Lompat ke isi

Makna Hewan dalam Permainan Tradisional di Indonesia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Makna Hewan dalam Permainan Tradisional di Indonesia

[sunting]

Peran Bernilai Tinggi pada Hewan-Hewan di Beragam Suku di Indonesia

[sunting]

Tidak dapat dipungkiri jika hewan memiliki beragam peran bernilai tinggi dalam masyarakat kesukuan di Indonesia. Contohnya adalah turangga (kuda) dan kukila (burung) yang pada suatu masa menjadi simbol tingginya status sosial seseorang pria Jawa. Kemudian, ada juga burung rangkong badak yang dianggap penting bagi Suku Kenyah, Kayan, dan Ngadju di Kalimantan. Bulu-bulu burung ini dipergunakan sebagai bahan pembuat jubah bagi para lelaki suku ketika akan melakukan tarian perang.

Sementara itu, kerbau diagungkan sebagai hewan sakral pada pesta penguburan di masyarakat Toraja. Kerbau dikorbankan sebagai simbol pengiring roh orang yang meninggal. Tidak kalah unik adalah makna buaya bagi masyarakat Betawi. Buaya adalah hewan yang tinggal di rawa-rawa. Dikisahkan bahwa dahulu masyarakat Betawi tinggal di dekat rawa-rawa. Kedekatan lingkungan hidup masyarakat Betawi dengan buaya menjadikan mereka sangat memahami sifat hewan reptil yang satu ini. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Betawi untuk menjadikan buaya sebagai simbol kesetiaan. Simbol ini diwujudkan dalam bentuk roti di pernikahan adat Betawi.

Begitupula dengan Suku Sumba, Suku Batak, Suku Papua, dan suku-suku lainnya. Dapat dikatakan bahwa rata-rata suku di Indonesia memiliki hewan yang bermakna bagi pembentukan nilai-nilai kearifan sosial di wilayah mereka. Nilai-nilai kearifan sosial yang diserap, baik dari tingkah laku, keunikan fisik, atau kebiasaan hidup hewan-hewan tersebut kemudian diturunkan kepada generasi yang lebih muda dalam bentuk yang menyenangkan. Salah satunya adalah dalam bentuk permainan tradisional.

Cukup banyak permainan tradisional di Indonesia yang menggunakan nama-nama hewan. Bagi anak-anak, bermain merupakan kegiatan yang identik dengan hal yang menyenangkan. Dengan bermain, anak dapat mengembangkan pemahaman sosial dan budayanya. Permainan tradisional dapat menjadi sarana bermain dengan tujuan tersebut, yaitu mendapatkan hal yang menyenangkan sekaligus membangun pemahaman sosial dan budaya anak melalui aktivitas yang bersifat simbolik.

Jenis-jenis Permainan Tradisional yang Memaknai Hewan Tertentu

[sunting]

1. Mancik-Mancik Malam

[sunting]

Mancik-mancik malam adalah permainan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra Barat.

Permainan tradisional mancik-mancik malam

Asal-usul Permainan

[sunting]

Masyarakat Sumatra Barat memiliki beragam permainan tradisional yang berusia tua. Salah satunya adalah mancik-mancik malam. Permainan ini terhubung erat dengan kegiatan masyarakat petani di sawah dan di ladang.

Dalam bahasa masyarakat setempat, mancik diartikan sebagai hewan tikus. Mancik memiliki kebiasaan mencari makan pada malam hari. Lalu, dia akan beristirahat menjelang pagi atau siang hari. Kebiasaannya mencari makan tak urung memasuki wilayah yang dijadikan sebagai lahan pertanian oleh manusia. Akibatnya, tanaman padi, jagung, tebu, dan sebagainya yang ditanam oleh petani menjadi rusak.

Masyarakat petani kemudian berusaha mengatasi masalah ini dengan melakukan perburuan mancik. Perburuan membuahkan hasil seiring dengan meningkatnya hasil panen. Untuk merayakan hal tersebut, para orang tua mengarahkan anak-anak mereka untuk melakukan permainan menangkap mancik, terutama pada malam hari seusai musim panen.

Jumlah Pemain

[sunting]

Mancik-mancik malam biasanya dimainkan oleh minimal 3 anak, bisa anak laki-laki maupun anak perempuan. Jumlah maksimal pemain tidak terbatas. Keunggulan dari permainan ini adalah dapat dimainkan oleh banyak anak tanpa biaya sama sekali.

       

Lokasi Permainan

[sunting]

Lokasi permainan adalah di luar rumah yang memiliki banyak tempat untuk bersembunyi. Lapangan luas tidak dianjurkan karena akan menyulitkan dalam mencari lokasi bersembunyi.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Permainan ini secara umum nyaris serupa dengan permainan petak umpet. Masyarakat suku-suku lain di Indonesia pun mengenal jenis permainan ini. Contohnya adalah permainan ucing sumput di Sunda dan jethungan/jelungan di Jawa.

Mula-mula, anak-anak yang bermain akan berkumpul dan menyepakati beberapa peraturan sederhana. Misalnya, tidak diperbolehkan bersembunyi di dalam rumah, menentukan batas lokasi persembunyian, di mana lokasi pangkalan (pohon, tiang pos ronda, atau pagar rumah), dan sebagainya.

Selanjutnya, semua anak yang bermain melakukan hompimpa terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang menjadi pejaga. Penjaga adalah anak yang kalah dalam hompimpa/suit. Penjaga akan menghitung misalnya 1 – 10 sambil menutup mata di pangkalan. Sementara penjaga berhitung, anak-anak lain akan berlari menyebar untuk mencari tempat sembunyi.

