Max Stirner: Prolegomena Menuju Nihilisme
Pemikirannya, sebagaimana tertuang dalam bukunya, Der Einzige und Sein Eigentum, dapat dikatakan telah mengantisipasi berbagai tema besar dalam filsafat abad berikutnya. Bersama Kierkegaard, Stirner dapat disebut sebagai bapak Eksistensialisme yang menekankan keunikan dan singularitas ego. Mendahului Nietzsche, Stirner dapat disebut sebagai bapak “Postmodernisme” yang menolak segala bentuk klaim kepastian rasio, segala bentuk ide tentang yang transenden (bahkan ide Kemanusiaan) dan menolak segala bentuk universalisme. Mendahului Bakunin, Stirner juga dapat disebut sebagai bapak Anarkisme yang menolak segala bentuk otoritas yang diimposisikan dari luar (seperti negara). Bersama Marx, Stirner juga dapat disebut sebagai orang pertama yang menganalisa kontradiksi internal dalam kapitalisme, yang berpikir tentang cita-cita masyarakat tanpa kelas dan yang berpikir tentang revolusi proletariat (walaupun Stirner, setelah melakukan analisa tentang hal ini, menolak segala ide ini). Ia juga mengkritik habis-habisan paham Liberalisme dan positivisme hukum. Melihat posisi pemikirannya yang membuka persimpangan jalan bagi tema-tema filsafat abad ke-20, maka sungguh aneh jika ia jarang sekali dibahas dalam sejarah filsafat Modern.
Buku sepanjang 400 halaman itu berlandaskan suatu semangat, yaitu semangat nihilis-egois. Ia menggunakan bahasa Jerman dengan penuh kelincahan dan permainan kata-kata dengan menciptakan segudang neologisme (hingga Marx pernah mengkritik kecenderungan “etimologisme” pada Stirner). Motif dasar buku itu adalah kritik atas Hegelianisme yang cenderung mengutamakan peran Roh dalam mempersatukan segala sesuatu dalam suatu kesatuan organik yang niscaya.
Ia mempertanyakan berbagai larangan dan ketentuan yang mengharuskan manusia untuk melayani suatu tujuan lain yang dianggap lebih tinggi dari dirinya, seperti Tuhan, Negara, Roh, dsb. Menurutnya, segala ide-ide yang dianggap agung itu pun memiliki sifat egois. Tuhan, Moralitas, Kemanusiaan, semua itu merupakan ide tertinggi yang tak melayani yang lain kecuali dirinya sendiri. Tuhan, misalnya, tidak perlu melayani Kebenaran dan Cinta Kasih karena Ia sendirilah Kebenaran dan Cinta Kasih itu, Ia sendirilah ideal sempurna bagi diri-Nya sendiri; maka Ia hanya perlu melayani diri-Nya sendiri. Stirner menulis: “He serves nothing higher and pleases only himself. His cause is—a purely egoistic cause”. Oleh karena itu, ia melawan segala bentuk ajaran yang memandang bahwa manusia mesti melayani suatu Ide tertentu karena Ide itu suci, mulia dan penuh pada dirinya sendiri. Tak ada yang mulia dan bebas dari egoisme, semuanya egois. Maka aku, menurut Stirner, tak perlu mengupayakan suatu tujuan lain yang bukan berasal dari diriku sendiri. Maka:
Away with every cause which is not wholly and entirely my cause! Do you think that my cause must at least be “the good cause”? Good and evil indeed! I am my own cause, and I am neither good nor evil… My cause is neither the divine nor the human, it is not the true, the good, the just, or the free cause, but simply mine, and it is not anything general, for it is—unique, as I am unique. Nothing more to me than myself!
Melalui kutipan tersebut kita telah melihat bahwa Stirner menekankan sifat “unik” dari individu dan bukan sifat umum dari individu (misalnya kesamaan di hadapan hukum dan negara). Terlihat pula bahwa ia mengkritik Subyek universal Hegelian (dan Gattung alias “Bangsa-Manusia” Feuerbachean).
