Lompat ke isi

Mas, Apa Aku Selingkuh?

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Oleh Celotehbising

Cincin Kawin


Betapa terkejutnya aku pagi itu ketika melihat pria yang berbaring tepat di sampingku. Lengan kekar yang melingkar pada tubuhku, nafas yang terdengar jelas di telingaku, dan wajah yang tak asing bagiku. Ah, aku baru ingat pria ini. Pria yang baru saja menghalalkanku. Aku masih belum percaya bahwa aku mengiyakannya untuk meminangku. Aku masih belum terbiasa dengan keberadaannya. Tapi kuakui aku bahagia. Kukumpulkan kesadaranku dan kuberanikan diri menyentuhnya.

“Mas, Mas Fajar. Bangun Mas. Sudah jam lima pagi. Kita belum salat subuh. Kita salat sama-sama yuk”, kataku berbisik sembari membelai wajahnya pelan.

Perlahan ia membuka mata dan tersenyum sangat manis, “iya dek, ayo bangun”. Mas Fajar dengan lembut melepaskan pelukannya. Ia mencium keningku kemudian bergegas ke kamar mandi untuk bersiap. Aku pun mengikutinya.

Mas Fajar, pria baik hati yang sangat mencintaiku. Sejak mengenalnya enam tahun lalu, aku selalu menganggap ia sebagai teman. Tak pernah terbersit di benakku bahwa kini aku menjadi istrinya. Orang tua dan keluarganya memperlakukanku dengan sangat baik. Ia orang yang dibesarkan dengan penuh cinta sehingga ia pun memberikan cinta yang tulus juga untuk orang-orang di sekitarnya, termasuk aku. Itulah mengapa selama mengenalnya aku tidak pernah merasa bahwa ia memiliki rasa yang lebih padaku, karena sikapnya memang baik pada semua orang. Aku tidak pernah berpikir aku spesial untuknya. Namun ternyata dia merasakan hal yang berbeda. Ia mengaku telah jatuh hati padaku sejak kali pertama kami bertemu.

Pagi itu perdana kami tinggal di rumah yang baru kami tempati. Kami membeli rumah dengan jerih payah kami berdua. Sebenarnya aku kurang nyaman karena letaknya berdekatan dengan rumah orang tua mantan pacarku dulu. Namun tak apalah. Toh aku sudah bersuami dan juga sudah berusaha melupakan orang yang kuanggap ‘mantan’ itu.

Aku tidak menampik saat baru mengenal Mas Fajar, aku masih menjalin hubungan dengan mantan pacarku itu. Seseorang bernama Akbar, orang yang tampan dan cerdas. Akbar masih kerabat jauh keluargaku. Ia anak seorang terkemuka di daerah tempat tinggalku. Akbar orang yang baik tetapi berbeda denganku yang menjadi PNS, dia mengelola bisnis besar keluarganya. Ia dikelilingi banyak wanita sehingga sering kali membuatku cemburu. Ia berkata bahwa hubungan kami adalah hubungan yang serius, namun ia tidak pernah mau menemui orang tuaku. Tidak ada pembuktian sampai pada akhirnya ia harus menjalankan bisnisnya di luar kota dan tak pernah menghubungiku lagi. Entah bagaimana kabarnya kini. Hubungan kami tidak jelas, ia menghilang. Aku sempat menunggu tapi begitu lelah hingga akhirnya aku menganggapnya telah putus hubungan denganku meski bayang-bayangnya masih kerap hadir. Kami berpisah begitu saja tanpa ada kata-kata pasti. Pahit, namun kenangan dengannya tidak begitu buruk sehingga aku agak sulit melupakan.

Semenjak kepergian Akbar itulah kemudian hubunganku dengan Mas Fajar kian serius. Hubungan yang pada awalnya sebatas teman berkembang menjadi komitmen seumur hidup karena usaha Mas Fajar yang sungguh-sungguh untuk mendapatkanku. Mas Fajar datang di saat aku merasa kosong. Ia membantuku dalam banyak hal termasuk dalam karirku sampai kini aku menjadi wanita karir yang mapan. Aku mencintai Mas Fajar meski kuakui masih ada tempat untuk Akbar di kisi-kisi hatiku.

