Menjadi Kartini

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

DATA PENULIS[sunting]

Penulis aelr94 adalah karyawan swasta yang berdomisili di Kota Bandung. Penulis memiliki hobi menulis sedari kecil. Mulai dari Jurnal harian, cerita pendek, dan novel pendek yang biasa diupload pada blog dan digital platform lainnya. Cerpen Menjadi Kartini adalah karya yang diharapkan penulis bisa menjadi jembatan mimpi untuk para pembaca.

SINOPSIS[sunting]

Kisah tentang dua sahabat yang memiliki mimpi serupa namun pemikiran yang sangat berbeda...

  • Apakah ada cara yang benar atau salah untuk mengejar mimpimu yang setinggi langit itu?
  • Apakah ada yang berhak untuk mengatakan bahwa kamu tidak layak untuk punya mimpi?
  • Apakah kehidupan dan mimpi kamu adalah milik orang lain?

Sita dan Seli akan menjawab semua pertanyaan itu.

TOKOH / KARAKTER :[sunting]

Seli

Anak Perempuan berusia 13 tahun yang tinggal di desa terpencil dan memiliki keterbatasan dalam mengejar mimpinya. Terbiasa memendam perasaan, Seli tidak bisa jujur terhadap mimpinya sendiri

Sita

Sahabat sebaya Seli, yang keterbatasannya tidak jauh berbeda dari Seli namun memiliki pemikiran yang tanpa batas.

Cerita Pendek[sunting]

Seli dan Sita[sunting]

"Aku kira sekolah hari ini bakal ngebosenin."


"Emang ngebosenin sih menurutku, coba kita bisa ikut pergi.."


Seli berhenti dari langkahnya ketika Sita, sang sahabat membalas perkataannya dengan ketus dan sinis. Hari ini kawan-kawan sekelas Seli dan Sita berangkat untuk karya wisata ke museum sejarah di kota. Bukan biaya yang sedikit memang, mengingat perjalanan yang cukup jauh, belum lagi kebutuhan makan dan minum. Mereka yang bukan berasal dari keluarga berada memilih untuk tidak membebani orang tua. Ditambah lagi acara itu akan lebih banyak diisi dengan kegiatan rekreasi.


"Aku kesal sama ibu dan ayah ku, Sel.."


"Karena apa?"


"Sampai kelas 2 SMP begini, aku belum pernah sama sekali diizinkan pergi rekreasi atau jalan-jalan.."


"Loh? kita kan sering ikut bapakku jualan ke kota, Sit.."


"Itu kan gratis. Kalau mereka harus ngeluarin duit, ga pernah mau.."


Seli sebenarnya merasakan hal yang sama. Keadaan dan situasi keluarganya mirip dengan Sita. Dia pun kadang merasa kesal namun Seli bukan tipe anak yang jujur terhadap orang tua, ia lebih banyak memendam kekesalannya agar ayahnya tidak khawatir.


"Kita sudah beruntung bisa sekolah seperti ini Sit."


Sita melirik ke arah Seli saat menyadari keraguan pada apa yang baru saja dia bilang.

R.A Kartini (Tokoh Pahlawan perempuan Indonesia yang dipelajari Seli di sekolah)

"Kamu dengar kan tadi kisah Ibu Kartini yang Pak Guru ceritakan?"


Salah satu alasan kenapa Seli merasa pelajaran sejarah disekolah hari ini tidak membosankan adalah karena ini. Pak Guru menjelaskan tentang kisah hidup R.A Kartini, pahlawan wanita Indonesia. Selama ini Seli tidak pernah mengerti mengapa dia harus menggunakan baju adat setiap tanggal 21 April. Ia pernah mengikuti karnaval dan festival untuk memperingati hari kartini tanpa mengerti apa sebenarnya yang dirayakan oleh semua orang, namun hari ini dia tahu.



"Zaman Ibu Kartini kecil itu, anak perempuan seperti kita ga boleh sekolah.."


Sita berhenti dari jalannya dan memilih untuk duduk di pinggiran sawah. Seli pun menjadi semangat untuk menjelaskan tentang pelajaran hari ini. Sita sepertinya benar-benar tidak mendengarkan apa yang di sampaikan Pak Guru.


