Menjelajahi Ruang dan Waktu
Premis
[sunting]Aku sangat suka membaca buku cerita. Namun, ada saja anak-anak yang tidak senang membaca buku dan hanya senang mengejeknya. Aku berharap bisa jago silat seperti pendekar. Mungkinkah Aku dapat melawan para pengejeknya?
Lakon
[sunting]Aku
Petugas Perpustakaan
Ayah
Teman-teman aku
Lokasi
[sunting]Sekolah dan rumah
Cerita Pendek
[sunting]Pernahkah kau tahu kemana perginya buku-buku yang tidak laku dijual di toko buku?
Mungkin mereka dijual dengan harga diskon?
Atau
Bisa saja mereka dimusnahkan, kan? Dilumat lagi menjadi bubur kertas, ya itu sih pendapatku yang asal-asalan saja, karena aku tak pernah menanyakannya pada petugas di toko buku. Dulu, saat umurku tujuh tahun aku pernah belajar mendaur ulang kertas dan kertas-kertas itu semuanya dilumatkan jadi bubur lalu dicetak kembali dan jadilah kertas baru yang bisa dipakai. Jadi, kupikir mungkin nasibnya sama karena buku-buku itu dicetak di kertas.
Aku senang sekali membaca cerita-cerita di dalam buku-buku. Banyak sekali buku yang kutemukan di perpustakaan sekolah, perpustakaan kota dan toko buku. Setiap hari, di hari-hari bersekolah aku selalu mengunjungi perpustakaan untuk melihat dan membaca cerita pendek walau sebentar. Aku dan petugas perpustakan yang memiliki rambut-rambut putih di atas kepalanya sudah cukup dekat. Kami sering mengobrol tentang cerita-cerita menarik yang sudah lama atau cerita terbaru yang katanya belum diterjemahkan ke bahasa negeri kami.
“Kuberitahu kau, ada buku menarik tentang dongeng dari luar Suburbia,” ujarnya padaku siang itu.
“Wah, dongeng macam apa itu?”
Dia memperlihatkan halaman sebuah situs yang menampilkan buku berjudul ‘Tales from Outer Suburbia’ ada seekor anjing yang sedang duduk di atas sebuah benda kotak yang memiliki kabel? Hah, kotak kardus macam apa itu? Belum pernah ku melihatnya, hahaha!
“Kenapa dahimu berkerut ha?”
Sepertinya dia memperhatikan raut wajahku yang tampak aneh melihat gambar sampul depan buku itu. Aku menanyakan padanya benda berbentuk kotak itu bagaimana bisa memiliki kabel?
“Hahaha!! Dasar bocah, ahahaha…" suara tawanya begitu menggetarkan ruangan yang membuat petugas lain menengok padanya dan membuatnya tersadar untuk segera berhenti. Dia menceritakan padaku benda kotak itu adalah televisi versi lama. Jauh sebelum aku lahir, begitulah mulanya bentuk fisik televisi; kotak, besar dan berat; berbeda dengan televisi sekarang yang begitu ramping, ringan dan tipis. Memang saat ini hanya ada televisi model ramping saja, tak pernah ada bentuk macam kardus itu.
Buku dongeng itu sepertinya menarik, apakah bisa aku membacanya? Mungkin di perpustakaan kota atau toko buku bisa kutemukan nanti. Jika tidak mungkin aku perlu membacanya dalam bahasa aslinya, meski harus membuka tutup mesin penerjemahan; sebab kepandaian berbahasa Inggrisku terlalu payah.
Akhir pekan aku habiskan dengan membabat pinjaman buku dari perpustakaan sekolah. Buku ini sangat menarik, ceritanya tentang pembaca buku yang bisa memunculkan tokohnya keluar dari dalam buku cerita menuju dunia nyata. Ya ampun, pikiranku berkelana membayangkan bagaimana jika Pippi si kaus kaki panjang bangkit dari cerita sambil menunggang kudanya dan membawa koin-koin emas yang sangat berat atau begitu ingin aku menerima penjelasan dari Lila kenapa dia begitu ngotot untuk menjadi pembuat kembang api sampai mau-maunya pergi ke Merapi. Aduh, tetapi jangan sampai si Smaug, naga jahat di cerita Hobbit, bisa habis kita semua jika tak ada cincin ajaib Gollum!
Ayahku memanggil dari dapur, sepertinya ia kesulitan menemukan bawang. Aku menghampirinya, membuka rak atas dapur dan menanyakan padanya butuh berapa banyak. Aku mengambil lima siung bawang merah.
“Mengapa belakangan aku sering lupa letak barang-barang?”, tanyanya padaku sambil membantunya mengupas bawang merah.
“Mungkin ayah perlu ke dokter, mau kuantar kapan?”
“Ah, sudahlah, aku tidak apa-apa,” balasnya sambil membawa pergi mangkuk berisi bawang dan mencucinya di wastafel.