Setelah hitungan berakhir, penjaga membuka mata dan mencari anak yang bersembunyi. Jika penjaga melihat anak yang bersembunyi, dia harus menyebutkan nama anak yang bersembunyi itu dengan suara nyaring. Lalu, anak yang bersembunyi dan penjaga harus berpacu lari menuju pangkalan.

Siapa pun yang berhasil menyentuh pangkalan, harus menyerukan kata, “Mancik-mancik!” Anak yang lebih dahulu menyentuh pangkalan akan menjadi anak yang bersembunyi. Sementara anak satunya akan menjadi penjaga. Begitu seterusnya.

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan ini tentu saja bersifat menghibur, selain mengajarkan filosofi hidup bergotong-royong. Kehidupan masyarakat yang saling menolong untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul di tengah kehidupan bermasyarakat juga ditanamkan dengan kuat melalui permainan ini.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Terlepas dari kebiasaan tikus mencari makan, dalam permainan ini tikus dianggap sebagai pengganggu atau pencuri. Seseorang yang berperilaku sebagai pengganggu atau pencuri tidak akan disukai oleh masyarakat. Jika orang tersebut tidak mengubah perilaku buruknya, dia akan mendapat hukuman atau dijauhkan dari kehidupan bermasyarakat.

2. Bilu-Bilulu

[sunting]

Bilu-bilulu adalah permainan tradisional yang berasal dari Gorontalo. Gorontalo adalah sebuah provinsi yang terletak di bagian utara Pulau Sulawesi.

Permainan tradisional bilu-bilulu

Asal-usul Permainan

[sunting]

Permainan bilu-bilulu berawal dari kisah tentang seorang laki-laki (Bilu-bilulu) yang menemukan seekor burung yang lincah. Burung yang ditemukannya dalam semak-semak itu kemudian dipeliharanya. Burung tersebut juga jinak sehingga dapat dijadikan sebagai teman bermain. Bahkan, burung tersebut dapat mengerti bahasa yang diucapkan oleh majikannya.

Pada suatu ketika, seorang putri raja lewat dan melihat laki-laki itu sedang asyik bermain dengan burung peliharannya. Raja yang melihat putrinya menyukai burung tersebut lalu meminta burung tersebut untuk putrinya. Sayangnya, burung tersebut mati. Putri bersedih dan minta dicarikan pengganti burung itu.

Raja mendatangi Bilu-bilulu dan memintanya mencari pengganti burung yang telah mati. Jika tidak berhasil, Bilu-bilulu akan dihukum pancung. Dalam ketakutannya, Bilu-bilulu menemukan rumpun pohon bambu. Ketika salah satu pohonnya ditebang, potongan bambu tersebut terlontar jauh dan menimbulkan bunyi serupa burung yang sedang terbang. Berawal dari kisah inilah, tercipta permainan bilu-bilulu.

Jumlah Pemain

[sunting]

Bilu-bilulu dimainkan oleh minimal 3 anak berusia 5 – 14 tahun. Dapat dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan.

Lokasi Permainan

[sunting]

Biasanya permainan dilakukan di tempat yang luas, seperti di halaman, lapangan, atau di pantai.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Dahulu permainan ini sering dilakukan oleh anak pedesaan pada waktu malam bulan pernama. Dalam permainan ini, dua anak akan berperan sebagai pemburu atau penghadang. Kemudian, anak-anak yang lain akan berperan sebagai burung. Konsep permainan ini hampir sama dengan permainan gobak sodor dari Jawa.

Pemburu bertugas menghadang burung yang sedang mengumpulkan sesuatu agar tidak melewati garis-garis pembatas. Sesuatu yang dikumpulkan, misalnya adalah batu berukuran kecil. Burung akan menang jika dia berhasil melewati pemburu hingga pintu terakhir. Namun, jika badan burung tersentuh sedikit saja oleh para pemburu, dia akan kalah. Otomatis, perannya sebagai burung akan digantikan oleh si pemburu yang berhasil menyentuhnya. Sementara itu, burung yang kalah akan menjadi pemburu.

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan ini bermanfaat membentuk karakter pemberani pada anak. Kewaspadaan diri dan rasa tanggung jawab pada anak pun diharapkan akan meningkat.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Hewan burung dalam permainan ini dilambangkan sebagai hewan yang lincah dan gesit. Dia menggunakan kegesitan dan kelincahannya untuk mencari makan. Artinya, jika seseorang mau berusaha dan mengerahkan segala kemampuan positif yang dimilikinya, dia akan lebih mudah menjadi orang yang berhasil dalam kehidupannya.

3. Inkaropianik

[sunting]

Permainan inkaropianik berasal dari Papua. Permainan ini sangat terkenal di Kepulauan Raja Ampat, Pulau Papua.

Permainan tradisional inkaropianik

Asal-usul Permainan

[sunting]

Dalam bahasa masyarakat Papua, inkar berarti sejenis ikan berkulit kasar. Pada awalnya, permainan yang menuntut kebugaran tubuh ini merupakan sarana latihan berenang bagi anak-anak di Kepulauan Raja Ampat. Salah satu keterampilan hidup (survival skill) ini menjadi keterampilan yang wajib dikuasai mengingat lingkungan Raja Ampat dikelilingi oleh lautan. Bahkan, perairannya dikenal memiliki flora fauna terlengkap di dunia.

Bersamaan dengan kemampuan berenang, kemampuan lain pada anak pun akan ikut terasah. Seperti kemampuan menyelam, menangkap ikan, kegesitan gerak di dalam air, dan pengenalan terhadap kehidupan di lingkungan air.

