Memanjat Pohon Tekad

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Pohon Kelapa di Tepi Danau Singkarak

Bruk. Seorang anak laki-laki jatuh dari pohon kelapa. Dia mengerang kesakitan. Jatuhnya ditempatkan pada punggung, lengan, dan pantat secara bersamaan, nyerinya tidak terlalu serius gara-gara itu.

“Hahaha.” Seorang anak perempuan menertawakannya.

“Kalau dibilangin ngeyel sih kamu, Ray.”

“Diam, Zara,” kata Ray dengan alis berkait.

“Kamu tidak punya bakat memanjat. Jangan sok-sok-an. Sudahlah, kamu tidak akan bisa mengalahkanku,” kata Zara.

Ray tidak menerima kesombongan Zara. Dia berdiri dan menunjuk-nunjuk hidung Zara yang tidak pesek dan tidak mancung.

“Hei, kecerdasan adalah paling hebat, ingat itu!”

“Ingat apa? Buktinya kamu jatuh. Hahaha. Dasar anak monyet.” Zara kembali menertawakan Ray.

“Apa kamu bilang!” Ray berang dan menarik rambut panjang Zara. Zara pun tidak mau mengalah. Dia menarik baju Ray.

“Sudah jangan bertengkar. Berantem tidak akan menghasilkan apa-apa, Ray,” kata anak perempuan lainnya berlesung pipi.

“Benar yang dikatakan Kaisah, Ray. Jangan diperbesar masalahnya. Lepaskan tanganmu dari rambut Zara, Ray. Kamu juga tahu bahwa Zara memang berbakat memanjat,” kata anak perempuan satunya lagi dengan rambut ikal diikat seperti ekor kuda, panjang rambutnya sampai punggung.

“Tuh dengerin Liya, Ray. Kamu tuh tidak berbakat memanjat. Sudah, mengaku kalah saja,” kata Zara memperburuk keadaan.

Kaisah dan Liya masih berusaha membujuk Ray dan Zara saling melepaskan cengkramannya. Akhirnya, Ray melepaskan, begitupun Zara.

“Oke! Mari kita buktikan. Bertanding mendapatkan buah jambu biji terbaik. Berani?” Ray menantang sambil merapikan baju yang kusut akibat cengkraman Zara.

“Siapa takut!” seru Zara sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena jambakan Ray.

Zara dan Ray menginjak bangku SMA. Zara lebih tua beberapa bulan dari Ray. Liya dan Kaisah menginjak bangku SMP. Mereka telah berada di pohon jambu dengan batangnya berkelok-kelok dan ranting yang banyak. Berbeda dengan pohon kelapa batangnya menjulang ke atas dan rantingnya tidak sebanyak pohon jambu.

Sebelum mereka datang, ada seorang anak laki-laki mengenyam pendidikan bangku TK. Dia sedang asyik menggali tanah. Kemudian berdiri dan mendekati Ray.

“Ini Kak Ray.” Anak kecil itu memberikan akar dari hasil galiannya.

“Untuk apa ini, Bizam?” tanya Ray.

Bizam tidak sempat menjawab karena Zara kembali memprovokasi Ray untuk mundur dalam pertaruhan.

“Sudahlah kamu tidak akan menang,” kata Zara sambil memegang kedua sisi pinggangnya.

“Kamu yang akan kalah merengek tangis,” kata Ray. Kemudian mengembalikan akar tersebut ke Bizam.

“Kalian tidak boleh memanjat. Uncu melarang,” kata Bizam dengan nada suara cempreng.

“Anak kecil jangan ikut-ikutan,” kata Zara.

Bizam melipat bibirnya. Tatapannya tajam. Kaisah dan Liya berusaha  menenangkannya. Tapi, bukannya tenang malah makin kesal Bizam. Hingga akhirnya dia lari meninggalkan mereka.

“Bizam!” Kaisah berteriak dan hendak mengejarnya.

“Sudah lupakan,” kata Ray melarang.

“Liya, beri aba-aba,” kata Zara.

Awalnya Liya enggan menuruti perintahnya tapi tatapan Zara yang tajam mempengaruhinya untuk mengabulkan permintaan Zara.

“Satu. Dua…” Zara dan Ray pada posisi siap untuk memanjat dari sisi saling bersebrangan.