"Mereka dipaksa berhenti, dirumahkan dan hanya dinikahkan saja. Tapi liat Ibu Kartini itu, dia bisa belajar sendiri, berteman dengan bule dan bahkan menjadi pahlawan"


Seli pikir Sita akan menjadi serius atau pun setuju dengan pendapatnya, tapi ternyata dia hanya tertawa dan melemparkan beberapa kerikil ke sawah.

"Ibu Kartini itu anaknya Bupati, pejabat..orang berada..golongan yang dihormati..pantas saja dia bisa seperti itu.."


"Maksud kamu apa sih Sit?"



"Anak perempuan seperti kita ini mau di zaman Ibu Kartini atau zaman sekarang pun akan berakhir sama.. bagaimana kita mau belajar lebih kalau buat pergi ke museum atau ke luar kota pun sulit?"


Seli melihat mata Sita yang sedikit menjadi sayu dan mengurungkan niatnya untuk bicara lebih banyak. Karena jauh didalam lubuk hatinya pun Seli merasakan hal yang sama. Melihat dari keadaan hidupnya saat ini, mungkin ia akan berhenti sekolah setelah lulus SMP nanti. Selanjutnya dia mungkin akan bekerja membantu Ayahnya bertani hingga menunggu sampai ada yang mengajaknya menikah. Sama seperti sepupu-sepupu nya yang rata-rata menikah di umur belasan tahun. Dan menghabiskan sisa hidupnya di desa ini tanpa pernah tahu apa yang dia lewatkan di luar sana. Bukan hanya Seli jutaan wanita lainnya di negara ini pun akan berakhir seperti itu.


"Aku pun punya mimpi Sel.. tapi aku lebih memilih untuk hidup realistis. Di desa ini kita berdua adalah anak perempuan yang orang-orang bilang pintar. Kamu tau kenapa?"


Seli menggelengkan kepalanya karena ia tidak tahu kenapa banyak orang yang menyebutnya pintar. Beberapa orang bahkan sempat memperingatkan Ayah Seli karena hal itu. Mereka bilang anak seperti Seli dan Sita akan susah diatur ketika dewasa nanti.


"Karena kita berdua ingin keluar dari sini. Anak yang lain hanya sibuk menjalankan perintah orang tuanya, tanpa mempertanyakan ada apa di luar sana.. tapi kita berbeda Sel.."


Sita menarik nafas panjang sebelum bangun dari duduknya dan kembali berjalan meninggalkan Seli yang sedikit demi sedikit masuk ke pemikiran Sita tentang betapa menyebalkannya hidup yang mereka miliki saat ini.


“Maksud kamu?”

Seli berlari kecil untuk mengejar Sita sambil melanjutkan pembicaraan mereka.


“Aku mungkin akan pergi jauh dari kehidupan ku disini..”


Sita dimata Seli adalah seorang anak perempuan yang sangat pintar. Dia menyukai pelajaran Matematika, Ilmu alam, dan Bahasa Inggris. Setiap ada kesempatan untuk pergi ke kota Sita akan mencari perpustakaan atau pasar buku dimana dia membaca banyak sekali buku. Belum lagi jika dia memiliki akses ke komputer atau internet. Dia belajar lebih banyak dari sana. Sita terlihat lebih dewasa dari usianya karena ilmu yang dia miliki sudah jauh diatas anak-anak sebaya mereka. Terkadang Seli merasa Sita memang tidak memiliki tempat di desa terpencil ini untuk hidup. Sita harusnya ada di luar sana, mengejar ilmu, mengejar mimpi dan berbuat banyak untuk dunia.


Malam harinya Seli menjadi tidak fokus untuk membantu orang tuanya di dapur. Percakapannya dengan Sita benar-benar menyita perhatiannya. Ia menjadi takut membayangkan masa depannya. Ia ingat beberapa tahun lalu seorang teman sekelasnya tiba-tiba berhenti sekolah karena orang tuanya lebih membutuhkan tenaga untuk berjualan di pasar dibanding anak yang bisa dibanggakan karena sekolah tinggi.

“Sel, besok kamu tidak usah masuk sekolah dulu ya.. bantu Ayah di kebun.”

