Lompat ke isi

Madropik

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

GURUKU SAYANG DIBUANG JANGAN Rahmat Heldy HS

Novel dengan judul “Guruku sayang dibuang jangan” karya Rahmat Heldy HS adalah sebuah novel yang dari awal sudah membuat saya merasa penasaran, ketika membaca judulnya saja saya sudah tak sabaran untuk mengartikannya, sehingga timbullah pertanyaan dalam hati saya. Mengapa novel ini diberi judul “Guruku Sayang Dibuang Jangan”? bahkan saya merasa aneh ketika ada kata “guruku”, padahal dalam novel ini penulis menceritakan perjalanan Kang Rapie sebagai mahasiswa bukan sebagai guru, Tapi pertanyaan tersebut terjawab sudah ketika saya membaca novel ini sampai beres dan diperkuat oleh kata pengantar dari Mas Gol A Gong. Ternyata judul awal dari novel ini adalah “Kuteriakan Cintaku di Speaker Mesjid”, setelah saya tahu, saya jadi ingin tertawa dengan judul awal novel ini, Hahaha…

Resensi Novel dalam judul “Guruku Sayang Dibuang Jangan”

Judul : Guruku Sayang Dibuang Jangan Penulis : Rahmat Heldy Hs Penerbit : GONG Publishing Tebal : 149 Hal

Buku karangan rahmat heldy hs ini berisi 19 judul , isi buku ini tentang kehidupan Cinta antara Manusia yang tidak tersampaikan.

Rahmat heldy hs adalah pengarang buku berjudul “Guruku Sayang Dibuang Jangan” , ia lulus dari sd gegeneng , lalu ia melanjutkan ke smpn 1 waringin purun madrasah aliyah palas cilegon . melanjutkan kuliah di untirta banten dan mendapatkan gelar sarjana pendidikan dari fakultas bahasa , sastra dan seni tahun 2004.

Karya yang ia ciptakan berupa Puisi , Cerpan , Artikel , Resensi Buku , Dan Budaya yang ikut menghiasi berbagai media masa lokal dan nasional Dalam cerita itu menceritakan seorang laki laki yang merelakan cintanya , karna ingin orang tuanya bahagia seperti inilah buku “Guruku Sayang Dibuang Jangan” . seorang laki laki yang ingin dekat dengan wanita pujaannya , seorang gadis yang baik , dan berkerudung yang membuat seorang laki laki terpesona kepadanya ,sepeti pada judul no 5 “Pamflet Cinta Untuk Padma”

“Kisah awal dari percintaan seorang laki-laki pada seorang gadis yang tidak laki-laki itu kenal. Setelah berapa kali bertemu didalam mobil bus yang tiap harinya mereka naiki, akhirnya ditempat itulah mereka berkenalan”,