Dari waktu ke waktu, permainan inkaropianik semakin terkenal dan sering dimainkan oleh anak-anak di Kepulauan Raja Ampat.

Jumlah Pemain

[sunting]

Biasanya permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki. Jumlah minimal pemain ada 6 orang. Lima orang akan menjadi jaring, dan seorang lagi akan menjadi ikan. Jika jumlah pemain melebihi 6 orang, mereka juga akan menjadi jaring. Pada intinya, anak yang berperan menjadi ikan hanya 1 orang. Permainan akan semakin seru seiring dengan bertambahnya jumlah pemain.

Lokasi Permainan

[sunting]

Aslinya permainan inkaropianik dilakukan di sungai yang tidak terlalu dalam. Walaupun begitu, para pemainnya tetap dituntut untuk memiliki kemampuan renang dan kegesitan gerak tubuh. Pada zaman sekarang permainan ini juga bisa dimainkan di kolam renang bahkan di darat. Jika dimainkan di darat, kemampuan berenang akan diganti dengan kemampuan berlari cepat.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Seluruh anak akan masuk ke dalam air. Lalu, mereka mencari lokasi yang memungkinkan mereka berdiri dengan tubuh bagian bawah terendam air setinggi pinggang atau dada. Kemudian, anak-anak yang berperan sebagai jaring akan bergandengan tangan membentuk lingkaran. Sementara itu, satu anak yang berperan sebagai ikan akan berada di luar lingkaran. Lingkaran ini menjadi simbol dari jaring ikan.

Ikan yang pada mulanya berada di luar jaring harus berusaha menerobos ke dalam jaring melalui celah-celah kaki-kaki pemain lain. Penerobosan ini dilakukan dengan cara menyelam.

Setelah berada di dalam jaring, si Ikan harus berusaha meloloskan diri dari jaring. Caranya adalah dengan mendorongkan badan atau dadanya sendiri ke arah rangkaian tangan pemain lain. Ikan hanya boleh keluar melalui rangkaian tangan pemain lain yang berhasil dilepasnya.

Berbeda dengan cara masuk ke dalam jaring, si Ikan tidak diperbolehkan meloloskan diri dengan cara menyelam di antara kaki-kaki pemain lain ketika berusaha keluar dari jaring. Pertukaran pemain akan dilakukan jika si Ikan berhasil meloloskan diri dari jaring.

Manfaat Permainan

[sunting]

Melalui permainan ini, anak-anak akan terstimulasi untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Misalnya, potensi berenang dan berolahraga air lainnya. Selain itu, kemampuan membangun strategi pada diri anak akan semakin terasah. Pengalaman berhubungan dengan teman-teman sebaya yang didapat melalui permainan inkaropianik pun akan menjadi bekal penting bagi anak untuk membina hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Inkaropianik adalah permainan rakyat yang menggambarkan kekuatan dan kegigihan ikan untuk meloloskan diri dari jaring-jaring yang menjebaknya. Kekuatan dan kegigihan sangat diperlukan bagi seseorang yang ingin berhasil mencapai tujuan hidupnya. Jika satu jalan menuju tujuan tertutup, giatlah mencari jalan lain. Selalu ada pintu yang terbuka jika mau berusaha. “Selalu ada jalan menuju Roma,” begitu kata pepatah kuno.

4. Gudang Kero

[sunting]

Permainan tradisional gudang kero berasal dari Sumatra Selatan. Konon, permainan ini dibawa dari Martapura, Kalimantan Tengah.

Permainan tradisional gudang kero

Asal-usul Permainan

[sunting]

Permainan tradisional ini tidak terkait dengan tradisi setempat atau kelompok sosial tertentu. Akan tetapi, permainan ini memang sudah ada sejak lama, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Hingga sekarang permainan ini masih digemari oleh masyarakat setempat.

Gudang kero berarti “buntut kera”. Penamaannya diambil dari keberadaan seorang pemain yang diharuskan memakai kain yang dililitkan di pingggang. Sisa lilitan kain di bagian belakang pemain terlihat bagaikan ekor kera.

Jumlah Pemain

[sunting]

Jumlah pemain tidak dibatasi, tapi minimal dilakukan oleh 3 orang. Semakin banyak jumlah pemain, permainan akan berjalan semakin seru.

Peserta permainan pada umumnya adalah anak laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan anak perempuan ikut menjadi peserta permainan. Rata-rata usia pemain adalah 10 - 15 tahun.

Lokasi Permainan

[sunting]

Permainan dilakukan di halaman atau pekarangan rumah yang luas sehingga memungkinkan para pemain berlarian bebas. Akan lebih baik jika di halaman tersebut terdapat banyak pohon, pagar, atau tiang yang dapat difungsikan sebagai hong atau tempat pemberhentian.

Waktu bermain tidak terbatas. Bisa dilakukan pada pagi, siang, sore, atau malam hari.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Misalnya, jumlah pemain ada 9 orang. Di antara 9 orang tersebut, 1 orang berperan sebagai gudang kero. Penentuan siapa yang menjadi gudang kero dapat dilakukan melalui hompimpa.

Adapun yang perlu dipersiapkan dalam permainan ini adalah hong. Banyak hong yang dipersiapkan adalah sejumlah pemain, tidak termasuk gudang kero. Gudang kero tidak memerlukan hong karena di situlah letak keseruan permainan ini, yaitu ketika si gudang kero mencari hong.

Jarak antar-hong sekitar 5 meter, jadi tidak terlalu dekat atau terlalu jauh. Satu pemain menempati satu hong. Sementara itu, gudang kero harus berdiri di tengah-tengah. Kemudian, 8 pemain lain yang sudah menempati hong masing-masing mulai berteriak-teriak memanggil si gudang kero, “Awas, awas, awas! Ada gudang kero!” Teriakan boleh bernada meremehkan, tetapi tetap ada batasan. Misalnya, tidak menyinggung fisik atau hal-hal yang melanggar SARA.