Aku menceritakan padanya tentang buku yang sedang kubaca. Buku yang menggambarkan kisah seorang pembaca nyaring yang dapat memunculkan tokoh dari dalam buku ke dunia nyata. Aku bertanya padanya, jika bisa begitu buku apa yang ayah ingin tokohnya bisa muncul di dunia nyata?
“Mungkin aku ingin tokoh Saya di cerita Orang-orang Bloomington menjadi nyata. Aku penasaran seperti apa rupa mereka, mungkin ada yang laki-laki mungkin bisa juga perempuan.”
“Ah, apakah di cerita itu tidak diterangkan? Bagaimana bisa cerita ditulis seperti itu?”, ujarku yang belum pernah membaca buku tersebut.
“Ya, ini cerita pertama yang menggunakan ‘Saya’ sebagai kata ganti orang pertama dan belum pernah kutemukan cerita seperti itu memang.”
Buku-buku memang selalu setia di dalam raknya menungguku mengambil mereka dan membacanya. Mereka selalu siap melambungkan pikiran dan khayalanku, mereka bisa mengajakku melintasi ruang dan waktu. Terkadang aku berada di abad lampau di sebuah negeri yang penduduknya tidak makan nasi. Pada waktu yang lain, aku berpindah ke dunia ajaib yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, aku bertemu makhluk-makhluk aneh dan tiba-tiba melihat berbagai kekuatan sihir yang mengagumkan.
Ayahku mengusulkan untuk membacakan nyaring satu judul buku setiap malam. Loh, aku kan sudah bisa membaca, kenapa harus dibacakan buku. Aku menolaknya, aku enggan dibacakan buku karena aku bukan bocah kecil yang masih mengeja aksara. Namun, ayah menolak alasanku. Ayah tetap ingin membacakan buku untukku setiap malam selama lima belas menit saja.
"Kita coba dulu malam nanti, satu bab saja!"
“Entahlah, sepertinya tidak menarik,” ujarku dengan malas sambil membaca kembali Inkheart.
***
Ayahku membacakan bab pertama dari Alice di Negeri Ajaib. Katanya, Alice sedang duduk menunggu kakaknya yang membaca buku tapi tanpa gambar ataupun percakapan.
“Apa gunanya buku, “ pikir Alice, “kalau tak ada gambar atau percakapannya?” Ayah membacakannya dengan gaya anak-anak yang sebal pada buku-buku cerita yang panjang dan tak ada gambar. Aku jadi mengikik mendengarnya. Ayah terus membacakan cerita itu dengan suara yang berubah-ubah dan sangat lucu karena adegan Alice terjun ke lubang kelinci itu memang kocak, ia senang berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bagaimana menurutmu?”
Kupikir tak ada salahnya dibacakan buku, karena ayahku pendongeng yang hebat, haha! Rasanya seperti sedang menonton teater di hadapan matamu sendiri, suasana Alice masuk ke lubang kelinci seperti di depan mataku. Kenapa tidak sejak dulu ayah membacakan nyaring cerita padaku? Duh, enak sekali menonton ayah bercerita. Ia bisa mengubah suaranya, ia memelankan suaranya atau ia menjadi angin dan badai yang begitu berisik. Aku beruntung memiliki ayah!
***
“Hei, kutu buku, baca apa kau?” ujar seorang temanku, “Memangnya saat ini masih ada yang membaca buku?”
Aku diam menatapnya, aku enggan menanggapi temanku itu dan aku berdiri saja untuk pergi meninggalkannya. Anak itu dan beberapa temannya yang lain tidak senang membaca tetapi senang menggangguku membaca. Mereka menyebutku, ‘kutu buku’ dan mengolok-olok setiap buku yang kubaca, ingin sekali rasanya kusihir mereka agar diam dan tak menggangguku lagi.
Aku setengah berlari menuju lorong namun mereka berhasil mencegatku. Aku terjebak di tengah tiga anak konyol yang tidak doyan membaca dan hanya hobi merusak kesenangan orang lain. Aku tanya pada mereka, “apa yang kalian butuhkan? Aku hanya punya rekomendasi judul buku.”
Mereka tertawa seperti sambaran petir yang terlalu keras. Satu orang dari mereka mulai bicara dengan nada mengejek.
“Kau punya judul cerita tentang bagaimana mengisengi anak yang suka membaca? Hahahah… Tawa mereka makin mengalahkan suara bel istirahat selesai.
“Sudah masuk, ayo cepat tinggalkan dia!” seru seorang lain di antara mereka.
Aku kesal, kekesalanku seperti gunung api yang hampir meletus. Aku benar-benar sebal pada anak-anak itu, “ingin rasanya aku pindah dari kelas itu,” pikirku, “agar mereka berhenti mengejekku, memangnya apa yang salah dengan membaca buku? Aku kan tidak mengganggu mereka?”
