Memahami Gangguan Bipolar

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
(Dialihkan dari Mengenal Gangguan Bipolar)

Versi final pertama dari Wikibuku ini telah selesai dituliskan pada tanggal 12 September 2020 pukul 21.07 WIB.

Merupakan bagian dari himpunan Wikibuku Pengantar Dasariah Kesehatan Jiwa: untuk Masyarakat Awam. Diterjemahkan oleh Dinarti, S.Kp, MAP & Anta Samsara.

Dengan puluhan referensi ilmiah sebagai catatan kaki, Wikibuku Mengenal Gangguan Bipolar ini adalah naskah yang mengenalkan gangguan bipolar dalam bahasa sederhana yang disaripatikan dari banyak rujukan terpercaya.

Apakah Gangguan Bipolar Itu?[sunting]

Sampul depan PDF "Mengenal Gangguan Bipolar"
Sampul depan PDF Mengenal Gangguan Bipolar.

Gangguan bipolar atau gangguan manik-depresif adalah penyakit otak yang menyebabkan gangguan pada alam perasaan (mood), energi, derajat aktivitas, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Orang dengan bipolar dapat memiliki gejala yang akut. Gejala-gejala itu berbeda dari perasaan ‘naik’ dan ‘turun’ yang terjadi pada orang biasa dari waktu ke waktu. Gejala gangguan bipolar dapat berakibat pada rusaknya hubungan sosial, menurunnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan dan bersekolah, dan bahkan mengakibatkan bunuh diri. Akan tetapi gangguan bipolar dapat diobati, dan orang dengan penyakit ini dapat menghasilkan hidup yang produktif dan menyenangkan.

Gangguan bipolar seringkali berkembang pada usia remaja lanjut dan masa awal dewasa. Setidaknya setengah dari seluruh kasus dimulai sebelum menginjak usia 25 tahun.[1] Beberapa orang mengalami gejala pertama mereka pada usia kanak-kanak, sementara yang lainnya mengembangkan gejala bipolar pada usia yang lebih lanjut.

Gangguan bipolar pada awal kemunculannya tidak mudah dikenali. Gejala-gejalanya terlihat seperti masalah-masalah yang terpisah-pisah, bukan dikenali sebagai bagian dari masalah yang lebih besar. Sejumlah orang menderita bertahun-tahun sebelum akhirnya mereka didiagnosa dan diobati secara tepat. Seperti diabetes atau penyakit jantung, gangguan bipolar adalah gangguan jangka panjang yang harus dikelola secara baik di sepanjang hidup penderitanya.

Apa Sajakah Gejala-Gejala Gangguan Bipolar?[sunting]

Orang dengan bipolar mengalami peningkatan kondisi emosional yang tidak biasa yang terjadi dalam kondisi berbeda yang disebut “episode gangguan alam perasaan” (mood episodes). Kondisi yang sangat gembira dan sangat bersemangat disebut sebagai episode manik, dan kondisi sangat sedih dan putus harapan disebut sebagai episode depresi. Terkadang episode gangguan alam perasaan mencakup gejala baik mania maupun depresi. Ini disebut kondisi campuran. Orang dengan bipolar dapat juga meledak-ledak dan mudah tersinggung selama episode gangguan alam perasaan.

Perubahan yang tajam dalam hal tenaga, aktivitas, tidur, dan perilaku terjadi bersamaan dengan perubahan alam perasaan ini. Adalah mungkin bagi orang dengan bipolar untuk mengalami periode panjang alam perasaan yang tidak stabil daripada episode depresi atau mania yang terpisah dan berlainan.

Seseorang mungkin memiliki episode gangguan bipolar jika ia mengalami depresi atau mania pada sebagian besar waktu, hampir setiap hari, setidaknya selama satu atau dua minggu. Kadang-kadang gejala-gejalanya sangat parah yang membuat orang tersebut tak dapat berfungsi secara normal di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja.

Gejala gangguan bipolar dapat dirangkum sebagai berikut:

Gejala-gejala mania atau episode manik meliputi:

Perubahan alam perasaan

  • Masa yang lama berperasaan “tinggi”, atau gembira berlebihan.
  • Sangat mudah tersinggung, mudah marah, tidak dapat duduk tenang atau gelisah.

Perubahan perilaku

  • Berbicara sangat cepat, melompat dari satu ide ke ide yang lain, memiliki pikiran yang saling menyusul satu sama lain.
  • Sukar berkonsentrasi pada satu hal.
  • Meningkatnya kegiatan yang mengarah pada tujuan, seperti membuat proyek-proyek baru.
  • Merasa gelisah.
  • Waktu tidur berkurang.
  • Memiliki keyakinan yang tidak realistis dalam menilai kemampuan seseorang.
  • Berperilaku impulsif dan mengambil bagian dalam banyak perilaku yang menyenangkan namun beresiko tinggi, seperti pelesir dan berbelanja, seks impulsif, dan investasi bisnis impulsif.

Gejala depresi atau episode depresi meliputi:

Perubahan alam perasaan

  • Masa yang lama berperasaan khawatir atau kosong.
  • Kehilangan minat dalam kegiatan yang pernah dinikmati, termasuk seks.

Perubahan perilaku

  • Merasa lelah atau “melambat.”
  • Mengalami masalah dalam berkonsentrasi, mengingat, dan membuat keputusan.
  • Menjadi gelisah atau mudah tersinggung.
  • Perubahan dalam makan, tidur, atau kebiasaan lainnya.
  • Berpikir tentang kematian atau bunuh diri, atau mencoba bunuh diri.

Jika diurutkan secara sederhana, maka kadar gangguan mood dapat diurutkan (mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi sebagai) depresi, normal (setimbang), dan mania pada ujung yang teratas.

Jika lebih diperinci, maka gangguan bipolar dapat menyebabkan suatu rentang gangguan alam perasaan (diurutkan mulai dari yang mood-nya terendah hingga yang tertinggi), yaitu depresi akut dan depresi sedang, keadaan normal (setimbang) dan, pada ujung yang paling atas, hipomania dan mania [unsur kata hipo- artinya "di bawah dari", sehingga maksud dari kata hipomania adalah "berada di bawah mania" -- penerjemah] .

Depresi akut dapat mengakibatkan gejala terbawah yang paling ekstrem, yang kadarnya lebih berat jika dibandingkan dengan depresi sedang. Depresi sedang yang lebih rendah dinamai distimia saat gejalanya kronis dan menahun [maksudnya distimia adalah depresi yang tidak terlalu berat tapi dialami dalam jangka yang lama -- penerjemah]. Tepat di pertengahan adalah alam perasaan yang normal atau setimbang.

Pada ujung skala yang lain adalah hipomania dan mania akut. Beberapa orang dengan gangguan bipolar mengalami hipomania. Saat episode hipomanik, seseorang dapat mengalami peningkatan energi dan derajat aktivitas yang tidak separah mania, atau orang tersebut memiliki episode yang terjadi kurang dari seminggu dan tidak memerlukan perawatan kedaruratan. Orang yang mengalami episode hipomanik memiliki perasaan yang sangat baik, memiliki produktivitas dan fungsionalitas yang baik. Orang tersebut tidak merasakan bahwa segala sesuatu ada yang salah bahkan ketika keluarga dan kawan-kawannya mengenali ayunan alam perasaan sebagai kemungkinan gangguan bipolar. Tanpa pengobatan yang baik, orang dengan hipomania dapat mengembangkan mania atau depresi akut.

Selama mengalami kondisi campuran, gejala seringkali mencakup agitasi, memiliki permasalahan dengan tidur, perubahan besar dalam selera, dan berpikir untuk bunuh diri. Orang yang berada dalam kondisi campuran dapat merasakan sedih atau putus asa padahal energinya berlebihan.

Kadang-kadang, seseorang dengan episode mania akut atau depresi dapat memiliki gejala psikotik juga, seperti halusinasi atau waham. Gejala psikotik cenderung mencerminkan alam perasaan yang ekstrem. Sebagai contoh, gejala psikotik untuk seseorang yang mengalami episode mania dapat mencakup keyakinan bahwa ia sebagai orang yang terkenal, mempunyai banyak uang, atau memiliki kekuatan khusus. Mirip dengan hal itu, seseorang yang memiliki episode depresi mungkin percaya bahwa ia adalah orang yang rusak, melarat, atau telah melakukan kejahatan. Hasilnya, orang dengan bipolar yang memiliki gejala psikotik terkadang didiagnosa secara salah sebagai mengalami skizofrenia, yaitu gangguan jiwa yang lain yang bertautan dengan waham dan halusinasi.

