Lompat ke isi

Melangkah Maju

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Melangkah Maju

Angin malam pukul 19.00 bertiup pelan meraba kulit. Purnama bertahta di langit yang kaya akan awan. Sesekali dahan-dahan bergetar lantas kaku tidak bergerak. Terdengar rintih burung hantu di sarang. Malam ini sepi, sebab aku hanya duduk sendiri.

Kepalaku menoleh ke belakang untuk mencari suara langkahan kaki yang mendekat. “Mbok Maryam masak makanan enak!” Tentu saja aku menantikan hal tersebut. Aku segera melempar ilalang yang sempat kumainkan dari sisa-sisa dari kelekak tadi siang. Anak perempuan itu langsung menarik tanganku. Hidungku langsung mengikuti bau sedap ke arah dapur. Hmm.. ayam jahe dan wangi nasi putih. Malam tersebut adalah untuk kesekian kalinya aku dan Mei dititipkan di rumah Eyang.

Mataku terhenti pada kotak brangkas tua yang sudah berada di pojok dapur rak di sebelahnya. Bapak selalu berpesan agar jangan sampai ada yang menyentuh brangkas Eyang selama tinggal di sini. Sudah menjadi hal umum bahkan Mbok enggan mengepel daerah tersebut karena mengetahui benda kesayangan pemilik rumah ini. “Jangan diam saja, ayo cepat duduk.” Perintah Eyang. Besi tua itu memang menjadi pusaka keluarga.

“Mau sampai kapan kalian dititipkan disini? Pakai baju nya hemat-hemat ya biar ga banyak cucian.” Kata Mbok memperingati kami berdua. Walau takut-takut menjawab tetapi akhirnya kami berdua sama-sama mengangguk kecil. Setiap bulan Desember, Ayah ke luar kota untuk pekerjaan auditing, mau tidak mau selama bekerja di Akuntan Publik. Sudah 5 tahun terakhir, Ayah rutin menitipkan kami kepada Eyang pada waktu tersebut.

Setelah makan malam usai, Eyang lebih suka sendirian merokok di luar. Sudah menjadi kebiasaan Eyang untuk duduk di atas pendapa sambil memakai kaos putih dan sarung. Entah apa yang dipikirkan Eyang setiap kali duduk di pendapa itu. Dari jendela aku memperhatikan rintih hujan mulai membasahi tanah tidak sedikitpun mengusik Eyang yang sekarang sedang fokus melilitkan tembakau ke linting rokok.

Aku meninggalkan Mei di ruang tamu sendirian untuk menuju pendapa karena Mbok berpesan untuk memberikan kopi hitam ke Eyang. Eyang tidak pernah merokok tanpa kopi hitam. Aku berlari kecil agar tidak kebasahan. Sampai di pendapa, aku lekas melepas sendal dan naik di atasnya sebelum aku terguyur hujan.

Kuletakkan gelas itu di depan Eyang yang sedang duduk santai. Air mukanya cerah biarpun keriput telah nampak jelas di wajah yang selalu tersenyum itu. Aku senang mengawasi wajah Eyang lama-lama, karena mirip sekali dengan almarhum Simbok. Di balik senyum simpulnya pun, masih ada senyum Simbok yang selalu kurindukan. Bibirnya tersungging melihat cucunya menyuguhkan minuman kesukaannya.

“Duduk menghadap sini. Di sini lebih kering.” Kata Eyang sambil menunjuk ke arah sebelahnya. “Dede lagi dimana, Petra?”

“Oh, Nggih. Si Mei dia sedang ke ruang tamu menonton TV. Biasalah, sambil-sambil nonton Spongebob kesayangannya, Nggih.”

Melihat Eyang sayup-sayup cemas, aku pun menambahkan. “Perlu kupanggilkan saja kah, Nggih?” Tanyaku sambil memandangi wajah Eyang.

“Oh begitu. Tidak perlu, yang penting dia tidak mendekati brangkas.” Jawab Eyang kemudian menghisap linting.

Padahal kalau dibilang, aku terus memikirkan tentang sejarah brangkas itu selama berjalan kemari. Brangkas yang selalu Eyang sayangi bagaikan kotak harta karun. Akan tetapi, Mbok larang untuk dekati. “Paling isinya hanya foto kelulusan Bapak.” Gumamku.

“Ada apa dengan brangkas nya, Petra?” Tanya Eyang sedikit cemas.

