Manna dan Salwa untuk Ibu
Karya: Bageur Al Ikhsan
Setiap kali mendengar kata manna dan salwa, ingatanku selalu kembali ke sebuah masa puluhan tahun yang lalu ketika aku masih duduk di kelas nol besar sementara kedua kakak laki-lakiku sudah masuk sekolah dasar. Kami bertiga tinggal bersama ibu kami di Bekasi dalam sebuah rumah petak yang begitu kecil, tetapi cukup besar untuk menjadi taman bermain kami. Mengingat umurku dan kakak-kakakku yang bahkan belum mencapai dua digit saat itu, tidak sekali dua kali kami membuat keributan di rumah setiap pekan. Terkadang kakak sulungku mengusiliku dan kakak kedua, tidak jarang juga kami melakukan sebaliknya. Sambil bertengkar, kami kerap kali mencoret-coret tembok rumah menggunakan apa pun yang kami punya kecuali krayon dan pensil warna, karena kami tidak cukup kaya untuk bisa membeli itu semua. Kami menggunakan pensil, batu kerikil di sekitar rumah, atau potongan kapur yang diam-diam kami ambil dari sekolah. Kalau sudah berulah, Ibu hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengingatkan kami kalau rumah ini bukan milik kami. Suatu saat kami harus meninggalkannya dalam keadaan sebagaimana kami melihatnya ketika kali pertama kami tiba. Setelah itu, Ibu akan membawa ember berisi air dan lap-lap kecil untuk kami gunakan membersihkan tembok bersama-sama. Sampai hari ini aku tak pernah bisa memahami bagaimana Ibu bisa begitu sabar menghadapiku dan kakak-kakakku.
Suatu hari, Ibu menemukan cara baru untuk menghentikan tingkah-tingkah ajaib kami. Dari arah dapur, terdengar suara berdenting berkali-kali yang membuat kami berhenti dan menghampirinya. Ibu baru saja selesai memasak sesuatu dan memukul panci kecil berpantat hitam menggunakan sendok logam. Senyumnya merekah menjadi tawa ketika dirinya melihat mata kami yang membulat penuh tanya. Setelahnya, Ibu tuang isi panci tersebut ke dalam mangkuk satu-satunya yang kami punya. Ibu membawa mangkuk itu ke ruang depan dan kami akan mengekor penasaran. Tangan kami menggapai-gapai, tidak sabar untuk mengintip dan mencicipi apa yang Ibu masak, tetapi tubuh kami yang kecil tidak pernah bisa meraih mangkuk yang Ibu angkat tinggi-tinggi itu.
Dengan suara lembut, Ibu meminta kami untuk diam dan duduk tenang jika ingin Ibu suapi. Kami menurut dan duduk bersila menunggu suapan Ibu. Mangkuk di tangan Ibu adalah mangkuk plastik berwarna biru muda dan dalam ingatan masa kecilku, aku membayangkannya serupa langit di atas kepalaku dan kedua kakakku yang menengadah. Perlahan, tangan Ibu menyendok isi mangkuk dan berbinarlah mata kami ketika Ibu mengeluarkan helaian bihun goreng yang Ibu gerakkan meliuk-liuk sebelum menyuapkannya ke dalam mulut kami. Pada hari lain, Ibu mengeluarkan telur dadar yang dipotong memanjang dan kami melahapnya dari sendok Ibu seperti bayi-bayi burung yang menerima santapan cacing dari orang tua mereka. Favorit kami bertiga adalah mi kuah instan dengan porsi kubis, sawi, dan kuah yang jauh lebih banyak ketimbang mi instan itu sendiri.
Mangkuk langit di tangan Ibu sebetulnya sudah bocor di beberapa bagian. Bukan jenis kebocoran besar memang, hanya bocor-bocor kecil yang masih bisa kami toleransi. Namun, setiap kali Ibu membawakan makanan berkuah, kuah tersebut akan mengucur dari titik-titik kebocoran tanpa bisa Ibu tahan. Ibu pun sudah lelah menambalnya beberapa kali karena mangkuknya akan tetap bocor pada titik-titik yang lain lagi. Maka setiap kali itu terjadi, kami akan menengadah dan mengarahkan mulut kami untuk menampung kuah-kuah yang mengucur. Tentu saja mulut kami tidak bisa terus membuka, sehingga sering kali kuah-kuah itu membasahi wajah kami dan Ibu hanya bisa tertawa melihatnya.
Ketika guru agamaku menceritakan tentang mukjizat Musa yang menurunkan manna dan salwa dari langit dan memecah batu untuk mengalirkan dua belas titik air bagi setiap suku Bani Israil, aku hanya bisa membayangkan Ibu.
Hari ini aku mendengar lagi cerita itu melalui khotbah salat Jumat. Aku tak begitu memahami isi khotbahnya, tetapi mendengar imam sekelebat mengucapkan manna dan salwa, ingatanku langsung melayang jauh ke masa lalu. Air mataku berlinang merindukan sosok Ibu.
Rumah Ibu kini baru. Dindingnya tak lagi penuh warna dan coreng-moreng dari tanganku maupun kedua kakakku. Tidak banyak juga keributan yang terjadi di dalamnya mengingat kami sudah dewasa dan melanjutkan hidup dengan jalan yang berbeda-beda. Ketika aku dan kakak-kakakku mengunjungi rumahnya selepas salat Jumat, kepala kami lantas menengadah. Persis seperti ketika kami kecil dulu. Mata kami menangkap warna biru, kali ini dari langit sungguhan, bukan dari mangkuk plastik Ibu. Tangan-tangan kami terangkat, tetapi kali ini bukan untuk menggapai-gapai makanan yang Ibu sembunyikan. Mata kami basah, tetapi kami tahu ini bukan karena kucuran air atau kuah dari mangkuk bocor Ibu.
Ibu tiba tak lama setelah tangan kami terangkat semua. Terdengar aba-aba lantang dari luar, kemudian Ibu memasuki rumah barunya dengan perlahan. Kain kafan membalutnya, dan kami memastikan untuk menerima tubuhnya dengan sangat hati-hati. Air mataku mengalir tak terkendali melihat wajah Ibu dari jarak yang begitu dekat. Bersama-sama, kami baringkan tubuh Ibu dan memastikan dirinya nyaman di rumah baru. Ketika kami pamit kepadanya untuk terakhir kali dan mulai menguruk, aku hanya bisa bertanya-tanya apakah Ibu melihat tanah, bunga, dan air mata kami yang tumpah sebagai manna dan salwa untuknya. []