Lilin dan Puisi
Merupakan bagian dari kumpulan cerpen Rintik gerimis di jendela oleh Anta Samsara
Dari suara daun-daun yang berdesir, aku mengetahui bahwa angin tengah menerpa pepohonan di luar sana. Suara katak dan jangkrik tak ada malam ini. Hanya ada suara burung malam yang membuat cemas bergulung di dalam hatiku. Kulihat lewat jendela di ruang tengah rumahku ini, cahaya rembulan menyelusup lewat sela daun-daun pepohonan, sedikit menyingkirkan gelap di luar sana yang berlapis-lapis.
Aku tinggal di tengah perkebunan jati yang tak ada penerangan listrik. Alat penerang di rumah kami hanyalah dua batang lilin, yang menyala di tengah rumahku dan di kamar ibuku. Aku takkan bisa menyalakan lilin yang lain, sebab aku ingin menghemat lilin yang aku punya ketika melewati malam.
Satu-satunya warung yang dekat dari rumahku, dua kilometer jauhnya, yaitu warung sederhana tempat aku bisa membeli keperluan untuk menyambung hidup. Pemilik warung telah setuju untuk memberikan potongan harga kepadaku, setiap kali aku membeli lilin. Lilin yang kubeli jumlahnya tak banyak, hanya empat batang setiap membeli. Karena aku hanya bekerja serabutan saat kondisi memungkinkan.
Pada suatu hari, sang pemilik warung berkata, “Itulah satu-satunya hal yang dapat kubantu. Maafkan aku, karena aku pun orang miskin sepertimu, yang tak dapat mengerti dan berbuat banyak untuk orang lain.”
Aku mengangguk dan sambil bersyukur dalam hati, kemudian berucap dengan tulus, “Terima kasih banyak atas bantuanmu.”
Ia lalu bertanya, “Bagaimana kabar ibumu?”
Aku tidak menjawab, dan pergi begitu saja sambil kurasakan gundah gulana yang makin membesar di dalam hatiku. Sambil berjalan menjauh dari warung itu aku melihat ke belakang sesekali, dan kulihat sang pemilik warung berbicara dengan istrinya dengan kata yang bisa kuduga sebelumnya, “Ia benar-benar anak malang.”
Ibuku, ketika aku duduk di ruangan tengah malam ini, sedang tidur di ruangannya; setelah melewati hari yang makin lama makin sulit. Aku adalah seorang anak tunggal, yang ditinggal pergi oleh ayahku ketika ia telah lelah dengan ibuku. Ia pergi entah ke mana, tak ada kabar berita lagi darinya yang kuterima. Dan aku terpaksa menjalani semuanya hanya bertiga saja: aku bersama ibuku, dan sesuatu yang abstrak yang bernama ketabahan hati. Aku sesekali memikirkan masa depanku, tapi ketika telah jenuh mencari jalan keluar dalam hidupku, kubuang pikiran akan adanya masa depan itu. Aku kini hanya hidup dengan hari ini. Apa yang bisa kulakukan saat ini, kulakukan. Apa yang tak sanggup kulakukan pada saat ini, maka tak kulakukan.
Aku punya buku-buku tulis yang masih banyak bagian kosongnya, bekas buku catatan ketika aku masih bersekolah. Kurasa aku takkan pernah bersekolah lagi, karena itu buku-buku itu kumanfaatkan untuk melewati malam dengan menuliskan puisi-puisiku. Ketika pertama kali aku putus sekolah dan mulai menemani ibu, aku menulis:
Kawanku bertanya berulang kali kepada kami
Siapakah wanita terindah yang tiada terperi?
Kawan di sebelahku menjawab, “Yang berdiam di televisi.”
Kawan di hadapanku menjawab, “Yang menghuni bagian barat bumi”
Kawan sejatiku menjawab, “Pacarku, Kristi Kirana Putri.”
Dan tibalah giliranku
Mereka memandang lekat-lekat kepadaku
dan dengan takut dan ragu
aku menjawab pilu
“Ibuku, ibuku adalah wanita terindah dalam hidupku
karena kasihnya tak berbatas waktu
walau bencana darinya tak jua berlalu
walau ayah beranjak di suatu waktu
tak kembali darinya dan dariku.”
