Mimpi Kecil Abas

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Kabur dari rumah sendirian setelah dimarahi Bapak, Aril menempuh tiga jam perjalanan untuk pergi menuju Kos Abang pertamanya di Kota. Disana dia berniat untuk berlibur, tapi malah di ajak ke Gunung untuk mendaki, sepertinya begitu. Setelah delapan jam perjalanan, Aril sampai di sebuah Desa terpencil. Ternyata agenda mendaki yang dia pikirkan hanyalah khayalan. Dia justru terjebak untuk mengikuti kegiatan yang tidak pernah terbayangkan.

Lakon[sunting]

  1. Aril
  2. Abang Deni
  3. Abang Haikal
  4. Abang Fahri

Cerita Pendek[sunting]

Perjalanan Tiga Jam Yang Berani[sunting]

Dari sesampainya aku di kos Abang Deni, dia tampak sibuk berbenah. Aku bahkan tidak bisa beristirahat di atas kasurnya karena dipenuhi baju dan barang lain.

“Abang tidak bisa antar kamu ke rumah sekarang, besok soalnya mau pergi. Lagipula, anak yang baru lulus Sekolah Dasar ini bisa-bisanya kabur dari rumah sendirian.”

“Ya salahkan Bapak, kenapa selalu marah-marah kalau aku main game di laptop. Itukan salah satu bentuk healing bang.” Ucapku sambil manyun, dan masih terbayang wajah garang Bapak.

“Ya sudah, kalau mau healing, besok ikut Abang saja.”

Aku hanya mengangguk setuju, tanpa tahu tujuan sebenarnya.

***

Perjalanan Delapan Jam Yang Melelahkan[sunting]

Padahal aku hanya duduk dan tertidur di dalam minibus ini. Tapi rasanya badan agak remuk, belum lagi kaki yang terasa kesemutan tidak bisa diluruskan. Memang perjalanan menggunakan mobil begini tidak bisa jauh-jauh.

Tapi Bang Deni tidak terlihat letih seperti aku. Dia sedari awal berangkat sibuk dengan buku kecilnya dan kamera. Dia bahkan sampai membawa kamera kesayangannya. Sepertinya ini perjalanan mendaki yang diimpikannya. Memotret banyak hal, atau barangkali merekam perjalanan sejak delapan jam tadi, itulah yang dilakukan Bang Deni yang duduk di bangku depan.

Oh iya, ini bukan perjalanan kelompok kecil yang sederhana. Ternyata teman Bang Deni yang lain juga banyak yang ikut serta, ada lima orang. Barang-barang bawaan mereka juga lumayan banyak. Daripada bosan dengan perjalanan ini, aku mencoba mengingat-ingat, siapa saja nama-nama mereka tadi.

“Sebentar lagi kita sampai Den, tapi dari ujung jalan itu mesti naik motor lagi.” Terang Bang Fahri, laki-laki yang duduk tepat disebelahku.

“Oh begitu ya, wajar sih, jalan ke gunung kan kurang bagus.”

Aku mangut-mangut saja, padahal tidak tahu gunung apa yang akan kami daki.

***

“Terima kasih Pak, hati-hati di jalan.”

Kami melambaikan tangan pada Bapak-bapak yang membawa kami menuju persimpangan yang nampaknya sebuah Desa kecil. Hari semakin larut, dengan kondisi tubuh yang super lelah, aku masih ikut mengangkat barang-barang ke sebuah rumah kecil. Walaupun bukan hanya aku saja, semua yang ikut juga melakukan hal yang sama.

Meskipun aku masih menyimpan banyak tanya. Mengapa kami justru menginap di sebuah Desa dan bukannya mendirikan tenda dan memulai perjalanan mendaki ini. Namun, setelah berpikir rasional, dengan kondisi langit yang gelap agak riskan untuk melanjutkan perjalanan. Lagipula, menginap di salah satu rumah penduduk jauh lebih baik daripada mendirikan tenda malam hari.

***

Enam Hari[sunting]

“Bang Deni, sesudah sarapan, kita langsung berangkat mendaki kah?” Sebenarnya pertanyaan itu sudah cukup lama aku simpan, tapi tidak sempat aku tanyakan. Semua teman-teman Bang Deni bahkan bangun sebelum matahari terbit, mandi dan sarapan. Aku hanya mengikuti alurnya saja.

“Enggak. Kita di sini sampai enam hari kedepan.”

“Hah?” Aku terkejut bukan main, mengapa mendaki menjadi seperti ini? “Tunggu dulu Bang, katanya mendaki, kenapa malah menginap di Desa terpencil ini enam hari?”

Bang Deni tampak melihat-lihat teman-temannya sebelum menjawab pertanyaanku. “Aku enggak pernah ngomong ini kegiatan mendaki. Tapi semacam itu, kita masuk ke tempat ini untuk menjadi relawan.”

“Relawan? Untuk apa?”

