Memetik Laut
PREMIS
[sunting]Seorang gadis bernama Aya gagal menghabiskan masa liburan semester bersama teman-temannya. Karena, orang tuanya mengajak pulang ke kampung halaman untuk mengikuti sebuah upacara tradisional dan membuatnya menemukan berbagai hal baru di sana.
TOKOH
[sunting]- Aya
- Tara, adik Aya
- Ibu
- Ayah
- Kakek
- Warga desa
CERITA PENDEK ANAK
[sunting]PERJALANAN
[sunting]Bibir Aya mengerucut sejak setengah jam yang lalu. Raut mukanya bahkan lebih manis dari permen asam yang dimakan oleh adiknya, Tara. Adik Aya menjulurkan cup kecil yang berisi bola-bola coklat dibalut gula pasir. Aya menggeleng, perutnya tak dapat menerima makanan apa pun hari ini. Ayah Aya hanya tersenyum kecil melihat putri sulungnya kesal melalui kaca mobil di bagian atas.
“Kakak pasti senang saat sampai di sana nanti,” celetuk ibu Aya mencoba mencairkan suasana. Aya tak memberikan respons apa pun, dia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya merogoh ponsel pintarnya dari balik saku. Banyak pesan yang terkirim di ponselnya, menunjukkan teman-temannya sedang asyik bermain di pusat perbelanjaan favorit mereka. Seharusnya Aya berada di sana sekarang, makan es krim dan waffle coklat. Tetapi kenyataannya, dia harus duduk di mobil dan bergabung dalam perjalanan panjang keluarganya.
Sehari sebelum UAS, Aya sudah izin pada ibunya agar diperbolehkan untuk bermain di timezone setelah ujian semesternya berakhir. Dia ingin bermain seharian di sana bersama teman-temannya untuk menyambut liburan yang panjang. Namun, saldo kartu timezone-nya kini terbengkalai karena semalam ibunya mengajak Aya dan keluarga untuk mudik dadakan. Benar-benar mendadak bahkan Aya membawa baju seadanya.
Ibu Aya mendapat telepon bahwa upacara tradisional akan segera dilangsungkan di kampung halamannya. Kakek Aya ingin kedua cucunya mengetahui adat istiadat dari keluarga mereka. Lagi pula liburan sudah tiba, tidak ada alasan untuk menolak ajakan dari sang kakek.
“Apakah di sana akan semenyenangkan itu?” bisik Aya pada adiknya yang hanya berjarak 2 tahun.
“Tidak tahu. Asalkan ada makanan, pasti menyenangkan,” jawab Tara setelah mengangkat bahunya. Membuat Aya menggelengkan kepalanya.
Setelah perjalanan panjang yang dihabiskan dengan tidur, makan, dan bermain ponsel, akhirnya mobil Aya sampai di tempat tujuan. Sebuah daerah yang padat penduduk dan banyak masyarakat menjajakan ikan. Ini bukan pertama kalinya Aya mengunjungi sang kakek. Setiap hari raya, mereka selalu menyempatkan diri untuk menginap di sana. Tetapi sayangnya, Aya tidak berminat untuk keluar rumah karena lebih asyik mengobrol dengan sepupu-sepupunya yang paham dengan arah perbincangan Aya.
Namun, ini pertama kalinya Aya mengunjungi rumah kakek pada liburan semester. Merelakan masa bermainnya demi melihat upacara tradisional daerah ini. Pasti sangat membosankan, mendengar ceramah dari sesepuh desa, dan kulitnya akan terbakar karena upacara ini dilakukan di pesisir pantai yang tidak jauh dari kediaman kakeknya. Semoga ada pohon terdekat yang bisa digunakan untuk berteduh, batin Aya.
“Ibu selalu menantikan upacara ini setiap tahunnya saat kecil. Melihat banyak perahu-perahu yang berlayar di laut dan banyak sekali jajanan. Ibu pernah sekali ikut ke semenanjung terdejat. Kakak mau ikut ke sana?” cerita ibu yang diakhiri dengan tawaran agar ikut berlayar ke tengah lautan.
Aya menerima baju yang dilipat untuk dimasukkan ke dalam lemari. Setelah mendengarkan ibunya bercerita, Aya menimpali, “Kita lihat besok saja ya, Bu.”
