Lompat ke isi

Maya dan Beruang Kecil

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Maya kesal karena tidak ada yang mengingat hari ulang tahunnya. Ia pergi tidur dan bermimpi bertualang bersama Beruang Kecil yang ternyata sangat akrab dengan dirinya. Di petualangan ini Maya menemukan hal-hal baru yang selama ini tidak terbayangkan olehnya.

Lakon

[sunting]
  • Maya
  • Beruang Kecil/Nenek
  • Ibu
  • Ayah
  • Didi

Lokasi

[sunting]
  • Rumah Maya
  • Pantai Tanjung Kelayang, Belitung

Cerita Pendek

[sunting]

Mengapa Orang Melupakanku?

[sunting]

Maya pulang sekolah dengan kesal hari itu. Didi yang biasanya 1 kelompok sejak awal tahun ajaran kelas 6 SD, tidak mau sekelompok dengannya, bahkan tidak mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Maya berharap-harap tadi di kelas. Saat Didi ditanya Bu Ita, Guru Sejarah, siapa tiga orang yang dia pilih sekelompok, Didi tidak menyebutkan namanya. Didi bahkan tidak balas melihat Maya hari itu. Bisa-bisanya di hari ulang tahun Maya, hari yang sangat penting untuk Maya, Didi tidak memberi ucapan padanya. Tega sekali!

Maya rindu Nenek dan tidur bersama selimut dari Nenek. Karena rasa rindunya yang dalam, Nenek pun datang dalam wujud Beruang Kecil yang penyayang.

Ayah dan Ibu juga sama! Maya pulang ke rumah yang kosong. Hanya ada tulisan Ayah di meja makan agar tidak lupa makan. Hingga malam menjelang, Ayah dan Ibu tetap saja belum pulang. Di hari ulangtahunku! Teganya!

Akhir-akhir ini, Maya merasa dilupakan sekitarnya. Ia merasa dirinya tembus pandang, tidak terlihat oleh Ayah, Ibu, dan Didi.

Akhir-akhir ini, Maya rindu sekali dengan Nenek.

Nenek tidak pernah melupakan Maya. Meski Nenek sibuk di dapur, kadang di halaman belakang rumah, kadang memanjat di atas genteng, Nenek selalu memanggil Maya, memberikan Maya roti hasil panggangan yang pertama. Nenek tidak banyak bicara, dan selalu mendengarkan Maya bercerita. Tapi, suara tawa Nenek yang paling indah. Maya merasa seperti tidur-tiduran di gula kapas raksasa saat mendengar derai tawa Nenek.

Nenek yang terbaik. Dan saking rindunya, Maya mencari-cari selimut dari Nenek. Ah, ketemu. Sejak Nenek meninggal, ini satu-satunya yang Maya peluk erat untuk merasa dekat dengan Nenek. Dan malam ini, ia ketiduran di kursi sambil memeluk selimut dari Nenek.

Terbang bersama Beruang Kecil

[sunting]

Maya terbangun di sebuah pantai dengan banyak batu besar menjulang. Bajunya masih sama, tapi selimut Nenek sudah tidak ada. Maya terkejut dan panik mencari-cari.

“Tak usah dicari. Sudah ada aku di sini,” muncul satu beruang kecil, tinggi badannya persis Maya, hanya saja dia… ya, dia adalah Beruang Kecil. Tubuhnya penuh bulu cokelat muda. Dia tersenyum ke Maya.

Ada aroma khas dari Beruang Kecil. Maya mengendus sambil mengingat-ingat, di mana ya dia mencium aroma ini. Sedikit aroma mentega, kulit yang terbakar matahari, tapi juga ada aroma panggangan adonan.

“Nenek??”

“Kamu rindu sekali pada Nenek ya? Aku sampai harus jadi begini untukmu,” ujar Beruang Kecil.

Maya girang sekali, loncat dan memeluk Beruang Kecil dengan sekuat tenaga. Tak ingin dilepasnya pelukan itu.

Beruang Kecil perlahan melepas pelukan Maya, lalu menggenggam tangan kanan Maya dengan erat. “Kita perlu mengunjungi beberapa tempat. Dan kamu harus perpegangan tangan padaku. Jangan sampai lepas, ya.”

“Aku ingin bersama Nenek saja. Aku tidak mau pulang. Aku tidak suka Ayah. Tidak sukaAAA!! ” Suara Maya seketika nyaring saat ia ditarik Beruang Kecil bertolak ke atas langit. Lalu, mereka bersama mendarat di suatu permukaan kecil, permukaannya empuk seperti pasir, tapi Maya tidak dapat melihat pasir itu. Beruang Kecil dapat melihat.