Orang dengan bipolar dapat juga mengalami masalah perilaku. Mereka mungkin menyalahgunakan alkohol atau zat adiktif, memiliki masalah hubungan sosial, atau memiliki prestasi yang buruk di sekolah atau dalam pekerjaan. Pada mulanya, adalah tidak mudah untuk mengenali masalah-masalah ini sebagai pertanda gangguan kejiwaan yang penting.

Bagaimana Gangguan Bipolar Mempengaruhi Seseorang di Sepanjang Waktu?[sunting]

Gangguan bipolar biasanya berlangsung seumur hidup. Episode mania dan depresi biasanya kembali pada waktu-waktu yang lain. Di antara episode, banyak orang dengan gangguan bipolar bebas dari gejala, akan tetapi pada beberapa orang dapat menjadi gejala yang terus-menerus terjadi.

Dokter biasanya mendiagnosa gangguan jiwa dengan menggunakan Panduan Diagnosa dan Statistik Gangguan Jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, DSM). Menurut DSM, ada empat tipe gangguan bipolar.

Gangguan bipolar tipe I terutama ditentukan oleh episode manik atau campuran yang berlangsung setidaknya selama tujuh hari, atau oleh episode manik yang sedemikian parah yang membuat orang tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit. Biasanya, orang tersebut juga memiliki episode depresi, biasanya berlangsung selama dua minggu. Gejala mania atau depresi harus sangat berbeda dari perilaku normal orang tersebut.

Gangguan bipolar tipe II ditentukan oleh pola episode depresi yang berlangsung bolak-balik dengan gangguan hipomanik, akan tetapi bukan merupakan mania penuh atau episode campuran.

Gangguan bipolar tidak terbedakan (Bipolar Disorder Not Otherwise Specified, BP-NOS) disandangkan sebagai sebuah diagnosa saat seseorang memiliki gejala penyakit yang tidak memenuhi kriteria baik untuk bipolar tipe I atau II. Gejala-gejalanya mungkin tidak berlangsung cukup lama, atau orang tersebut memiliki terlalu sedikit gejala untuk didiagnosa dengan bipolar I atau II. Gejala-gejalanya nyata-nyata berbeda dengan rentang perilaku normal orang tersebut.

Siklotimia atau gangguan siklotimik adalah gangguan yang lebih ringan dari bipolar. Orang yang mengalami siklotimia memiliki episode hipomania yang bolak-balik dengan depresi ringan selama dua tahun. Gejala-gejalanya tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk tipe bipolar manapun.

Beberapa orang memiliki diagnosa dengan gangguan bipolar siklus cepat, yaitu gangguan dengan empat episode atau lebih yang mencakup depresi mayor, mania, hipomania, atau gejala campuran dalam kurun waktu setahun.[2] Beberapa orang mengalami lebih dari satu episode dalam seminggu, atau dalam satu hari. Gangguan bersiklus cepat lebih umum terjadi pada orang yang mengalami gangguan bipolar akut dan kemungkinannya lebih besar terjadi pada orang yang mengalami episode awal gangguan bipolar pada usia yang lebih muda. Suatu penelitian menemukan bahwa orang dengan orang yang mengalami gangguan siklus cepat mengalami episode pertama mereka empat tahun lebih awal, selama pertengahan ke usia remaja lanjut, daripada orang yang tanpa gangguan bersiklus cepat.[3] Gangguan siklus cepat lebih banyak mempengaruhi wanita daripada pria.[4]

Gangguan bipolar cenderung memburuk apabila tidak diobati. Di sepanjang hidupnya, seseorang dapat mengalami episode akut yang lebih sering dan lebih akut daripada kemunculan penyakit tersebut yang pertama kali.[5] Juga, penundaan dalam mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang benar membuat orang tersebut mengalami masalah-masalah dalam ranah personal, sosial, dan pekerjaan.[6]

Diagnosis dan pengobatan yang benar membantu orang dengan bipolar menuju kehidupan yang sehat dan produktif. Dalam banyak kasus, pengobatan dapat membantu mengurangi frekuensi dan keparahan episode yang dialami.

Penyakit Apakah yang Sering Berkomplikasi dengan Gangguan Bipolar?[sunting]

Penyalahgunaan zat sangat umum di antara orang dengan bipolar, akan tetapi kaitan antara dua hal ini tidak jelas.[7] Sejumlah orang dengan bipolar mungkin mencoba menyembuhkan penyakitnya dengan alkohol dan obat-obatan terlarang. Bagaimanapun, zat terlarang dapat memicu atau memperpanjang gejala bipolar, dan gangguan pengendalian diri yang berkaitan dengan mania dapat membuat seseorang untuk minum minuman beralkohol terlalu banyak.

Gangguan kecemasan, seperti gangguan stress pasca trauma (post traumatic stres disorder, PTSD) dan fobia sosial, juga seringkali sama-sama terjadi pada orang dengan bipolar.[8] Gangguan bipolar juga berkomplikasi dengan gangguan hiperaktivitas pemusatan perhatian (attention deficit hyperactivity disorder, ADHD), yang memiliki beberapa gejala yang saling tumpang tindih dengan gangguan bipolar, seperti kegelisahan dan perhatian yang mudah teralihkan.

Orang dengan gangguan bipolar memiliki resiko yang tinggi mengalami penyakit tiroid, sakit kepala (migren), penyakit jantung, diabetes, kegemukan, dan penyakit fisik lainnya.[9],[10] Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan gejala mania atau depresi. Penyakit-penyakit tersebut dapat juga merupakan akibat dari pengobatan gangguan bipolar (lihat bagian “Litium dan Fungsi Tiroid”)

Penyakit-penyakit lainnya dapat mempersulit diagnosis dan pengobatan gangguan bipolar. Orang dengan bipolar seharusnya memonitor kesehatan jiwa dan raga mereka. Jika gejala-gejalanya tidak membaik, mereka seharusnya memberitahukan hal itu kepada dokternya.

Faktor-Faktor Apa Saja yang Menimbulkan Gejala Bipolar?[sunting]

Para ilmuwan mempelajari tentang kemungkinan penyebab gangguan bipolar. Sebagian besar ilmuwan setuju bahwa tidak ada faktor penyebab tunggal. Nampaknya, banyak faktor terjadi secara bersamaan menghasilkan atau memperbesar resiko terhadap gangguan ini.

Genetika[sunting]

Gangguan bipolar cenderung terjadi apabila ada faktor keturunan, maka para peneliti mencari gen yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami penyakit tersebut. Gen adalah “blok bangunan” dari pewarisan keturunan. Gen membantu mengontrol bagaimana tubuh dan otak untuk tumbuh serta bekerja. Gen terkandung di dalam sel yang diwariskan dari orang tua kepada anaknya.

Anak dengan satu orang tua yang mengalami gangguan bipolar memiliki kecenderungan empat hingga enam kali lebih besar untuk mengembangkan penyakit tersebut, jika dibandingkan dengan anak yang keluarganya tidak memiliki riwayat gangguan bipolar.[11] Akan tetapi, kebanyakan anak dengan keluarga yang memiliki riwayat gangguan bipolar tidak akan mengalami gangguan tersebut.

Penelitian genetik tentang gangguan bipolar kini dapat terbantu dengan kemajuan teknologi. Jenis penlitian ini kini lebih cepat dan menjangkau lebih jauh daripada di masa yang lalu. Salah satu contoh adalah peluncuran Bipolar Disorder Phenome Database, yang didanai sebagian oleh NIMH (National Institute of Mental Health, Institut Nasional Kesehatan Jiwa). Menggunakan database ini, para ilmuwan akan lebih mampu untuk mengaitkan antara tanda-tanda yang kelihatan dari gangguan ini dengan gen yang mungkin mempengaruhinya. Sejauh ini, para periset menggunakan database ini telah menemukan bahwa sebagian besar orang dengan bipolar memiliki/mengalami:[12]

  • Pekerjaan yang terbengkalai karena penyakit mereka.
  • Penyakit lainnya pada waktu yang sama, terutama penyalahgunaan alkohol dan/atau zat dan gangguan panik.
  • Tengah menjalani pengobatan atau sedang dirawat inap di rumah sakit.
  • Para peneliti juga mengidentifikasi beberapa ciri yang kelihatannya merupakan hal-hal yang genetis, termasuk:
  • Riwayat perumahsakitan karena masalah kejiwaan
  • Komplikasi dengan gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder, OCD)
  • Usia saat episode manik pertama
  • Jumlah dan kekerapan episode manik.

Para ilmuwan melanjutkan untuk meneliti ciri-ciri ini, yang dapat membantu mereka menemukan gen yang menyebabkan gangguan bipolar pada suatu hari.