Sambil berteriak, para pemain harus bertukar tempat hong. Diusahakan agar si gudang kero tidak menyadari siapa saja yang akan bertukar tempat hong. Jika diketahui, si gudang kero pasti akan segera berusaha menyerobot salah satu hong yang sedang ditinggalkan oleh pemain.

Selama diteriaki, si gudang kero harus mulai mengejar para pemain lain. Jika pemain tersebut berhasil menempati sebuah hong, si gudang kero tidak boleh menangkapnya. Namun, si gudang kero sangat diperbolehkan menangkap pemain yang sedang tidak memegang hong. Jika ada pemain yang tertangkap, hong miliknya akan menjadi milik si gudang kero; dan pemain yang tertangkap tersebut akan menjadi gudang kero yang baru.

Para pemain juga harus waspada agar tidak meninggalkan sebuah hong terlalu lama. Hong yang kosong dapat diambil alih oleh gudang kero jika dia berhasil memegang hong tersebut. Demikianlah permainan akan terus berlangsung hingga para pemain puas. Sebagai tambahan catatan, seorang pemain yang sudah meninggalkan sebuah hong, tidak diperbolehkan langsung kembali ke hong yang sama. Dia harus mencari hong lain.

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan gudang kero membutuhkan kelincahan para pemainnya. Kelincahan ini akan terus terbentuk dan menjaga kebugaran tubuh para pemainnya. Selain itu, akan terbentuk juga interaksi yang kuat antarpemain pada saat mereka saling berusaha memahami pemain lainnya ketika melakukan perpindahan hong.

Latihan menahan emosi pun terjadi dalam permainan ini, khususnya pada anak yang berperan menjadi gudang kero. Jika si gudang kero lekas emosi atau mudah tersinggung akibat teriakan-teriakan para pemain lain yang ditujukan bagi dirinya, dia akan menjadi gegabah dan mudah melakukan kesalahan. Sebaliknya, jika dia tidak terpengaruh oleh beragam teriakan tersebut, dia dapat menentukan langkah dengan cermat dan dengan mudah berhasil mendapatkan atau merebut hong bagi dirinya.

Bagi para pemain yang melakukan teriakan, dia akan terlatih untuk berpikir sebelum berbicara. Dengan demikian, dia akan lebih peka untuk tidak melontarkan teriakan yang dapat memicu perseteruan.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Kera adalah hewan yang lincah, tetapi cenderung gegabah atau tidak berpikir panjang. Sampai-sampai ada sebuah dongeng terkenal yang menceritakan tentang seekor kera yang tangannya terjebak di toples.

Si kera memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil segenggam kacang. Akan tetapi, dia tidak dapat mengeluarkan tangannya dari toples karena tangannya itu terus menggenggam kacang. Andaikan dia mau melepaskan genggamannya sejenak, tangannya pasti dapat keluar dari toples.

Melalui permainan gudang kero, anak-anak diharapkan dapat melatih kepekaan emosi, tidak mudah terbawa perasaan, dan memiliki kemampuan menganalisis situasi agar tidak terjebak dalam suatu keadaan yang pada akhirnya dapat merugikan dirinya sendiri.

5. Batewah

[sunting]

Nama permainan ini konon diciptakan oleh masyarakat Marabahan Kabupaten Barito Kuala dan masyarakat Kotamadya Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Permainan tradisional batewah

Asal-usul Permainan

[sunting]

Nama batewah berasal dari kata tewah yang diberi awalan ba. Dalam bahasa Indonesia, batewah berarti melakukan permainan tewah. Menurut perkiraan, kata tewah ini berasal dari kata tiwah. Tiwah merupakan upacara adat di pedalaman Kalimantan untuk menghormati dan mengantarkan arwah nenek moyang ke surga.

Perkiraan tentang asal kata ini muncul karena ada kemiripan antara jalannya permainan batewah dengan upacara Tiwah, yaitu adanya usaha untuk mencapai sasaran yang tepat. Pada upacara Tiwah, para anggota keluarga yang masih hidup akan bergotong-royong membeli seekor sapi atau kerbau. Sapi atau kerbau tersebut ditambatkan di sebuah tonggak yang dinamakan sapundu. Kemudian, seluruh ahli waris masing-masing memegang tombak sambil mengelilingi sapi atau kerbau yang ditambatkan itu.

Ahli waris tertua mulai menombak sapi atau kerbau. Tombakan harus tepat pada sasaran, yaitu pada jantung hewan yang dikorbankan. Jika tombakan tidak tepat sasaran, ahli waris selanjutnya yang akan melepaskan tombakan. Begitu seterusnya sampai sapi atau kerbau tidak berdaya lagi. Setelah itu, sapi atau kerbau segera direbahkan dan disembelih untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama.

Jumlah Pemain

[sunting]

Permainan batewah biasa dimainkan oleh anak-anak berjumlah 3 – 8 orang dengan batasan usia 7 – 14 tahun. Permainan bisa dilakukan pada waktu pagi, siang, atau sore hari.

Permainan batewah dapat dimainkan oleh anak laki laki maupun perempuan. Walau tidak ada larangan, permainan ini jarang dilakukan secara gabungan antara anak laki laki dengan perempuan.

Perlu diingat bahwa permainan batewah tidak terkait dengan jalannya upacara Tiwah. Batewah pun tidak mengandung unsur-unsur sosial atau keagamaan tertentu. Perkembangannya pun merata ke seluruh kelompok masyarakat. Baik itu masyarakat petani, buruh, pedagang, dan sebagainya.

