenggam celan dalamku, yang saat itu terasa begitu nista. Bayangkan saja benda itu tidak hanya satu, melainkan tiga, berwarna hijau kolor ijo, merah pudar yang hampir mendekati jingga serta merah muda terang. Keseluruhannya bergambar boneka dengan renda yang mendekati norak dari pada berkesan menggoda. Di umurku yang menginjak 28 tahun, ini benar-benar memalukan. Ketika kesadaranku kembali, seketika aku pura-pura tak peduli, sedikit senyum cengengesan dan lekas pergi.
Rasanya aku ingin mengutuk siapapun yang membangun rumahku dan rumah tetanggaku, yang tampan itu, dengan jarak sekitar tiga meter diantara balkon rumah kami. Terkutuk pula siapapun yang merancang rumah ini karena tidak memberi ruang sedikitpun untuk jemuran selain diberanda lain dua. Setelah mencapai balik pintu dengan berjalan santai, yang sebenarnya dibuat-buat, aku buru-buru bertiarap. Kemudian menyembulkan kepalaku hati-hati. Berharap lelaki itu tidak menyadari bahwa aku sedang mengamatinya. Mataku melihatnya tertawa pelan, melamun sebentar, kemudian pergi. Demi apapun dia benar-benar tampan. Apakah kenyataannya memang seperti itu atau mungkin pengaruh lampu merkuri yang membuat dia terlihat putih bercahaya. Ketika dia tak terlihat lagi, seketika aku memegang dadaku. “Ya Tuhan, dia suami orang.”
Aku selalu berusaha melupakan peristiwa itu meski sesekali masih tergoda untuk mengamati si tuan tampan. Hingga tanpa sadar, aku telah paham dengan benar perihal pertanda kapan ia dirumah, serta kapan ia pergi. Awalnya ia selalu terlihat setiap tanggal ganjil, kemudian terlihat hanya tiga hari sekali. Lalu tidak terlihat berminggu-minggu. Entah apa pekerjaannya. Bahkan kekuatan komunitas penggosip di toko kelontong Bu Mahmudah tidak mampu mengendus hal itu.
Selain perihal pekerjaan Pak rahmad yang bagiku masih misterius, ternyata istrinyapun tak kalah membuat penasaran. Istrinya hampir tak pernah keluar rumah. Jika saja aku tak melihatnya mengantar salah satu anaknya posyandu sebulan sekali, maka niscaya aku sudah mengira ia telah mati. Rumahnya berpagar tinggi yang tidak memungkinkanku melihat keadaan rumahnya dari luar. Loper koran, tukang pos bahkan tukang sayur hanya memasukkan kirimannya ke dalam kotak pos yang bisa diambil dari dalam. Bahkan sekedar melihatnya menjenguk ibu mertuanya di rumah, yang notabene tepat berada dibelakang rumahku saja tidak pernah. Sesekali hanya Tante Marko yang datang ke rumah anak lelaki dan menantunya itu.
Keluarga itu benar-benar membuatku pusing sekaligus penasaran. Di lingkungan kapungku di mana gosip bisa berhembus lebih cepat dari angin, justru keuarga itu serasa begitu eksklusif dan tak tersentuh sama sekali. Namun yang paling membuatku kelimpungan justru bayangan lelaki tampan, suami perempuan misterius itu. Beberapa kali aku mencuri pandang, ketika dia menikmati kopi, sendirian, di balkon rumahnya. Kali ini terang terangan kubiarkan ia memergokiku melakukannya. Toh ia suami orang. Apalagi yang bisa kulakukan untuk menikmatinya, selain dengan cara mencuri pandang, mengamati, serta sesekali memikirkannya.
Kini seluruh celana dalam usangku telah kuganti. Aku mulai membeli bra dan celana dalam yang serasi. Sebagian dari gajiku telah kusisihkan untuk membeli semua itu. Bahkan sesekali aku rela menguras tabunganku demi memperoleh merek, bentuk serta warna terbaik. Aku juga rela memelototi online shop bergengsi hampir setiap hari, atau berburu diskon tengah malam, hanya untuk memperoleh semua itu dengan harga miring.
Semakin lama watu berjalan, aku semakin fasih dalam mengingat waktu lelaki tampan itu pulang dan pergi. Kapan lelaki itu akan menyeduh kopi dan menikmati kopi di balkon rumahnya mampu kuketahui di luar kepala. Jadi ketika waktunya telah tiba, maka aku tak akan mencuci baju sama sekali kecuali celana dalam terbaikku. Mencucinya meski belum kugunakan sama sekali, kemudian menjemurnya di balkon. Pencahayaan balkonku telah lama kuserupakan dengan pencahayaan paling terang, seperti di outlet penjual celana dalam terbaik.
Hingga suatu malam, sebuah petaka terjadi. Asap mengepul dari rumah nomor 07 depan rumahku. Samar- samar kudengar tangis. Sepertinya ada yang mencoba membuka gerbang namun tak kunjung berhasil. Asap telah membumbung, namun tak terlihat satupun warga keluar untuk menolong. Ini memang sudah lebih dari tengah malam. Kampungku akan seperti kota mati ketika menginjak pukul dua dini hari. Semua orang tentu telah naik ke peraduan.
Lelaki tampan dan bukan milikku itu terbatu-batuk keluar balkon. Memanggil-manggil namaku dan memohon pertolongan. Aku melihatnya dengan tenang sambil menjemur celana dalam terbaik dan termahal milikku. Menatapnya dengan sepenuh rasa.
“Rasakan kau!” ucapku lirih, sambil memberikan senyum terbaikku.
Jika saja dulu kau tak memperlakukanku seperti cerutu, tentu saat ini kau akan hidup bahagia bersamaku dan anak-anak kita yang lucu.