Lompat ke isi

Mamah & Ummi di Mata Aisyah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Oleh : Erna Nurhasanah

“Anak mamah kan ada 3,“ sambil melipatkan satu persatu  jemari kanannya ia antusias menegaskan, “ada om Riki, Ummi dan aku. Iya kan, Mah?” tanya gadis kecil itu kepada sosok wanita yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan penuh iba.

Wanita paruh baya itu hanya terdiam, begitupun dengan dua pasang mata lain, Suci, seorang wanita yang sudah melahirkan Aisyah, yang selalu dipanggilnya dengan sebutan ummi. Mereka saling beradu pandang tanpa mengatakan apapun. Sedangkan Aisyah, gadis kecil berusia enam tahun itu terlihat gusar menunggu jawaban.

“Aku juga manggilnya mamah, berarti Aisyah itu anak mamah, sama seperti ummi dan om Riki!” 

Gadis mungil itu masih kekeh dengan pernyataannya, lalu menghambur ke arah wanita yang ia sebut dengan panggilan mamah dan menciumi pipinya.

Wanita itu pun mengangguk—mengiyakan, kemudian memeluknya erat. Dalam hatinya, ia menangis getir setiap pertanyaan itu datang dari gadis kecil kesayangannya.   

Kini pandangannya nanar, memorinya terpaksa kembali mengingat luka lama yang berusaha ia kubur  dalam ingatan. 

Aisyah, kamu bukan anakku,  nak! Suatu hari kamu akan mengerti & mengetahui yang sebenarnya.

*3 Tahun yang lalu

Disebuah ruang tamu, bentuknya memanjang, tak ada kursi ataupun lemari sebagai  penyekat. Tiga pintu kamar berderet disebelah kanannya—Aisyah kecil pun selalu suka jika bermain sambil berlari-lari di ruangan ini.

Aisyah kecil, sedang berlari-lari menuju ibu Desi. Ia membawa sebuah pasang sepatu ke arahnya, lalu duduk di atas paha wanita berusia lima puluh tahunan itu.

Sekarang, ia tengah sibuk untuk mencoba memasukkan sepatu itu ke kakinya.

Bu Desi hanya tersenyum melihat tingkah gadis lucu berusia tiga tahunan itu. Ia tahu betul bagaimana tumbuh kembangnya. Tangannya yang nampak keriput itu sudah terbiasa mengurus tubuh mungil itu bahkan sejak Aisyah baru lahir. Sedang umminya sendiri, ia terpaksa menitipkan anak kesayangan itu  karena harus bekerja di ibu kota.

“Ma..., ma ...!” Aisyah mulai  merengek.

Aisyah yang cerdik mulai kehilangan kesabarannya, sebab sepatu yang ingin dipakai belum berhasil ia kenakan. Tanpa menunggu teriakan berikutnya, tangan bu Desi segera meraih sepatu itu dan memasangkannya.

Aisyah kecil tersenyum, kakinya yang imut sudah mengenakan dua sepatu yang ia suka. Ia pun berlari-lari kecil mengelilingi ruangan, bulak-balik mendekati setiap orang yang berada di ruangan itu.

Di depan salah satu pintu kamar paling pojok di ruang tamu, seorang lelaki seperti biasa selalu duduk di atas kursi plastik berwarna merah. Sesekali ia tersenyum melihat tingkah lucu gadis kecil kesayangannya.

Laki-laki itu berusia lima puluh enam tahun, badannya kurus, kulitnya nampak kering dan keriput. Rambutnya pun penuh uban.

Ia hanya bisa duduk terdiam tanpa kata saat Aisyah kecil berusaha mendekat.

Namun, segurat senyum kebahagiaan pun jelas terlihat di raut wajahnya, saat Aisyah menghampiri dengan membawa makanan kecil dari ibu Desi untuknya.

Biasanya ia hanya menyodorkan tangan kiri untuk menerima makanan dari gadis kecil itu. Tangan kanan dan bagian tubuh sebelah kanan lainnya tak berfungsi sebagaimana mestinya, karena mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh stroke ringan.

Bapak, begitulah seisi rumah membiasakan Aisyah memanggilnya.  Suami ibu Desi ini memang sudah lama mengidap pengakit hipertensi, namun tak pernah terfikir dibenaknya bahwa penyakit itu akan merenggut sebagian kehidupan pada lelaki tercintanya.

Entah apa penyebab utama kelumpuhan itu. Setiap kali bertanya dan mengumpulkan kemungkinan, hati ibu Desi seperti diiris-iris, pilu.

“Apakah karena hadirnya gadis mungil tak berdosa, Aisyah?”  

Tak henti –henti pertanyaan itu hadir dalam hatinya. Namun, ia mengenal betul sosok laki-laki rapuh yang menjadi pendamping hidupnya itu. Ia bukan lelaki pembenci, apalagi membenci bidadari kecil yang kini diamanahkan kepada mereka.