Lokasi Permainan

[sunting]

Permainan ini dapat dilakukan di halaman atau pekarangan tanah yang luas yang memungkinkan adanya tempat-tempat untuk bersembunyi.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Sekilas permainan batewah mirip dengan permainan enang baledog dari Jawa Barat. Dalam permainan batewah, para pemain akan melempar sasaran berupa beberapa potongan kayu yang disusun sedemikian rupa. Susunan potongan kayu ini disebut pasangan. Jadi, sasaran lempar yang dituju bukanlah sapi atau kerbau seperti dalam upacara Tiwah. Penyusunan pasangan memerlukan latihan agar pasangan dapat berdiri kokh sebagaimana mestinya.

Selain pasangan, diperlukan juga alat pelempar yang disebut undas. Undas berupa potongan kayu kira-kira sepanjang 30 cm dan bergaris tengah 4 cm. Sebagai ganti potongan kayu, ada juga yang menggunakan bola.

Untuk memulai permainan, seluruh pemain melakukan hompimpa. Dua pemain yang tersisa akan bertanding melempar undas ke pasangan yang sudah dibuat sebelumnya. Pemain yang lebih dulu melempar adalah pemain yang menang suit. Jika pelempar pertama ini dapat mengenai pasangan, otomatis dia akan menjadi pemain yang ikut bersembunyi bersama para pemain lain yang menang hompimpa.

Bagaimana jika pelempar pertama tidak berhasil mengenai pasangan? Dalam situasi tersebut, pelempar kedualah yang akan mengambil alih melempar pasangan. Jika pelempar kedua juga gagal menjatuhkan pasangan, giliran melempar dikembalikan kepada pelempar pertama. Begitu seterusnya hingga ada yang berhasil menjatuhkan pasangan.

Setelah pasangan berhasil dijatuhkan oleh seorang pelempar, dia harus segera mencari persembunyian seperti pemain lainnya. Pelempar yang kalah—selanjutnya akan disebut pemain ajak—harus berusaha secepatnya menyusun pasangan yang telah dirobohkan. Setelah pasangan berhasil disusun sesuai ketentuan, pemain ajak harus segera meletakkan undas di garis pelemparan dan mulai mencari para pemain yang bersembunyi.

Para pemain yang bersembunyi harus mencari waktu yang tepat untuk menguasai undas di garis pelempar. Jika dia berlari ke arah undas dan ajak memergokinya, sesegera mungkin ajak harus berlari ke arah undas untuk mempertahankannya.

Jika pemain yang bersembunyi terlebih dahulu memegang undas ketimbang ajak, dia boleh me-newah atau melempar kembali pasangan yang sudah dibuat. Jika dia berhasil merobohkan pasangan, dia diperbolehkan untuk bersembunyi lagi. Namun, jika dia gagal, dia akan menjadi tawanan ajak. Tawanan akan bebas jika ada pemain yang berhasil menguasai undas dan me-newah pasangan hingga roboh.

Jika semua pemain yang bersembunyi sudah didapat, permainan akan dimulai lagi dari awal. Permainan akan berakhir jika para pemain sudah merasa lelah. Siapa yang kalah atau siapa yang menang tidak terlalu diperhitungkan dalam permainan ini. Namun, pemain yang sering me-newah akan mendapatkan suatu kebanggaan. Berhasil melakukan tewah artinya dia merupakan pemain yang berani dan terampil.

Manfaat Permainan

[sunting]

Ketika melakukan permainan batewah, anak-anak akan melakukan beragam gerakan fisik, seperti berlari, melempar, dan melompat. Semua gerakan tersebut ibarat gerakan olah raga dan latihan keterampilan. Permainan ini pun dapat melatih ketaatan anak pada peraturan dan menanamkan sikap sportif.

Dengan begitu, permainan batewah bermanfaat sebagai hiburan dan olah raga bagi anak anak. Tambahan lagi, permainan ini cukup mengasyikkan dan tidak memerlukan biaya untuk membeli alat permainan.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Pada masyarakat tertentu, sapi atau kerbau melambangkan kesabaran, keberanian, dan kebenaran. Sementara itu, pengorbanan sapi atau kerbau dalam upacara Tiwah dilaksanakan sebagai tanda hormat dan rasa cinta kasih dari keluarga besar kepada anggota keluarga yang meninggal. Walaupun permainan batewah tidak terkait dengan upacara Tiwah, tetapi pemaknaan pada hewan sapi atau kerbau dapat dijadikan sebagai pelajaran.

Pasangan sebagai ganti hewan sapi atau kerbau yang dikorbankan—yang merupakan perlambang cinta kasih keluarga—disusun sedemikian rupa agar tidak mudah roboh. Cinta kasih dalam keluarga pun harus seperti itu, artinya harus dibangun dengan fondasi yang kuat. Jika fondasi keluarga kuat, masalah apa pun yang menerpa dapat diatasi. Kalaupun keutuhan keluarga sempat rusak karena suatu masalah, cinta kasih anggota keluarga diharapkan mampu mengembalikan keutuhan keluarga tersebut.

Makna lain dari kerbau adalah sesuatu yang kuat. Namun, apa pun yang dianggap kuat dan berkuasa di dunia ini dapat dihancurkan oleh orang-orang yang tekun dan berjiwa kesatria. Artinya, tidak ada sesuatu pun yang abadi di dunia ini. Dengan demikian, manusia tidak boleh sombong akan kemegahannya, karena kemegahan diri itu tidaklah abadi.

6. Tok Kadal

[sunting]

Permainan tok kadal merupakan permainan anak-anak masyarakat Betawi.