“Tiga!” Mereka bergerak cepat memanjat. Tangan Zara sangat lincah mengambil pegangan pada batang pohon jambu. Kakinya juga gesit melompat kesana kemari. Sedangkan Ray, setelah melompat ke batang pohon jambu, kakinya kembali menginjak tanah.

“Ray kamu harus meraih bekas ranting yang patah sebagian,” kata Kaisah.

Ray kemudian melihat bekas ranting sebagai pegangan. Dia berhasil memanjat dan terus memanjat dari petunjuk Kaisah berikan—tumpuan kaki apa yang tepat pada bekas lubang ranting yang patah.

“Lambat banget anak monyet. Aku duluan,” kata Zara sudah setengah perjalanan.

Ray menajam pandangan dan kedua tangannya menggeram. Kemudian dia mempercepat gerak langkah dan berhasil menyamai posisi dengan Zara.

Zara tampak bingung memilih buah yang mana terbaik? Sedangkan Ray sudah tahu buah terbaik mana harus dipetik. Dia memiliki pengetahuan tentang aneka buah jambu biji dan ciri-ciri paling enak untuk dimakan.

Zara tidak berpikir lama, langsung berjalan sesuai firasat. Menelusuri cabang batang dengan mudah. Sedangkan Ray sedikit ragu melangkah. Dia berjalan pada cabang batang lainnya. Tapi, kakinya gemetar. Keringat di kepalanya mengalir ke kening setelah melihat tanah. Pandangannya pusing, jantung berdenyut, kemudian kembali fokus pada tujuan. Dia berada di ketinggian tujuh meter. Kaisah memperingati hati-hati melangkah pada Ray.

Zara berada di ujung cabang dan siap meraih jambu warna kuning dengan tangan kanannya. Tangan kiri berpegangan pada ranting supaya menjaga kesimbangan. Kakinya berjinjit dan tangan kanan sedikit lagi menyentuh buah jambu. Dia seperti sedang menari balet di atas dahan pohon.

“Dapat!” Zara memetik buah jambu. Setelah itu, banyak semut keluar, bersembunyi di kepala jambu. Zara melempar jambunya karena semut-semut itu memanjat ke tubuhnya. Rasa geli-geli hingga akhirnya kesakitan akibat digigit semut.

Kaisah dan Liya panik melihat Zara tidak beraturan jalannya. Zara berusaha mengusir semut dari tubuhnya. Menggaruk-garuk tangannya, kakinya, dan bajunya supaya semut-semut mau melompat dari badannya. Suara gemericik daun terdengar akibat guncangan-guncangan Zara lakukan.

Krek. Suara patahan dahan pohon. Kaisah panik. Dia mengetahui bahwa Zara berada pada dahan yang lemah. Krek-krek. Suara itu semakin banyak. Hingga Zara melompat-lompat supaya semut-semut keluar dari celananya. Retakannya semakin besar. Krekkk. Cabang batang pohon putus. Zara terjatuh melayang.

Kaisah dan Liya panik. Mereka menutup mata. Tidak berani melihat hal yang tidak diinginkan terjadi.

Terdengar suara cabang dan ranting yang jatuh di atas tanah. Serta dedaunan yang bertebangan di atas kepala Kaisah dan Liya. Zara berhasil menggantung dirinya dengan kedua tangan ke dahan pohon lebih kuat. Zara kembali memanjat dan kembali berdiri pada posisi kesimbangan sempurna. Semut-semut telah hilang dari tubuhnya.

“Seharusnya orang sombong. Jatuh saja,” kata Ray berharap Zara jatuh ke tanah dan tertimpa dahan pohon.

Zara memetik buah kecil dan melempar ke Ray, tapi Ray berhasil menghindar.

“Gak kena. Gak kena.” Ray menjulurkan lidah.

Ray kembali berjalan dengan hati-hati menuju jambu terbaiknya. Dia meregangkan kedua tangan supaya seimbang. Kedua kaki melangkah lurus ke depan supaya tidak menggetarkan tubuhnya.

Zara bingung. Tidak mau lagi mendapatkan buah jambu penuh semut. Beberapa bagian tubuhnya ada sedikit bentol merah-merah akibat gigitan semut. Semut di dalam kepala jambu, tandanya buah terlalu matang. Semut sangat senang pada jenis jambu tersebut.

“Zara. Kamu harus melihat daun-daun yang segar dan banyak. Di sanalah biasa buah terbaik berada,” kata Liya membantu Zara yang masih bingung mencari.