Kejadian di sekolah siang itu aku laporkan pada ayah. Katanya, “lalu kau diam saja? Mengapa tak kau jawab saja, “Mungkin kalian bisa mengarangnya, karena belum pernah ada judul buku begitu! Besok, jika mereka tanya lagi, jawablah begitu!”
Aku sih berani-berani saja mengatakan itu hanya saja aku takut jika mereka memukulku. Aku resah karena tak punya kekuatan fisik sebesar ultraman, aku cemas karena tak bisa bela diri seperti pendekar pemanah rajawali, sungguh aku merasa lemah sekali.
“Jangan hiraukan anak-anak bodoh itu!,” ujar ayah sambil duduk di hadapanku.
“Sepertinya mereka hanya belum menemukan buku yang tepat untuk dibaca,” sambung ayah sambil menepuk pundakku.
Aku tersenyum masam. Aku menyampaikan kekhawatiranku pada ayah. Aku merasa dalam bahaya sebab mereka bisa saja sewaktu-waktu menyakitiku. Ayah memberi usul untukku belajar bela diri hanya agar bisa mencegah mereka melukaiku. Memang sih, bela diri itu kelihatannya keren. Tetapi, apa benar aku butuhkan? Aku ragu.
Aku sedang asyik membaca di perpustakaan ketika bapak petugas perpustakaan memanggilku dan menunjukkanku informasi sebuah lomba resensi buku cerita. Ia begitu bersemangat seperti pemain sepak bola yang ingin mencetak gol. Ia mengajakku untuk ikut serta lomba tersebut agar hobiku membaca selama ini tidak percuma. Ia mengatakan akan membantu dan menjadi mentorku untuk mengikuti lomba resensi buku.
“Aku belum tahu, bisa atau tidak,” jawabku sambil mengigit bibir. Aku ragu bisa menulis resensi yang baik dan benar dan tentu saja tidak memuja atau mencela berlebihan. Ia meyakinkanku dan seperti sihir rayuan maut, aku langsung saja mengiyakan ajakan tersebut.
Tema buku yang diresensi bebas. Aku mendiskusikan judul buku yang akan aku pilih setelah membuat daftar buku. Aku mengajukan judul klasik Alice di Negeri Ajaib; atau Bridge to Terabithia. Ia sepakat jika aku mau meresensi Bridge to Terabithia. Aku meminjamnya dari perpustakaan dan mulai membacanya lagi — keempat kalinya.
Aku mulai menandai beberapa bagian yang akan kukutip untuk dipajang di resensiku nanti. Aku memberi catatan-catatan kecil pada bagian penting seperti konflik, alur cerita dan penokohan. Aku sudah menyelesaikan semuanya lalu menyerahkannya pada temanku petugas perpustakaan. Katanya, semua sudah bagus hanya sedikit lagi perbaikan di penjelasan konflik.
Anak-anak itu menggangguku lagi, kali ini mereka menyebutku si tukang khayal lalu membahas buku cerita yang kubaca hanya omong kosong. Aku merasa tidak bisa membiarkannya kali ini, mereka mesti diberi ketukan pada otaknya agar sadar dan tidak mengejekku lagi.
“Hai, tidak mengapa aku menjadi tukang khayal, itu lebih baik daripada otakku kosong seperti otak kalian,” ujarku sambil mendekati mereka yang sedang duduk. “Lebih baik kalian diam saja, kalau tidak suka membaca, sebab ucapan kalian seperti dengung nyamuk yang hilang dalam satu tepuk, lemah dan tak berisi.”
Mereka hanya diam dengan tatapan bodoh dan tak sanggup berkata-kata lagi. Aku merasa lebih kuat karena bisa membela diriku sendiri dari ejekan mereka. Aku sangat senang karena tanpa ilmu bela diri seperti pendekar aku tetap bisa menolong diriku. Memang teman yang menyebalkan selalu akan ada, dan benar kata ayahku jangan pedulikan dan berpalinglah dari orang-orang bodoh seperti mereka.
Sebulan kemudian aku mendapat berita bahwa aku menjuarai lomba resensi. Aku begitu bersyukur karena bisa memberitahu dunia bahwa membaca dapat membawamu kemana pun, tanpa perlu pergi kemana-mana. Sebagaimana, ejekan teman-temanku si ‘kutu buku’ ini bisa menulis resensi yang bagus. Membaca memang tidak pernah salah, jika kau bisa menemukan buku cerita terbaik maka bersiaplah akan petualangan dan perjalanan baru yang akan menyambutmu.
Petugas perpustakaan memberikan selamat padaku siang itu, katanya ia juga tidak menyangka bahwa aku menjadi juara pertama. Aku pun berterimakasih padanya, jika bukan karena sarannya mungkin aku tak bisa jadi juara. Ia adalah teman diskusi membaca yang menyenangkan setelah ayahku. Perasaan ini luar biasa, aku begitu senang membaca dan tak ada yang bisa menghentikanku membaca buku-buku bagus dengan cerita yang menawan.