Akan tetapi gen bukan merupakan penyebab satu-satunya bagi gangguan bipolar. Penelitian terhadap kembar identik telah menunjukkan bahwa kembaran dari orang yang mengalami gangguan bipolar tidak selalu mengembangkan penyakit tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang penting karena kembar identik berbagi gen yang sama. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa faktor lainnya selain gen juga berperan dalam menimbulkan gangguan bipolar. Nampaknya, banyak gen yang berbeda dan lingkungan terlibat dalam hal ini. Bagaimanapun, para ilmuwan belum memahami sepenuhnya bagaimana faktor-faktor ini berinteraksi dan menyebabkan gangguan bipolar.

Struktur otak dan keberfungsiannya[sunting]

Studi pencitraan otak membantu para ilmuwan dalam mempelajari apa yang terjadi pada otak orang dengan bipolar.[13],[14] Perangkat pencitraan otak yang baru, seperti pencitraan resonansi magnetis fungsional (functional magnetic resonance imaging, fMRI) dan positron emission tomography (PET), memungkinkan para peneliti untuk mengambil gambar otak hidup yang sedang bekerja. Peranti ini membantu para ilmuwan mempelajari struktur dan aktivitas otak.

Beberapa studi pencitraan menunjukkan bagaimana otak orang dengan bipolar berbeda dari otak orang yang sehat atau dari otak orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang lain. Sebagai contoh, salah satu studi dengan menggunakan MRI menemukan bahwa pola perkembangan otak pada anak dengan bipolar ternyata mirip dengan gangguan pada anak dengan “gangguan dengan hendaya multi-dimensional,” sebuah gangguan yang menimbulkan gejala yang saling tumpang-tindih dalam satu dan lain hal dengan gangguan bipolar dan skizofrenia.[15] Ini menunjukkan bahwa pola umum dari perkembangan otak dapat berkaitan dengan resiko umum untuk ketidakstabilan alam perasaan.

Penggalian yang lebih dalam mengenai perbedaan-perbedaan ini, sejalan dengan informasi yang didapatkan dari studi genetis, membantu para ilmuwan memahami lebih baik tentang gangguan bipolar. Pada suatu hari mungkin para ilmuwan dapat memprakirakan jenis pengobatan yang mana yang bekerja paling efektif. Bahkan mungkin mereka akan menemukan cara untuk mencegah gangguan bipolar.

Bagaimanakah Cara Mendiagnosa Gangguan Bipolar?[sunting]

Langkah pertama untuk mendapatkan diagnosis yang benar adalah berbicara kepada dokter, yang mungkin melakukan pemeriksaan medis secara fisik, wawancara, dan tes laboratorium. Gangguan bipolar saat ini tak dapat diidentifikasi dengan tes darah atau pemindaian otak (brain scan), akan tetapi tes ini dapat mengetahui kemungkinan penyebab lainnya, seperti stroke dan tumor otak. Jika masalahnya tidak disebabkan oleh penyakit lain, dokter dapat melakukan evaluasi kesehatan jiwa. Sang dokter mungkin juga melakukan rujukan kepada profesional kesehatan jiwa yang terlatih, seperti misalnya psikiater, yang berpengalaman dalam mendiagnosa dan mengobati gangguan bipolar.

Dokter atau professional kesehatan jiwa seharusnya melaksanakan evaluasi diagnosa secara lengkap. Ia seharusnya berdiskusi tentang riwayat gangguan bipolar atau gangguan kejiwaan lainnya dan berusaha mendapatkan riwayat gejala-gejalanya. Sang dokter atau professional kesehatan jiwa seharusnya berbicara dengan kerabat atau pasangan sang konsumen dan memperhatikan bagaimana mereka menggambarkan riwayat gejala-gejala dan riwayat medis keluarga.

Orang dengan bipolar cenderung untuk mencari bantuan ketika mereka depresi daripada ketika mereka dalam keadaan mania atau hipomania.[16] Oleh karena itu, riwayat medis yang rinci dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa gangguan bipolar tidak salah didiagnosa sebagai gangguan depresi mayor atau gangguan depresi unipolar. Tidak seperti orang dengan bipolar, orang dengan depresi unipolar tidak mengalami mania. Saat memungkinkan, catatan terdahulu dan masukan dari pihak keluarga dan kawan-kawan sudah selayaknya dimasukkan dalam rekam medis.

Bagaimanakah Cara Mengobati Gangguan Bipolar?[sunting]

Hingga saat ini, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan gangguan bipolar. Akan tetapi cara pengobatan yang benar membantu kebanyakan orang dengan bipolar mendapatkan kontrol atas ayunan alam perasaannya dan gejala-gejala lainnya yang berkaitan dengan hal itu.[17],[18],[19] Hal ini juga berlaku bagi orang-orang yang memiliki gangguan yang paling akut.

Karena gangguan bipolar adalah penyakit seumur hidup dan dapat kambuh berulangkali, orang dengan gangguan ini membutuhkan pengobatan jangka panjang untuk menjaga kontrolnya atas gejala-gejala bipolar. Salah satu rencana pengobatan yang efektif mencakup obat-obatan dan psikoterapi untuk mencegah kekambuhan dan untuk mengurangi keparahan gejala.[20]

Obat-obatan[sunting]

Gangguan bipolar dapat didiagnosa dan obat-obatannya dapat diresepkan oleh dokter. Biasanya, obat untuk gangguan bipolar diresepkan oleh psikiater. Di beberapa negara, psikolog klinis, perawat jiwa, dan perawat jiwa tingkat mahir dapat juga meresepkan obat-obatan tersebut.

Setiap orang bereaksi berbeda-beda terhadap obat yang dikonsumsinya. Beberapa obat yang berbeda mungkin harus dicoba sebelum dapat ditemukan obat yang benar-benar cocok.

Menyimpan bagan harian gejala-gejala alam perasaan (chart of daily mood symptoms), pengobatan, pola tidur, dan hal-hal yang terjadi dalam hidup dapat membantu dokter menelusuri dan mengobati gangguan tersebut dengan cara yang paling efektif. Kadang-kadang ini disebut sebagai bagan kehidupan sehari-hari (daily life chart). Jika gejala-gejala seseorang berubah atau efek samping obat menjadi serius, sang dokter dapat mengganti atau menambahkan dengan obat lainnya.

Beberapa jenis obat-obatan yang pada umumnya digunakan untuk mengobati gangguan bipolar dicantumkan dalam daftar di halaman berikut. Informasi tentang obat-obatan dapat berubah. Untuk informasi yang paling mutakhir tentang penggunaan dan efek sampingnya silakan mengontak Badan Pengawasan Obat (Food and Drug Administration, FDA) di http://www.fda.gov.

Obat penstabil alam perasaan biasanya merupakan pilihan pertama untuk mengobati gangguan bipolar. Umumnya, orang dengan bipolar melanjutkan pengobatan dengan obat penstabil alam perasaan selama bertahun-tahun. Terkecuali litium, sebagian besar dari obat-obatan ini adalah obat anti-kejang. Obat-obatan anti-kejang biasanya dipergunakan untuk mengobati serangan epilepsi, akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk membantu mengontrol alam perasaan. Obat-obatan berikut ini pada umumnya digunakan sebagai penstabil alam perasaan bagi gangguan bipolar:

  • Lithium (kadang-kadang dikenal sebagai Eskalith atau Lithobid) adalah obat penstabil alam perasaan yang pertama kali disetujui oleh Badan POM Amerika (FDA) pada tahun 1970-an untuk pengobatan mania. Obat ini seringkali sangat efektif dalam pengendalian gejala-gejala mania dan pencegahan kekambuhan episode manik dan depresif.
  • Asam valproat atau natrium divalproat (Depakote), disetujui oleh FDA pada tahun 1995 untuk pengobatan mania, adalah alternatif yang populer untuk litium. Pada umumnya sama efektif dengan litium untuk pengobatan gangguan bipolar.[21],[22] Lihatlah juga bagian dalam buku kecil ini, “Apakah wanita muda seharusnya meminum asam valproat?”
  • Yang lebih baru, obat anti kejang lamotrigin (Lamictal) menerima persetujuan FDA untuk menjaga stabilitas pengobatan bagi gangguan bipolar.
  • Obat anti-kejang lainnya, termasuk gabapentin (Neurontin), topiramate (Topamax), dan oxcarbazepine (Trileptal) kadang-kadang juga diresepkan. Tak ada penelitian besar-besaran yang telah menunjukkan bahwa obat-obatan ini lebih efektif dibandingkan obat penstabil alam perasaan di atas. Asam valproat, lamotrigin, dan obat anti-kejang lainnya memiliki peringatan dari FDA. Peringatan itu adalah bahwa obat-obat tersebut dapat meningkatkan resiko niatan dan perilaku bunuh diri. Seseorang yang mengonsumsi anti-kejang sudah semestinya dimonitor secara seksama akan gejala-gejala depresi, niat dan perilaku bunuh diri, yang semakin memburuk pada diri mereka atau perubahan yang tidak biasa pada alam perasaan dan perilaku mereka. Seseorang yang meminum obat ini janganlah melakukan perubahan apapun terhadap obat mereka tanpa berbicara dengan tenaga professional yang menangani mereka.