Permainan tradisional tok kadal

Asal-usul Permainan

[sunting]

Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan tok kadal mulai dimainkan. Namun, beredar kisah unik tentang permainan ini. Konon, ada sekelompok anak petani yang terkejut melihat kehadiran hewan kadal. Seorang anak secara spontan menepis kadal tersebut dengan sebatang kayu hingga kadal tersebut terlempar sangat jauh.

Kisah tersebut kemudian diadopsi oleh anak-anak menjadi permainan tok kadal. Namun, kadal yang dikenal juga sebagai hewan bengkarung diganti dengan sebatang kayu.

Ada juga yang menyebut permainan ini dengan nama kalawadi (biawak). Di daerah Bali juga ada permainan sejenis tok kadal yang disebut masuntik.

Jumlah Pemain

[sunting]

Jumlah pemain minimal 4 orang, yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Tiap kelompok bisa terdiri dari anak laki-laki maupun anak perempuan.

Lokasi Permainan

[sunting]

Tok kadal paling menyenangkan jika dimainkan di lapangan terbuka. Alasannya adalah karena para pemain perlu berlari dan bergerak dengan leluasa.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Untuk melakukan permainan tok kadal, para pemain harus menyiapkan beberapa alat permainan sederhana. Alat permainan pertama adalah pemukul atau penggetok, berupa kayu bulat berukuran panjang sekitar 40 cm dan diameter 3 cm. Alat permainan kedua adalah kayu berukuran sekitar 10 cm. Kayu kedua ini sebagai simbol kadal atau bengkarung. Pilih jenis kayu yang tidak mudah patah.

Tahap persiapan berikutnya adalah menggali lubang atau cekungan di tanah. Diameter lubang sekitar 5 cm. Jika tidak ada tanah yang bisa digali, ambil dua batu bata dan letakkan sejajar. Jarak satu batu bata dengan batu bata lainnya adalah sekitar 5 cm.

Permainan dimulai dengan pembentukan dua kelompok. Setiap kelompok memiliki satu komandan. Kemudian, komandan akan suit untuk menentukan kelompok mana yang akan bermain terlebih dahulu. Anggota kelompok yang kalah akan berjaga di posisi-posisi yang telah disepakati.

Ketua dari kelompok yang bermain terlebih dahulu akan memulai permainan dengan mencongkel “kadal” setinggi-tingginya dari lubang atau dari atas batu bata yang telah disusun bersisian. Jika “kadal” berhasil tertangkap oleh anggota kelompok yang berjaga, pemain yang mencongkel “kadal” dianggap mati. Giliran bermain akan digantikan oleh kelompok yang tadinya berjaga.

Namun, jika “kadal” tadi tidak tertangkap—alias jatuh ke tanah, “kadal” tersebut akan dilemparkan ke arah penggetok yang diletakkan di atas lubang atau batu bata. Jika “kadal” berhasil mengenai penggetok tersebut, “kadal” dianggap mati dan kelompok pemain akan bergantian posisi. Namun, jika “kadal” tidak berhasil mengenai penggetok, permainan tetap dilanjutkan tanpa pergantian posisi kelompok.

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan ini akan melatih sportivitas, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan anggota kelompok, serta menambah pengalaman anak dalam bersosialisasi. Ketika melakukan permainan ini pun kepercayaan diri anak akan meningkat.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Kadal merupakan hewan yang dikenal lincah. Kadal pun memiliki beragam bentuk perlindungan diri dari predator. Salah satu bentuk perlindungan diri tersebut adalah dengan memutus ekornya. Ekor yang terputus tersebut akan bergerak-gerak sehingga sang predator akan terkelabui.

Dalam permainan tok kadal ini pun tidak semua pemain dapat menangkap “kadal” dengan mudah. Selain karena kepiawaian sang pencongkel, ukuran “kadal” yang kecil pun turut mempengaruhi keberhasilan penangkapan “kadal”.

Melalui hewan kadal, anak-anak dapat belajar tentang sikap tidak mudah putus asa. Ketidakputusasaan membuat seseorang lebih fokus meraih kesuksesan.

         

7. Matembing Gandongan

[sunting]

Permainan matembing gandongan merupakan salah satu jenis permainan ketangkasan tradisional yang banyak dimainkan oleh anak-anak Bali.

   

Permainan tradisional matembing gandongan

Asal-usul Permainan

[sunting]

Nama permainan matembing gandongan terdiri dari dua kata, yaitu matembing dan gandongan. Matembing berarti “melempar batu” dan gandong berarti “digendong”. Jadi, matembing gandongan berarti melempar batu sambil digendong.

Di Bali terdapat kebiasaan momong atau mengasuh. Bagi anak laki-laki diberlakukan ngandong, yaitu menggendong dengan cara si anak laki-laki duduk di atas punggung orang yang menggendong. Anak laki-laki itu membuka kakinya lebar-lebar sambil berpegangan pada leher si penggendong.

Adapun untuk anak perempuan, dia akan digendong dengan cara ngenyang, yaitu si anak perempuan duduk di pinggang sebelah kanan/kiri agak ke depan dan tangannya merangkul leher penggendongnya. Sementara itu, si penggendong akan menahan punggung si anak perempuan.

Selanjutnya, kebiasaan ini memunculkan permainan di antara anak laki-laki untuk saling menggendong. Anak yang menggendong seolah-olah menjadi kuda dan anak yang digendong seolah-olah menjadi joki atau penunggang.