Dalam novel ini, penulis yang biasa dipanggil Kang Rahel oleh anak-anak Kubah Budaya menceritakan sebuah pengalaman pribadinya ketika ia mengenyam pendidikan di Untirta. Saya melihat ada beberapa nama dosen yang disamarkan dalam cerita ini. Sepertinya sosok dosen yang sering disebut-sebut dalam novel ini seperti Pak Waher dengan batu akiknya, Pak Arwan dengan materi-materi gombalnya dan semoga saya tidak tahu siapa dosen yang diceritakan oleh Kang Rahel dan mungkin jika dosen tersebut sempat membaca novel ini, maka mereka akan tertawa dan merasa sedikit jengkel karena beberapa kekonyolannya terbongkar ketika sedang mengajar mahasiswanya dan mencoba menggoda pelayan kantin, saya jadi tertawa sendiri ketika menemukan kutipan seperti ini: ”Dan yang membuat Pak Waher tak mau meninggalkan kantin itu adalah kaos pelayan dan celananya yang ketat padat dan berisi. Ada remis-remis bulu di atas bibirnya” (halaman 84). Saya menjadi geli sendiri dengan pernyataan diatas, “kok ada yah dosen seperti itu?” bahkan ada yang terang-terangan menggoda mahasiswinya saat KBM berlangsung. Mungkin manusiawi juga untuk seorang lelaki yang senang melihat keindahan duniawi. Terkadang saya risih juga kalau sudah memandang kecantikan dalam penilaian di kelas, laki-laki biasanya menjadi korban. Terkadang saya suka teringat dengan kisahku, saat saya berada dilingkungan kampus UNMA ini, saya pun sering menggoda mahasiswi UNMA, Adakalanya saya membaca novel ini. Saya rasa cerita dalam novel ini adalah cerita tentang kehidupan nyata Kang Rahel sendiri, karena tokoh Rapie disini begitu hidup dan terkesan tanpa rekayasa, seperti bukan sebuah fiksi tapi sebuah catatan kehidupan Si penulis yang dituangkan ke dalam sebuah cerita. novel ini menjadi menarik ketika penulis menceritakan kisah percintaan Rapie dengan Padma dengan latar belakang yang berbeda, inilah yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari, cinta kandas karena kondisi ekonomi, si kaya dan si miskin takkan bisa bersatu seperti langit dan bumi yang mempunyai jarak. Bukan hanya itu, tetapi sebuah lika-liku kehidupan yang dialami oleh Rapie dapat menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi pembaca, terutama saya sendiri. Pada lembar-lembar berikutnya, Saya kurang sependapat dengan Kang Rahel saat menceritakan kejadian mendatangi kiyai di Banten dan kiyai itu yang sudah bisa menebak maksud dan tujuannya datang kepadanya, biasanya Kiayi tak menunjukkan kesaktiannya secara langsung. Mungkin saja Kang Rahel keliru dalam membedakan antara kesaktian Kiyai dengan kesaktian Dukun dan yang saya tahu Kiayi tidak seperti itu. Kiyai lebih terlihat santai dan penuh wibawa, berbeda dengan karakter seorang Kiayi yang diceritakan dalam novel ini. Ada hal yang saya kurang suka dalam novel ini, karena tokoh kang Rapie yang terlalu mengambing-hitamkan perihnya kehidupan yang dialaminya, apapun yang terjadi pada dirinya, kang Rapie terkesan selalu menyalahkan nasibnya sebagai anak seorang petani miskin, seperti saat menyimpan perasaannya kepada Padma, dia berfikir dia tak pantas untuknya karena keadaan keluarganya yang serba tak punya. Padahal menurut saya, perasaan suka itu wajar saja, datang tanpa diminta dan tidak membedakan kaya atau miskinya. Sehingga tokoh kang Rapie disini terlihat berlebihan dalam mengartikan sebuah kehidupan. Aku melihat kang Rapie yang cengeng untuk masalah perasaan, terlalu melankolis untuk seorang lelaki yang besar dikerasnya kehidupan. Selain dari itu, ada beberapa cerita yang tidak diteruskan oleh Kang Rahel dalam novel ini sehingga saya merasa ambigu dalam mengartikan jalan ceritanya dan saya rasa ada judul kecil yang tidak terlalu penting untuk diceritakan, mungkin lebih baik digabungkan dengan judul kecil ada di halaman selanjutnya karena tidak ada hubungan dengan judul kecil yang ada di halaman berikutnya. Perasaanku ketika saya membaca novel ini seperti perasaan saat menaiki halilintar di Dufan, membuat perasaan saya naik turun, yang awalnya sedih karena kehidupan kang Rapie yang sulit, adiknya yang kabur dari rumah dan perasaannya yang sakit karena Padma, lantas saya merasa termotivasi oleh ketekunannya, tertawa sendiri karena kelakuan tokoh dalam novel ini, saya kembali merasa sedih, iba dan tertawa sendiri lagi, sehingga teman saya yang memerhatikan menyangka saya ‘gila’ sambil tertawa, mencoba mengejek saya yang sedang asik membaca novel ini dan penuh ekspresif, saya ‘gila’ karena novel ini. Secara keseluruhan, saya senang membaca novel ini karena ceritanya begitu nyata dengan menggunakan setting tempat yang tak asing lagi bagi mahasiswa, Dengan kelebihan itulah novel ini menjadi mudah dicerna dan dimengerti oleh pembaca dengan cerita yang mengalir jika dibaca sehingga tak perlu memakan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.