Obat antipsikotik atipikal kadang-kadang digunakan untuk mengobati gejala-gejala gangguan bipolar. Seringkali, obat-obatan ini digunakan bersama dengan obat-obatan lain. Antipsikotik atipikal disebut “atipikal” untuk membedakan mereka dari obat generasi terdahulu, yang disebut antipsikotik “konvensional” atau “generasi pertama.” (antipsikotik generasi kedua ke atas disebut “atipikal”, yang makna harfiahnya adalah “tidak biasa” karena punya cara kerja yang berbeda dari obat generasi sebelumnya – penerjemah).

  • Olanzapine (Zyprexa), saat diberikan bersama dengan obat antidepresan, dapat membantu meredakan gejala mania atau psikosis.[23] Olanzapine juga tersedia dalam bentuk suntikan, yang secara cepat dapat menangani agitasi yang berkaitan dengan episode manik atau campuran. Olanzapine juga dapat dipergunakan dalam pengobatan gangguan bipolar, bahkan saat orang yang bersangkutan tidak memiliki gejala psikotik. Bagaimanapun, beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi Olanzapine berat badannya dapat bertambah dan resiko akan penyakit diabetes dan penyakit jantung dapat bertambah. Efek samping ini cenderung lebih banyak terjadi pada orang yang mengonsumsi olanzapine dibadingkan orang yang mengonsumsi antispikotik atipikal lainnya.
  • Aripiprazole (Abilify), seperti olanzapine mendapat persetujuan untuk mengobati mania atau episode campuran. Aripiprazole juga dipergunakan untuk mempertahankan kondisi setelah episode yang akut atau mendadak. Seperti olanzapine, aripriprazole juga dapat disuntikkan untuk pengobatan darurat gejala-gejala mania atau campuran pada gangguan bipolar.
  • Quetiapine (Seroquel) meredakan gejala-gejala episode mania yang akut dan mendadak. Dalam hal ini, quetiapine seperti kebanyakan antispikotik. Pada tahun 2006, quetiapine menjadi antispikotik atipikal pertama yang menerima persetujuan FDA untuk mengobati gangguan bipolar episode depresif.
  • Risperidone (Risperdal) dan ziprasidone (Geodon) adalah obat antipsikotik pertama yang juga dapat diresepkan untuk mengontrol mania dan episode campuran.

Obat antidepresan kadang-kadang digunakan untuk mengobati gejala-gejala depresi pada gangguan bipolar. Orang dengan bipolar yang mengonsumsi antidepresan seringkali mengonsumsi obat penstabil alam perasaan juga. Dokter biasanya mempersyaratkan hal ini karena meminum antidepresan terlalu lama dapat meningkatkan resiko seseorang untuk berubah kepada mania atau hipomania, atau mengembangkan gejala bersiklus cepat.[24] Untuk mencegah perubahan ini, dokter biasanya meresepkan antidepresan bersama-sama dengan obat penstabil alam perasaan dalam waktu yang sama.

Akhir-akhir ini, penelitian besar-besaran yang didanai oleh NIMH telah menunjukkan bahwa bagi banyak orang, menambahkan antidepresan kepada obat penstabil alam perasaan tidak lebih efektif dalam mengobati depresi daripada hanya menggunakan obat penstabil alam perasaan saja.[25]

Fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), sertraline (Zoloft), and bupropion (Wellbutrin) adalah contoh dari antidepresan yang dapat diresepkan untuk mengobati gejala-gejala gangguan bipolar.

Beberapa obat lebih baik untuk pengobatan satu tipe gangguan bipolar daripada obat yang lain. Sebagai contoh, lamotrigine (Lamictal) kelihatannya membantu dalam mengontrol gejala depresi pada gangguan bipolar.

Apakah Efek Samping dari Obat-Obatan Ini?[sunting]

Sebelum memulai minum obat baru, orang dengan bipolar semestinya berbicara dengan dokter mereka tentang resiko dan keuntungannya.

Psikiater yang meresepkan obat-obatan atau apoteker dapat juga menjawab pertanyaan tentang efek samping. Setelah melewati beberapa dasawarsa, pengobatan telah lebih maju dan beberapa obat kini lebih punya sedikit efek samping daripada pengobatan yang dahulu. Namun setiap orang merespon secara berlainan terhadap obat. Pada beberapa kasus, efek samping tidak muncul hingga seseorang mengonsumsi suatu obat selama beberapa lama.

Jika orang dengan bipolar mengembangkan efek samping yang akut terhadap suatu obat, dia seharusnya berbicara kepada dokter yang meresepkannya secepat mungkin. Sang dokter mungkin mengubah dosisnya atau meresepkan obat lain. Orang yang berada dalam pengobatan gangguan bipolar seharusnya tidak berhenti meminum obat tanpa berbicara kepada dokternya terlebih dahulu. Penghentian obat secara mendadak dapat mengarah kepada rebound (pemunculan kembali gejala yang lebih besar dari semula) atau memperparah gejala-gejala gangguan bipolar. Efek samping yang tidak nyaman atau potensi berbahaya lainnya juga mungkin.

Bagian berikut ini menggambarkan beberapa efek samping yang umum atas penggunaan beberapa jenis obat yang berbeda yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar.

Obat penstabil alam perasaan[sunting]

Pada beberapa kasus, litium dapat menimbulkan efek samping seperti:

  • Gelisah
  • Mulut kering
  • Kembung dan masalah pencernaan
  • Jerawat
  • Ketidaknyamanan yang tidak biasa terhadap suhu dingin
  • Nyeri otot dan sendi
  • Kuku dan rambut yang rapuh.[26]

Litium juga menyebabkan efek samping yang tidak terdaftar di sini. Jika efek samping yang menyusahkan atau tidak biasa terjadi, ceritakanlah kepada dokter Anda selekas mungkin.

Jika orang dengan bipolar diobati dengan litium, merupakan hal yang penting untuk secara teratur mengunjungi dokter yang melakukan pengobatan. Dokter tersebut perlu memeriksa kadar litium dalam darah, sebagaimana fungsi ginjal dan kelenjar tiroidnya.

Efek samping yang umum dari obat penstabil alam perasaan termasuk:

  • Rasa kantuk
  • Pusing
  • Sakit kepala
  • Diare
  • Sembelit
  • Rasa panas dalam perut dan dada bagian bawah (heartburn)
  • Ayunan alam perasaan
  • Hidung mampet atau berlendir, atau gejala mirip flu lainnya.[27],[28],[29],[30],[31],[32]

Antipsikotik Atipikal[sunting]

Beberapa orang mengalami efek samping saat mereka pertama kali mulai menggunakan antipsikotik atipikal. Sebagian besar efek samping menghilang setelah beberapa hari dan seringkali dapat dikelola dengan baik. Orang yang meminum antipsikotik seharusnya tidak mengemudi hingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan obat baru mereka. Efek samping dari antipsikotik termasuk:

  • Rasa kantuk
  • Pusing saat berubah posisi
  • Pandangan kabur
  • Jantung berdebar-debar
  • Peka terhadap sinar matahari
  • Ruam (rash) pada kulit
  • Gangguan haid pada wanita.

Obat antispikotik atipikal dapat menyebabkan bertambahnya berat badan dan berubahnya metabolisme di dalam tubuh. Hal ini dapat meningkatkan resiko seseorang untuk menderita diabetes dan kolesterol tinggi.[33] Berat badan, kadar glukosa, dan kadar lipid sudah semestinya dicermati secara teratur oleh dokter saat pasiennya meminum obat ini.

Pada kasus yang lebih jarang, penggunaan antispikotik atipikal dalam jangka panjang, dapat mengarah ke suatu kondisi yang disebut sebagai tardive dyskinesia (TD). Sebuah kondisi yang menyebabkan pergerakan otot yang pada umumnya terjadi di sekitar mulut. Seseorang dengan TD tidak dapat mengendalikan gerakan-gerakan ini. TD terentang dari mulai yang sedang-sedang saja hingga ke tingkat akut, dan tidak selalu dapat terpulihkan. Beberapa orang dengan TD pulih gerakan-gerakannya sebagian atau sepenuhnya setelah mereka menghentikan penggunaan obat.