Bukan!

Suaminya adalah seorang yang penyayang. Dulu, setiap pagi, ia selalu melihat lelaki  itu menggendong Aisyah bayi sambil mengajaknya bercerita. Persis, seperti yang ia lakukan kepada kedua anaknya  ketika mereka masih bayi.

Aisyah seperti anak bungsu yang kini hadir ditengah-tengah keluarga mereka.

Meskipun terkadang, ada gurat kesedihan yang terlihat di raut wajah Bapak dan membuatnya sedikit murung, seperti ada duka yang berusaha ia pendam setiap menatap wajah gadis kecil itu.

Mungkin duka yang membuat hati Bapak merasa bersalah kepada ummi-nya Aisyah, Suci. Sebab enam tahun lalu ia mengizinkan anaknya itu dinikahi laki-laki yang ternyata tak bertanggung jawab.


***

Aisyah kembali berlari senang menuju Bu Desy, kue yang ia bawa sudah berhasil ia berikan kepada bapaknya. Semua tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan.

Seiring gadis kecilnya itu tumbuh sehat nan lucu. Tumbuh pula benih-benih luka pada sosok laki-laki yang memberikannya nama ‘Aisyah’ dihati ibu Desi, dan mungkin di hati semua keluarganya.

Aisyah, pantaskah ia dipanggil ayah olehmu?

Hati wanita tua itu selalu gusar setiap mengingat laki-laki yang sudah menyakiti & menelantarkan anaknya. Ia hanya bisa mengelus dada, berusaha mengusir benci yang menyelimuti seluruh ruang dihatinya.

Pantaskah ia kau sebut ayah, Aisyah? Jangankan untuk menafkahimu, bertanya tentangmu pun tak pernah.

Aisyah, cucuku yang malang. Kelak, semoga kau tak lagi bertanya tentangnya padaku. Aku takut akan melukai hatimu, nak.


***

“Tuh kan bener Aisyah anak mamah, yee...!” Aisyah bersorak girang. “Terus Mah, Bapak Aisyah kan udah meninggal, ya?”

Bu Desi seperti kehilangan kata-kata untuk menjawab.

Dia bukan bapakmu, nak!

Ia kembali terlempar pada ingatan masa lalunya. Takdir pahit yang harus rela dijalani oleh ibu Desi dengan tabah, ketika berusaha menerima Aisyah dan membesarkannya. Sedangkan tak lama, lelaki yang dicintainya harus meninggalkan cerita sedih itu kepadanya seorang diri.

Allah memanggilnya lebih dahulu. Suami tercintanya meninggal. Anak-anaknya pun menjadi yatim. Dan Aisyah...,

Ah! Apa bedanya dengan anak-anakku yang lain? Dia juga tak punya bapak!

Aisyah nyaris tak mengenal sosok bapak dalam hidupnya, bahkan ia tak mengerti apa arti bapak itu sesungguhnya. Baginya arti bapak itu cukup sederhana, dia adalah seorang laki-laki yang menyayanginya, dekat dengan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Kini, Aisyah tengah berumur enam tahun, dalam memorinya dia hanya mengenal 2 sosok laki-laki yang ia cintai, yaitu bapak dan om Riki,  anak laki-laki bu Desi, tidak lebih.

Dia juga tak mengerti arti kata mamah itu sesungguhnya, sesederhana kata “Bapak”, mamah juga memiliki arti yang sama baginya—sosok wanita yang menjadi orangtua yang membesarkannya. Sedangkan sebutan ummi, baginya sama saja seperti kata tante atau kakak.

Jika saja aku tak kasihan pada putriku, aku bahkan tak ingin mengingat kembali tentang dirinya. Dia yang sudah menelantarkan anakku dan juga bayi yang baru dilahirkannya


*6 tahun yang lalu....

Di sebuah rumah kontrakan sederhana, hanya satu petak dengan satu kamar mandi didalamnya. Seorang bayi kecil tengah menangis, meronta-ronta diantara dua wanita yang sedang duduk berhadapan, dengan empat pasang mata yang juga lebam.

Seorang ibu tua segera mendekap bayi kecil itu, sedangkan wanita muda yang satunya sibuk mengusapkan punggung tangannya untuk menghapus airmata yang terus berderai.

“Aku ingin pulang mah, aku tak sanggup!” pinta putrinya kepada ibu Desi.

Semakin erat ia memeluk bayi kecil itu, semakin ia tak tega melihat kondisi anaknya, Suci.

Hatinya kini gusar memikirkan nasib anaknya.

