Metamorfosis Kupu-kupu
Kisah metamorfosis kupu-kupu, di mana anak-anak kelas IV melakukan penelitian tentang daur hidup kupu-kupu. Cerita anak dengan POV seekor ulat yang berubah menjadi kepompong dan menjadi kupu-kupu cantik. Dengan cerita anak ini, para siswa, terutama kelas IV bisa belajar dengan mudah.
Metamorfosis Kupu-kupu
Kurasakan tangan kecil menyentuh dan mengangkatku dari daun jati. Aku menggeliat karena merasa geli. Baru saja mau makan, tapi aku sudah dipindah ke sebuah tempat. Di tempat itu, aku juga melihat kakak dan beberapa temanku.
Tempat itu banyak sekali daun jatinya. Daun-daun itu masih segar. Mungkin sengaja dipetik untuk tempatku bermain. Tentu saja aku jadi senang. Aku bisa melanjutkan makan. Aku masih lapar. Karenanya aku segera makan sepuasnya.
Ah iya, dulunya aku berasal dari telur kupu-kupu. Terus menetas jadi larva atau ulat. Aku sendiri lebih senang disapa Larva.
Di tempat baru itu, meski aku tak bisa terjun dari ketinggian pohon jati dengan air liurku, aku tetap menikmatinya. Setidaknya aku masih merasakan angin segar menerpaku.
"Seperti kata Bu guru, kita akan mengamati daur hidup kupu-kupu. Semoga sukses ya, teman-teman," suara anak perempuan terdengar jelas di telingaku.
"Iya, makanya kita rawat ulat jati ini dengan baik," usul seorang anak lelaki.
Ah…mereka sangat pintar, mengamati perputaran atau daur hidup kupu-kupu sepertiku, kakak dan teman-teman. Semoga saja kami bisa membantu mereka.
"Hai, Adik Larva. Kita main-main dulu yuk!"
"Main apa, Kakak Larva? Kita nggak bisa terjun lagi sekarang," aku mengingatkan Kakak Larva.
Kakak Larva diam sejenak. Memang biasanya kami bermain yaitu berlomba cepet-cepetan turun dari ketinggian saat pagi tiba. Siapa yang lebih cepat sampai tanah, dialah yang menang.
Setelah itu saat di tanah, kami masih melanjutkan bermain. Lomba lari. Kami sangat senang melakukan permainan-permainan ini.
"Kita main petak umpet saja, Adik Larva. Gimana?"
"Oke deh, kakak! Siap!"
Kami bermain. Sebelumnya, kami jarang bermain petak umpet. Tapi tak ada salahnya kalau kami bermain petak umpet. Pasti seru!
Kami suit terlebih dahulu dahulu, untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga dan siapa yang harus bersembunyi. Permainan ini semakin seru, saat teman-teman juga ikut bergabung.
Kakak yang berjaga dan menutup mata sambil menghitung seberapa lama kami harus mencari tempat persembunyian. Aku dan teman-teman merambat ke helai daun jati yang tersedia.
Tak lama aku menemukan tempat persembunyian yang aman dan nyaman. Pasti kakak merasa kesulitan mencariku. Hatiku bersorak, "Hore! Kakak pasti sulit menemukanku!" Aku tersenyum gembira.
Lama sekali suara kakak tidak kudengar mencariku dan teman-teman. Mungkin lelah dan tidak bisa menemukanku, lalu beristirahat.
"Oaaahhh. Ngantuknya. Lebih baik aku tidur saja. Sambil menunggu kakak," gumamku.
Tidurku sangat nyenyak. Maklum aku kelelahan bermain dengan kakak dan teman-teman di tempat kami yang baru.
Setiap terjaga, aku tidur lagi. Ditambah lagi hawa lebih dingin dari biasanya. Aku tak peduli dengan rasa lapar. Ya, aku akan berpuasa untuk dua sampai tiga minggu. Aku bisa menahan laparku. Sudah saatnya aku puasa biar bisa menjadi kupu-kupu.
Tapi hawa dingin membuatku kedinginan. Kuselimuti tubuhku dengan daun tebal. Tak tanggung, selimutku tak hanya menutup tubuh. Kepalaku pun kuselimuti. Ah…hangat rasanya.
Saat menikmati nyamannya tidur dan menahan perut kosong, kudengar sekilas ada temanku berteriak. Tidurnya terganggu oleh tangan anak jahil. Selimutnya diambil dan anak jahil itu mengutak-atik tubuhnya. Kasihan sekali.
Tapi sayangnya aku tak bisa membantunya. Aku hanya berdoa, kakakku tak diganggu saat tidur lama dan temanku yang lain selamat.