“Banyak hal yang harus kita lihat, Kak. Bukan hanya bermain di pusat perbelanjaan. Besok kita akan melihat banyak hal.” Ibu mengusap puncak kepala Aya dengan terkekeh. Aya semakin kesal karena dipaksa bergabung dengan acara ini.
PROSESI UPACARA
[sunting]
Aya sering mendengar tentang upacara ini dari ibunya. Upacara ini diadakan sekali dalam setahun pada bulan Muharam atau bulan Sura (dalam kalender Jawa). Bulan-bulan tersebut tercetak kecil dalam kalender rumah yang sering luput dari perhatian. Meski begitu, nama bulan-bulan tersebut tidak asing di telinga Aya. Karena, bulan tersebut berkaitan dengan upacara “Petik Laut”. Aya tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dalam upacara ini sebelumnya.
Karena rumah kakek Aya searah dengan pesisir pantai, pagi ini dia bisa melihat rombongan orang-orang keliling kampung dengan memakai pakaian khas menuju ke arah timur. Aya sedikit berlari dari depan pintu rumah ke pelataran untuk mendekati sumber musik yang meriah di pagi hari. Dia tidak bisa mengenali musik tersebut, tetapi dia dapat menebak bahwa musik yang mengiringi adalah musik tradisional. Kadang juga, diselingi dengan musik modern. Beberapa kelompok musik dapat Aya kenali karena teman-temannya ada yang mengikuti marching band. Ada juga yang membawa rebana untuk mengiringi penari dengan pakaian mencolok yaitu kuning dan hijau. Dalam barisan itu, Aya bisa melihat penari dengan pakaian lain mengenakan selendang merah. Aya tahu yang satu ini, dia kadang melihat di beranda media sosialnya. Mereka adalah penari Gandrung.
“Kakak mau bergabung?” tanya Ibu yang ternyata sudah siap sedari tadi. Tara digandeng oleh ayah yang sedang menutup pintu rumah.
“Kakek mana?” tanya Aya.
Ibu menunjuk kakek yang sudah berbaris di rombongan. Kakek terlihat gagah dengan kaus loreng merah putih dan kain batik merah tua yang diikat di kepala. Celurit yang berada di tangan kanan dan gelang besar di tangan kiri mencuri perhatian Aya. Ditambah kumis tebal yang dimiliki kakek menambah kesan garang. Beberapa orang mengenakan pakaian yang sama. Mereka dikomando oleh seorang lelaki dengan seragam serba hitam.
“Apa nama kain yang diikat di kepala itu, Bu?” tanya Aya sembari mengiringi rombongan menuju pesisir pantai bersama keluarganya.
“Udeng,” jawab ayah. “Ayah punya di rumah, pemberian kakekmu,” sambungnya.
“Kain itu adalah salah satu kain khas daerah ini. Kakak tahu? Pakaian yang dipakai oleh para nelayan ini adalah baju baru dan hanya sekali dipakai untuk menjaga kesakralan upacara ini. Pakaian itu namanya seragam Sakera. Sakera adalah satu pejuang Madura yang akhirnya menjadi ciri khas suku ini. Mereka membawa celurit untuk menunjukkan bahwa warga Madura adalah warga yang pemberani,” cerita ibu.
Terlalu hanyut dalam cerita ibu, Aya baru menyadari jumlah rombongan ini semakin banyak. Hampir semua warga ikut mengiringi upacara ini, tepatnya mengiringi sebuah perahu kecil dengan panjang 5 meter yang berisi berbagai macam benda.
Dari jarak yang tidak dekat, Aya hanya bisa melihat kepala kambing berwarna hitam sebagai sesaji utama. Lalu terdapat juga ayam jantan hidup, kemenyan berisi kapur, sirih, tembakau, serta jajanan pasar. Tidak lupa sayur mayur, buah-buahan, umbi-umbian, kembang setaman, kembang telon, tebu hitam, pohon pisang, dan kembang beberapa rupa.
Ketika sampai di pesisir pantai, Aya baru tahu bahwa perahu kecil tersebut dihias semirip mungkin dengan perahu-perahu yang asli. Rombongan tersebut juga telah disambut dengan enam penari gandrung dan tokoh agama. Setelah doa dilantunkan, perahu kecil tersebut diangkut ke perahu yang lebih besar. Mendengar dari sedikit pengantar tokoh agama, upacara Petik Laut dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang diberikan kepada para nelayan. Aya sangat mengagumi masyarakat di desa ini yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya hingga Aya ikut dalam suasana khidmat. tiba-tiba ayah menarik tangannya.