Stirner juga menolak segala bentuk transendensi (entah itu Tuhan, Kebenaran Sejati, Hukum Moral, dsb). Sang egois alias sang individu dalam pandangannya bukanlah sesuatu yang transenden, bukanlah Sang Manusia yang bermartabat dan adiluhung. “I am neither God, nor Man, nor the Supreme Being, nor my Essential Being”, tulis Stirner. Ia juga dapat disebut sebagai anti-Humanis pertama (mendahului Nietzsche dan Heidegger). Nilai-nilai transenden seperti Kemanusiaan yang adil dan beradab, Hukum Moral (seperti dalam Proudhon), Sang Manusia (dalam Feuerbach), adalah berbagai bentuk manifestasi dari filsafat Roh yang ingin mematuhkan individu dan meleburnya ke dalam kesatuan kolektif yang abstrak. Bersamaan dengan itu ia juga menolak hierarki karena “hierarchy is the dominion of thoughts, the dominion of Spirit”.
Menurutnya sejarah dunia tersusun dalam tiga fase. Pertama, era “Negroid” dengan budaya Mesir dan Afrika utara dimana proses abstraksi atas realitas Ilahiah baru dimulai. Kedua, era “Mongoloid” (dalam pandangannya sesuai dengan nilai-nilai Kristiani) yang mengutamakan kesatuan absolut antara dunia dan surga demi mencipta suatu “culture-heaven” berdasarkan proses abstraksi yang merengkuh segala-galanya. Hegel, dalam pandangan Stirner, merupakan puncak dari zaman ini (yang telah didahului oleh Martin Luther dan Descartes yang mengutamakan suatu fakultas abstrak—iman/rasio—yang mengaburkan realitas konkret). Ketiga, era “Kaukasian” yang sedang akan datang (dimana yang berjaya adalah para egois). Menurutnya, proses ini merupakan keniscayaan historis. “Mongolisme” akan tumbang dan mencapai era Kaukasian karena manusia sadar bahwa Roh, Keutamaan Moral, dan segala bentuk ideal, adalah ciptaannya sendiri sehingga manusia, yang kini telah sadar dan menjadi egois, lalu mendeklarasikan: “Akulah sang pemilik [proprietor] dunia benda-benda, dan akulah sang pemilik dunia Roh.”
Liberalisme yang seakan membela individu dan memberikan kebebasan pada individu, bagi Stirner, sebenarnya merupakan muslihat tengik. Segala individu setara di hadapan hukum—apa ini kalau bukan generalisasi dan skematisasi terhadap keunikan diriku? Kebebasan sipil, Stirner menulis, “does not signify my liberty, but the liberty of a power which rules and coerces me… its liberty is my slavery”. Maka baginya Revolusi Perancis cuma menumbangkan rezim dan membebaskan “warga negara”, namun tidak membebaskan “individu”. Dalam bab Der sociale Liberalismus, Stirner menganalisa tentang kemungkinan tatanan masyarakat sosialis dunia. Baginya, terdapat kontradiksi internal dalam kapitalisme, yaitu kesetaraan manusia yang digembar-gemborkan secara teoritis dan sekaligus ketidaksetaran yang aktual dalam hal kepemilikian real. Hal ini akan mengarah pada destruksi negara kapitalis oleh kaum sosialis dan melahirkan suatu tatanan masyarakat tanpa hak milik pribadi dimana semua kepemilikan diatur oleh “Masyarakat” ( Society ). Namun hal ini, menurut Stirner, akan mengarah juga kepada tatanan pemimpin (“Masyarakat”) versus budak (individu). Stirner, oleh karenanya, menolak ide kaum sosialis. Sebab baginya individu mesti bebas dan memiliki sifat-sifatnya sendiri tanpa berbagai proses birokratisasi.
Stirner mengkritik pandangan tentang manusia sebagai “makhluk rasional” (animal rationale). Baginya segala bentuk labelisasi yang diterakan pada individu merupakan suatu ketakmungkinan. Mengapa bisa begitu? Ia menulis: “For I, from whom I start, am not a thought, nor does my essence consist in thinking. Against me, the unnameable, the realm of concepts, thought, and Spirit is shattered.” Esensi ego tidak terletak pada sifat rasionalnya. Individu tak pernah dapat dipahami, tak ternamai, tak terrengkuh segala konsep dan Roh. Ketika individu mulai mengalami keterjebakan pada kepemilikannya (misalnya kepemilikan atas fakultas rasio), ia dapat meninggalkannya atau menghancurkannya sebelum hal itu terkristalisasi menjadi suatu prinsip yang mengatur ego. “In order to secure my property, therefore I continuously take it back into myself, annihilate its every movement towards independence, and swallow it before it can crystallize itself into any kind of established principle.”, tulis Stirner. Dengan demikian individu dalam artian Stirner bukanlah suatu individu yang stabil dan statis melainkan individu yang terus bergerak terus berubah mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri seturut kehendak hatinya sendiri. “I start by presupposing myself”, demikian Stirner, “a presupposition which I exist by consuming, for as The Unique One I repudiate the dualism of a presupposing and a presupposed self… rather, I posit myself or create myself, existing only in the act of positing myself moment-by-moment, as creator and creature in one.” Maka individu selalu menciptakan dirinya dengan mengubah, mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri.
