Melawan patah arang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Syukur Bapak Temon hanya perlu istirahat saja yang cukup di rumah, dan Temon pun menggendong bapaknya pulang ke rumah dan meminumkan obat yang tadi diberikan Pak Mantri Puskesmas

Lakon[sunting]

  1. Temon
  2. Ayah Temon
  3. Ibu Temon
  4. Bu Guru Yayuk

Lokasi[sunting]

  1. Desa
  2. Kota

Cerita Pendek[sunting]

Melawan Patah Arang[sunting]

Daftar sekolah[sunting]

Diceritakan, sebuah kampung kecil jauh dari kata keramaian di salah satu desa di Boyolali Jawa Tengah hidup suami istri yang sangat sahaja, tinggal bersama dengan satu-satunya buah cinta mereka, seorang anak laki-laki yang kurus nampak kurang mendapatkan gizi yang cukup, panggil saja Temon. Namun mereka kelihatan cukup bahagia. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan tahun, tidak terasa Temon sudah masuk umur 7 tahun yang mana usia tersebut haruslah mulai masuk sekolah dasar. Kelihatan berseri-seri wajah  anak laki-laki ini mendengarkan cerita teman sebayanya kalau akan masuk sekolah. Waktu itu di bulan Juli, banyak orang tua yang menggandeng anaknya untuk mendaftarkan ke sekolah dasar negeri di ujung desa, kebanyakan dari mereka berjalan melalui pematang sawah walaupun ada juga yang melalui jalan setapak yang melingkar di sisi tebing. Namun pagi itu berbeda sekali keadaan Temon yang tinggal bersama kedua orang tuanya. Temon bertanya kepada Bapaknya,”Pak, itu teman-teman pada daftar sekolah kok aku nggak?” tanya anaknya. Bapak Temon hanya memandang anaknya dengan mata yang berkaca-kaca, Ibu anak itu pun hanya diam tidak keluar sepatah kata pun. Tiba-tiba, Bapak Temon menunjukkan kedua kakinya yang selama ini selalu ditutupi sarung, ternyata kedua kaki bapak Temon mengecil seperti kaki anak-anak umur 5 tahun, hanya saja kaki bapak Temon tidak dapat digerakkan, dan Temon baru mengetahui ternyata Bapaknya lumpuh tidak dapat berjalan. Kala itu Temon belum berpikir sakit apa yang diderita Bapaknya dan mengapa tidak berobat.

Beberapa hari kemudian, Ibu berpamitan ke bapak Temon untuk mengais rezeki di Pasar Johar Semarang yang kira-kira jauhnya 60 kilometer dari kampung dan berpesan ke Temon. “Nak, ibu titip Bapakmu ya, jangan nakal!” pesan ibu Temon. Tinggallah Temon bersama Bapaknya yang lumpuh. Kala itu masuk bulan Agustus, Temon minta ijin ke Bapaknya untuk mendaftar sekolah tetapi bapaknya tidak mengijinkan tanpa memberi alasan, mungkin belum waktunya, namun dengan kenekatannya, berangkatlah Temon ke sekolah dasar negeri berniat untuk ikut sekolah di kelas satu bersama-sama dengan teman sebayanya yang lain.

Kebetulan sekali, Temon berpapasan dengan Pak Warsito, salah satu guru di SD tersebut dan Pak Warsito bertanya,”Mau kemana Mon? Dengan takutnya Temon menjawab, mau sekolah, Pak katanya. Lho, kok nggak pake baju merah putih, dan sepatunya mana? Baru mau daftar sekolah Pak, jawab Temon. Memang, kalau sudah besar Temon mau jadi apa? Guru, Pak,” jawab Temon. Akhirnya Pak Warsito mengelus kepala Temon dan memboncengkannya di sepeda onthel Pak Warsito. Dan pada hari itu juga Temon didaftarkan dan langsung belajar di kelas satu sekolah dasar negeri yang ada di perbatasan desa. Sepulang sekolah sekitar jam sembilan pagi Temon pulang ke rumah dengan riang gembira dan menyampaikan ke bapaknya kalau Temon sudah sekolah. Bapak Temon tidak menunjukkan wajah gembira atau sedih hanya mengangguk saja. Walau temon masih kecil namun sudah biasa melakukan pekerjaan orang dewasa. Temon biasa mengisi air di genthong dan padasan untuk mandi dan berwudhu dan keperluan lainnya, padahal untuk mengambil air jaraknya cukup jauh dari rumahnya, adanya sumur hanya di dekat surau.

