Melestarikan Tenun Endek
Kata Pengantar
[sunting]Hai! Saya Sarah Fauzia. Saya seorang lulusan Pendidikan Khusus, dan kini sedang senang menghabiskan banyak waktu untuk menulis cerita anak. Beberapa buku saya menceritakan tentang anak berkebutuhan khusus. Semoga kita bisa bertemu melalui karya-karya saya, ya!
Premis
[sunting]Vaya adalah seorang anak berusia 13 tahun yang sedang penasaran tentang cara membuat tenun endek menggunakan cagcag. Dadong bilang, sudah tidak banyak anak-anak muda yang bisa menenun menggunakan cagcag. Oleh karena itu, Vaya berusaha untuk belajar cara menenun. Apakah Vaya bisa?
Setting
[sunting]Cerita ini berlatar tempat di Denpasar, Bali. Dadong berasal dari Kabupaten Klungkung, Bali. Klungkung adalah tempat dimana banyak masyarakatnya yang memproduksi tenun endek khas Bali.
Isi Cerita
[sunting]Melestarikan Tenun Endek
[sunting]Penulis: Sarah Fauzia
Cag.. Cag!
Cag.. Cag!
Ini adalah suara yang aku dengar hampir setiap hari. Suara ini sudah melekat di telingaku sejak dadong pindah ke rumah kami bulan lalu. Perkenalkan, ini adalah suara cagcag. Cagcag adalah alat tenun tradisional. Alat ini banyak dipakai pada zaman dahulu untuk membuat tenun di berbagai daerah di pelosok Indonesia. Sebetulnya, sudah sejak lama aku penasaran bagaimana caranya menenun dengan alat ini. Kelihatannya keren sekali!
“Dong, apakah aku boleh mencoba menenun pakai cagcag ini?” tanyaku seraya duduk di dekat dadong.
“Tentu saja boleh! Dengan senang hati, dadong akan mengajarkan Vaya cara menenun.” Dadong memberiku tempat duduk di sebelahnya.
Dadong mengarahkanku untuk memasukkan benang satu persatu secara melintang. Butuh waktu lama bagiku untuk menyusun benang-benang ini. Ah, aku tidak sabar! Biasanya aku melihat dadong menenun dengan cepat, sungguh nampak mudah. Namun, mengapa rasanya sulit seperti ini?
“Dadong, sepertinya aku tidak bisa. Dadong hebat sekali, bisa menenun dengan cepat! Sejak kapan dadong menenun seperti ini?” tanyaku penasaran akan kisah dadong.
“Waktu dadong seusia Vaya, dadong juga kesulitan untuk menenun. Apalagi cagcag ini berukuran jauh lebih besar dari tubuh dadong waktu kecil. Tetapi, dadong melihat ibu dan teman-teman perempuan dadong juga suka menenun. Dadong ingin juga seperti mereka. Jadi, Dadong mulai dari hal-hal yang bisa dadong lakukan terlebih dahulu, seperti memberi warna pada benang-benang ini. Kita bisa pakai tumbuh-tumbuhan untuk memberi pewarna alami. Contohnya, untuk membuat warna cokelat pastel, bahan yang digunakan adalah ekstrak kulit akar mengkudu dan kraras atau daun pisang kering. Celup, jemur, celup lagi, jemur lagi, terus seperti itu sampai warnanya terlihat bagus.” Jelas dadong panjang.
Aha! Aku juga mau mulai dari yang paling mudah terlebih dahulu. “Dong, Vaya izin memilih benang-benang yang mau Vaya tenun, ya?” aku meminta izin dengan penuh harap. Dadong mengizinkan seraya tersenyum hangat. Asik!
Aku mengambil beberapa gulung benang yang akan aku tenun. Dadong menjelaskan bahwa sebelum menenun, kita harus melakukan penghanian, yaitu pemasangan benang-benang lungsin secara sejajar satu sama lainnya di alat tenun sesuai lebar kain yang diinginkan. Cagcag ini dipakai untuk memegang helai-helai benang lungsin, sementara benang pakan dimasukkan secara melintang di antara helai-helai benang lungsin. Pola silang-menyilang antara benang lungsin dan benang pakan disebut anyaman. Aduh.. mendengarnya saja sudah membuatku tidak percaya diri!