Dengan menekankan sifat ketidak-konsistenan dari individu, Stirner jelas menolak paham Humanisme yang mengakui kualitas-kualitas luhur yang inheren dalam diri manusia. Baginya, “the religion of Humanity is only the last metamorphoses of Christian religion” Humanisme, dan/atau Kristianisme, adalah suatu bentuk keterasingan individu ke dalam kesatuan kolektif. Jika demikian, bagaimana sang egois berrelasi dengan orang lain? Ia, menurut Stirner, memiliki relasi dengan yang lain tidak sebagai sesama manusia melainkan sebagai yang masing-masing unik, suatu relasi antara Aku dan Engkau (I-Thou). Lantas apakah ego ini adalah suatu bentuk prinsip metafisis yang merengkuh segala sesuatu? Tidak. Stirner menulis, “it is not so much that ego is all, as that the ego destroys all, and that only the self-dissolving ego, the never-being ego, the finite ego—is really me.” Maka jelas bahwa ego, individu, bukanlah suatu prinsip metafisis yang merengkuh seluruh realitas melainkan justru sebaliknya. Ego itu terbatas, fana, dapat mati, dan bangga dengan kefanaannya, dengan kerapuhannya (lemah tapi pongah). Yang menarik lagi adalah bahwa Stirner menekankan aspek “ke-belum-an” dari ego itu sendiri, never-being ego, ego selalu belum, ego selalu tak mencapai kepenuhan. Maka bagi Stirner, hanya “transitory ego” inilah yang nyata; “umat manusia” hanyalah fiksi yang dirajut dengan berbagai konsep yang wah. Stirner menyebut ego sebagai “Yang Unik” (Der Einzige) persis karena ego itu dapat mati, dapat berubah, dapat hancur, dan tak tergantikan.
Pandangan mengenai sifat ke-belum-an dari ego ini memungkinkan Stirner untuk memandang individu sebagai yang dapat berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Ia tak sepenuhnya stabil, mantap, puas diri. “Wretched stability!”, kutuk Stirner. Oleh karena itu, ia juga menolak peran negara dalam masyarakat. “The State does not let individuals play as freely as possible […] but I am free in no State […] Get out of my sunlight” Dengan kalimat ini Stirner telah menggemakan pekik perjuangan kaum anarkis. Negara hanya menggunakan aku, melakukan birokratisasi atas diri dan sifat-sifatku, dengan berulangkali menekankan di berbagai media bahwa “I am worthless in myself” Egoisme Stirner jelas terkait dengan “kehendak”, sang ego adalah ego yang menghendaki, “what I want, I must have”, tulis Stirner, dan bahwa ego yang menghendaki adalah juga ego yang memutuskan: “Here egoism, self-seeking, must decide.” Dan kehendak, sebagaimana dalam Nietzsche, adalah kehendak yang terus menghendaki secara lebih. “I see nothing”, demikian Stirner, “but a multiplication of my power and which I preserve only so long as it remains my multiplied power.” Dengan kata lain, preservasi kehendak adalah peningkatan kehendak, pengakumulasian “kekuasaan” (power) yang lebih besar. Ia menulis (kita barangkali akan teringat Nietzsche), “power is only a simpler word for the manifestation of power”
Sekilas Stirner memang nampak seperti seorang pragmatis-utilitarianistik. Namun ia lebih dari sekedar itu, ia tidak “setengah-setengah” (dalam arti melakukan perhitungan, misalnya dengan birokratisasi, agar kenikmatan bisa meningkat), ia juga tidak peduli dengan kegunaan praktis. Lihatlah kata-katanya: “enjoyment of life means using life up”. Maka dapat dikatakan bahwa self-enjoyment is a self-destruction", bahwa penikmatan diri adalah penghancuran diri. Saya bisa menikmati diri saya dengan “menghancurkan” diri saya, dengan menggunakan daya hidupku habis-habisan.