“Kamu lihat, apa ada sekolah di Desa ini? Apa ada Rumah Sakit? Ah, Puskesmas saja enggak ada. Jadi, Abang sama teman-teman yang lain menjadi bagian untuk membagi ilmu yang dipunya kepada ‘keluarga kita’ yang belum tersentuh pendidikan.”

Aku terhenyak. Meskipun aku merasa sedikit tertipu, tapi ada benarnya juga. Sejak pertama menginjakkan kaki di Desa ini, aku tidak melihat bangunan besar. Hanya rumah anyaman kecil yang rapuh.

“Tidak usah dipusingkan Ril, kalau kamu tidak mau ikut berperan, ya tidak apa-apa. Kamu bisa melakukan semua semaumu, anggap saja ini healing yang kamu cari.”

Bang Deni berjalan meninggalkanku sendiri di depan pintu. Meninggalkan banyak tanya untuk diriku. Lantas mengapa aku harus merasa kecewa? Mengapa aku jadi ingin pulang?

***

Abas[sunting]

Rasanya membosankan berada di rumah kecil ini sendirian. Ya, pada akhirnya aku menemukan jawabannya untuk tidak melakukan apapun dan menikmati suasana Desa ini- oh atau hutan ini layaknya tengah berlibur. Karena aku sendiri tidak tahu akan jadi seperti ini.

“Apa itu Bang?”

“Astagfirullah!” Aku berteriak kaget, seorang anak kecil tiba-tiba saja muncul lewat jendela. Bahkan laptop yang kupangku sampai jatuh.

“Maaf Bang.”

“Ah iya, enggak apa-apa. Laptopnya juga masih normal. Tapi, kamu siapa? Ah, maksudnya anak siapa?” Bingung juga, bertanya anak siapa – padahal aku juga tidak kenal orang sini.

“Nama saya Abas Bang.” Jawabnya dengan senyum cerah, dan tangan yang terulur yang minta disambut untuk dijabat.

Aku menyambut tangan itu dan mengangguk paham. “ Oke, aku Aril. Panggil Bang Aril ya.”

“Iya Bang Aril. Abang ini tidak ikut Abang yang lain menanam di kebun ya?” tahu-tahu Abas sudah duduk manis di sampingku.

Aku terdiam sejenak, malu juga ditanya demikian. “Ah, enggak. Abang ada tugas yang harus dikerjakan.”

“Tugas apa Bang?”

Duh, anak ini banyak tanya juga ternyata. “Tugas sekolah.” Terangku berbohong.

“Wah, Abang sekolah?”

Terdiam, aku tidak tahu kenapa mata Abas jadi lebih bersinar ketika mendengar sekolah. “Iya.” Aku hanya mampu menjawab sesingkat itu, berharap anak ini akan segera pergi.

Sunyi. Tampaknya Abas tidak punya pertanyaan lagi. Baguslah kalau begitu, aku bisa menonton film lagi di laptop. Tapi, anak itu justru semakin mendekat denganku. Bahkan kepalanya hanya jarak sejengkal dengan laptop.

“Jangan terlalu dekat dengan laptop, nanti matamu rusak.” Aku menyingkirkan kepalanya agar duduk tegap kembali.

“Ini namanya laptop Bang?” Abas menunjukku laptop yang tengah aku gunakan.

“Iya, memangnya apalagi.” Jawabku ketus.

“Abang, tulisan ini apa? Kenapa cepat sekali hilangnya? Saya belum selesai baca.”

“Itu namanya subtitle, kalau film berbahasa inggris biasanya ada terjemahannya di bawah.” Jelasku agar dia paham dan tidak banyak tanya lagi.

“Wah, aku tidak mengerti. Aku baru belajar abjad saja.”

“Memangnya kamu kelas berapa?” Tanyaku penasaran, perkiraanku sih dia sudah kelas dua sekolah dasar.

“Aku tidak sekolah Bang, di sini tidak ada sekolah. Tapi, aku diajarkan membaca sama Abang Deni.”

Oh iya, tidak ada Sekolah, Puskesmas. Listrik saja cuma hidup setengah hari, malam tadi kami tidur dalam keadaan remang.

“Besok aku mau belajar berhitung, sama Abang Deni.”

Terus aku harus jawab apa? Jadi manusia yang tidak berguna disini? Kenapa aku jadi tersindir ya? “Abas, bisa kamu tunjukkan dimana kebunnya?”

“Bisa, Abang mau ke sana juga?”

“Iya.” Jawabku pelan.

***

Tatapan-tatapan itu sebenarnya agak menakutkan. Bahkan Bang Deni tampak melihat kearahku terus. Apa salah berubah pikiran untuk ikut serta juga?

“Kamu mau coba mengajarkan kelompok kecil yang di sudut itu ngak Ril?” Abang Fahri menepuk pundakku pelan.

“Ah, boleh deh Bang.” Jawabku gagap.