Lamunan Seli terhenti ketika Ayahnya menepuk pundaknya dan memerintahkan hal yang menurutnya aneh. Orang tua mana yang melarang anaknya pergi sekolah. Seli menjadi kesal dan ingin rasanya sekali saja menjadi anak nakal dan melawan keinginan orang tuanya. Namun ketika ia menyadari bahwa ia tidak punya banyak pilihan, Seli tidak dapat melakukan apapun tapi menganggukkan kepalanya ringan.

Tentang Sita[sunting]

“Kamu serius, Sit?”

Keesokkan harinya ketika Seli membantu menjaga menjaga kebun yang ditinggal ayahnya. Ia bertemu dengan Sita yang juga bolos sekolah dan menceritakan tentang rencana nekatnya.

Ibu Kota Negara Jakarta - Tempat jauh yang bahkan Seli tidak pernah bayangkan

“Aku sudah menghubungi paman ku yang bekerja di ibu kota.”

Sita berencana untuk pergi ke tempat jauh yang bahkan Seli pun hanya pernah membacanya dari buku. Ia bilang ia akan berhenti sekolah dan ikut bekerja dengan pamannya hingga Ia punya cukup uang untuk sekolah lebih tinggi. Mungkin sampai tingkat kuliah kalau ia sukses.

“Sit..”

“Aku tidak punya masa depan disini Sel..”

Sita berbicara dengan nada yang tinggi sambil sedikit menahan nangis. Sepertinya ia sudah mempersiapkan rencana ini dengan sangat matang. Dan sepertinya Sita memang sudah muak dengan kehidupan yang dia miliki sekarang. Tekadnya sudah sangat bulat. Semangat yang membara dimatanya memang tidak pernah padam jika itu menyangkut dengan apa yang bisa dia lakukan di dunia luar sana.

“Kamu sudah bilang sama orang tua mu?"

“Engga, aku pergi diam-diam naik bus paling pagi esok hari. Mereka pasti tidak akan mengizinkan aku pergi, kamu tau ibu ku. Dia pasti akan membuat aku merasa bersalah atas pemikiran ku ini..membahas tentang adik-adikku, tentang betapa mulianya seorang Wanita yang hidup untuk keluarganya..”

Sita mengangkat bahunya sambil memberikan Seli senyum tipis. Seli mengerti situasi keluarga Sita. Dia adalah anak pertama dari 4 bersaudara, adik- adik Sita masih kecil, yang paling besar saja baru kelas 4 SD. Ibunya Sita pun tidak berbeda jauh karakternya dengan semua Ibu yang ada di desa ini. Yang terbiasa dengan tradisi.

“Ibu kamu tidak salah, Sit.. bekerja sebagai Ibu rumah tangga, mengurus anak dan keluarga itu pekerjaan yang mulia. Bukan hal yang mudah.”

Sita menghela nafasnya sambil melirik Seli dan mengganggukkan kepalanya cepat.

“Aku tau dan paham Sel, tapi mereka melakukan itu karena tidak ada pilihan lain. Dan itu yang akan aku cari di luar sana.. Pilihan.. Jalan hidup yang lain. Kalau toh akhirnya ketika aku sudah mencari dan pilihan ku jatuh untuk melanjutkan hidup seperti Ibu ku.. maka itu adil. Setidaknya aku punya hak untuk memilih.”

Seli melirik ke arah Sita dan ia sadar, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk mengubah pemikiran Sita.

“Jam berapa besok kamu pergi? Aku antar kamu ya Sit..”

“Pagi hari, seperti kalau kita pergi sekolah, orang tua ku tidak akan curiga dan aku akan menghubungi mereka ketika sampai nanti.”

“Aku ke rumah mu sebelum berangkat sekolah besok ya.”

Sita memberikan Seli pelukan yang merupakan bentuk ucapan terima kasih karena sudah didukung atas ide gilanya ini.

Janji Kami[sunting]

Pagi harinya Sita dan Seli berjalan menuju tempat dimana kendaraan umum yang akan mengantar Sita keluar dari desa telah menunggu. Kendaraan tersebut hanya berangkat 1 kali per hari. Jadi memang cukup sulit untuk keluar dari desa ini. Biasanya digunakan untuk orang-orang yang bekerja di kota. Seli ingin sekali menangis ketika waktu keberangkatan Sita semakin dekat. Ia memeluk Sita dengan erat sambil menepuk nepuk punggungnya.


“Aku harap perjalananmu menyenangkan, Sit..”


Makasih, Sel...”