Sebenarnya mengandong sudah merupakan kebiasaan yang umum di Bali. Anak laki-laki akan menggendong temannya, baik dengan tujuan menyeberangkannya dari tepian sebuah sungai atau memang sengaja menggendongnya. Bisa jadi alasan si teman digendong karena sedang tidak sanggup berjalan akibat sakit dan sebagainya.

                                                   

Jumlah Pemain

[sunting]

Permainan matembing gandongan merupakan permainan berpasangan. Dengan demikian, jumlah pemain harus merupakan kelipatan 2. Bisa dimulai dari 4 pemain, 6 pemain, 8 pemain, dan seterusnya.

Pada umumnya matembing gandongan dilakukan oleh anak laki-laki usia 7 – 14 tahun. Idealnya, permainan ini dilakukan oleh anak yang sebaya atau memiliki berat yang seimbang karena nanti akan ada aktivitas saling menggendong. Adapun orang yang menggedong (disebut kuda) bisa bertukar peran menjadi orang yang digendong (disebut joki atau penunggang).

Lokasi Permainan

[sunting]

Permainan akan membutuhkan area gerak yang luas. Jadi, permainan akan sangat menyenangkan jika dimainkan di lapangan atau halaman yang luas tanpa ada penghalang.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Permainan ini benar-benar menguji ketangkasan dan keberanian. Orang yang berperan menjadi joki atau penunggang akan digendong di punggung “kuda”. Akan tetapi, joki tersebut tidak diperbolehkan memegang bagian leher "kuda" yang menggendongnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan si joki yang berada di gendongan kuda yang sedang berjalan cepat atau berlari tanpa mengandalkan pegangan apa pun.

Tiap pasangan harus memiliki 2 batu gepeng yang berukuran lebih kecil daripada telapak tangan. Kedua batu ini nanti akan dilemparkan. Misalnya, anak A menjadi joki A. Artinya, dia harus membawa kedua batu sambil digendong oleh anak B yang menjadi kuda B.

Kemudian, joki A melemparkan sebuah batu yang dipegangnya ke arah depan. Jauh lemparan batu disesuaikan dengan keinginannya sendiri.

Kemudian, joki A menawarkan kepada kuda B, apakah dia berani mengadu ketepatan lemparannya ke arah batu yang tadi dilempar oleh joki A. Jika kuda B menerima tawaran tersebut, dia akan menerima dua kemungkinan berikut. Kemungkinan pertama, lemparan kuda B tepat sasaran. Artinya, kuda B akan segera menggantikan kedudukan A sebagai joki. Sebaliknya, joki A akan menjadi kuda. Kemungkinan kedua, bidikan kuda B tidak tepat sasaran. Artinya, dia harus tetap menjadi kuda B dan menggendong joki A ke tempat batu sasaran berada untuk mengambil batu sasaran.

Lalu, kuda B juga harus mengambil batu kedua yang dipakainya melempar tadi untuk selanjutnya diberikan kepada joki A. Kedua batu kini berada di joki A dan permainan pun berlanjut seperti semula.

Seandainya kuda B berhasil menjadi joki B, otomatis joki A akan menjadi kuda A. Lalu, permainan pun kembali seperti di awal. Joki B melemparkan salah satu batu yang dipegangnya dan menawarkan kepada kuda A apakah dia ingin mencoba melempar sasaran.

Jika kuda A menolak tawaran tersebut, joki B harus melemparkan batu kedua yang dimiliknya ke arah sasaran. Kemungkinan yang akan terjadi ada dua. Kemungkinan pertama, lemparan joki B tepat sasaran. Artinya, kuda A wajib menggendong joki B ke batu-batu yang tercecer. Kemungkinan kedua, lemparan joki B tidak tepat sasaran. Artinya, joki B akan menjadi kuda kembali. Sementara itu, kuda A akan kembali menjadi joki A.

Permainan ini terus dilakukan seperti itu dengan penuh rasa tanggung jawab. Apalagi, keputusan yang diambil berdasarkan kemauan pemain sendiri.

         

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan matembing gandongan yang sangat mengandalkan kekuatan fisik ini sangat bermanfaat sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan dengan masyarakat sekitar. Terutama karena biasanya banyak orang yang akan menonton jalannya permainan ini.

Anak-anak yang bermain maupun yang sekadar menonton pun akan terpengaruh dengan spontanitas dan rasa tanggung jawab yang dihadirkan oleh permainan tradisional ini.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Kuda dikenal sebagai hewan yang kuat dan memiliki rasa tanggung jawab. Dalam keadaan panas, hujan, dan medan perjalanan yang sulit sekali pun, kuda akan tetap melaksanakan tugasnya tanpa mengeluh. Harapannya, anak-anak akan meneladani sifat tanggung jawab yang dimiliki hewan kuda. Anak-anak pun diharapkan terbiasa melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dengan sepenuh hati.

8. Injit-Injit Semut

[sunting]

Permainan tradisional yang diiringi lagu daerah ini berasal dari Jambi.

       

Permainan tradisional injit-injit semut

Asal-usul Permainan

[sunting]

Injit-injit semut adalah permainan tradisional yang disertai dengan iringan lagu. Lagu ini dinyanyikan oleh para pemain secara bersama-sama. Adanya iringan lagu membuat suasana permainan terasa semakin mengasyikkan dan menyenangkan.

Lagu Injit-Injit Semut merupakan lagu daerah yang populer di kalangan anak-anak Indonesia. Terutama, bagi anak-anak era 1990-an.

Jumlah Pemain

[sunting]

Permainan ini dilakukan minimal oleh 2 orang. Akan tetapi, permainan akan lebih asyik jika dilakukan dengan jumlah pemain yang lebih banyak lagi. Namun, jika jumlah pemain melebihi 6 atau 8 orang, sebaiknya dibuat kelompok baru lagi. Alasannya adalah karena adanya keterbatasan rentang tangan dalam membuat tumpukan tangan yang dicubit.