“Oke Ril, ajarkan sebisa kamu aja ya. Semangat!”

Aku hanya mengangguk kecil dan menghampiri sekumpulan anak-anak yang duduk paling ujung di rerumputan luas. Ada Abas juga di sana. Mereka masih sangat kecil dan penuh semangat.

“Abang Aril akan mengajarkan berhitung ya?” Tanyanya antusias.

“Iya, kalian sudah siap?” Padahal itu pertanyaan untuk diriku sendiri. Apa aku sudah siap untuk membagikan ilmu yang aku punya?

***

“Hahaha, Abang kalah.”

Sial, aku diejek anak kecil. Tapi memang sepertinya kemampuanku bermain kelereng sudah menurun semenjak lulus Sekolah Dasar. Menjadi anak kelas satu SMP memang menguras segala kesenangan bermainku selama ini.

“Ya sudah, apa hukumannya?”

“Pancasila.” Teriak anak-anak itu serentak.

Dengan lantang, aku mengucapkan sila pertama sampai sila terakhir. Mereka semua bertepuk tangan ketika aku selesai. Mengatakan bahwa aku benar-benar hebat bisa hapal pancasila, sementara mereka masih berjuang untuk menghapalkannya.

“Bang Aril, kalau kami bisa hapal pancasila, boleh tidak diajarkan membaca di laptop milik Abang?”

Mungkin maksudnya menonton film, seperti tempo lalu ketika Abas melihat tulisan berjalan cepat di laptopku. “Boleh, kalau begitu tiga hari lagi semuanya sudah harus hapal pancasila ya?”

“Siap!” Teriak mereka serentak.

***

Suara tawa itu, suara riang yang menyapa pendengaranku beberapa hari terakhir benar-benar mengagumkan. Anak-anak yang selalu ceria, bahkan ketika menghadapi matematika yang menyulitkan, mereka tetap dengan tawanya. Kini mereka tengah asyik menonton di depan laptop milikku yang sengaja akau bawa untuk bermain game, tapi ternyata kegunaannya bisa lebih bermanfaat.

Melihat bagaimana mereka sangat bersemangat untuk menuntut ilmu, aku benar-benar tertampar. Bagaimana aku bisa mengeluh ketika aku memiliki semuanya? Akses, kesempatan, bahkan tekonologi yang jauh sekali dari keadaan anak-anak ini. Mengenal huruf saja, mereka baru memulainya. Sementara aku sudah tiba di tempat yang amat jauh, dimana teknologi membantu banyak untuk pendidikanku. Memikirkannya membuatku terhenyak, ‘pendidikan itu untuk siapapun’ sepertinya belum bisa disematkan untuk mereka. Lalu apakah ini adil? Mereka yang jauh tertinggal, namun tak pernah meninggalkan semangat mereka. Sementara aku yang amat maju, namun tidak mau melangkah.

***

“Makasih Ril pinjaman laptopnya.”

Abang Deni tiba-tiba menghampiriku yang tengah beberes lembaran kertas yang dikerjakan anak-anak kecil pagi ini. “Bukan apa-apa Bang Den, cuma bantuan kecil saja.”

“Oh ya, besok kita sudah balik ke Kota.”

Pernyataan dari Abang Haikal itu menyadarkanku, ini sudah hari keenam. Sungguh waktu terasa begitu cepat berlalu. Rasanya aku tidak rela meninggalkan tempat ini. Keinginan untuk mengajar malah semakin bertumbuh, aku sungguh bahagia ketika semuanya bisa membaca dengan lancar.

***

Mimpi Kecil Abas[sunting]

Aku terdiam memandangi hamparan hutan yang menjadi pemandangan setiap pagi selama enam hari ini. Pemandangan yang pasti akan sangat aku rindukan. Selalu bertanya-tanya, apakah aku bisa kembali lagi ke tempat ini? Aku pasti akan sangat merindukannya.

“Abang Aril! Ini buat Abang.”

Aku tersentak, melihat Abas yang membawa secarik kertas untukku. “Ini apa?”

“Surat untuk Abang.”

Aku tersenyum kecil, bahkan Abas sudah bisa menulis surat yang notabenenya pasti panjang, semangatnya patut diacungi sepuluh jempol. Memasukkannya ke dalam saku celana, aku ingin membacanya nanti, karena surat ini amat spesial.

“Abas, kalau sudah menjadi dewasa, kamu mau jadi apa?”

Abas memamerkan giginya sambil berucap lantang, “Jadi Guru seperti Abang.”

Sepertinya aku semakin cengeng, gumpalan air mata sudah menumpuk di kelopak mata, tapi aku berusaha menahannya. Apa aku sudah pantas menyandang profesi super hebat itu?

“Abang tunggu Abas jadi Guru, nanti kita bertemu lagi untuk mengajar bersama.”

“Siap Abang!” Teriaknya kencang.

***