Seandainya ia adalah lelaki yang baik, tidak mungkin ia membiarkan istrinya berjuang sendiri di  ruang persalinan. Ia tahu betul bahwa istrinya itu memiliki kandungan yang juga lemah. Saat ia memutuskan untuk menyelamatkan bayi dalam kandungannya, maka nyawanya pun menjadi taruhan. Tapi, kemana suami yang seharusnya menguatkan istrinya?

Ah, masih teringat jelas dalam benakku. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat bagaimana sikapnya yang kasar terhadap anakku.

Hari pertama bayi kecil itu masuk ke rumah kontrakan itu. Suci masih dalam keadaan lemah tak berdaya, tak bisa berjalan tegak karena luka jahitan setelah kelahiran-masih harus tertatih melayani permintaan laki-laki kasar itu, hanya sekedar untuk membawakan handuk mandi untuknya.

Hati ibu Desi membatin, amarah bergemuruh di dalam hatinya.

Kamu kira aku tak tahu bagaimana kau memperlakukan anakku selama ini? Kamu salah besar!

Banyak rahasia tentang menantunya yang ia temukan selama membersamai anaknya.

Kontrakan petak ini berderet menyamping, berdempatan dan memiliki enam pintu-semuanya berpenghuni. Sedangkan menantunya, menempati kontrakan paling tengah. Berkali-kali ibu Desi mendapati kabar tak enak dari para tetangga tentang anak & menantunya itu.

“Kasihan anak ibu, dia tidak pernah keluar ketika suaminya ada di rumah,” terang seorang tetangga saat mengetahui menantunya sedang tidak berada di kontrakan itu.

“Kasihan anak ibu, dia seperti ketakutan pada suaminya. Terkadang kami mendengar sebuah bentakan yang ditujukkan padanya. Tapi kami tak berani menegurnya, ia sangat galak dan juga kasar.” Tetangga yang lain ikut memberikan kesaksian di saat yang berbeda.

Bu Desi kini mulai gerah terhadap kelakuan menantunya.

Sudah dua minggu, semenjak Aisyah dilahirkan, ia berada di rumah kontrakan kecil itu untuk menemani anak dan juga cucu pertamanya. Namun selama dirinya disana, menantunya hanya satu hari  berada di rumah. Setelahnya, ia menghilang entah kemana. Tak ada kabar, tidak pula meninggalkan uang sepeserpun untuk sekedar membiaya istri dan anaknya yang baru lahir itu.

Hatinya pun kini mantap untuk mengambil sebuah keputusan.

Sudah cukup anakku menahan penderitaan darinya!

Aisyah bayi dibawa pulang beserta umminya ke rumah ibu Desi, tanpa memberi kabar pada laki-laki yang tak bertanggungjawab itu. Sebab tak ada yang tahu dimana ia berada, sekalipun keluarganya.

Semenjak cucu dan anaknya berada dalam perawatannya, lelaki jahat itu tak pernah datang atau menanyai kabar tentang anak dan istrinya. Ia seperti hilang di telan bumi, dan memang begitulah harapan keluarga ibu Desi untuknya.


***

6 tahun telah berlalu, Suci harus rela berpisah jauh dari anaknya. Ia harus berjuang keras & membanting tulang untuk membiayai kehidupan keluarga juga demi membahagiakan anak tercintanya, Aisyah.

Namun hingga sekarang, bidadari kecilnya itu masih saja menganggap ibu Desi sebagai mamah dan bukan dirinya. Tepat diusianya yang genap enam tahun, takdir dari-Nya seolah menjawa setiap pertanyaan gadis lugu itu.

“Mah, Ais…syah…anak ma…mah, kan?” tanyanya sesenggukan dengan nada tersengal-sengal, “mah, Aisyah anak mamah, kan?” desaknya lagi kepada wanita tua yang tengah berderai air mata di hadapannya.

Tak ada jawaban darinya. Bu Desi masih terkulai lemas, tak ada tenaga bahkan hanya untuk mengangguk seperti biasa kepada cucu kesayangannya.

Bu Desi masih terdiam ditemani tangisan. Pandangannnya kosong menatap sekujur badan dari anak perempuan yang sangat dicintainya sudah dibungkus rapih oleh kain kafan. Suci, anak satu-satunya kini telah berpulang kepada Sang Maha Rahim akibat kecelakaan kerja yang dialaminya.

Tangan kecil Aisyah pun memeluk erat tubuh ibu Desi, sedangkan berpuluh pasang mata yang berada di ruang tamu itu hanya bisa menatap sedih dan ikut menitikkan airmata melihat mereka.

Aisyah kecil masih setia menunggu jawaban.

“Iya sayang, Aisyah anak mamah, kamu anak mamah, nak!” jawab bu Desi sesaat setalah ia tersadar, lalu kemudian menciumi & memeluk erat cucunya.”

 Aisyah anak mamah, juga anak ummi!

Jerit hati ibu Desi sambil memandang pedih ke arah jenazah Suci, umminya Aisyah.