Kata anak yang mengamati aku, kakak dan teman-teman, kini kami menjadi kepompong. Ya, memang kini kami menjadi kepompong. Kalau anak-anak yang mengecekku setiap hari itu menyapaku dengan Pupa. Lucu juga sapaanku itu.
Terserah deh, aku mau disapa Kepompong atau Pupa. Asal aku tak diganggu. Juga kakak dan temanku. Semoga saja ketika aku bangun dan melepas selimutku, aku bisa bertemu dengan kakak dan temanku lagi. Bermain bersama mereka lagi.
Untuk melindungiku dari gangguan tangan manusia, aku mengeratkan selimutku pada daun tempatku menempel. Itu membuatku lebih nyaman.
"Hai, Pupa. Rasanya tak sabar aku ingin melihatmu berubah jadi kupu-kupu. Ingin melihatmu terbang menari-nari," begitu sapa mereka.
Suara ramah anak-anak itu membuatku nyaman.
"Berapa lama lagi ya Pupa itu berubah jadi kupu-kupu? Rasanya aku tak sabar untuk melihat keindahan mereka," ucap anak laki-laki.
"Sabar, kita tunggu saja, Leo. Semoga segera segera menjadi kupu-kupu."
Dua mingguan berlalu. Aku ingin sekali keluar dari selimutku. Kurasakan semakin hari tubuhku semakin sesak di dalam selimut. Meski begitu, tubuhku terasa ringan. Mungkin karena aku tak makan selama menjadi Pupa ini.
Kurasakan ada perubahan pada tubuhku. Cuma saja, aku belum tahu, akan menjadi seperti apakah kalau aku berubah menjadi kupu-kupu.
Dalam pikiranku, aku akan mencari sari-sari madu pada bunga yang warna-warni. Sepertinya manis. Aku semakin tak sabar untuk keluar dari selimut.
Kudesak selimut yang cukup kuat itu sekuat tenagaku. Aku akhirnya bisa keluar dari selimut. Tapi, di mana anak-anak yang mengamati perubahan daur hidup kupu-kupu? Tidakkah mereka ingin melihat perubahanku?
Ya sudah, aku terbang rendah di sekitar wadah kami ditempatkan. Aku ingin anak-anak pintar itu bisa membuat laporan yang diminta guru mereka.
Kalau misalnya mereka belajar ilmu pengetahuan alam, maka perkembangan dan perubahan hidup kupu-kupu seperti kami, termasuk metamorfosis sempurna.
Kupu-kupu seperti kami ini nantinya bertelur. Kemudian telur menetas dan menjadi ulat atau larva, Pupa, kupu-kupu dan seterusnya.
"Adik, ayo terbang ke sana!" Ajak kakakku yang telah bersayap dengan warna yang indah. Dia menunjuk ke sebuah taman yang dipenuhi dengan bunga. Warnanya cantik-cantik. Ada merah, kuning, ungu dan masih banyak lagi.
"Di sana ada taman. Bunganya banyak banget! Kita bisa menikmati madunya lho!" Aku mengangguk. Aku memang sudah melihat taman bunga itu dari sini.
"Iya, kak. Tapi sebentar. Aku menunggu anak-anak yang belajar tentang metamorfosis sempurna itu," terangku.
"Oke, adik. Tapi hati-hati ya! Jangan sampai kau ditangkap dan dimasukkan ke plastik".
Aku mengangguk sambil mengepakkan kedua sayapku.
"Tunggu, kakak!"
Kakak mengurungkan kepergiannya dan berbalik ke arahku.
"Ada apa, dik?"
"Warna sayap Kakak sangat cantik dan indah. Apakah aku juga demikian?"
Kakak tersenyum.
"Iya, dik. Kamu cantik dan indah juga. Sayapmu warna-warni. Lukisan warna cokelat tipis ada di sayapmu".
Aku bahagia mendengarnya.
"Horeeee! Semua Pupa sudah jadi kupu-kupu! Cantik-cantik semuanya. Kita tinggal menulis hasil pengamatan kita!"
"Iya. Kamu benar, Intan. Yuk kita lengkapi hasil pengamatan kita!"
Anak perempuan yang disapa Intan itu mengambilku. Lalu aku diletakkan di telapak tangannya.
"Terbanglah, kupu-kupu cantik!"
Aku menatap Intan dan teman-temannya, lalu terbang di depan mereka.
"Sini, Adik! Kita nikmati madu pada bunga-bunga di sini!"
Kukepak-kepakkan sayap lagi, mendekati anak-anak pintar itu, sambil mengucapkan terimakasih. Meski mereka tak mendengar dan tak memahami ucapanku.
Gunungkidul, DIY 19 Januari 2023