“Vaya, apakah kamu tahu? Dadong sangat senang jika anak-anak muda seperti Vaya bisa menenun. Kita harus melestarikan budaya kita, yaitu tenun Endek dari Bali. Dulu waktu dadong masih di Kabupaten Klungkung, dadong suka menenun bersama teman-teman dadong. Oleh karena itu, dadong sangat suka mendengar suara cagcag ini. Rasanya dadong seperti kembali ke masa lalu. Saat ini, kebanyakan orang yang menenun itu sudah tua seperti dadong. Kalau nanti kami sudah tidak ada, siapa lagi yang akan menenun menggunakan cagcag? Apakah nantinya semua akan dikerjakan oleh mesin?” sorot mata dadong menampakkan kesedihan.
Ini tidak bisa aku biarkan! Aku akan belajar menenun sebisa mungkin agar budaya kami terus terjaga. Aku pun mulai memasukkan benang-benang ke alat cagcag dengan bantuan dadong. Aku terus memasukkan satu persatu dan mulai menenunnya.
Cag.. Cag!
Cag.. Cag!
Meskipun belum terlalu rapi, namun aku merasa bahwa aku bisa menyelesaikan tenun yang sudah mulai aku kerjakan ini. Ah, ternyata menenun memang seru sekali! Butuh waktu 14 hari untukku menyelesaikan tenun pertamaku. Lama juga, ya? Biasanya dadong bisa menyelesaikan dalam waktu 4 sampai 6 hari saja. Namun, tidak apa-apa. Aku sangat bangga dengan hasil karyaku. Tenun ini akan aku pakai hari jumat nanti, ketika kami wajib memakai pakaian adat ke sekolah.
Hari jumat pun tiba. Aku menggunakan tenun ini sebagai kain bawahan dari kebayaku. Ketika aku memasuki kelas, sahabatku langsung menyerbuku, “Vaya, kamu memakai kain baru ya? Bagus sekali!” pujian dari Sita membuatku tersipu malu.
“Aku membuatnya sendiri. Dadong mengajarkanku untuk menenun memakai alat cagcag.” jelasku.
“Kamu membuatnya sendiri? Bagaimana caranya? Aku mau ikut coba juga! Boleh, ‘kan?” seru Sita dengan semangat. Aku tersenyum bangga, aku mengatakan bahwa aku akan meminta izin kepada dadong terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah, aku menyampaikan kepada dadong bahwa Sita ingin ikut belajar menenun memakai cagcag. Tentu saja dadong senang bukan main! Dadong menyiapkan aneka benang yang sudah berwarna. Dadong suka bereksperimen dengan warna, baik warna yang terang, maupun warna pastel. Ah, warna-warna ini sangat cantik. Rasanya sayang sekali kalau hasil tenun nanti hanya kami pakai sebagai kain lilit untuk bawahan kebaya.
Hmm.. akhir semester nanti akan ada pameran karya seni di SMP kami. Bagaimana kalau kami menenun lalu hasilnya dijadikan tas, bando, dan aksesoris lainnya? Waaah.. Pasti hasilnya sangat bagus!
Keesokannya, Sita datang ke rumahku. Rumah kami berdekatan di Denpasar, Bali. Jadi orangtua Sita tidak keberatan jika Sita datang setiap hari untuk belajar menenun. Aku dan Sita memilih beberapa benang yang disediakan dadong. Apa bedanya benang-benang ini, ya?
“Dadong, apa yang membuat benang ini berbeda? Bahannya, ya?” tanyaku pada dadong.