“Ayo kita naik perahu,” sedetik setelah ayah mengajaknya, mendadak warga berebut untuk naik ke perahu utama, yaitu tempat perahu kecil tadi dibawa.
“Perahu utama dibatasi. Kita bisa lihat upacaranya dari perahu lain,” ujar ayah sembari membantu Aya dan Tara untuk naik ke perahu.
Perahu utama mulai berlayar, disusul dengan perahu-perahu di belakangnya. Aya tidak pernah seantusias ini sebelumnya. Naik perahu menuju laut lepas bersama dengan banyak orang. Angin laut dan aroma yang khas menambah rasa semangatnya untuk melihat upacara ini. Perahu-perahu ini juga dihias seindah mungkin, umbul-umbul yang berkibar membuat acara semakin meraih. Beberapa kali perahu terasa terguncang karena bertabrakan dengan perahu-perahu lain. Namun, hal tersebut menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat di sana.
Beberapa saat kemudian, perahu-perahu tersebut berhenti di perairan tenang dekat dengan sebuah semenanjung. Aya melongok ke depan, menunggu prosesi selanjutnya.
“Nah, tempat ini bernama Plawangan. Begitu kata kakekmu,” jelas ibu sebelum Aya melontarkan pertanyaan. Sepertinya ibu memahami Aya yang penuh dengan rasa penasaran.
Perahu kecil yang berisi sesaji dilarungkan ke laut. Warga berteriak penuh syukur saat sesaji mulai tenggelam. Suasana haru tersebut disusul dengan para nelayan yang ikut terjun dan berbondong-bondong berebut sesaji. Aya cukup terkejut dengan tindakan para nelayan yang mendadak, hampir saja dia ikut tercebur karena tersenggol beberapa orang terjun ke laut.
“Kenapa mereka terjun, Bu?” tanya Aya setelah menyeimbangkan tubuhnya kembali.
“Mereka percaya, dengan cara ini dapat membersihkan malapetaka dan diberkati saat melaut nanti,” ganti ayah yang menjawab.
Selepas berebut hasil bumi dari sesaji, para nelayan kembali ke perahu dan ternyata pelarungan sesaji bukanlah acara terakhir. Aya dan rombongan melanjutkan perjalanan mendekati semenanjung.
“Kita akan ke sana?” tanya Aya lagi.
“Tentu,” sahut ibunya.
Beberapa saat kemudian, Aya dan para warga turun dari perahu. Pepohonan hijau, pasir putih, dan ombak yang tenang menyambut kedatangan mereka. Pemandangan yang begitu indah. Aya baru menyadari, tempat ini tidak benar-benar kosong. Terdapat kompleks dengan tulisan “Selamat Datang” di gerbang utama. Kompleks tersebut terdiri dari gubuk-gubuk dan sebuah makam dengan bangunan berwarna putih.
“Tempat ini bernama semenanjung Sembulungan. Masih jadi satu dengan Taman Nasional Alas Purwo. Kita akan berziarah ke makam tersebut. Makam dari Sayid Yusuf. Nelayan pertama yang melaksanakan tradisi Petik Laut ini,” kakek menjelaskan kepada Aya sembari sesekali menunjuk ke dua arah yang berbeda.
“Tapi banyak orang yang percaya kalau ini adalah makam sepasang gandrung,” sahut seorang lelaki yang sepertinya sudah cukup akrab dengan kakek.
“Memang ada dua versi, Bing (panggilan anak perempuan dalam bahasa Madura). Sebagai warga asli Muncar, kami sangat menghargai kisah-kisah budaya ini. Tergantung kepercayaan masing-masing.” timpal kakek dan mengajak Aya untuk ikut berziarah ke makam tersebut.
PASAR MALAM
[sunting]
Ibu benar, ternyata Petik Laut semenyenangkan itu. Malam ini, Aya dan keluarganya pergi mengunjungi pasar malam yang diadakan di pesisir pantai. Hampir seluruh masyarakat mengunjungi pasar malam ini. Banyak wahana permainan yang dapat dinaiki, tentu saja bianglala menjadi wahana favorit. Hal yang membedakan pasar malam ini dengan pasar malam pada umumnya adalah pernak-pernik lampu tidak hanya berasal dari pasar malam, tetapi dari perahu-perahu yang disandarkan di pinggir pantai. Malam ini terlihat bercahaya. Aya bisa melihat ombak laut yang menabrak karang dan menggoyangkan perahu.