“Dek, hei. Pagi-pagi sudah ngelamun. Kamu mikir apa? Masmu sudah mau berangkat kerja ini. Ada bekal nggak?”, Mas Fajar bertanya sambil merapikan baju kerja dan memeriksa barang bawaannya.

Spontan aku menjawab, ”Oh, iya Mas. Nisa buatkan telur balado dan tumis kacang panjang tadi. Sebentar, Nisa siapkan dulu di kotak bekal ya”.

“Waduh, waduh…. Istriku yang cantik ini kesambet apa ya. Jadi penasaran kira-kira mikirin apa. Nanti Mas pulang kerja cerita ya Dek. Nggak boleh apa-apa dipikir sendiri”, kata Mas Fajar.

“Iya Mas, nanti Nisa cerita. Ini bekalnya ya”, kumasukkan kotak bekal ke dalam tas Mas Fajar.

Mas Fajar mengulurkan tangannya, ”Makasih ya dek. Yuk salim dulu. Mas berangkat ya, baik-baik di rumah. Nikmatin waktumu mumpung libur sekolah. Nanti kalau butuh apa-apa whatsapp aja ya, barangkali mau nitip seblak deket kantor”.

Aku menjawab Mas Fajar sambil tersenyum dan mencium tangannya, “Iya suamiku sayang. Siap, 86. Nanti kalau butuh apa-apa Nisa bilang sama Mas deh. Hati-hati di jalan ya”.

“Iya, Assalamualaikum dek”, Mas Fajar masuk ke dalam mobilnya dan berlalu sambil melambaikan tangan.

Aku membalasnya dengan lambaian tangan juga, “Waalaikumsalam Mas”.

Aku mengantar Mas Fajar sampai ke depan pagar rumah. Kupastikan mobilnya sudah berbelok ke jalan raya kemudian baru aku masuk kembali ke dalam rumah. Mas Fajar yang bekerja sebagai polisi di daerahku sangat disegani oleh orang-orang. Wajahnya manis berkulit kuning langsat dan hidung mancung tidak kalah tampan dengan selebritis di Indonesia. Aku sangat bangga punya suami seperti Mas Fajar.

Setelah masuk ke dalam rumah, aku merapikan baju-baju yang sudah disetrika semalam. Kutata baju-baju dinas dan baju harian dengan terpisah agar mudah mencarinya ketika akan dipakai. Tak berapa lama, terdengar suara mobil truck angkutan barang melewati rumahku. Kuintip dari balik jendela, ternyata truck tersebut berhenti tepat di depan rumah kosong yang berseberangan dengan rumahku.

“Oh, ada tetangga baru”, gumamku.

Aku melanjutkan bersih-bersih rumah, mandi, kemudian sarapan dan menonton tv karena memang sedang libur. Tak sengaja kulihat lagi rumah kosong itu lewat jendela. Ternyata sudah mulai dirapikan oleh beberapa orang. Pemiliknya belum kelihatan. Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti tepat di depan rumahku.

“Pakeeet…”.

“Iya…”, aku bergegas membuka pintu dan menjemput paket yang diantarkan.

“Atas nama Nisa Azzahra?”, kata pengantar paket.

“Iya betul Pak, saya Nisa Azzahra”, jawabku.

“Baik Mbak, ini paketnya. Saya ambil fotonya dulu ya Mbak”.

“Baik Pak”.

“Cekrek”, suara kamera handphone pengantar paket terdengar jelas.

“Sudah ini Mbak, terima kasih ya Mbak”, kata pengantar paket dengan senyum sumringah.

Aku pun membalas senyumnya dan menjawab, ”Iya, sama-sama Pak”.