Liya memiliki pengetahuan tentang daun-daun. Dari daun dia mengetahui batang yang kuat dan buah yang enak. Dengan begitu juga dia membantu Zara untuk memilih batang yang tepat berdasarkan jumlah daun dan warnanya. Daun tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua yang dicari. Jika yang muda, berarti batangnya masih belum cukup kuat menahan tubuh Zara dan jika yang tua batang itu cukup rapuh untuk diinjak.

Liya menyuruh Zara berjalan melalui batang yang dilalui Ray. Zara melihat Ray menemukan buah yang terbaik.

Ray meraba-raba jambu yang ditemukannya. Menekan-nekan badan buah itu, memastikan apakah keras atau lunak. Dia mencari kelunakkan yang tepat dan tekstur yang pas dengan mengukur pakai jemari tangan. Ray yakin buah yang ia temukan adalah yang terbaik.

Zara melangkah dengan mudah menuju batang yang dilalui Ray. Kakinya begitu lincah tanpa beban dan takut akan jatuh.

Ray akan memegang buah jambu keseluruhan. Tiba-tiba Ray hanya dapat memegang setengahnya karena setengah lagi dipegang oleh Zara. Mereka saling berebut memetik buah jambu yang sama.

“Zara. Aku pertama kali yang menemukan,” kata Ray.

“Kamu belum memetiknya. Berarti belum milik siapa-siapa,” kata Zara.

Mereka saling memegang kuat jambu itu bersama-sama. Bertaruh siapa yang berhasil mendapatkannya.

Krek. Suara retakan batang terdengar. Batang itu tidak kuat untuk diinjak oleh dua orang. Krek-krek-krek.

“Lepaskan Zara!” kata Ray yang sekarang menggunakan kedua tangannya untuk mencabut buah jambu dari tangkainya.

“Tidak mau. Aku yang harus mendapatkannya,” kata Zara.

Kaisah dan Liya panik dan memperingati menghentikan pertaruhan mereka. Namun, Zara dan Ray tidak mendengar mereka. Krek. Bunyi retakan terakhir mengakibatkan dahan itu putus dan mereka jatuh bersama-sama.

Kaisah dan Liya berteriak ketakutan sambil memejamkan mata dan menutup kedua telinganya dengan tangan.

Zara dan Ray melayang dan jambu terbang diantara mereka. Mereka melupakan jambu yang ditaruhkannya dan sama-sama berteriak ketakutan jatuh ke tanah.

Buk. Dua manusia jatuh di atas kasur. Iya ada sebuah kasur di atas tanah.

Seorang pria mengenyam pendidikan perguruan tinggi berhasil menyelamatkan mereka tepat waktu.

“Huft… Hampir saja.” Kaisah mengeluarkan nafas legas. “Untung ada Uncu tepat waktu menyelamatkan,” kata Kaisah.

“Bersyukur.” Liya menghela nafas.

Uncu menarik telinga Zara dan Ray karena tidak mau menurut. Telinga Zara dan Ray memerah akibat jeweran Uncu yang benar-benar kesal pada mereka.

“Jika saja Bizam tidak melapor padaku. Tubuh-tubuh kalian pasti sudah bertukar posisi. Entah kepala jadi kaki, kaki jadi kepala,” kata Uncu.

Zara dan Ray melihat Bizam berdiri di samping Uncu sambil memegang akar yang tadi hendak diberikan kepada Ray.

“Maafkan aku, Bizam,” kata Zara.

Bizam memalingkan wajahnya. Zara sedih karena permintaan maafnya tidak diterima. Tapi, itu tidak bertahan lama. Bizam lambat laun melupakan kemudian memberikan akar miliknya kepada Zara.

“Kamu selalu lupa tentang pelajaran akar, Zara.” Uncu mengomel sambil menunjuk-nunjuk wajah Zara.

“Walaupun kamu pandai memanjat tapi melanggar komitmen. Itu tetap saja tidak keren. Jika kamu terus aja begitu. Kamu akan sulit beradaptasi di negeri orang,” kata Uncu.

“Maafkan aku Uncu,” kata Zara sambil menunduk dengan beberapa helai daun di pundaknya.

“Kamu juga Ray. Sudah tahu tidak bisa manjat masih maksain melakukannya. Kenali dirimu sendiri sebelum tahu apakah kamu mampu atau tidak?”