“Vaya cermat sekali. Betul, ada tiga macam benang yang bisa kita gunakan. Waktu itu Vaya membuat tenun dari katun. Kain endek katun sangat nyaman digunakan. Tenunnya memiliki daya serap keringat yang tinggi dan permukaan kain endek yang halus. Jadi cocok Vaya gunakan sebagai kamen/kain lilit untuk seragam sekolah. Bahan kedua merupakan benang rayon. Bahan kain endek dari rayon sangat elastis dan tidak mudah kusut. Selain itu, kain endek dari bahan rayon lebih mudah diwarnai dan kelihatan cerah. Ada satu bahan lagi, yaitu tenun endek dari sutra. Jenis kain endek dari benang sutra akan lebih lembut, lentur, licin dan kuat. Kain endek menggunakan bahan sutra tidak boleh dicuci. Sehingga warnanya tidak mudah pudar dan tetap kelihatan cerah walaupun sudah dipakai berulang-ulang. Akan Tetapi, kain endek dari benang sutra memerlukan perawatan lebih dibandingkan kain endek dari benang rayon. Menurut Vaya, bahan mana yang cocok untuk dijadikan tenun oleh Vaya dan Sita?” Dadong memberikan tiga pilihan padaku.
Hmmm.. Rasanya sulit untuk memutuskan. Kalau pakai benang sutra, kita akan kesulitan karena kainnya tidak boleh dicuci. Sedangkan kain ini akan sering kami pakai sebagai aksesoris kembaran. Bahan ini juga katanya akan sangat cantik dan harganya mahal. Sepertinya lebih cocok dijadikan kain untuk upacara adat. Kalau pakai benang katun, sepertinya lebih cocok untuk dijadikan baju? Lagipula, aku sudah pernah mencoba memakainya. Aku ingin mencoba bahan yang lainnya. Bagaimana kalau aku dan Sita membuat tenun dari benang rayon saja? Selain tidak mudah kusut, warna-warnanya juga terang. Sangat cocok untuk dijadikan aksesoris! Sita pun setuju dengan pilihan ini.
“Dadong, kami akan memakai benang rayon, ya!” seruku sembari mempersilakan Sita duduk di hadapan alat cagcag.
Sita mengikuti cara dadong ketika memasukkan benang ke alat cagcag. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Kata dadong, tidak apa-apa mengerjakannya lama, yang penting kita bisa memasukkan benangnya dengan rapi.
Setiap hari sepulang sekolah, kami melanjutkan menenun di rumahku. Tidak sampai 10 hari, tenunku sudah selesai! Kini, saatnya membuat pola, memotong, dan menjahit tenun ini untuk dijadikan aksesoris. Aku dan Sita memutuskan untuk membuat ikat rambut, bando, tempat pensil, dan tas slempang. Kami dibantu dadong untuk menjahit sampai aksesoris jadi.
“Dadong senang sekali melihat Vaya dan Sita bisa menenun sampai selesai. Kalian hebat!” Seru dadong seraya mengelus kepala kami.
“Aku suka sekali hasil tenunnya.. Matur suksma, Dadong.” kata Sita berterimakasih.
“Semoga kami bisa menjadi penerus dadong untuk melestarikan tenun endek yang dibuat dengan alat cagcag. Matur suksma, Dadong." aku berterimakasih seraya memeluk dadong.
Acara pameran pun tiba. Kami memajang hasil karya kami yang dibuat dari tenun endek. Banyak siswa, guru, dan orangtua yang mendatangi meja kami.
“Bagus sekali, Apa kalian membuatnya sendiri?”
“Warnanya cantik, Aku bisa beli tas ini?”
“Kalian yang membuat tenun ini? Wah, ajarkan aku juga!”
Kami senang bukan kepalang. Awalnya, kami hanya mau membuat aksesoris kembaran yang terbuat dari tenun endek. Aku tidak menyangka bahwa banyak yang menyukai karya kami. Semoga semakin banyak penerus bangsa yang mau melestarikan tenun endek!
Keterangan
[sunting]Dadong : Nenek
Matur Suksma : Terima kasih
Lungsin atau lusi : Benang yang dipasang vertikal dan umumnya berwarna polos alias tanpa motif.
Benang pakan : Sebutan untuk benang yang dimasukkan secara mendatar dan dipola untuk membentuk motif.