“Hmmm, bukan di sini,” Beruang Kecil tampak memandang sekeliling, seperti memeriksa sesuatu.

“Nenek mau cari aAAA!!” Lagi-lagi Maya ditarik tanpa pemberitahuan.

Hal ini terjadi beberapa kali. Beruang Kecil bersama Maya mendarat di satu titik, Beruang Kecil memandang sekeliling, lalu memutuskan bahwa bukan itu tempat yang mereka tuju.

“Nah, kita sampai!” Akhirnya Beruang Kecil menemukan tempat yang ia cari.

Betul, titik ini berbeda dari yang sebelum-sebelumnya.

Meski sama-sama di atas awan, titik yang sekarang ini dipenuhi titik berkilau warna-warni yang melayang memenuhi udara sekitar. Maya berusaha menggapai kilau-kilau ini dengan tangannya, tapi tak berhasil. Titik kilau semua seperti tembus pandang dan tidak tersentuh.

Beda dengan Beruang Kecil.

“Kita akan masuk dua kali saja.”

Beruang Kecil menyentuh salah satu titik berkilau berwarna merah tua, dan dalam sekejap, Maya dan Beruang Kecil terhisap menjadi jauh lebih kecil masuk ke dalam titik kilauan ini.

Debu Milik Ibu

[sunting]

Bagaimana ini mungkin?? Titik itu begitu kecil. Dan aku begitu besar. Seolah dapat mendengar pikiran cucunya, Beruang Kecil menyahut, “Ini bisa terjadi, karena tadi kita sudah sampai di tempat Debu Semesta berkumpul.”

“Apa itu Debu Semesta?”

“Kalau kamu dewasa nanti, artinya bakal berbeda dengan yang di sini. Di sini, Debu Semesta itu kumpulan detik-detik terpenting yang pernah dilalui semua orang di bumi. Kita sedang ada di dalam Debu milik ibumu. Ini Ibumu saat berumur sepuluh tahun.”

Maya berada di jalan komplek perumahan. Dari jauh ia melihat sosok anak perempuan berjalan menuju arahnya. Ia sedikit lebih tinggi dari Maya.

“Nenek membesarkan ibumu dengan susah payah, karena Kakek merantau keluar negeri dan tidak pulang sejak ibumu masih kecil. Nenek tidak pernah tahu ibumu mengalami hal ini. Dia tidak pernah cerita.”

Maya dan Nenek dalam wujud Beruang Kecil ada di antara Debu Semesta

Tiga anak sebaya berjalan lebih cepat dan berteriak-teriak ke arah Ibu-yang saat itu belum setinggi, belum seumur Ibu yang sekarang.

“Gak darmawisata kan kamu! Miskin!”

“Makanya minta ke Bapak dong! Dasar anak janda!”

“Ibumu miskin jadi bapakmu gak mau ngurus ya?!”

Ternyata Ibu tidak tinggal diam. Ia berteriak, “Kalian lihat nanti ya aku jadi yang terkaya di antara kalian!!”

Di tengah teriakan itu ada suara isak, dan ada mata Ibu yang basah. Sesudah tiga pengejek itu tidak terlihat, Ibu kecil terjongkok dan terlihat bahunya naik-turun. Tak lama, terdengar suara tangisan yang panjang. Ibu kecil menangis tersedu-sedu.

“Sore itu ia pulang dengan muka basah dan mata bengkak. Nenek tanya ada apa. Dia bilang baru selesai berlatih naskah drama sekolah.”

Maya melihat mata Beruang Kecil berkaca-kaca, dan satu tetes air mata pun mengalir ke pipinya yang penuh bulu cokelat muda. “Nenek dulu terlalu sibuk mengurus rumah dan mencari biaya untuk ibumu, sampai Nenek luput memperhatikan Ibumu.”

“Kalau begitu, kenapa Ibu melakukan hal yang sama padaku?”

“Dia melakukan itu karena takut jadi miskin, dan takut kamu diejek seperti dia dulu. Makanya ia bekerja sampai lupa diri.”

“Tapi kami tidak miskin, Nek. Aku sekarang bisa ikut darmawisata sekolah. Kenapa salah satu dari mereka tidak berhenti bekerja saja?”

“Itulah orang dewasa, Cucuku. Ia begitu buta mengejar apa yang ada di luar, sampai lupa pada orang yang terdekat. Sebenarnya mereka bisa saja tetap bekerja, dan membagi waktu untuk menemanimu.”