Lilin di ruang tengah ini bergoyang-goyang, ditiup angin yang menyelusup dari sela-sela anyaman bilik yang menjadi dinding rumahku. Sesaat lagi akan datang fajar, dan aku harus bersiap-siap untuk ibu. Kusimpan puisiku dalam lemari yang telah renta dan mulai keropos kaki penyangganya. Mungkin kupotong saja kaki lemari itu agar tak berkaki lagi, membiarkannya badan lemari tersebut menempel langsung di lantai tanah rumah kami. Tapi kini aku tak punya waktu. Lagipula aku harus bersiap untuk Ibu.
Aku menyiapkan mi instan untuk ibu. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Aku pergi ke dapur sambil membawa lilin, menyalakan tungku dan menjerang air dalam panci kecil. Satu-satunya panci milik kami setelah yang lainnya aku loakkan kepada sang pemilik warung terdekat.
Dedaunan berdesir lagi di luar. Kayu bakar yang kunyalakan bergemeratik, dan aku memperbesar nyalanya dengan meniup melalui salung[1] . Mungkin hari ini lebih berat daripada yang kemarin, mungkin hari ini lebih ringan daripada yang kemarin. Lalu muncul dalam pikiranku, mungkin ibu akan sembuh suatu hari. Mungkin ibu takkan pernah sembuh selamanya.
Dan pikiranku menerawang jauh, ketika ibu adalah wanita yang penuh kasih yang takkan pernah tergantikan lagi. Ketika aku kecil, ibu membuatkanku penganan dari adonan Cerobong dari bambu untuk memperbesar nyala api tungku tepung terigu dan gula merah yang lezatnya bahkan takkan tergantikan oleh penganan yang kutemui ketika di sekolah. Ibu bersedia membetulkan kerunting[2] yang aku punya ketika ayah tak ada, yang merupakan pemberian dari kawanku yang berternak sapi. Bahkan satu atau dua kali dalam sebulan, ibuku mengantarkanku ke sekolah, hanya untuk menemaniku ketika berjalan kaki di antara hutan jati yang jauhnya lima kilometer.
Di awal tahun ajaran, ibu akan memecahkan celengannya, untuk membeli beberapa buku tulis yang aku butuhkan.
Air mendidih dalam panci, aku menyobek bungkus mi instan dan mencelupkan isinya ke dalam air. Bumbu kutuangkan dalam piring plastik yang kami punya. Ibu dan Ayah menikah ketika masih remaja, karena memang demikianlah kebiasaan di daerah sini. Ibu diboyong oleh Ayah ke rumah yang telah disiapkan olehnya semenjak lamarannya diterima oleh keluarga Ibu. Ayah bekerja di tempat pemotongan kayu dekat SD terdekat, SD yang kelak menjadi tempat aku bersekolah. Ibu mengandung pada usia 17 tahun. Kemudian lahirlah aku, yang menjadi anak pertama sekaligus terakhirnya.
Ayah dan Ibu, setelah kelahiranku, amat bahagia. Betapa tidak, Ayah sebagai pegawai tempat pemotongan kayu mendapat gaji yang memadai yang bahkan melampaui gaji kakek yang selama ini hidup dengan berdagang di pasar di kabupaten kota. Walaupun ia setiap senja datang dengan keletihan fisik, namun hatinya bahagia. Karena sebagai seorang lelaki sederhana, apalagi yang kurang darinya? Istri, anak, rumah, dan pekerjaan ia miliki semuanya.
Maka Ayah pun berangkat bekerja setiap hari dengan semangat. Ia bekerja dengan rajin, semangat dan sesekali bercanda. Kawan-kawannya tambah menyukainya, dan mengatakan bahwa Ibuku ternyata membawa kebahagiaan untuk dirinya.
“Sesekali, kau harus membelikan hadiah untuk istrimu yang kaucintai itu,” kata salah seorang temannya di tempat penggergajian. “Menurutmu, hadiah apa yang layak kuberikan?” kata Ayah bertanya. “Belikanlah ia pakaian dengan warna yang ia sukai. Ia pasti akan tersenyum tersipu-sipu dan akan merasa sangat senang menerimanya, “ jawab kawan Ayahku.
“Oh, begitu? Baiklah aku akan membelikannya kain berwarna biru. Agar ia selalu ingat kepadaku di waktu ia mengenakannya di rumah.”