Antidepresan[sunting]

Antidepresan yang sebagian besar diresepkan untuk menyembuhkan gejala-gejala gangguan bipolar dapat juga menyebabkan efek samping ringan yang biasanya tidak berlangsung lama, termasuk:

  • Sakit kepala, yang biasanya menghilang setelah beberapa hari penggunaan.
  • Mual, yang biasanya menghilang setelah beberapa hari.
  • Masalah tidur, seperti kurang tidur atau rasa mengantuk. Ini mungkin terjadi selama beberapa minggu pertama akan tetapi kemudian menghilang. Untuk membantu mengurangi efek ini, kadang-kadang dosis obat ini dapat dikurangi, atau waktu minumnya dapat diubah.
  • Agitasi (gaduh gelisah).
  • Masalah seksual, yang dapat mempengaruhi baik pria maupun wanita. Hal ini mencakup berkurangnya dorongan seksual atau bermasalah untuk menjalani dan menikmati seks.

Beberapa antidepresan cenderung untuk menimbulkan efek samping tertentu daripada jenis yang lain. Dokter atau apoteker Anda dapat menjawab pertanyaan tentang obat-obatan ini. Setiap reaksi atau efek samping yang tidak biasa seharusnya dilaporkan kepada dokter secepatnya.

Peringatan FDA terhadap Antidepresan[sunting]

Antidepresan itu aman dan populer, akan tetapi beberapa penelitian telah mengindikasikan beberapa akibat yang tidak diinginkan pada beberapa orang, terutama pada orang dalam usia dewasa muda. Peringatan FDA mengatakan bahwa pasien dalam semua usia yang mengonsumsi antidepresan seharusnya diawasi secara cermat, terutama dalam minggu pertama pengobatan. Efek samping yang mungkin yang harus diperhatikan adalah depresi yang mungkin bertambah buruk, pikiran atau perilaku bunuh diri, atau perubahan tidak biasa dalam perilaku seperti gangguan tidur, agitasi, atau penarikan diri dari situasi sosial yang normal. Keluarga dan pelaku rawat (caregiver) seharusnya melaporkan perubahan apapun kepada dokternya. Informasi terakhir dari FDA dapat ditemukan di http://www.fda.gov.

Litium dan Fungsi Tiroid[sunting]

Orang dengan bipolar seringkali memiliki masalah dengan kelenjar tiroid. Pengobatan litium juga dapat mengakibatkan kadar tiroid yang rendah pada beberapa orang. Fungsi tiroid yang menurun, yang disebut hipotiroidisme, bertautan dengan siklus cepat pada sejumlah orang dengan bipolar, terutama wanita.

Karena terlalu banyak atau terlalu sedikit hormon tiroid dapat mengarah kepada perubahan energi, merupakan hal yang penting untuk memeriksa kadar tiroid secara rutin melalui dokter Anda secara berkala. Orang dengan bipolar mungkin dapat diberi obat tiroid, sebagai tambahan terhadap obat untuk gangguan bipolarnya, sehingga kadar tiroidnya terjaga.

Apakah Wanita Muda Seharusnya Meminum Asam Valproat?[sunting]

Asam valproat dapat meningkatkan kadar testosteron (hormon lelaki) pada remaja yang berjenis kelamin perempuan yang akan mengarahkan mereka kepada polycystic ovary syndrome (PCOS) bagi yang meminum obat tersebut sebelum usia [34].[35],[36] PCOS dapat menyebabkan sel telur wanita berubah menjadi kista atau kantung berisi cairan yang berkumpul dalam rahim dan tidak terlepas melalui haid bulanan. Kondisi ini dapat menyebabkan kegemukan, bulu tubuh yang menjadi lebat, putusnya siklus haid, dan gejala serius lainnya. Sebagian besar dari gejala-gejala ini akan membaik setelah penghentian asam valproat.[37] Wanita yang meminum asam valproat sudah seharusnya dimonitor secara cermat oleh dokternya.

Haruskah Wanita yang Mengandung atau yang Akan Mengandung Meminum Obat untuk Gangguan Bipolar?[sunting]

Haruskah wanita yang mengandung atau yang akan mengandung meminum obat untuk gangguan bipolar?

Wanita dengan bipolar yang mengandung atau yang mungkin akan mengandung menghadapi tantangan tersendiri. Obat penstabil alam perasaan yang digunakan sekarang dapat membahayakan perkembangan janin dan bayi yang diasuh.[38] Akan tetapi menghentikan pengobatan, baik secara bertahap atau tiba-tiba, akan meningkatkan secara tajam resiko kambuhnya gejala-gejala bipolar pada saat mengandung.[39]

Para ilmuwan belum yakin, tetapi litium nampaknya adalah obat yang dipilih untuk wanita yang mengandung yang mengalami gangguan bipolar.[40],[41] Namun, litium dapat mengarah ke masalah jantung pada janin. Seorang wanita perlu mengetahui bahwa sebagian besar obat bipolar disalurkan kepada bayi yang diasuh melalui air susu ibu.[42] Wanita yang mengandung dan ibu yang sedang mengasuh anaknya sudah semestinya berbicara kepada dokternya tentang manfaat dan resiko semua pengobatan yang tersedia.

Untuk informasi paling mutakhir tentang obat-obatan bagi gangguan bipolar dan efek sampingnya, silakan lihat buku kecil daring (online) obat-obatan NIMH di http://www.nimh.nih.gov/health/publications/medications/complete-publication.shtml.

Psikoterapi[sunting]

Sebagai tambahan terhadap obat, psikoterapi atau terapi “bicara”, dapat menjadi terapi yang efektif untuk gangguan bipolar. Terapi tersebut dapat memberikan dukungan, edukasi, dan panduan terhadap orang dengan bipolar dan keluarganya. Beberapa psikoterapi yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar meliputi:

  1. Terapi pikiran dan perilaku (Cognitive behavioral therapy – CBT) membantu orang dengan bipolar belajar untuk mengubah pola pikir dan perilaku yang negatif atau berbahaya.
  2. Terapi yang berfokus-pada-keluarga termasuk anggota keluarga. Terapi ini membantu memperkuat strategi menangani permasalahan, seperti mengenali episode baru secara dini dan membantu orang-orang yang mereka cintai. Terapi ini juga meningkatkan komunikasi dan pemecahan masalah.
  3. Terapi interpersonal dan ritme sosial membantu orang dengan bipolar meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain dan mengelola rutinitas sehari-hari mereka. Aktivitas sehari-hari yang rutin dan jadwal tidur dapat membantu melindungi terhadap episode manik.
  4. Psikoedukasi mengajarkan kepada orang dengan bipolar tentang penyakit mereka dan pengobatannya. Pengobatan ini membantu seseorang untuk mengenali tanda-tanda kekambuhan sehingga mereka dapat mencari bantuan pengobatan lebih awal, sebelum episode penuh terjadi. Biasanya dilakukan dalam kelompok, psikoedukasi dapat juga berguna untuk anggota keluarga dan para pelaku rawat (caregivers).

Psikolog, pekerja sosial, atau konselor yang telah berlisensi menyediakan jasa jenis ini. Profesional kesehatan jiwa ini seringkali bekerjasama dengan psikiater untuk merunut perkembangan. Jumlah, frekuensi, dan jenis sesi seharusnya berdasarkan kebutuhan pengobatan masing-masing orang. Sebagaimana obat, mengikuti anjuran dokter untuk mengikuti psikoterapi akan menghasilkan manfaat yang terbesar.

Untuk informasi lebih lanjut, lihat Situs Penyalahgunaan Zat dan Layanan Kesehatan Jiwa tentang memilih terapis kesehatan jiwa di http://mentalhealth.samhsa.gov/publications/allpubs/KEN98-0055/default.asp.

Sekarang ini, NIMH mendanai uji klinis yang disebut Penguatan Pengobatan Sistematis untuk gangguan Bipolar (Systematic Treatment Enhancement Program for Bipolar Disorder, STEP-BD). Ini adalah penelitian terbesar sepanjang sejarah untuk gangguan bipolar (untuk informasi, lihat http://www.nimh.nih.gov/health/trials/ practical/step-bd/index.shtml). Dalam penelitian tentang psikoterapi, peneliti STEP-BD membandingkan dua kelompok. Kelompok yang pertama diobati dengan perawatan kolaboratif (tiga sesi psikoedukasi selama enam minggu). Kelompok yang kedua diobati dengan obat dan psikoterapi yang intensif (30 sesi CBT selama sembilan bulan, terapi interpersonal dan sosial, atau terapi terfokus pada keluarga). Para peneliti menemukan bahwa kelompok kedua mengalami kekambuhan yang lebih sedikit, angka rawat inap yang lebih rendah, dan lebih patuh dalam hal menjalankan rencana pengobatan mereka.[43] Mereka juga cenderung pulih secara lebih cepat dan mampu bertahan dalam kondisi yang baik lebih lama.