Bisa makan nasi[sunting]

Pagi sekali Temon bangun tidur untuk mengambil air dekat surau untuk mengisi genthong dan padasan, merebus air, merebus ubi atau singkong dan menyiapkan keperluan bapaknya. Orang tua Temon hanya memiliki ladang sempit sekitar 100 meter persegi, ditanamai Bapak Temon berbagai palawija seperti ubi, singkong, jagung dan beberapa sayuran merambat. Setiap pagi setelah subuh Bapak Temon pergi ke ladang dengan cara merangkak, berjalan menggunakan kedua lutut dan tangannya, seringkali lutut Bapak Temon berdarah-darah karena memang jalan setapaknya terjal dan berbatu. Tiga bulan berselang Ibu Temon pulang dari mengais rezeki di pasar Johar Semarang Temon dibawakan oleh-oleh berupa jajanan, senang sekali Temon pada hari itu, begitu pula Bapak Temon.

Hari ini Temon bisa makan nasi, karena ibunya juga membawa beberapa liter beras. Ibu Temon jualan di pasar Johar Semarang dengan cara berkeliling, namun tidak seperti pedagang lainnya, Ibu Temon berjualan keliling dari sayur mayur hasil sortiran dari pedagang lain yang punya lapak. Jadi Ibu Temon berjualan dari sayur mayur yang memang sudah dibuang atau kemungkinan tidak laku dijual dari pedagang lain. Tibalah waktu, Temon ulangan catur wulan satu di kelas satu, syarat dapat mengikuti ulangan adalah melunasi BP3 dan SPP, tentu  orang tua Temon tidak punya uang untuk membayarnya, dan baru sekarang mengerti mengapa Bapak Temon tidak bahagia saat Temon sekolah. Ternyata masalah ekonomi. Bapak Temon sudah berpikir, kalau anaknya sekolah, nanti bayarnya pakai apa.

Akhirnya, untuk membayar SPP tersebut, Bapak Temon dengan merangkak  membuka kurungan ayam, dan ada tiga ekor ayam dalam kurungan lalu menyuruh Temon menjualnya ke pasar di kecamatan. Pagi ini Temon tidak sekolah karena harus menjual ayam ke pasar dengan jalan kaki menyusuri jalan terjal berliku. Hasil penjualan ayam langsung dibayarkan ke sekolah dan Temon bisa mengikuti ulangan catur wulan satu. Temon bukanlah anak malas namun juga tidak bodoh, seiring perjalanan waktu tanpa terasa Temon sudah duduk di bangku kelas empat, waktu itu kelas Ibu Guru kelas empat, Ibu Yayuk mengumumkan kalau sekolah akan memilih tiga anak untuk persiapan perlombaan cerdas cermat tingkat SD sekecamatan. Pagi itu Bu Yayuk mengumumkan nama-nama anak yang akan dipersiapkan pada lomba tersebut, Galuh, Guntoro dan yang ketiga adalah Temon sendiri.

Cerdas cermat[sunting]

Bagai mimpi di siang bolong, Temon benar-benar tak menduga kalau namanya dipilih untuk dipersiapkan mengikuti lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Mulai hari itu tiga anak tersebut tidak ikut belajar di kelas bersama-sama dengan teman lainnya, namun belajar di ruang perpustakaan yang sudah disiapkan Bu Yayuk sebelumnya. Sepulang sekolah hari itu, seperti biasa Temon selalu bilang kepada bapaknya, pak, kata bu guru saya dipilih untuk ikut lomba cerdas cermat dan harus belajar lebih giat lagi. Bapak Temon berujar, ya syukur le, Bapak ikut senang.