“Bukan hanya perjalanan ini, tapi perjalanan hidup kamu. Aku akan berdoa setiap hari semoga kamu menemukan apa yang kamu cari.”

Sita yang akhirnya menangis terlebih dahulu dan memeluknya lebih erat.


“Aku harap kamu ga akan lupa tentang persahabatan kita, dan kita akan bertemu lagi nantinya.”

“Aku janji, Sit.”

Tentang Seli[sunting]

Pikiran Seli masih sedikit sedih dan lelah setelah mengantarkan Sita pergi. Tentang sampai kapan Seli akan merasa takut untuk pergi seperti dia. Karena Seli yakin pada akhirnya dia memang harus keluar dan pergi dari desa ini untuk mengejar mimpinya dan melakukan hal-hal mulia seperti Ibu Kartini. Emansipasi Wanita, kesempatan untuk belajar dan bekerja. Dia ingin menjadi seperti Sita tapi dia belum cukup berani untuk meninggalkan Ayahnya. Dia ingin tahu apa yang ada di dunia luar sana tapi dia belum siap untuk menemukan hal buruk disana.

“Seli !” Seli menghentikan langkahnya ketika ia mendengar seseorang meneriakkan namanya.

“Bapak?”

Seli merasa sedikit takut ketika ayahnya menghentikan sepeda tuanya di sebelah Seli. Dia khawatir ayahnya tahu tentang kepergian Sita dan akan melaporkannya kepada orang tua Sita.

“Ini..”

Seli mengangkat wajahnya ketika ayahnya menyelipkan beberapa lembar uang ke tangannya. Ia tidak terbiasa menerima uang seperti ini. Karena uang jajan biasanya diberikan satu minggu sekali dan jumlahnya pun jauh lebih sedikit dari ini.

“Ini uang apa Pak?”

“Untuk karya wisata kamu, ke museum itu.”

“Ah.. itu sudah 2 hari yang lalu, Pak.”

Seli merasa senang dan sangat berterima kasih kepada ayahnya yang ingat tentang agenda karyawisatanya.

“Oh begitu? Maaf ya Sel, Bapak baru bisa menjual hasil tani kemarin sore. Tapi uangnya bisa kamu pakai.”


“Tidak perlu, Pak.”


“Pakai saja Sel..Bapak juga minta maaf kemarin kamu harus bolos sekolah, Bapak janji itu terakhir kalinya."

Seli merasa sedikit bingung dan kaget karena sepertinya ayah nya sangat paham dan mengerti apa yang ada di pikiran Seli tentang masa depannya.

“Maksud Bapak apa?”


“Iya Sel.. Kamu kan memang jarang bercerita sama Bapak tentang apa yang kamu mau, tapi kemarin Sita datang kerumah. Dia bercerita tentang apa yang biasa kamu ceritakan sama dia..tentang keinginan kamu untuk belajar, sekolah tinggi..”


Seli merasa sangat kaget dengan apa yang Sita lakukan. Selama ini Seli menahan diri untuk berbicara jujur kepada Ayahnya ditambah lagi karena Ibunya sudah tiada, Seli tidak tega jika Ayahnya punya terlalu banyak pikiran.


“Kejarlah  mimpi kamu, Sel..sejauh apapun setinggi apapun. Bapak akan mendukung kamu..”


Seli bergerak mundur sambil masih memerhatikan punggung ayahnya yang bersepeda dan semakin menjauh dari tempat ia berdiri. Ia merasa sedikit sedih, senang, dan terharu tentang apa yang dilakukan oleh Sita dan Ayahnya.

“Sita.. lihat saja aku akan berada disini melakukan semua yang aku bisa dan mengejar mimpi yang sama. Kita pasti akan bertemu lagi.”


Seli mengepalkan tangannya dan berjalan masuk ke sekolah dengan tujuan baru. Berhenti berusaha untuk mengubah hal yang tidak bisa dia kontrol, seperti keadaan keluarganya dan dimana tempat ia dilahirkan. Tapi mulai berusaha keras untuk mengubah sesuatu yang dia bisa.. seperti masa depannya, impiannya dan cara ia menggapainya. Seli menarik nafas panjang sebelum meneriakkan sedikit kalimat pemberi semangat untuk diri nya sendiri.


“Kamu pasti bisa Sel !"