NIMH mendukung lebih banyak penelitian yang terfokus pada kombinasi antara psikoterapi dan obat untuk menghasilkan yang terbaik. Tujuannya adalah untuk membantu orang dengan bipolar hidup bebas dari gejala selama mungkin dan untuk pulih dari episode secepat mungkin. Para peneliti juga berharap untuk menentukan apakah psikoterapi dapat membantu menunda mulainya gangguan bipolar pada anak-anak, sebagai kelompok yang punya resiko tinggi terhadap penyakit tersebut.

Untuk informasi lebih lanjut tentang psikoterapi, kunjungi Situs NIMH di http://www.nimh.nih.gov/health/topics/treatment/index.shtml.

Pengobatan yang Lain[sunting]

Terapi kejut listrik (Electroconvulsive Therapy, ECT)[sunting]

Dalam kasus obat dan/atau psikoterapi tidak bekerja, terapi kejut listrik (ECT) mungkin dapat membantu. ECT, yang semula terkenal dengan sebutan “terapi sentak (shock therapy)”, pada waktu yang lalu memiliki reputasi yang buruk. Akan tetapi pada tahun-tahun belakangan ini, terapi tersebut telah diperbaiki dan dapat memberikan kepulihan bagi orang dengan bipolar yang tidak merasa lebih baik dengan pengobatan yang lain.

Sebelum ECT dilaksanakan, pasien diberikan pelemas otot (muscle relaxant) dan ditaruh dalam keadaan terbius singkat (brief anesthesia). Sang pasien tidak dapat merasakan arus listrik yang mengalir dalam ECT tersebut. Rata-rata, ECT berlangsung selama 30-90 detik. Orang yang mendapatkan ECT biasanya pulih setelah 5-15 menit dan mampu untuk pulang pada hari yang sama.[44]

Kadang-kadang ECT digunakan untuk gangguan bipolar saat kondisi medis lainnya, termasuk kehamilan, membuat penggunaan obat-obatan terlalu beresiko. ECT adalah cara pengobatan yang efektif untuk episode depresif, manik, atau episode campuran, walaupun bukan merupakan pilihan pengobatan yang pertama.

ECT dapat menyebabkan beberapa efek samping yang singkat, termasuk kebingungan, disorientasi, dan kehilangan ingatan. Tetapi efek samping ini biasanya hilang segera setelah pengobatan tersebut berakhir. Orang dengan bipolar seharusnya mendiskusikan kemungkinan keuntungan dan resiko dari ECT dengan dokter yang berpengalaman.[45]

Obat Tidur[sunting]

Orang dengan bipolar yang memiliki gangguan tidur biasanya tidur secara lebih baik setelah mendapatkan pengobatan bagi gangguan bipolarnya. Jika tidur tidak menjadi lebih baik, dokter mungkin dapat menyarankan penggantian obat. Jika masalah ini terus terjadi, dokter dapat meresepkan obat yang memiliki efek menidurkan (sedatif) atau obat-obatan lainnya yang menimbulkan kantuk. Orang dengan bipolar semestinya menginformasikan kepada dokter mereka mengenai semua obat yang diresepkan, obat yang bertentangan, atau suplemen yang mereka minum. Obat-obatan dan suplemen tertentu yang diminum secara bersama-sama dapat mengakibatkan efek yang tidak diinginkan dan bahkan berbahaya.

Suplemen Herbal[sunting]

Secara umum, tak banyak penelitian mengenai suplemen herbal atau natural. Sedikit sekali yang diketahui mengenai efek mereka terhadap gangguan bipolar. Suatu obat herbal yang bernama St. John’s wort (Hypericum perforatum), seringkali dipasarkan sebagai antidepresan alami, dapat menyebabkan alam perasaan berganti ke mania pada sejumlah orang dengan bipolar.[46] St. John’s wort juga dapat membuat obat-obatan yang lainnya berkurang keefektifannya, termasuk terhadap beberapa antidepresan dan anti-kejang.[47]

Para ilmuwan juga meneliti asam lemak omega-3 (yang pada umumnya ditemukan pada minyak ikan) untuk mengukur kegunaannya pada pengobatan jangka panjang gangguan bipolar.[48] Hasil penelitian keduanya telah digabungkan.[49] Merupakan hal penting untuk berbicara kepada dokter sebelum mengonsumsi suplemen herbal atau natural karena resiko interaksi dengan obat lainnya.

Apa yang Dapat Diharapkan oleh Orang dengan Bipolar dari Pengobatannya?[sunting]

Tidak ada yang dapat menyembuhkan gangguan bipolar, akan tetapi gangguan tersebut dapat diatasi untuk jangka waktu yang lama. Adalah lebih baik untuk kontrol secara berkelanjutan daripada terputus-putus. Dalam penelitian STEP BD, lebih dari setengah orang yang menjalani pengobatan gangguan bipolar pulih dalam jangka waktu setahun lebih. Dalam penelitian ini, pulih berarti memiliki dua atau lebih sedikit gejala gangguan tersebut dalam jangka waktu sedikitnya delapan minggu.

Bahkan dengan pengobatan yang tepat, perubahan alam perasaan tetap terjadi. Dalam penelitian STEP BD, hampir setengah dari mereka yang telah pulih masih memiliki gejala yang menetap. Orang-orang ini mengalami kekambuhan yaitu biasanya kembali mengalami kondisi depresi. Jika seseorang mempunyai gangguan jiwa lainnya yang berkomplikasi dengan gangguan bipolar, ia akan cenderung lebih sering untuk kambuh. Para ilmuwan sendiri tidak yakin, bagaimana gangguan jiwa lain atau gejala menetap ini meningkatkan kemungkinan untuk kambuh. Bagi beberapa orang, gabungan psikoterapi dengan obat dapat membantu untuk mencegah atau menunda kekambuhan.

Pengobatan dapat lebih efektif saat hubungan dengan dokter lebih erat dan berbicara secara terbuka tentang minat dan pilihan mereka. Merunut perubahan alam perasaan dan gejala melalui bagan kehidupan harian (daily life-chart) dapat membantu dokter memeriksa respon seseorang terhadap pengobatan. Terkadang sang dokter perlu untuk mengubah rencana pengobatan untuk meyakinkan gejala-gejalanya terkontrol dengan efektif. Seorang psikiater seharusnya memandu setiap perubahan dalam hal jenis dan dosis obat.

Bagaimana Saya Dapat Membantu Kawan atau Kerabat yang Mengalami Gangguan Bipolar?[sunting]

Jika Anda mengetahui seseorang yang mengalami gangguan bipolar, ia akan mempengaruhi Anda juga. Hal yang pertama dan terpenting yang dapat Anda lakukan adalah membantunya untuk mendapat diagnosis dan pengobatan yang benar. Anda mungkin dapat membuat perjanjian dengannya untuk bertemu dengan dokter. Semangati orang yang Anda sayangi itu untuk tetap berada dalam pengobatan.

Untuk membantu kawan atau kerabat, Anda dapat:

  • Menawarkan dukungan emosional, pengertian, kesabaran, dan memberikan semangat.
  • Mempelajari tentang gangguan bipolar sehingga Anda dapat mengerti apa yang kawan atau kerabat Anda alami.
  • Berbicara kepada kawan atau kerabat Anda itu serta mendengarkan secara seksama.
  • Dengarkan apa yang diungkapkan oleh kawan atau kerabat Anda—mengertilah tentang situasi yang mungkin dapat memicu gejala-gejala bipolar.
  • Undanglah kawan atau kerabat Anda itu terhadap hal lain yang dapat mengalihkan, seperti berjalan kaki, pelesir ke luar rumah, dan aktivitas lainnya.
  • Ingatkan kepada kawan atau kerabat Anda itu, bahwa seiring berjalannya waktu, pengobatan akan membuat dia lebih baik.

Jangan pernah mengabaikan komentar tentang kawan atau kerabat Anda itu tentang hal-hal yang dapat membahayakan diri mereka sendiri. Selalu melaporkan komentar-komentar seperti itu kepada terapis atau dokternya.

Dukungan untuk Pelaku Rawat (Caregivers)[sunting]

Seperti penyakit serius lainnya, gangguan bipolar dapat menjadi hal sulit untuk pasangan, anggota keluarga, kawan, dan pelaku rawat lainnya. Kerabat dan kawan seringkali harus menangani masalah perilaku serius dari orang tersebut, seperti berbelanja secara berlebihan ketika mania, perbuatan menarik diri dari pergaulan pada saat depresi, serta buruknya prestasi kerja atau sekolah. Perilaku semacam ini bisa punya konsekuensi jangka panjang.