Aku melihat wajah Eyang dan takut untuk bertanya. Padahal brangkas tua itu sudah ada sejak 5 tahun lalu. Namun, aku belum tahu benda apakah gerangan yang diletakkan di dalamnya. Karena setahuku, harta warisan turun-temurun dari keluarga almarhum Simbok hanyalah kelekak, yaitu kebun rimbun yang ada di belakang rumah. Namun kupastikan aku membebaskan rasa ingin tahu ku. Kuberanikan diriku untuk bertanya.

“Maaf Nggih, kalau boleh tahu.. Isi brangkas di dalamnya Nggih taruh apakah sampai Nggih larang dekati?”

Terlihat Eyang yang sedang fokus pada linting langsung berubah air mukanya. Baru setengah selesai, linting tersebut ditabrakkan dengan mulut asbak. Eyang segera menghela napas. Keputusanku untuk melanjutkan bertanya mungkin mengecewakannya. “Maaf, Nggih.” Kataku.

“Ga apa-apa, Le. Pasti nantinya kamu akan tahu juga.” Ucap Eyang. “Jadi..” Lanjut Eyang sambil menikmati kopi hitam. Sambil sabar aku menunggu Eyang menegak sampai sepertiga isi gelas sebelum diletakkan kembali di sebelah kakinya. “Brangkas itu sudah turun-temurun diwariskan dari orang tua Eyang. Sebetulnya, Isinya pun uang lama dan koin-koin berharga. Sama seperti kelekak, nanti bakal diwariskan ke Ayah kalian.”

Tidak kusangka, komentar seperti itu, sangatlah jauh dari perkiraanku. Kupikir Eyang akan marah apabila aku bertanya. Akan tetapi, satu pertanyaan dariku. Untuk apa uang dan koin lama diwariskan? Uang tersebut sudah mengalami inflasi dan tidak bisa dipakai untuk membeli beras sekalipun. Terlihat keriput Eyang ikut naik saat Eyang tersenyum kepadaku.

“Besok. Besok datang lagi bersama Mei. Nanti Eyang ceritakan.” Kata Eyang berlalu pulang. Tak terasa rintik hujan sudah berhenti. Dari balik jendela samping rumah terlihat si Mbok sedang larut dalam pekerjaanya menyetrika baju.

Pagi mulai menyapa. Matahari mulai terbit dari peraduannya. Cakrawala mulai dipenuhi rona keemasan. Langit yang dulunya hitam seperti langit malam kini tergantikan oleh langit biru dengan awan yang beterbangan. Hari baru telah menyapa.

Aku segeralah mencari Eyang untuk mendengar lebih banyak. Tak lupa aku menepuk-nepuk pipi Mei yang masih tidur di kamarnya. Demi membangunkannya. Eyang memang sudah pensiun. Sedangkan Mbah sudah tiada sejak lama. Setelah berpamitan dengan Mbok, aku dan Mei langsung menuju kelekak. Mbok berkata mungkin Eyang pergi mendatangi ke Kelekak. Setiap hari dia ke sana untuk memantau.

Eyang sedang nangkring di pendapa sebelah kelekak, sembari mendengar radio butut. Terdengar sayup-sayup bahwa Indonesia akan resesi 2024. Cerek itu langsung dituangkan ke masing-masing gelas saat dua kepala bertambah di pendapa tempat Eyang duduk. Eyang menyuguhi teh hangat.

Teh di cerek masih hangat. Akan tetapi, Mei merengek mau minum susu. Eyang pun langsung memulai ceritanya. Telingaku pun naik sambil menagih janji Eyang. “Dulu susu Enfagrow susah didapat, Bapak dan Simbok kalian bahkan sampai rela titip ke Eyang di kampung. Eyang dulu sering bersepeda lewat warung kelontong mas Budi, dulu dia jual susu Enfagrow.”

Eyang membesarkan volume radio. Supaya aku dan Mei dapat bersama mendengar. “Abad 16 bangsa Eropa mendatangi Asia Tenggara untuk mencari rempah. Tahun 1602 VOC terbentuk dan mata uang real dari Spanyol masuk ke Nusantara. Abad 18 berdiri bank pertama, Bank Van Courant untuk menunjang kegiatan perdagangan.”