Temon seperti biasa membantu bapaknya untuk memasak sayur, ya hanya sayur tak ada lauk, itupun sayur harus dipetik dulu di ladang, namun tetap bersyukur atas pemberian Gusti Allah. Untuk persiapan lomba cerdas cermat, setiap malam Temon datangi rumah Galuh, teman Temon untuk bersama-sama menuju rumah Guntoro yang dianggap paling pintar diantara kami bertiga dan kebetulan rumah Guntoro ada lampu petromak yang bahan bakarnya spritus. Waktu itu masih gelap belum ada listrik. Perjalanan menuju rumah Guntoro melalui jalan setapak kecil yang melewati kuburan yang terkenal angker. Kala itu kami berdua berjalan perlahan diterangi obor kecil dari bambu menyak tanah. Kami berdua saling berpegangan tangan erat untuk menuju rumah Guntoro. Oh iya, Galuh adalah gadis cantik kembang desa di kampung Temon. Berjalan perlahan menapaki jalan setapak, suara hewan malam terdengar menambah suasana mencekam. Setiap melewati kuburan pegangan Galuh semakin dieratkan karena ketakutannya. Tibalah kami di rumah yang dituju. Guntoro sudah duduk di pendopo rumahnya di bawah lampu petromak dan nampaknya Guntoro sudah persiapkan ubi rebus untuk teman belajar kami. Setiap hari sampai dua puluh malam kami selalu belajar bersama untuk persiapan lomba cerdas cermat dan berikan yang terbaik untuk sekolah. Waktu yang kami tunggu pun tiba.

Kami bertiga dengan dengan di dampingi Bu Yayuk menuju SD Negeri yang ada di kecamatan. Saya ingat waktu itu pakaian seragam merah putih  Temon baru, ya baru dibelikan Bu Yayuk karena selama ini pakaian yang biasa Temon pakai lusuh, tidak pernah disetrika dan kancing bajunya hanya tinggal beberapa. Temon kelihatan lebih ganteng dan percaya diri. Pada lomba cerdas cermat ini, kebetulan regu Temon di regu B dan di regu tersebut Temon duduk berada diantara Galuh dan Guntoro, sebagai juru bicara. Lomba pun di mulai, setiap tahap lomba kami lalui dengan baik dan pada saat penghitungan nilai akhir, ternyata regu B mendapat nilai tertinggi dan berhak mendapatkan hadiah dan tabanas dari panitia. Regu Temon sangat berbahagia atas pencapaian ini demikian pula Bu Yayuk tentunya lebih bahagia lagi. Kami akhirnya mengakhiri lomba tersebut dengan sebuah kemenangan yang tidak kami duga. Setelah lomba kami kembali ke sekolah dengan membawa tropi juara menggunakan 2 becak. Guntoro dan Temon sebecak, sedangkan Bu Yayuk dan Galuh menggunakan becak lainnya. Dalam perjalanan kembali ke sekolah Bu Yayuk mengatakan bahwa kami harus mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk mewakili kecamatan lomba cerdas cermat tingkat kabupaten Boyolali.

Selanjutnya Temon pun melakukan belajar seperti persiapan lomba cerdas cermat di kecamatan, dan sebulan berikutnya Temon, Guntoro, dan Galuh pun menuju pusat kota di kabupaten Boyolali dengan naik andong (kereta yang ditarik dua kuda) dan perlombaan pun dimulai. Temon berada di regu A, dan kali ini masih sebagai juru bicara. Lomba pun berakhir, maka dihitunglah nilai akhir dari semua tahapan lomba. Lagi-lagi regu Temon keluar sebagai pemenang pertama, tangis syukur pun tak terbendung. Dengan kemenangan ini regu Temon berhak mawakili sekolah Temon untuk lomba tingkat provinsi dan katanya akan disiarkan oleh TVRI stasiun Semarang. Regu Temon mendapat hadiah berupa uang Tabanas dan dengan uang hadiah ini Temon bisa membelikan bapaknya berupa kursi roda. Air mata bapak Temon menetes sebagai syukur, haru, dan bahagia. Temon, anaknya yang selama itu tidak terurus, kurang perhatian orang tua, bekerja keras dan tidak pernah membantah orang tua, hari itu memberikan sebuah kursi roda untuk bapaknya yang menderita lumpuh kedua kakinya, dan sebenarnya bapaknya memang sangat diinginkan oleh bapaknya untuk bisa pergi ke ladang, atau sekedar melihat-lihat keluar rumah supaya tidak lecet-lecet kedua lututnya akibat tergores batu saat berjalan merangkak. Walaupun begitu Temon masihlah selalu membantu bapaknya dengan memasak, menyiapkan air, ke ladang atau lainnya yang biasa dilakukan orang dewasa.