“Sekarang kita pindah ke Debu terakhir.” Sekali lagi, Maya merasa dirinya ditarik bertolak dengan cepat dari satu titik ke titik yang lain. Ia merasa dirinya membesar keluar dari Debu milik Ibu, lalu mengecil kembali masuk ke Debu biru tua.

Debu Siapa Ini?

[sunting]

Kali ini Maya melihat sosok laki-laki seperti Ayah, tanpa kumis dan jenggot, dan perempuan seperti Ibu tapi lebih muda, duduk bermain di lantai bersama seorang anak balita. “Ah, itu Ayah, Ibu dan aku!”

“Jadi Maymay Yayaa, setiap kamu ulang tahun, Ayah Ibu akan ada di sini ya, Nak. Karena kamu anak kami yang paling lucu, paling manis, paling cantik.” Maya balita ada dalam gendongan Ayah. Ayah mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang berbeda-beda. Ibu ada di depan Ayah, Maya tertawa senang, geli, diangkat ke udara dan dipeluk dekat dada Ayah.

“Tapi kalau kami sibuk kerja, kami minta maaf ya, Nak.”

“Iya, bosnya ibumu tuh galak sekali lho. Nggak mungkin kasih hari libur ke ibumu. Ibumu lebih belain bosnya daripada Ayah lho Nak.”

Ibu terlihat memukul lengan Ayah dengan ringan.

“Jadi gini ya Nak, ucapan ulang tahunnya Ibu ucapkan sekarang sampai kamu umur 18 ya Nak.”

Mata Maya berkaca-kaca.

“Tapi aku kan senang kalau diingat di harinya, Nek.”

“Ya, Nenek tahu.”

“Kalau begini, aku tidak mau minta apa-apa lagi deh ke mereka.” Maya terduduk dan merasa air mata membasahi pipinya.

“Mereka mungkin saja bisa berubah, asal kamu beritahu kebutuhanmu, Nak.”

Maya menghapus air matanya dengan kedua punggung tangannya.

“Dan satu lagi. Asal kamu tidak lelah berharap pada mereka.”

“Tapi kalau aku berharap terus, aku akan sedih terus, Nek.”

“Saat kamu sedih, ceritakan sedihmu pada mereka. Saat kamu senang, ceritakan senangmu pada mereka. Bisa dicoba.”

“Bukankah lebih mudah jika aku tidak minta apa-apa?”

“Lebih mudah? Karena kamu terhindar dari rasa sedih?”

Maya menjawab dengan anggukan pelan. Beruang Kecil tertawa. Persis Nenek. “Percayakah kamu, kita ini hidup untuk mencicipi semua perasaan. Semua perasaan itu sama pentingnya. Tidak ada yang lebih buruk ataupun yang lebih baik. Jika kamu menolak merasa sedih, sedih akan datang lewat hal yang lain. Penting bagi kita untuk merasakan sedih itu.”

Maya memiringkan kepala, kedua alisnya berkerut. Ia tidak mengerti maksud Beruang Kecil.

“Kamu pernah membayangkan hidup manusia tanpa api?”

“Dikisahkan saat api ditemukan pertama kali, ada dua kelompok berbeda pendapat. Kelompok pertama gembira karena mendapat manfaat dari api; menghangatkan tubuh, pakaian, mengolah hasil tani dan daging buruan. Kelompok kedua berasal dari kelompok pertama, tapi mereka melihat tangan mereka terluka bakar dan kesakitan. Mereka memilih untuk hidup tanpa menggunakan api, daripada bisa terbakar dan sakit. Mirip tidak dengan ceritamu?”

“Apa miripnya? Aku kan berencana untuk tidak minta apapun pada Ayah Ibu.”

“Sama seperti kelompok kedua tidak mau minta apapun pada api.”

“Tapi mereka tetap bisa hidup kan?”

“Bisa. Tapi, cara hidup mereka berbeda dengan kelompok pertama. Dan akhirnya mereka menyimpulkan semua hal lain juga bisa menyakitkan. Tidak hanya api, tapi juga udara—saat ada badai topan, atau air—saat ada banjir, atau tanah—saat ada longsor.”

“Jadi, semuanya bisa menyakitkan?” Maya merasa putus asa dengan cerita ini.

“Semua bisa menjadi menyenangkan, kadang menyakitkan, kadang melindungi, kadang melukai. Kadang tidak melakukan apa-apa.”