Sambil meneguk teh buatan, Eyang kembali bercerita dulu namanya bank De Javasche Bank atau DJB sebelum menjadi Bank Tunggal Milik Negara atau BTMN. Aku langsung search DJB lewat internet melalui ponsel. “Pada Tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Bank DJB ditutup. Pasca kemerdekaan, DJB kembali didirikan untuk mencetak dan mengedarkan uang serta mendirikan bank sirkulasi Bernama Bank Negara Indonesia dengan mata uang ORI atau Oeang Republik Indonesia.” Kataku sambil seolah berpidato di depan banyak orang.

“DJP disebut uang merah. ORI disebut uang putih. Buntut perang mata uang atau disebut currency war. Sehingga pada 1965 seluruh bank bergabung menjadi Bank Tunggal Milik Negara” Lanjut Mei yang malah ikut melirik layar HP ku. Sesuai dengan apa yang dikatakan Eyang. Hasil klarifikasi.

Dari kejauhan Mbok memanggil. Memberi petunjuk bahwa Mbok membutuhkan Mei dan aku. Terpaksa kami berdua bersama Eyang pun kembali.

Eyang kemudian mengotak-atik brangkas tua itu. Eyang berkata kalau dahulu dia sering koleksi uang koin lama. “Barang kali bisa seharga emas,” katanya. Eyang mencoba untuk membuka kodenya. Akan tetapi, sayang sekali Eyang lupa password-nya.

Aku dan Mei diminta membeli buah asam. Untuk dimasak. Sesampainya di warung, Aku bertanya apakah dahulu Eyang sering membeli susu Enfagrow di sini. Disanalah kami bertemu mas Budi yang langsung mengenali wajahku. Berkata dahulu sering menggendong aku sambil tertawa keatas. Sementara, Mei, dia masih lahir di kota. Kebetulan mas Budi sudah dikaruniai anak perempuannya lebih kecil dari Mei, lahir di kampung, sepertinya. “Oh, kamu cucu nya Mbah Duri. Ya. Ya. Dulu Mbah sering beli susu Enfagrow buat anaknya yang baru lahiran.” Jelas mas Budi. Aku tahu yang dimaksud mas adalah tidak lain dan tidak bukan adalah diriku.

“Saat keadaan ekonomi membaik setelah Suku bunga naik,” Ucap mas. “Mas ngerti karena mas kuliah jurusan bisnis di kota.” Aku ingat Mbok pernah bercerita bahwa mas dapat dikatakan berhasil merantau ke kota. Namun, nas nya dia harus kembali pulang kampung karena Bapaknya yang menafkahi mas sewaktu di kota wafat karena usia tua.

Siangnya, setelah Mbok selesai masak, Mei bersamaku melahap makanan dengan tidak lupa dipenuhi syukur sambil menceritakan apa yang didengar dari mas Budi. Bahkan mas meminjamkan kami congklak yang ditinggalkan anak laki-laki satu-satunya yang sekolah bisnis di kota. Serta warga desa perintis kedua yang berhasil ke kota setelah almarhum Simbok.

Ketika itu juga Eyang menyakat permainan congklak kami. Walau malas bangkit dari lantai, akhirnya kami mengekori Eyang dari belakang. Aku akui bahwa ingatan Eyang masih betul tajam. Kotak besi tua itu pun terbuka melalui keberhasilan pemecahan kode melalui pintunya. Menunjukkan serta menepati janjinya, koleksi koin dan uang lama yang selama ini disembunyikan Eyang. Keingintahuanku pun berakhir disini. Syukurlah, besok Bapak akan menjemput kami.

Mei bertanya mengapa uang berubah tiap waktu. Eyang tidak dapat menjawab

Aku dan Mei kembali ke warung kembali untuk mengembalikan congklak. Mas menjelaskan bahwa alasan desain uang kertas berjalan maju adalah yang pertama, bentuk evaluasi terhadap bank agar tetap melangkah maju. Yang kedua, karena faktor keamanan. Bank Indonesia menerapkan sistem keamanan baru pada uang supaya tidak mudah dipalsukan. Penyebab desain mata uang berubah-ubah yang terakhir, yakni ketahanan. Malam pun tiba sehingga kami bergegeas kembali. "Jangan sampai Eyang mencari kita." Kataku kepada Mei yang masih kecil.

Hari itu datang lebih awal dari yang diharapkan. Sepertinya matahari berpacu begitu cepat, berputar lebih cepat dan menyebabkan kiamat lebih cepat untuk dihadapi.

“Petra, bangun.” Ucap Mbok.

“Kak.. Lihat apa yang baru kudapatkan. Uang Rp2000,- yang baru!” Teriak Mei dikasih Bapak.