Bagi Stirner, pikiran, yang biasanya disebut sebagai mahkota kesadaran dan sesuatu yang membuat manusia berdiri di puncak ciptaan, adalah sekedar salah-satu bentuk manifestasi kehendak. “Absolute thought”, tulis Stirner, “is nothing but that thinking which forgets that it is my thinking… that it only exists through me… that it is only my judgement, which I can at any moment change, i.e. annihilate, take back into myself, and consume.” Lebih jauh lagi, Kebenaran hanyalah sekedar hasil pikiran. Stirner menulis, “Truths are men’s thought, expressed in words and therefore just as extant as other things”, dan bahwa kebenaran hanyalah “phrases, forms of speech, words—when brought into connection or into an articulate series, forming logic, science, or philosophy” tapi selalu “nothing but words” dan bahwa “the Truth itself is dead, a corpse; it is alive only in the same way as my lungs are alive—as the measure of my vitality”. Maka, bagi Stirner", pemikiran hanyalah sekedar parodi yang “bisa kau buang ketika sifat humornya sudah habis.”
Ketika buku tersebut diterbitkan, yaitu pada tahun 1844, kaum intelektual Jerman segera memberikan reaksi yang keras. Szeliga dan Feuerbach mengkritik buku tersebut melalui jurnal ilmiah. Moses Hess, yang telah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Marx dan Engels, menuliskan suatu pamflet berjudul “ Filsuf-Filsuf Terakhir ” yang mengkritik buku itu. Pada tahun 1845 Stirner membalas mereka dengan mengklarifikasi bahwa, sebagai konsep, “Yang Unik (Der Einzige) tak memiliki isi” (dalam arti tertentu, ia bukan konsep sama sekali) karena “bersamanya segala evolusi konseptual mencapai akhirnya” (dalam arti tertentu, ia menandai akhir dan batas segala konseptualisasi). Mari kita kutip lebih panjang:
Someone who calls you Ludwig does not mean any old Ludwig, but you, for whom he lacks a word. What Stirner says is a word, a thought, a concept; what he means is no word, no thought, no concept. What he says is not what he means, and what he means cannot be said. […] Thus you are without predicates, as you are without determination, without vocation, and without laws.
Dengan demikian, Stirner menekankan sifat keunikan, singularitas, yang tak terbahasakan dalam bentuk apapun, yang tak terrengkuh oleh konsep seketat apapun, dari individu. Maka sebenarnya Stirner melawan segala bentuk “kepenuhan makna” dalam bentuk apapun (bahkan dalam bentuk ego, karena Stirner memandang ego sebagai sesuatu yang terus berubah berkontradiksi dan dapat menghancurkan diri). Yang ia lawan bukanlah cinta atau pikiran ataupun sosialisme; Stirner menulis, “not against love but against holy-love, not against thought but against sacred thought, not against the socialist but against the devout socialist.”
Jika Stirner kita bandingkan dengan Nietzsche, maka setidaknya kita akan melihat lima jenis persamaan gagasan: pertama, pro-kefanaan dan anti segala bentuk ide tentang yang transenden; kedua, anti-moral; ketiga, anti-otoritas; keempat; penekanan pada penegasan-diri; kelima, penekanan pada kehendak. Walaupun Nietzsche tak pernah membaca buku Stirner, Karl Löwith mencatat bahwa “Stirner has often been compared with Nietzsche, to the point of asserting that Stirner was the “intellectual arsenal” from which Nietzsche derived his weapons.” Meski demikian terdapat setidaknya tiga jenis perbedaan di antara keduanya. Pertama, Stirner tak berupaya melakukan revaluasi atas nilai-nilai yang dekaden. Kedua, Nietzsche masih mengakui perbedaan esensial dari jenis manusia pemimpin dan budak sementara Stirner menolak membandingkan manusia satu sama lain karena setiap manusia tak terbandingkan dan tak terskematisasi. Ketiga, manusia Stirnerian adalah Un-Mensch (“sang non-manusia”, karena “manusia” adalah konsep umum) dan bukan Übermensch yang hampir memiliki status transenden dalam pemikiran Nietzsche. Stirner menulis, seakan seperti mengejek Nietzsche, tentang Yang Unik itu: “I have no vocation and follow none, not even that of becoming Superman. […] By the side of Man there always stands the Unman, the solitary one, the egoist… invincible Devil”
Max Stirner: Prolegomena Menuju Nihilisme
Sinau Filsafat
04/10/2017
http://sinaufilsafat.blogspot.com/2017/10/metafisika-filsafat-max-stirner.html