Ibu memang sangat senang dengan kain yang dibelikan oleh Ayah. Dan ia semakin menyayangi kedua orang yang berada di dalam hidupnya kini: Ayah dan aku. Kelak ketika aku telah mengerti perkataan orang dan dapat menjawab dengan gaya kanak-kanakku, Ibu bercerita bahwa Ayah menginginkan punya banyak anak, yang berarti banyak adik bagiku, agar rumah kami di tengah hutan itu menjadi ramai dengan canda dan tangis anak-anak.
Namun tak ada anak mereka selain aku, yang kini kalut dan gelisah menghadapi kehidupannya. Aku tak tahu lagi harus mengobati ibu ke mana. Aku semula bekerja sebagai buruh serabutan di tempat ayahku dulu bekerja. Namun kini tak dapat lagi, aku harus berada di dekat ibu. Ibu membutuhkan aku dan aku membutuhkan ibu. Usiaku saat ini 20 tahun, seharusnya aku berumah tangga pada usiaku ini, namun aku tak dapat; aku harus menunggui Ibu. Aku juga terpaksa putus sekolah hingga kelas satu SMA, juga karena Ibu.
Balai-balai tempat ibu tidur mulai terdengar suara berderit. Ibu telah bangun. Aku berdoa dalam hati semoga hari ini aku dapat melalui semuanya dengan baik. Kuucapkan Al-Fatihah agar segala yang kualami hari ini mendapat bantuan kekuatan dari Tuhan.
Ayah pergi saja setelah semuanya tak dapat teratasi. Pada usia pernikahan yang kesepuluh, ibu tiba-tiba sering melamun, dan menatap kosong. Mulutnya seringkali bergumam, namun tak jelas apa yang digumamkan. Ayah yang cemas membawanya ke sebuah petirahan di kabupaten kota.
Namun tidak ada perkembangan yang terjadi. Ibu tetap saja seperti itu, menatap kosong dan bergumam sendirian. Ayah yang bingung dengan apa yang terjadi mencoba mengajaknya berbicara agar dapat mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi pada Ibu. Tapi Ibu tak pernah menanggapinya atau bahkan balik melihat tatapan Ayah. Ia tetap menatap dengan pandangan hampa. Aku tak mengerti apa-apa dahulu. Aku hanya tahu, Ibu yang kusayangi berubah menjadi demikian pendiam, sehingga aku tak tahu harus bagaimana. Namun lama-kelamaan aku tahu, bahwa Ibu sakit dan Ayah di sela-sela pekerjaannya sedang mengusahakan pengobatan baginya.
Keluarga Ayahku dan Ibuku tinggal jauh dari sini, dan mereka sibuk dengan keluarganya, sehingga mereka hanya berkunjung sesekali ke sini. Setiap hari, yang kulihat dari Ibuku adalah ia bergumam sendirian dengan mata yang menatap awang-awang dalam lamunannya. Aku mencegah kawan-kawanku untuk datang ke sini, karena aku malu dengan kondisi Ibu. Beberapa kawan Ayah yang mengunjungi rumah kami mengatakan kalau Ibuku tidak waras. Itu mengejutkan Ayah, dan membuat kami merasa nista pula.
Selama ini kami hidup dengan orang-orang yang biasa-biasa saja dan tidak pernah tahu batas antara kewarasan dan ketidakwarasan. Akhirnya setelah bertahun-tahun dan telah habis uang banyak untuk berobat, Ayah menyerah. Dan selanjutnya kalian telah tahu apa yang terjadi. Ayah pergi meninggalkan kami dan tak kembali.
Mi instan telah masak. Kubawa piringnya melewati ruang tengah untuk kuserahkan kepada Ibu yang ada di kamar. Aku melalui lilin di meja di ruang tengah. Aku menyentuh api lilin dengan telunjukku sekilas, apinya bergoyang-goyang, ia adalah kawanku dalam penderitaan ini. Aku tak lagi punya sahabat selain lilin-lilin itu. Aku tahu kekuatan kebaikan bersemayam di sana. Aku tahu lilin itu bukanlah sekadar lilin, ia adalah penyokong keteguhanku. Ia seperti malaikat yang diutus Tuhan untuk menambah kekuatanku.
