Mbah Sembilang
Biodata Penulis
[sunting]Penulis merupakan penggagas Saung Kanak, sebuah komunitas yang bergerak di bidang penulisan bahan bacaan anak dan pengalihwahanaannya. Mengabdikan diri di bidang literasi, khususnya bahan bacaan anak, Rizka Amaliah aktif menulis di laman saungkanak.com dan telah menerbitkan buku kumpulan cerita anak yang berjudul “Kaki-kaki Kecil Ramadan”. Tulisan-tulisannya juga telah dimuat di berbagai media. Dua di antaranya berjudul “Paruh Rangko di Punggung Nasal” dan “Raibnya Telur-telur Toti” yang dimuat di Kompas Klasika.
Premis
[sunting]Gadis keci bernama Laras baru saja pindah sekolah ke Banyuwangi. Ia mengalami kesulitan dari segi bahasa dan budaya hingga harus belajar pada Mbah Sembilang. Namun, hal mengejutkan terjadi saat Laras bertemu dengan Mbah Sembilang. Rupanya, si Mbah tak seperti nenek-nenek kebanyakan.
Cerita Anak
[sunting]MBAH SEMBILANG
Laras baru saja pindah ke kota Banyuwangi. Ayahnya mendapat tugas sebagai hakim di kota itu. Karenanya, Laras juga harus pindah sekolah dan bertemu teman baru.
Pada hari pertama sekolah, Laras sangat terkejut. Di sekolah barunya, ia harus belajar bahasa Osing. Gadis berambut cokelat itu pun bingung. Ia hanya membeo saat guru mengajukan pertanyaan. Seisi kelas tertawa. Laras merasa sangat malu, meski Bu guru terus menyemangatinya.
"Kamu belum pernah belajar bahasa Osing?" tanya Atika.
"Belum," jawab Laras sembari menunduk.
"Waktu pertama kali belajar dulu, aku juga bingung." Atika membuat Laras menegakkan kepalanya.
"Kamu juga murid pindahan?" tanya Laras penasaran.
"Bukan! Tapi semua orang di rumahku berbahasa Madura. Jadi, aku nggak ngerti bahasa Osing. Kamu tenang aja! Meskipun semua anak tertawa, mereka baik. Dulu mereka juga mengajariku bahasa Osing. Kamu juga bisa belajar dengan Mbah Sembilang." Atika menjelaskan pengalamannya dengan serius.
"Mbah Sembilang? Siapa itu?" Laras mengerutkan keningnya.
"Mbah Sembilang itu neneknya si Agus." Atika tersenyum simetris.
Saat jam istirahat sekolah, Atika memperkenalkan Laras kepada Agus. Ia juga mengatakan bahwa Laras mau belajar bahasa Osing pada Mbah Sembilang.
"Hmm, tapi ada syaratnya, lho," tukas Agus.
"Apa?" Atika dan Laras menjawab bersamaan.
"Laras harus setor uang jajan buatku setiap hari selama seminggu." Agus menaikkan alis sembari melipat lengannya.
"Ih, Agus mata duitan," ejek Atika kesal.
"Hmm, tapi tidak apa-apa. Boleh saja kusisihkan uang jajanku." Laras tampak tak keberatan.
"Hahaha, aku hanya bercanda. Bisa digeprek si Mbah kalau aku malak uang jajan teman." Agus terpingkal-pingkal memegangi perutnya.
"Dasar, Agus! Huh!" Atika menggerutu.
"Ya sudah, besok sore ke rumahku untuk ketemu si Mbah, ya!" Agus melambaikan tangan dan berlalu pergi.
Sebenarnya, Laras agak khawatir. Ia tak pernah belajar dengan orang tua. Neneknya sendiri adalah sosok yang galak bukan main. Kalau Laras tidak menghabiskan makanan, nenek akan memarahinya hingga makanan itu habis. Ia takut Mbah Sembilang juga begitu.
Keesokan harinya, Laras, Atika, dan Agus pergi ke rumah Mbah Sembilang. Rupanya, di rumah itu ada sebuah padepokan tari. Seorang perempuan cantik berusia sekitar dua puluh tahunan memimpin tarian. Sepertinya ia adalah seorang pelatih.
Laras senang sekali melihat anak-anak menggerakkan sampur merah dengan gemulai. Di sekolah lamanya, Laras adalah seorang penari topeng. Gerakan tari topeng berbeda sekali dengan tarian yang dilihatnya.
"Mbah! Mbah Sem!" Agus melambaikan tangan pada perempuan yang memimpin tarian. Ia kemudian berlari mendekat dan mencium tangan Mbah Sembilang.
"Loh, itu Mbah Sembilang?" Laras ternganga.
"Iya. Cantik, kan?" Atika menggandeng tangan Laras dan menariknya untuk mendekati Mbah Sembilang.
"Pasti temanmu ini bingung, Gus. Siapa namamu?" tanya Mbah Sembilang yang ternyata seorang gadis muda.
"Laras, Kak. Eh... Mbah." Gagap Laras membuat semuanya terkekeh.
"Boleh panggil kakak saja! Agus panggil mbah karena memang dia anak dari keponakan kakak," tukas Mbah Sembilang.
Laras pun menyampaikan niatnya untuk belajar bahasa Osing, "Aku mau belajar. Tapi, Kak... Aku sama sekali tidak tahu bahasa Osing."
"Hmm... Bahasa Jawa bisa?" tanya Mbah Sembilang tegas.
"Bisa," jawab Laras tak kalah sigap.
"Oke. Kalau bisa bahasa Jawa, belajar bahasa Osing akan lebih cepat lancar." Mbah Sembilang menyemangati Laras.
"Hmm... Sebenarnya, Laras juga tertarik belajar menari, Kak." Gadis cilik itu menunjuk anak-anak yang sedang berlatih.
"Oh, ya? Bagus dong. Tiga bulan lagi akan ada pentas tari gandrung dan drama bahasa Osing. Kami kekurangan pemeran. Laras mau?" Mbah Sembilang tampak sangat gembira.
"Benarkah? Mau dong, Kak." Laras ikut senang mendengar berita itu.
Laras, Agus, dan Atika akhirnya ikut serta dalam pementasan tari gandrung dan drama berbahasa Osing. Tak disangka, Laras cepat sekali belajar. Ia bisa tampil berbahasa Osing, nyaris seperti penutur asli. Semua orang memujinya. Ia juga mendapat sanjungan dari guru bahasa Osing di sekolah. Guru itu turut hadir melihat pementasan.
Sebagai penutup, Laras bahkan berpidato menggunakan bahasa Osing. Ia membuat sendiri naskah pidatonya. Mbah Sembilang sampai terkejut karena Laras menyebutnya sebagai orang yang paling berjasa. Laras, Agus, dan Atika bahkan membuatkan kalung origami untuk Mbah Sembilang. Mereka mengalungkannya di atas panggung sebagai bentuk terima kasih.