Bapak jatuh sakit[sunting]

Suatu hari bapak Temon jatuh sakit, beberapa hari tidak berangkat sekolah karena harus merawat bapaknya. Temon mengompres dahi bapaknya dan mencuci pakaiannya. Semakin hari tambah parah bapaknya, maka pagi itu Temon segera menggendong bapaknya menuju puskesmas, jaraknya cukup jauh dan jalannya terjal lagipula lebih cepat sampai puskesmas dengan digendong dibandingkan dengan mendorong di kursi roda, maka Temon dengan bergegas menggendong bapaknya menuju puskesmas. Temon tidak bawa uang, namun dengan kebaikan mantri kesehatan bapak temon tidak diminta bayaran lagipula Pak mantri sangat mengetahui keadaan keluarga Temon yang serba kekurangan. Syukur Bapak Temon hanya perlu istirahat saja yang cukup di rumah, dan Temon pun menggendong bapaknya pulang ke rumah dan meminumkan obat yang tadi diberikan pak mantri puskesmas. Besoknya Temon berangkat ke sekolah dan langsung ditanya oleh Bu Yayuk, mengapa kamu beberapa hari nggak masuk sekolah, Mon? Tanya Bu Yayuk. Bapak lagi sakit dan saya harus merawatnya Bu, jawab Temon. Seminggu kemudian kami pun berangkat ke Semarang megikuti lomba cerdas cermat tingkat provinsi Jawa Tengah.

Namun pada lomba cerdas cermat kali ini, regu Temon hanya sebagai juara tiga, tetapi yang membanggakan adalah Temon dan regunya dapat masuk TVRI karena saat perlombaan berlangsung dishuting oleh TVRI dan banyak penontonnya untuk memberi semangat walaupun bukan dari tempat Temon sekolah. Sepulang dari mengikuti lomba di Semarang, terkejut Temon di rumahnya terpasang tenda biru dan ada beberapa orang yang lagi sibuk, bapak Temon meninggal. Namun Temon cukup terhibur ternyata ibu Temon juga sudah pulang dari pasar walau dalam kesedihan yang mendalam atas kepergian bapak Temon untuk selamanya. Bu Yayuk dan teman Temon di sekolah pun turut hadir mengucapkan rasa bela sungkawa.

Usaha tidak mengkhianati hasil[sunting]

Selanjutnya, sekarang Temon menjadi anak yatim dan hanya tinggal bersama ibunya. Ibunya tidak lagi ke pasar berjualan keliling, namun Temon sekarang kalau pulang sekolah selalu membawa plastik besar yang isinya sampah plastik dan kertas yang setelah terkumpul dijual ke pengepul. Begitu seterusnya sampai Temon duduk di bangku SMA. Setelah lulus Temon berpamitan ke ibunya untuk mengadu nasib di Jakarta. Dengan bermodal ijazah SMA, Temon berangkat ke Jakarta menumpang truk yang membawa sapi untuk dikirim ke Cakung, Jakarta. Tidak ada sanak saudara di Jakarta, maka Temon memutuskan untuk tidur di masjid dan mencari siasat bagaimana bisa hidup di Jakarta. Temon akhirnya menjadi pemulung dan tinggal di rumah kardus Pulau Mas Jakarta Timur yang sekarang sudah berubah menjadi waduk Ria Rio. Waktu terus bergulir, Temon selalu menyisihkan uang untuk dikirim ke ibunya setiap bulannya melalui jasa wesel pos. Dalam benak Temon berkata, Aku tak akan kembali ke kampung sebelum menjadi sarjana. Maka dari hasil sebagai pemulung, selain dikirim ke ibunya, Temon juga menyisihkan uang untuk dapat kuliah. Akhirnya Temon bisa kuliah di Jakarta mengambil jurusan seperti cita-citanya dulu sewaktu kecil saat ditanya Pak Warsito, guru.

Biarpun sebagai pemulung, bersyukur dapat membiayai kuliahnya hingga selesai. Temon pun berhasil di wisuda di kampus tersebut dengan hasil yang patut disyukuri kalau tidak mau dikatakan membanggakan. Dengan berbekal ijazah sarjana pendidikan matematika, Temon pun dapat diterima mengajar di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Selama bekerja menjadi guru pun Temon selalu mengirimkan uang setiap bulannya ke ibu dan tidak lupa mendoakan kedua orang tuannya.

TAMAT