Para pelaku rawat biasanya menjaga kebutuhan medis orang yang mereka sayangi. Para pelaku rawat harus berhadapan dengan bagaimana itu semua berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Stres yang dialami oleh pelaku rawat dapat membuat mereka kehilangan jam kerja dan juga kehilangan waktu luang, menegangnya hubungan dengan orang yang mungkin tidak mengerti akan situasi semacam itu, serta kelelahan fisik dan mental.

Stres dari perawatan dapat membuat keadaan penanganan terhadap gejala-gejala bipolar menjadi sukar. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa jika pelaku rawat berada di bawah tingkat stres yang tinggi, maka orang yang mereka sayangi memiliki lebih banyak kesulitan untuk mengikuti rencana pengobatan, yang akan berakibat meningkatnya kemungkinan untuk mengalami episode bipolar.50 Merupakan hal yang penting bagi mereka yang merawat orang dengan bipolar untuk meluangkan waktu untuk mengurus diri mereka sendiri.

Bagaimana Caranya Menolong Diri Saya Sendiri Jika Saya adalah Penderita Bipolar?[sunting]

Mungkin merupakan hal yang sulit untuk mengambil langkah pertama untuk menolong diri Anda sendiri. Hal itu membutuhkan waktu, akan tetapi Anda dapat menjadi lebih baik dengan pengobatan yang dijalani.

Untuk menolong diri Anda sendiri:

  • Berbicaralah kepada dokter Anda tentang pilihan pengobatan dan perkembangannya
  • Usahakan melakukan rutinitas tetap pada waktunya, seperti makan pada waktu yang sama setiap hari dan pergi tidur pada waktu yang sama setiap malam
  • Cobalah untuk cukup tidur
  • Tetap minum obat Anda
  • Pelajari tentang tanda peringatan yang menandai peralihan menuju depresi atau mania
  • Berharaplah gejala-gejala yang Anda alami membaik secara bertahap, bukan dengan sesegera mungkin.

Ke Manakah Saya Harus Pergi untuk Mencari Bantuan?[sunting]

Jika Anda tidak yakin ke mana harus mencari bantuan, tanyakanlah kepada dokter keluarga Anda. Pihak lain yang dapat membantu disebutkan di bawah ini:

• Spesialis kesehatan jiwa, seperti psikiater, psikolog, pekerja sosial, atau konselor kesehatan jiwa

• Organisasi yang bergerak dalam bidang kesehatan jiwa

• Pusat komunitas kesehatan jiwa

• Departemen psikiatri di sebuah rumah sakit dan klinik rawat jalan

• Jurusan psikiatri atau psikologi di universitas atau fakultas kedokteran

• Klinik rawat jalan di rumah sakit pemerintah

• Layanan keluarga, badan sosial, atau lembaga rohani

• Kelompok pendukung sesama

• Klinik dan fasilitas swasta

• Program bantuan pekerjaan

• Komunitas medis dan/atau psikiatrik.

Anda juga dapat memeriksa buku telepon di bawah judul “kesehatan jiwa,” “kesehatan,” “layanan sosial,” “layanan telepon (hotline),” atau “dokter” untuk mendapatkan nomor kontak dan alamat mereka. Dokter ruang gawat-darurat dapat juge menyediakan layanan sementara dan dapat memberitahu Anda ke mana Anda pergi untuk mencari bantuan lanjutan.

Apa yang Harus Saya Lakukan Jika Seseorang yang Saya Kenal Berada dalam Krisis?[sunting]

Jika Anda punya pikiran untuk membahayakan diri sendiri, atau mengetahui orang lain yang akan bertindak demikian, beritahu seseorang yang dapat memberi bantuan dengan segera.

  • Telepon dokter Anda.
  • Pergilah ke ruang gawat darurat rumah sakit untuk mendapatkan bantuan dengan segera atau tanyakanlah kepada kawan atau keluarga untuk membantu Anda dalam hal ini.
  • Untuk di Indonesia, telepon layanan kesehatan jiwa dengan pulsa lokal, 500-ASA (500-454) untuk berbicara dengan konselor yang telah terlatih (penerjemah).

Pastikan Anda atau orang yang punya pikiran untuk bunuh diri tidak sendirian.

Catatan Kaki[sunting]


