Menerobos Gerimis

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Nisa malas pergi mengaji karena cuaca hujan. Namun, ibunya terus memaksanya. Nisa pun terpaksa mengaji diantar ayahnya naik sepeda menerobos gerimis. Di tempat pengajian, Nisa mendapatkan pelajaran berharga dari teman mengajinya.

Lakon[sunting]

  1. Nisa, anak kelas empat Sekolah Dasar
  2. Ibu Nisa
  3. Ayah Nisa
  4. Desti, sahabat Nisa

Cerita Pendek[sunting]

Nisa memeluk erat tubuh ayahnya. Ia menundukkan kepala agar wajahnya tidak basah dihujani gerimis. Tak terasa, airmata meleleh dari sepasang matanya.

Sore ini, hati Nisa sekelam warna langit. Ia sangat kesal pada ibu yang memaksanya pergi mengaji. Saat ini, harusnya Nisa masih terlelap dibalik selimut hangat. Teriakan ibunya menganggu mimpi Nisa yang sedang terbang naik kuda poni di antara indahnya warna-warni pelangi.

Sepulang sekolah, hujan turun dengan deras. Setelah salat dan makan siang, Nisa bermalas-malasan di atas tempat tidurnya. Tarian hujan di atas atap rumah menyihir matanya hingga terlelap.

Saat asyik menyelami mimpi, tiba-tiba ibunya memeluk dan menciumi pipi Nisa. Nisa gelagapan. Antara sadar dan tidak sadar, Nisa merasa mendengar suara ibu.

"Sudah jam tiga sayang. Ayo bangun, terus mandi dan berangkat mengaji," bisik ibunya.

"Iya Bu, sebentar lagi," jawab Nisa. Matanya masih terasa mengantuk.

Saat ibunya pergi keluar kamar, Nisa menarik selimut, meneruskan tidurnya. Baru sekejap tidur, Nisa mendengar teriakan ibunya.

"Nisa, kok tidur lagi sih! Entar kamu telat," kata ibu.

"Masih hujan, Bu," kata Nisa sambil mengucek matanya.

"Hujannya sudah mulai reda, tinggal gerimis, makanya dibuka gordennya," kata Ibu sambil membuka gorden jendela.

"Nisa capek Bu, tadi ada pelajaran olahraga. Ngaji-nya libur dulu ya," rengek Nisa sambil menguap dan menggeliatkan badan.

"Jangan malas-malasan. Ini Bunda Rahma udah kirim WA kalau ngaji-nya nggak libur. Nanti kamu diantar ayah pakai sepeda," kata ibu.

Nisa terdiam, rasa malas masih menyelimuti tubuhnya. Tiba-tiba kelopak matanya terasa berat. Nampaknya peri tidur kembali menaburkan serbuk mimpi.

"Ini anak malah tidur lagi. Ayo cepat bangun," kata ibu sambil menarik selimut Nisa.

Nisa mendengar suara ibu mulai meninggi, namun rasa malas masih menyelimuti.

"Libur dulu ngaji-nya ya Bu. Nisa capek. Teman-teman lain paling juga libur mengaji," rengek Nisa kembali.

"Nisa, jangan ikut-ikutan malas. Ayo anak Ibu harus rajin belajar dan mengaji," jawab ibu sambil menarik tangan Nisa.

"Ayaaah! Ini Ibu tarik-tarik tangan Nisa. Nisa kan masih ngantuk," teriak Nisa mencari pembelaan. Namun ayahnya tak kunjung masuk ke kamar tidurnya.

"Itu Ayah lagi pompa ban sepeda. Udahlah jangan banyak alasan. Ibu hitung sampai tiga ya," kata Ibu.

"Ah Ibu..." kata Nisa sambil melempar selimutnya.

"Satu....” "

"Iya Ibu. Ini Nisa bangun."

Nisa dengan ogah-ogahan bangun dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Nisa mencium gelagat kalau ibu akan marah. Jika tidak segera bangun, Nisa takut ibunya akan menyeretnya ke kamar mandi.

Selesai mandi, memakai baju dan salat asar, Nisa menemui ayahnya yang sudah memakai jas hujan. Ayahnya membantu Nisa memakai jas hujan warna merah jambu kesayangannya.

"Jangan manyun gitu. Anak ayah harus tetap semangat. Ayo kita berangkat."

Membonceng Sepeda Ayah[sunting]

Ayahnya terus mengayuh sepeda menerobos gerimis. Beberapa kali, ayahnya mencoba menghibur dan menenangkan Nisa yang duduk di boncengan sepeda.

"Nisa kan capek Ayah, tadi di sekolah ada pelajaran olahraga. Ibu nggak sayang sama Nisa," keluh Nisa.

Tak hanya urusan pergi mengaji, sepulang sekolah Nisa juga harus les tiga hari seminggu. Pelajaran di kelas empat Sekolah Dasar semakin sulit, karena itu Nisa diikutkan les oleh ibunya. Hari Sabtu, Nisa ikut ekstra kurikuler Pramuka. Ibu tak pernah bosan mengingatkan Nisa mengenai jadwal-jadwal kegiatan itu.

Kadang Nisa merasa iri dengan teman-temannya yang bebas bermain di halaman rumah atau tanah lapang tanpa diganggu teriakan ibunya. “Nisa cepat pulang, sebentar lagi les!” atau "Nisa, sudah asar sholat dulu!"