Aku duduk di pinggir balai-balai dan aku berkata, “Ibu, makanlah dulu. Pasti Ibu lapar sekali. Kubuatkan mi instan kesukaan Ibu.”
Ibuku memandang kosong ke langit-langit. Seperti biasanya, ia tak berbicara sedikitpun. Aku menyodorkan sesendok mi instan ke mulutnya. Ia mau membuka mulutnya, mengunyahnya, menelannya. Begitulah seterusnya, hingga mi instan yang kumasak habis tanpa sisa.
Lalu kutuangkan air dalam gelas plastik kepunyaan ibu lalu kusorongkan ke dalam mulut ibu, ia meneguknya beberapa kali. Lalu kembali diam membisu.
Aku tak tahu harus bagaimana. Kami hanya bisa terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku mencoba mengajaknya berbicara, “Ibu, sudahlah, jangan memikirkan hal yang tak jelas, tak baik bagi kesehatan Ibu.”
Ia tak menjawab apa-apa.
“Ayah yang pergi juga jangan dipikirkan. Ibu punya aku, anakmu yang mencintaimu”
Ia diam membisu. Aku menghela nafas.
Lalu aku berkata, “Ibu, aku punya puisi untuk Ibu, sebentar aku ambilkan.”
Aku beranjak ke ruang tengah dan mengambil kertas buram yang telah kutulis. Aku berdiri di samping balai-balai Ibu, lalu dengan gaya pendeklamasi, aku membacakan puisi untuknya.
Separuh lingkar langit
Dan sepenuh lingkar buana
takkan pernah bisa menggantikan
apa yang telah kauberikan kepadaku
engkau adalah angin, awan, dan air
yang berpindah ke ladang yang kerontang
dan deras tercurah bergelombang-gelombang
yang menghidupkan rumput-rumput, perdu, dan tanaman sempurna
yang mengundang burung madu, kupu-kupu, dan lebah pekerja
untuk selalu bertengger di mahkota bunganya yang berwarna
Tuhan yang bertengger di atas pohon jambu
di sebelah rumah kita
selalu tahu
bahwa cinta takkan pernah berlalu
karena masa dan petaka
cinta itu terletak di dalam inti diri
takkan pernah terusir pergi
bahkan oleh derita jiwa yang paling ngeri
Ibu,
aku tahu engkau mencintai anakmu
walau engkau
tak mampu berkata sepatah kata
kepadaku
dan kepada semesta
Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak itu. Aku mendengar burung-burung pagi bernyanyi di dahan pepohonan di sepanjang perjalananku. Aku hendak membeli lilin dan mi instan di warung terdekat. Aku memegang buku catatanku di tangan kiri, sedangkan tangan kananku menyapa dedaunan yang harum basah oleh titik-titik embun. Lalu kuusapkan tanganku yang basah ke wajahku.
“Embun dapat membuat dapat membuat wajah kita berseri,” demikian kata ibu sewaktu aku kecil. Aku selalu mengartikannya secara harfiah, dan karena itu kuusapkan lagi tanganku yang basah itu ke mukaku.
Jika kau pertama kali berjalan ke warung itu, maka warung itu akan terasa jauh. Namun jika kau telah sering ke sana, maka akan terasa biasa saja. Mungkin kau akan mengeluh jika pada malam harinya hujan hebat, karena hal itu membuat tanah yang likat menempel di sandalmu. Jika demikian, maka kau harus berhenti berulang kali jika ada batu berpinggir tajam, untuk membersihkan bagian bawah alas kakimu.
Seekor sigenting[3] melewati wajahku dan aku memperhatikannya hingga ia hilang di antara daun-daun jati. Aku ingat perkataanku sewaktu duduk di kelas 6 SD, “Seandainya aku bebas memilih jadi apa, aku ingin jadi lebah. Karena lebah punya saudara yang banyak dan tidak tinggal hanya bertiga dengan kedua orang tuanya.”
Ibuku tergelak dan Ayah hanya tersenyum simpul. Mungkin Ayah juga merasa sedikit tersinggung, karena ia tak dapat memberi Ibu banyak anak.
Pada suatu hari Ibu muntah-muntah di perigi. Ayah segera mendatangi Ibu sambil mengulum senyum.