  1. Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Merikangas KR, Walters EE. “Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of DSM-IV disorders in the National Comorbidity Survey Replication.” Arch Gen Psychiatry. 2005 Jun;62(6):593-602.
  2. Akiskal HS. “Mood Disorders: Clinical Features.” in Sadock BJ, Sadock VA (ed). (2005). Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia.
  3. Schneck CD, Miklowitz DJ, Miyahara S, Araga M, Wisniewski S, Gyulai L, Allen MH, Thase ME, Sachs GS. “The prospective course of rapid-cycling bipolar disorder: findings from the STEP-BD.” Am J Psychiatry. 2008 Mar;165(3):370-7; quiz 410.
  4. Schneck CD, Miklowitz DJ, Calabrese JR, Allen MH, Thomas MR, Wisniewski SR, Miyahara S, Shelton MD, Ketter TA, Goldberg JF, Bowden CL, Sachs GS. “Phenomenology of rapid-cycling bipolar disorder: data from the first 500 participants in the Systematic Treatment Enhancement Program.” Am J Psychiatry. 2004 Oct;161(10):1902-1908.
  5. Goodwin FK, Jamison KR. (2007) Manic-Depressive Illness: Bipolar Disorders and Recurrent Depression, Second Edition. Oxford University Press:New York.
  6. Constituency Survey: Living With Bipolar Disorder: How Far Have We Really Come?National Depressive and Manic-Depressive Association. 2001.
  7. Bizzarri JV, Sbrana A, Rucci P, Ravani L, Massei GJ, Gonnelli C, Spagnolli S, Doria MR, Raimondi F, Endicott J, Dell’Osso L, Cassano GB. “The spectrum of substance abuse in bipolar disorder: reasons for use, sensation seeking and substance sensitivity.” Bipolar Disord. 2007 May;9(3):213-220.
  8. Mueser KT, Goodman LB, Trumbetta SL, Rosenberg SD, Osher C, Vidaver R, Auciello P, Foy DW. “Trauma and posttraumatic stress disorder in severe mental illness.” J Consult Clin Psychol. 1998 Jun;66(3):493-499. Strakowski SM, Sax KW, McElroy SL, Keck PE, Jr., Hawkins JM, West SA. “Course of psychiatric and substance abuse syndromes co-occurring with bipolar disorder after a first psychiatric hospitalization.” J Clin Psychiatry. 1998 Sep;59(9):465-471. Krishnan KR. “Psychiatric and medical comorbidities of bipolar disorder.” Psychosom Med. 2005 Jan-Feb;67(1):1-8.
  9. Krishnan KR. “Psychiatric and medical comorbidities of bipolar disorder.” Psychosom Med. 2005 Jan-Feb;67(1):1-8.
  10. Kupfer DJ. “The increasing medical burden in bipolar disorder.” JAMA. 2005 May 25;293(20): 2528-2530.
  11. Nurnberger JI, Jr., Foroud T. “Genetics of bipolar affective disorder.” Curr Psychiatry Rep. 2000 Apr;2(2):147-157.
  12. Potash JB, Toolan J, Steele J, Miller EB, Pearl J, Zandi PP, Schulze TG, Kassem L, Simpson SG, Lopez V, MacKinnon DF, McMahon FJ. “The bipolar disorder phenome database: a resource for genetic studies.” Am J Psychiatry. 2007 Aug;164(8):1229-1237.
  13. Soares JC, Mann JJ. “The functional neuroanatomy of mood disorders.” J Psychiatr Res. 1997 Jul-Aug;31(4):393-432.
  14. Soares JC, Mann JJ. “The anatomy of mood disorders–review of structural neuroimaging studies.” Biol Psychiatry. 1997 Jan 1;41(1):86-106.
  15. Gogtay N, Ordonez A, Herman DH, Hayashi KM, Greenstein D, Vaituzis C, Lenane M, Clasen L, Sharp W, Giedd JN, Jung D, Nugent Iii TF, Toga AW, Leibenluft E, Thompson PM, Rapoport JL. “Dynamic mapping of cortical development before and after the onset of pediatric bipolar illness.” J Child Psychol Psychiatry. 2007 Sep;48(9):852-862.
  16. Hirschfeld RM. Psychiatric Management, from “Guideline Watch: Practice Guideline for the Treatment of Patients With Bipolar Disorder, 2nd Edition”. http://www.psychiatryonline.com/ content.aspx?aID=148440. Accessed on February 11, 2008.
  17. Sachs GS, Printz DJ, Kahn DA, Carpenter D, Docherty JP. The Expert Consensus Guideline Series: Medication Treatment of Bipolar Disorder 2000. Postgrad Med. 2000 Apr;Spec No.:1-104.
  18. Sachs GS, Thase ME. “Bipolar disorder therapeutics: maintenance treatment.” Biol Psychiatry. 2000 Sep 15;48(6):573-581.
  19. Huxley NA, Parikh SV, Baldessarini RJ. “Effectiveness of psychosocial treatments in bipolar disorder: state of the evidence.” Harv Rev Psychiatry. 2000 Sep;8(3):126-140.
  20. Miklowitz DJ. “A review of evidence-based psychosocial interventions for bipolar disorder.” J Clin Psychiatry. 2006 67(Suppl 11):28-33.
  21. Bowden CL, Calabrese JR, McElroy SL, Gyulai L, Wassef A, Petty F, Pope HG, Jr., Chou JC, Keck PE, Jr., Rhodes LJ, Swann AC, Hirschfeld RM, Wozniak PJ, Group DMS. “A randomized, placebo-controlled 12-month trial of divalproex and lithium in treatment of outpatients with bipolar I disorder.” Arch Gen Psychiatry. 2000 May;57(5):481-489.
  22. Calabrese JR, Shelton MD, Rapport DJ, Youngstrom EA, Jackson K, Bilali S, Ganocy SJ, “Findling RL. A 20-month, double-blind, maintenance trial of lithium versus divalproex in rapid-cycling bipolar disorder.” Am J Psychiatry. 2005 Nov;162(11):2152-2161.
  23. Tohen M, Sanger TM, McElroy SL, Tollefson GD, Chengappa KN, Daniel DG, Petty F, Centorrino F, Wang R, Grundy SL, Greaney MG, Jacobs TG, David SR, Toma V. “Olanzapine versus placebo in the treatment of acute mania. Olanzapine HGEH Study Group.” Am J Psychiatry. 1999 May;156(5):702-709.
  24. Thase ME, Sachs GS. “Bipolar depression: pharmacotherapy and related therapeutic strategies.” Biol Psychiatry. 2000 Sep 15;48(6):558-572.
  25. Sachs GS, Nierenberg AA, Calabrese JR, Marangell LB, Wisniewski SR, Gyulai L, Friedman ES, Bowden CL, Fossey MD, Ostacher MJ, Ketter TA, Patel J, Hauser P, Rapport D, Martinez JM, Allen MH, Miklowitz DJ, Otto MW, Dennehy EB, Thase ME. “Effectiveness of adjunctive antidepressant treatment for bipolar depression.” N Engl J Med. 2007 Apr 26;356(17):1711-1722.
  26. MedlinePlus Drug Information: Lithium. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a681039.html . Accessed on Nov 19, 2007.
  27. MedlinePlus Drug Information: Carbamazepine. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682237.html . Accessed on July 13, 2007.
  28. MedlinePlus Drug Information: Lamotrigine. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a695007.html . Accessed on February 12, 2008.
  29. MedlinePlus Drug Information: Valproic Acid. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a682412.html . Accessed on February 12, 2008.
  30. MedlinePlus Drug Information: Topiramate. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a697012.html . Accessed on Febrary 22, 2008.
  31. MedlinePlus Drug Information: Gabapentin. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a694007.html . Accessed on February 22, 2008.
  32. MedlinePlus Drug Information: Oxcarbazepine. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/medmaster/a601245.html . Accessed on February 22, 2008.
  33. Lieberman JA, Stroup TS, McEvoy JP, Swartz MS, Rosenheck RA, Perkins DO, Keefe RS, Davis SM, Davis CE, Lebowitz BD, Severe J, Hsiao JK. “Effectiveness of antipsychotic drugs in patients with chronic schizophrenia.” N Engl J Med. 2005 Sep 22;353(12):1209-1223.
  34. Huxley NA, Parikh SV, Baldessarini RJ. “Effectiveness of psychosocial treatments in bipolar disorder: state of the evidence.” Harv Rev Psychiatry. 2000 Sep;8(3):126-140.
  35. Vainionpaa LK, Rattya J, Knip M, Tapanainen JS, Pakarinen AJ, Lanning P, Tekay A, Myllyla VV, Isojarvi JI. “Valproate-induced hyperandrogenism during pubertal maturation in girls with epilepsy.” Ann Neurol. 1999 Apr;45(4):444-450.
  36. Joffe H, Cohen LS, Suppes T, McLaughlin WL, Lavori P, Adams JM, Hwang CH, Hall JE, Sachs GS. “Valproate is associated with new-onset oligoamenorrhea with hyperandrogenism in women with bipolar disorder.” Biol Psychiatry. 2006 Jun 1;59(11):1078-1086.
  37. Joffe H, Cohen LS, Suppes T, Hwang CH, Molay F, Adams JM, Sachs GS, Hall JE. “Longitudinal follow-up of reproductive and metabolic features of valproate-associated polycystic ovarian syndrome features: A preliminary report.” Biol Psychiatry. 2006 Dec 15;60(12):1378-1381.
  38. Llewellyn A, Stowe ZN, Strader JR, Jr. “The use of lithium and management of women with bipolar disorder during pregnancy and lactation.” J Clin Psychiatry. 1998 59(Suppl 6):57-64.
  39. Viguera AC, Whitfield T, Baldessarini RJ, Newport J, Stowe Z, Reminick A, Zurick A, Cohen LS. “Risk of recurrence in women with bipolar disorder during pregnancy: prospective study of mood stabilizer discontinuation.” Am J Psychiatry. 2007 Dec;164(12):1817-1824.
  40. Viguera AC, Whitfield T, Baldessarini RJ, Newport J, Stowe Z, Reminick A, Zurick A, Cohen LS. “Risk of recurrence in women with bipolar disorder during pregnancy: prospective study of mood stabilizer discontinuation.” Am J Psychiatry. 2007 Dec;164(12):1817-1824.
  41. Yonkers KA, Wisner KL, Stowe Z, Leibenluft E, Cohen L, Miller L, Manber R, Viguera A, Suppes T, Altshuler L. “Management of bipolar disorder during pregnancy and the postpartum period.” Am J Psychiatry. 2004 Apr;161(4):608-620.
  42. Yonkers KA, Wisner KL, Stowe Z, Leibenluft E, Cohen L, Miller L, Manber R, Viguera A, Suppes T, Altshuler L. “Management of bipolar disorder during pregnancy and the postpartum period.” Am J Psychiatry. 2004 Apr;161(4):608-620.
  43. Miklowitz DJ, Otto MW, Frank E, Reilly-Harrington NA, Wisniewski SR, Kogan JN, Nierenberg AA, Calabrese JR, Marangell LB, Gyulai L, Araga M, Gonzalez JM, Shirley ER, Thase ME, Sachs GS. “Psychosocial treatments for bipolar depression: a 1-year randomized trial from the Systematic Treatment Enhancement Program (STEP).” Arch Gen Psychiatry. 2007 Apr;64(4):419-426.
  44. Miklowitz DJ, Otto MW, Frank E, Reilly-Harrington NA, Wisniewski SR, Kogan JN, Nierenberg AA, Calabrese JR, Marangell LB, Gyulai L, Araga M, Gonzalez JM, Shirley ER, Thase ME, Sachs GS. “Psychosocial treatments for bipolar depression: a 1-year randomized trial from the Systematic Treatment Enhancement Program (STEP).” Arch Gen Psychiatry. 2007 Apr;64(4):419-426.
  45. Mental Health: A Report of the Surgeon General. U.S. Department of Health and Human Services, Substance Abuse and Mental Health Services Administration, Center for Mental Health Services, National Institutes of Health, National Institute of Mental Health. 1999.
  46. Nierenberg AA, Burt T, Matthews J, Weiss AP. “Mania associated with St. John’s wort.” Biol Psychiatry. 1999 Dec 15;46(12):1707-1708.
  47. Henney JE. “From the Food and Drug Administration: Risk of Drug Interactions With St John’s Wort.” JAMA. 2000 Apr 5;283(13):1679.
  48. Stoll AL, Severus WE, Freeman MP, Rueter S, Zboyan HA, Diamond E, Cress KK, Marangell LB. “Omega 3 fatty acids in bipolar disorder: a preliminary double-blind, placebo-controlled trial.” Arch Gen Psychiatry. 1999 May;56(5):407-412.
  49. Freeman MP, Hibbeln JR, Wisner KL, Davis JM, Mischoulon D, Peet M, Keck PE, Jr., Marangell LB, Richardson AJ, Lake J, Stoll AL. “Omega-3 fatty acids: evidence basis for treatment and future research in psychiatry.” J Clin Psychiatry. 2006 Dec;67(12):1954-1967.