Saat asyik bermain telepon genggam, ibu juga sering menegurnya. “Katanya ada PR malah mainan hape terus. Cepat belajar.”  

"Kalau Ibu menyuruh Nisa belajar atau mengaji, itu karena Ibu sayang sama Nisa. Pendidikan sangat penting buat bekal masa depan Nisa," kata Ayah.

"Tapi sesekali libur mengaji kan nggak apa-apa Yah. Lagian sore ini hujan," kata Nisa.

"Iya tadi hujan deras, tapi sekarang tinggal gerimis. Kalau hujan deras apalagi ada petir, pasti Ibu nggak menyuruh Nisa mengaji."

"Iya Ayah," kata Nisa pelan.

"Dulu waktu kecil Ayah dan Ibu kalau mengaji sehabis magrib. Jalan kaki pakai obor karena jalanan gelap, belum ada lampu listrik. Nisa tahu obor kan?"

"Obor yang suka dibawa atlet kalau ada olimpiade ya Ayah?" tanya Nisa penasaran.

"Iya tapi kalau dulu pakai obor bambu yang dipotong terus diisi minyak tanah dan disumpal kain."

"Ayah gak takut?"

"Nggak lah, kan banyak temannya."

"Sudah ya jangan sedih, nanti pulang mengaji kita beli ayam goreng."

"Horee, ayam goreng! Tambah es stroberi ya Ayah."

"Janganlah, kan lagi hujan, entar kamu pilek."

Pelajaran Berharga[sunting]

Jam empat kurang sepuluh menit, Nisa sampai di Musala At Taqwa. Di beranda musala ini Bunda Rahma mengajar mengaji. Banyak anak-anak yang senang belajar mengaji bersama Bunda Rahma.

Jarak dari rumah Nisa ke Musala At Taqwa cukup jauh, sekitar tujuh menit perjalanan menggunakan sepeda. Saat mengaji, Nisa selalu diantar jemput oleh ayah atau ibu karena harus melewati jalan raya yang cukup ramai.

Nisa melepas jas hujan, melipat dan menyerahkan kepada ayahnya. Setelah mencium tangan ayahnya, Nisa beranjak menuju beranda musala At Taqwa.

“Nanti Ayah jemput ya,” kata ayahnya sambil membunyikan bel sepeda. Nisa pun melambaikan tangan.

Di beranda Musala At Taqwa, Nisa melihat baru tiga temannya yang sudah datang, mungkin karena hujan. Bunda Rahma juga belum terlihat, biasanya ia datang jam empat tepat. Tuh kan, pasti banyak yang tidak berangkat, batin Nisa.

Ia pun menghampiri Desti yang sedang duduk dan meletakkan tas di sampingnya, Nisa melihat ada kantong plastik warna merah di dekat Desti.

“Desti, itu kamu bawa apa?” tanya Nisa menunjuk kantong plastik merah.

“Oh, ini tisu,” jawab Desti.

“Tisu buat apa Des, kok banyak sekali?”

Desti pun bercerita kalau selama ini ia berjualan tisu dan terkadang roti untuk membantu ibunya. Biasanya Desti berkeliling jualan tisu sepulang sekolah. Tapi karena hujan, Desti akan berjualan tisu sepulang mengaji.

“Emang ayahmu dimana?” tanya Nisa.

Desti menundukkan wajahnya.

“Ayahku kan sudah meninggal setahun lalu,” kata Desti terisak.

“Maaf Desti, aku tidak tahu. Kamu jangan sedih ya, sekarang pasti ayahmu sudah di surga.”

Desti menganggukkan kepala. Rasa sedih masih terlihat menggelayuti wajahnya.

“Harga tisunya berapa?” tanya Nisa.

“Ada yang tiga ribu, lima ribu, dan delapan ribu,” jawab Desti.

“Aku beli yang lima ribu saja ya, soalnya aku cuma bawa uang lima ribu,” kata Nisa sambil menyerahkan uang lima ribu kepada Desti.

“Iya nggak apa-apa,” kata Desti. Tangannya dengan cekatan membuka kantong plastik merah. Desti mengambil tisu dan menyerahkannya pada Nisa.

Wah, gambarnya kuda poni. Aku suka, aku suka,” kata Nisa.

“Makasih Nisa,” kata Desti

“Iya sama-sama,” jawab Nisa.

Nisa mengamati tisu dengan bungkus bergambar kuda poni. Kuda poni yang sering menghampiri mimpi-mimpinya. Seketika ia merasa bersyukur karena masih memiliki ayah dan ibu. Ya, meskipun kadang ibunya cerewet dan memarahi Nisa.

Nisa juga merasa malu melihat Desti yang tetap bersemangat menuntut ilmu meskipun harus berjualan tisu. Pasti sangat melelahkan sepulang sekolah harus berjalan keliling jualan tisu, sorenya mengaji. Malam harinya Desti pasti juga harus belajar dan mengerjakan tugas yang menumpuk.

Sementara ia malas-malasan pergi mengaji hanya karena gerimis. Nisa pun teringat saat tadi ibunya bersusah payah membangunkannya untuk pergi mengaji. Mulai hari ini, Nisa bertekad untuk lebih rajin sekolah dan mengaji.

Sepulang mengaji, Nisa ingin memeluk ibunya dan meminta maaf. “Maafkan Nisa, Ibu.”

TAMAT