“Termasuk Ayah dan Ibu?”

“Ya. Termasuk kamu juga. Dan aku. Bagimu aku sangat menyenangkan. Tapi bagi ibumu, aku membosankan dan tidak memperhatikan dia.”

“Apa Nenek pernah membenci Ibu?”

“Tidak benci. Tapi aku pernah marah besar. Kamu tahu, kenapa seseorang bisa marah pada orang lain?”

Maya mengangkat kedua bahunya.

“Karena ia merasa sangat mengenal yang satunya, dan merasa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dugaan dia meleset. Itu yang bikin kecewa dan marah.”

“Lalu, apa yang Nenek lakukan?”

“Saat itu Nenek marah, tapi ternyata itu karena Nenek kecewa. Kukira aku tahu apa yang dirasakan ibumu. Aku keliru. Memang Nenek dulu sibuk dan kesepian.”

“Mengapa Nenek kesepian? Kan sibuk. Kukira orang sibuk tidak akan kesepian.”

“Terkadang orang yang tersibuk adalah yang paling kesepian.” Beruang Kecil berhenti. Matanya menerawang ke kejauhan, mengenang kembali waktu itu. Perasaannya campur-aduk.

Maya mengulang kembali kata-kata Beruang Kecil di kepalanya, ‘Ayah Ibu pasti sangat kesepian. Mereka orang-orang yang sangat sibuk!’

Saat itu, Nenek dan ibumu tidak dekat satu sama lain, sehingga Nenek tidak tahu apa yang dirasakan oleh ibumu. Lalu aku berjanji …” Maya penasaran, “Janji pada siapa, Nek?”

“Pada diri Nenek sendiri.”

“Berarti tidak ada yang tahu tentang janji Nenek itu?”

“Ada dong. Diri Nenek sendiri yang tahu.”

“Apakah kita perlu menepati janji pada diri sendiri?”

“Janji pada diri sendiri kan tetap disebut janji. Sama kan?”

Maya mengangguk berpikir, ‘Benar juga. Janji juga bisa kuberikan pada diriku sendiri.’

“Jadi waktu itu Nenek janji?”

“Nenek janji untuk selalu ada di sampingnya dan menyayangi dia.”

Maya ikut memandang ke kejauhan. Ia mengingat rumahnya yang kosong saat ia berulang tahun dan ia merasa sedih. “Andai Ibu Ayah bisa seperti itu. Aku ingin mereka ada di sampingku dan menyayangiku.”

“Kita bisa membuat Ayah dan Ibu tahu apa yang kau inginkan.”

“Tapi aku takut gagal, Nek.”

Beruang Kecil tertawa geli. “Kadang kita akan gagal, Nak. Itu biasa. Tapi, kita punya sesuatu dalam diri kita, yang begitu besar dan hangat.

“Apa itu, Nek?”

“Cinta.”

Beruang Kecil memeluk Maya. Maya merasa perlahan Beruang Kecil berubah wujud menjadi Nenek, dan Maya mendengar kata itu begitu jelas di sekeliling mereka.

“C I N T A”

Bagaimana Bicaranya?

[sunting]
Berbekal pesan Nenek, Maya meletakkan suratnya di atas meja.

Maya membuka mata. Mimpinya sangat aneh. Ia bermimpi tentang beruang kecil yang bisa terbang, dan ia ingat melihat ibunya saat masih kecil, dan ia melihat ayah-ibu saat masih muda, dan dirinya sendiri saat masih balita.

Hari ini masih malam, masih hari ulang tahun dia. Ia bangun ke meja belajar dan menulis di kertas.

‘Maya tahu Ayah-Ibu sibuk, dan Maya sayang Ayah-Ibu. Tapi, Maya tetap sedih karena hari ini ulang tahun Maya dan Ayah-Ibu tidak di rumah. Maya ingin berulang tahun bersama Ayah-Ibu.’

Maya tidak tahu bagaimana reaksi Ayah-Ibu. Tapi, ia berusaha mengikuti kata Nenek. Ia menyampaikan apa yang dia rasakan, apa adanya, dengan penuh cinta.

Ia letakkan kertas di atas meja makan, dengan lampu ia arahkan menyinari kertas itu. Lalu ia pergi tidur lagi, bersama selimut dari Nenek. Sesaat sebelum tertidur ia terpikir besok akan menulis sesuatu untuk Didi juga. Ia akan cerita perasaannya dan juga ia akan sampaikan rasa sayangnya.


TAMAT