Aku melihat alamat pengirim paket yang ternyata dari salah satu toko di aplikasi belanja online pada event 12.12. Belum juga aku masuk lagi ke dalam rumah, sayup-sayup kudengar suara yang memanggil namaku.

“Nisa… Nisa Azzahra. Nis…”, suara maskulin seorang pria terdengar di telingaku. Kucari sumber suara itu dan ternyata datangnya dari seorang pria di seberang jalan. Pria tampan bermata bulat menghampiriku yang berdiri di depan pintu rumah.

“Nisa… kamu tinggal di sini?”, katanya.

“Hm? I… Iya”, aku masih tertegun.

“Lama tak jumpa ya Sa, kamu masih sama cantiknya seperti dulu”, sahutnya.

“Iya, terima kasih”, jawabku seperlunya.

“Sa, tidak menyangka ya mulai sekarang kita tetangga. Awalnya aku mau tinggal di rumah orang tuaku yang masih di dekat sini juga, tapi karena sudah terlanjur membeli rumah itu jadi aku putuskan tinggal di rumahku sendiri saja. Kau, bagaimana kabarmu? Katanya sudah menikah ya. Mana suamimu?”, tanyanya.

“Oh, iya. Aku alhamdulillah sangat baik-baik saja. Suamiku sedang dinas. Ya semoga betah ya tinggal di lingkungan ini”, sahutku tanpa bertanya balik.

“Iya aamiin, eeeh Sa… anu…”.

“Paaaak, Pak Akbar! Ini kursinya di taruh di mana?”, teriak seorang pekerja memotong kalimat Akbar padaku.

“Iyaaa sebentar”, sahutnya.

Akbar pun berpamitan padaku sambil tersenyum, “Sa, aku pamit dulu ya. Maaf sudah mengganggu. Kita bertetangga. Jangan sungkan jika butuh bantuanku. Aku masih sendiri. Tenang saja. Tidak akan ada yang marah”.

“Iya, terima kasih”, aku masih menjawab seperlunya.

Akbar pergi memunggungiku. Aku masih tidak menyangka bahwa aku akan bertetangga dengannya. Sekian lama tanpa kabar, dia kembali ke hadapanku seolah tanpa rasa bersalah. Kini lukaku yang mulai kering tergores lagi. Aku berbalik dan masuk ke dalam rumah. Kututup pintu rumah, kukunci rapat-rapat. Air mataku meleleh tanpa terasa. Aku bingung. Aku sudah menikah. Mengapa aku menangis untuknya? Ternyata rasa itu masih ada. Aku masih punya perasaan untuknya, tapi aku tidak boleh begitu. Aku merasa bersalah pada Mas Fajar yang sudah dengan tulus mencintaiku. Allah, bagaimana ini?

Beberapa saat aku duduk termangu di belakang pintu. Banyak pertanyaan terlintas di benakku. Banyak hal yang kupikirkan. Banyak kenangan dan bayang-bayang yang muncul berseliweran. Aku berusaha memantapkan hati. Aku tak ingin melihat ke belakang lagi. Kuseka air mataku dan kutekadkan diri untuk berjuang menapaki bahtera cintaku dengan Mas Fajar saja. Cukup Mas Fajar. Akbar hanya masa lalu yang sudah aku lewati. Sudah berlalu dan harus dilupakan. Sempat sesekali aku berpikir bagaimana jika aku menikah dengan Akbar? Bukan dengan Mas Fajar? Astaghfirullah…. Pikiranku melayang berandai-andai. Sempat pula aku bermimpi tentang Akbar di hari-hari yang lalu. Aku berprasangka, mungkin aku merindukannya. Namun aku sudah tak berhak. Kusadari ini tak adil untuk Mas Fajar. Hati dan pikiranku berkecamuk.

“Mas, Mas Fajar…. Maafkan aku. Bagaimana ini Mas? Tolong aku”, aku bergumam sendiri. Aku ingin lepas dari semua ini. Pria lain tidak sepatutnya hadir dalam pikiranku.

“Mas… Apa Aku Selingkuh?”.