“Iya Uncu, maafkan aku,” kata Ray sambil menunduk dengan beberapa helai daun di kepalanya.

Bizam membersihkan sampah daun di kepala Ray dan di pundak Zara. Buah jambu yang jatuh berada diantara mereka di atas kasur. Zara dan Ray bersama memegang kedua sisi jambu dan memberikan kepada Bizam.

Bizam tersenyum.

“Uncu, aku ingin minum kelapa,” pinta Bizam.

“Oh iya lupa. Kalian disuruh tunggu dekat pohon kelapa malah ke sini,” kata Uncu.

Zara berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Ray supaya menjadi menjadi penyokong dalam berdiri.

Zara, Ray, Uncu, Bizam, Kaisah, dan Liya berjalan ke pohon kelapa.

“Pohonnya tinggi Uncu,” kata Bizam mendongak ke langit, melihat puncak pohon kelapa.

“Benar Bizam. Belajarlah dari pohon kelapa. Dari akar sampai buahnya bermanfaat. Mereka juga dapat beradaptasi dimanapun,” kata Uncu.

“Kita harus memanjat dan mengambil buah kelapa terbaik,” tambah Uncu.

“Aku tahu buah kelapa yang terbaik, Uncu,” kata Ray.

“Kamu tidak akan bisa mengambilnya Ray. Karena aku yang pandai memanjat. Ingat itu!” seru Zara.

“Sudah-sudah. Kalian masih jauh dari teman kita. Dia lebih lincah memanjat daripada Zara. Juga dia lebih paham daripada Ray dalam memilih buah kelapa terbaik,” kata Uncu.

“Siapa?” Sontak Zara dan Ray kompak bertanya.

“Baruak,” jawab Bizam.

“Tepat sekali. Dia teman kita dari Pariaman,” kata Uncu.

“Baruak?” tanya kompak Zara dan Ray.

“Baruak! Kamari!” Uncu berteriak memanggil. Muncul seekor monyet dengan warna kekuning-kuningan sampai cokelat dan punggungnya berwarna lebih bergelombang dan lebih terang daripada badan bagian bawahnya. Disebut baruak karena mengacu kepada ekornya yang pendek yang dia punya serta mengingatkan kepada bentuk ekor babi.

“Pilih yang rancak yah,” kata Bizam.

Baruak langsung memanjat batang pohon kelapa dengan lincah. Benar yang dikatakan Uncu. Dia lebih cepat daripada Zara. Tidak sampai satu menit telah sampai di puncak pohon setinggi 30 meter.

Baruak merenung memilih buah kelapa mana yang tepat warna hijaunya. Meraba-raba apakah ada serat coklat di antara kulit hijau buah kelapa. Mendekati hidungnya pada kepala buah kelapa, mengendus tingkat kelembaban. Menepuk-nepuk badan buah kelapa, mendengar bunyi nyaring yang dihasilkan. Terakhir menggoyang-goyangkan buah kelapa, mendengar ombak isi air kelapa terisi penuh atau tidak. Setelah dirasa selesai analisanya, dia akan memutar-mutar badan buah kelapa dengan kedua tangan dan kakinya, hingga tangkai kepala batok kelapa terputus dan dilemparkan ke bawah.

Satu buah kelapa jatuh dan bergelinding ke arah Bizam. Jatuh buah kelapa kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Kemudian, Uncu berteriak.

Cukuik Baruak!” Baruak turun dari pohon kelapa dengan mudah dan lebih cepat daripada memanjat.

Uncu mengeluarkan golok dan memotong kepala buah kelapa hingga berlubang kecil supaya dapat diminum.

Semua memegang buah kelapa di atas alas tumpukkan daun dan ranting pohon kelapa. Bersama-sama menempelkan mulutnya pada lubang kepala buah kelapa. Tenggorokkan mereka kompak naik turun hingga air kelapa telah masuk ke dalam lambung dan menjadi energi akan kaya nutrisi tubuh.

“Enak.” Zara dan Ray kompak minum. Kembali bersemangat.

“Ahh...” Nafas Bizam terdengar segar. Senyumnya lebar dan menyipitkan mata. Uncu, Kaisah dan Liya tertawa atas tingkah gemas Bizam.

Sedangkan Baruak sibuk menggaruk punggungnya sendiri, mengusir rasa gatal, duduk di atas batu karang yang besar sambil memandang ombak danau Singkarak yang berdesis.