“Mau tahu enggak makanan favorit ibu?” tawar ibu Aya yang memperoleh anggukan antusias dari kedua putrinya.
“Ayo, ikut ibu,” ajak ibu sembari menggandeng tangan kedua putrinya. Ayah tidak berminat bergabung, dia lebih suka membicarakan soal bisnis perahu dan ikan dengan kakek Aya.
Mereka bertiga akhirnya sampai di kedai kecil, di belakang bianglala yang terus berputar dan sesekali berhenti untuk pergantian penumpang. Terdapat bermacam-macam buah di etalase kedai tersebut. Aya berpikir, pasti ibu mengajaknya makan rujak.
“Bok, melle kelang du pereng (Bu, beli kelang dua piring),” pesan ibu. Aya tak mengerti ucapan ibunya, tetapi dia bisa mengetahui bahwa ibunya memesan dua porsi makanan.
Tak lama kemudian, dua piring rujak dihidangkan di depan mereka. Tampilannya seperti rujak kecut tetapi potongan buah lebih besar dan beragam. Jambu air, mangga muda, timun, kedondong, nanas, dan tahu. Aroma kuah ikan yang pedas menusuk indra penciuman Aya.
“Coba cicipi dulu. Ibu pesan satu untuk kalian coba dulu. Takutnya enggak suka,” ujar ibu seraya terkekeh geli. Sang penjual pun ikut tertawa ke arah Aya dan Tara. Tentu saja kedua gadis itu kebingungan.
Aya menyendok buah jambu yang sudah disiram dengan kuah berwarna cokelat dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Dia terdiam sesaat, rasa asin, gurih, aroma ikan, dan manisnya buah jambu menjadi satu. Ibu menatapnya sesaat, setelah menyendok buah-buahan di piringnya dengan lahap.
“Bagaimana rasanya?” tanya ibu. Aya masih diam, dia tidak bisa mendeskripsikan rasanya.
“Aneh. Apa kuahnya terbuat dari ikan?” Aya melemparkan pertanyaan.
“Iya, petis ikan yang dilarutkan dengan kuah sisa rebusan ikan juga. Lalu dicampur dengan buah-buahan segar. Tidak semua orang bisa memakan rujak ini karena katanya amis. Tetapi, sejak kecil kami hidup laut, hidup dan makan dari ikan, ini adalah makanan khas Muncar. Kami menyebutnya erok-erok kelang. Tapi kini orang-orang di luar sana lebih suka menyebutnya dengan rujak kelang,” Aya manggut-manggut mendengar penjelasan dari penjual rujak kelang ini. Tak lama kemudian, dia merasa ada yang menarik lengan bajunya, Tara menggeleng setelah makan sesendok kecil. Aya tertawa kecil.
“Berarti hanya aku dan Ibu yang suka ini,” meski rasanya aneh, Aya sudah memutuskan rujak kelang ini sebagai salah satu makanan favoritnya.
“Apa Ayah suka ini?” tanya Tara.
“Sayangnya tidak. Meski sudah dua puluh tahun menikah dengan ibu, ayah tidak pernah suka dengan rujak ini. Konon katanya, menantu lelaki di keluarga ibu tidak akan pernah bisa menoleransi rujak ini. Berbeda dengan menantu perempuan yang biasanya langsung suka,” cerita ibu sambil mencelupkan kerupuk ke dalam kuah rujaknya.
“Tahu begini, tadi aku ajak Ayah buat ikut makan.” ide usil Tara membuat semuanya tertawa.
Aya tidak pernah menyesal telah mengisi kartu timezone-nya dan gagal digunakan. Karena, di sini tidak kalah menyenangkan. Jika Aya tidak dipaksa ikut kemarin, mungkin dia tidak akan tahu terdapat budaya yang memiliki makna mendalam dan penuh nilai-nilai kehidupan. Tahun depan dia akan pulang ke kampung halaman ibunya lagi dan begitu pula tahun-tahun berikutnya.
TAMAT