“Apakah engkau mengandung untuk yang kedua kali?” tanya Ayah. Tapi Ibu menjawab, “Tidak, aku kehujanan kemarin siang, saat pulang mencari kayu bakar.”
Ayah nampak sedikit kecewa dengan jawaban dari Ibu. Pada malam harinya Ibu demam, dan dengan bertemankan obor, Ayah pergi ke warung terdekat itu untuk membeli obat masuk angin. Namun Ayah tidak hanya kembali dengan obat, tapi juga kembali dengan istri sang pemilik warung, yang juga punya keahlian memijat dan mengusir makhluk gaib yang merasuk dalam tubuh seorang manusia. Dalam jangka dua hari kemudian Ibu telah sembuh kembali seperti sediakala.
Lihatlah, kita telah dekat. Itulah warungnya.
Namun mengapa pagi-pagi begini telah ramai oleh orang? Aku tidak suka keramaian. Aku suka ketenangan. Banyak manusia akan mengganggu hatiku.
Langkahku kuperlambat. Aku mendekat dengan penuh keraguan. Apakah lebih baik jika aku pulang saja dan tak jadi belanja? Akan tetapi mi instan untukku dan untuk ibuku tinggal dua, dan aku harus membeli lagi untuk makan siang nanti.
Kupikir aku harus menguatkan diri. Tetapi aku tak dapat membohongi hatiku bahwa aku tidak suka terhadap keramaian. Aku semakin mendekat dan dapat kulihat gerak bibir mereka. Pak Sadi, sang pemilik warung, menyeringai kepadaku, lalu berkata:
“Selamat pagi, anak malang. Apakah kau akan membeli mi instan lagi?”
Dan istrinya, sambil tersenyum-senyum berujar, “Anak malang yang sial, apakah kau juga akan membeli lilin?”
Semua orang terbahak dan seorang dengan kumis melintang berkata, “Tidakkah kau merasa letih dengan ibumu, anak malang?”
“Sayang kau putus sekolah, anak malang, padahal bukankah semula kau bercita-cita menjadi lebai malang?” kata yang seorang lagi.
“Tidak, menurutku kau semestinya merantau ke kota dan tidak malang-melintang di hutan jati ini,” tutur orang yang berbaju biru.
Badanku gemetaran, dan kini ingat benar mengapa aku tak dapat berhadapan dengan orang ramai semenjak aku berjuang sendirian.
Aku menguatkan diri, lalu aku menyerahkan uang enam ribu rupiah, “mi instan rebus empat, dan lilin juga empat,” kataku kepada Pak Sadi.
Tapi sebelum mengambil uang itu, tiba-tiba Pak Sadi menjawab sambil mengambil napas panjang, “Anakku yang malang, warung kami tidak menerima uang Kabupaten Malang untuk jual-belinya.”
Aku gemetar hebat, uang itu jatuh ke tanah, aku lekas-lekas memungutnya dan berlari secepat-cepatnya. Buku catatanku kugenggam erat-erat. Setelah sekitar lima belas hasta aku terjatuh karena tersandung batu. Aku berdiri, dapat kulihat lututku berdarah, namun aku berlari lagi untuk menjauh dari orang banyak. Dapat kudengar mereka tertawa di belakangku.
Aku berhenti di tempat matahari dapat kulihat dengan jelas. Kubuka buku catatanku pada tulisan yang terakhir. Lalu aku bersajak:
walau matahari padam
rembulan tak menyinari malam
atau tak ada bintang menembus kelam
aku akan tetap tahu
Kau dan teduh damai-Mu
akan selalu menungguku
di suatu sudut waktu.
Aku hanya bisa bertahan dan berdoa
semoga saja
kami berhenti bertanya mengapa
sehingga kami
akan bertemu dengan inti kasih-Mu
saat semua luka
telah berlalu.
Matahari tetap bergejolak dengan pancaran sinarnya. Dan aku berkata dalam hatiku sambil berjalan pulang, bahwa aku tahu aku dan ibuku adalah orang-orang yang goyah jiwanya, tapi aku akan terus melewati malam dengan menyalakan lilin dan menulis puisi. Karena hanya itulah yang dapat kulakukan untuk melewati semuanya.
Lilin dan puisi dan Ibu adalah sahabat jiwaku untuk terus bertahan hidup menghadapi dunia ini.