Walaupun permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan, anak laki-laki pun tidak dilarang turut dalam keriaan permainan ini.

Lokasi Permainan

[sunting]

Permainan dapat dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah. Jika dilakukan di luar rumah, biasanya pemain akan memilih tempat permainan yang teduh. Seperti di bawah pohon rindang atau cukup di teras rumah.

Cara Melakukan Permainan

[sunting]

Para pemain bersama-sama duduk di lantai dan membentuk lingkaran. Lalu, tangan para pemain berkumpul di tengah lingkaran dalam susunan menumpuk dari bawah hingga ke atas. Tangan pemain wajib saling mencubit bagian atas tangan pemain yang berada di bawahnya.

Setelah itu, tumpukan tangan yang saling cubit itu digoyang-goyangkan ke atas dan ke bawah sembari para pemain menyanyikan lagu Injit-Injit Semut.

Tangan pemain yang berada di posisi paling bawah akan naik ke atas pada setiap jeda lagu. Begitu seterusnya. Adapun jeda lagu dapat ditentukan secara musyawarah.

Tidak ada pemenang dalam permainan ini. Walaupun permainan ini menimbulkan sedikit rasa sakit, anak-anak tetap dapat merasakan keceriaan akibat kebersamaan. Rasa sakit ditanggung bersama-sama, rasa senang pun dinikmati bersama-sama. Tidak jarang juga malah ada anak yang tertawa geli akibat cubitan yang diterimanya. Namun, jika ada yang tidak tahan dengan rasa sakit akibat cubitan, dia akan menangis. Jika ada yang menangis, sebaiknya hentikan cubitan padanya.

Berikut adalah sepenggal lirik lagu Injit-Injit Semut.


Jalan-jalan ke tanah Deli

Sungguh indah tempat tamasya

Kawan jangan bersedih

Mari nyanyi bersama-sama

Kalau pergi ke Surabaya

Naik perahu dayung sendiri

Kalau hatimu sedih

Yang rugi diri sendiri

Injit-injit semut

Siapa sakit naik di atas

Injit-injit semut

Walau sakit jangan dilepas

Manfaat Permainan

[sunting]

Permainan ini kental dengan unsur kebersamaan dan kasih sayang di antara para pemainnya. Melalui permainan ini, anak-anak diajarkan untuk bisa menjaga emosi dengan baik. Ada saatnya seorang pemain merasa senang ketika posisi tangannya berada paling atas karena tidak dicubit. Namun, ada kalanya dia berada dalam posisi yang tidak menyenangkan ketika tangannya berada di bawah karena dicubit.

Empati anak pun akan berkembang. Contohnya, jika seorang anak melihat temannya kesakitan akibat cubitannya, dia akan langsung berupaya mengurangi kekuatan cubitannya. Dengan begitu, permainan akan terus berlangsung tanpa ada yang menangis dan keluar dari permainan karena merasakan cubitan yang terlalu menyakitkan.

Pemaknaan Hewan dalam Permainan

[sunting]

Semut adalah hewan kecil yang sering disangka lemah. Padahal, hewan ini pun bisa “menggigit” jika diganggu. Artinya, melalui permainan ini, anak diajarkan untuk bersikap sederhana dan rajin selayaknya semut. Akan tetapi, anak juga harus memiliki mental yang kuat dan mampu mengembangkan potensi diri yang baik agar dapat dimanfaatkan pada saat yang tepat.

Simpulan

[sunting]

Permainan tradisional pada umumnya memiliki sifat khusus yang berdampak positif bagi perkembangan pola pikir anak. Terutama pola pikir hidup sederhana. Tanpa biaya sedikit pun, keseruan dan kesenangan dalam bermain pun bisa didapatkan. Jika dibutuhkan peralatan dalam permainan, peralatan tersebut cenderung mudah didapat di lingkungan sekitar, tanpa harus membeli. Seperti sasaran permainan yang terbuat batu, pemukul yang terbuat dari kayu, atau hong yang memanfaatkan pohon-pohon di sekitar.

Kalaupun alat permainan harus dibuat terlebih dahulu, tidak perlu khawatir akan repot membuatnya sendirian. Teman-teman sepermainan pasti akan dengan senang hati mengulurkan tangan untuk membantu membuat alat permainan tersebut secara bersama-sama. Dengan cara ini, manalah mungkin nilai kebersamaan akan terkikis? Sebaliknya nilai-nilai pemerkuat persatuan akan terus terjalin, seiring dengan timbunan keriaan yang terus terpatri dalam hati selama melakukan permainan.

Selain itu, beragam hewan yang akrab dengan keseharian masyarakat Indonesia pun kerap muncul dalam permainan tradisional berupa simbol yang penuh makna. Kebermaknaan tersebut dapat berubah-ubah, tergantung situasi yang sedang dihadapi pada saat tersebut. Juga tergantung pada nasihat apa yang ingin diwariskan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Kesederhanaan seekor semut, kekuatan seekor kerbau, keluwesan seekor burung, dan kecerdikan seekor ikan untuk meloloskan diri dari bahaya, semua sifat hewan yang tidak selalu disadari oleh manusia tersebut dapat menjadi alarm kehidupan agar manusia lebih menghargai segala potensi yang dimiliknya dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Melalui permainan tradisional, anak-anak pun akan terus ingat bahwa kebersamaan menjadi suatu hal yang penting. Dengan kebersamaan, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat untuk mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bangsa ini, yaitu saling melindungi, saling memajukan, dan saling mencerdaskan.