Lompat ke isi

Misteri Suara-suara di Tengah Malam

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

MISTERI SUARA-SUARA DI TENGAH MALAM

Sinopsis

[sunting]

Bani, yang sedang giat berlatih untuk bertanding bola, kehilangan sebelah sepatunya, dan merasa terganggu oleh suara-suara misterius dari ruang kerja Ibu di tengah malam. Ia tak dapat berbagi masalah dengan Bano, karena sedang kesal dengan saudara kembarnya itu. Arief, sahabat Bani, menyarankan untuk menyelidikinya. Bani berusaha menguak misteri suara-suara itu dan mengalami pengalaman yang tak terlupakan bersama Bano,

Tokoh

[sunting]
  1. Bani
  2. Bano
  3. Arif
  4. Ibu
  5. Ayah

Lokasi

[sunting]

Rumah keluarga Bani

Cerita Pendek

[sunting]

Jeg jeg jeg jeg jeg …!

Bani tersentak. Ada suara yang mengganggu tidurnya. Itu bukan suara alarm jamnya. Alat yang disetel, untuk membangunkan Bani pada Minggu pagi, belum berbunyi. Oh!

Sudah tujuh malam Bani mendengar suara itu. Sumbernya dari ruang kerja Ibu. Misterius dan mengganggu. Semula, suara itu membuat Bani bertanya-tanya. Ada hal yang tidak wajar di ruang kerja Ibu. Lama-kelamaan, Bani mulai merasa terganggu dan ngeri. Jangan-jangan ada ….

Dalam keadaan masih mengantuk, Bani menyalakan lampu di samping tempat tidur. Lalu ia mengecek waktu. Jam dua belas! Hiiii!Seperti pada malam-malam sebelumnya, suara misterius itu,membuat Bani tidak nyaman. Jantung Bani terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ingin rasanya Bani membangunkan Ibu dan Ayah. Tetapi Bani tak sampai hati untuk mengganggu istirahat mereka. Bani juga tak ingin saudara kembarnya, Bano, terbangun dan ikut berkomentar. Alasannya, sudah seminggu ini Bani enggan bicara dengan Bano. Bermula dari kejadian seminggu lalu, saat Bani akan pergi berlatih bola.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, suara misterius itu,membuat Bani tidak nyaman. Jantung Bani terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ingin rasanya Bani membangunkan Ibu dan Ayah. Tetapi Bani tak sampai hati untuk mengganggu istirahat mereka. Bani juga tak ingin saudara kembarnya, Bano, terbangun dan ikut berkomentar. Alasannya, sudah seminggu ini Bani enggan bicara dengan Bano.

Bermula dari kejadian seminggu lalu, saat Bani akan pergi berlatih bola.

“Uuuuuh!” Bani menggerutu sambil sibuk mengeluarkan isi lemari sepatu.

“Ada apa, Bani?” tanya Ibu, dengan nada khawatir.

“Sepatu kananku hilang!” sahut Bani dengan nada kesal.

“Yakin hilang?” tanya Ayah, yang muncul tak lama kemudian.

Bani hanya bisa mengangguk, lalu kembali memeriksa isi lemari itu.

“Kemarin kuletakkan di sini.”


Ingin rasanya Bani membanting semua sandal dan sepatu yang ada di dalam lemari. Tetapi ia menyadari, tidak ada gunanya marah-marah. Hanya membuat gaduh saja. Bisa-bisa Bano ikut muncul dan meledeknya. Ujung-ujungnya, mereka bertengkar.

Semoga saja Bano masih tidur siang, batin Bani.

Tanpa diminta, Ayah dan Ibu ikut mencari ke seluruh ruangan. Namun, hasilnya nihil. Akhirnya, Bani menyerah. Ia memutuskan untuk berangkat karena sudah ditunggu oleh pelatih dan teman-temannya.

“Bani pergi dulu, Bu, Yah.”

Bagi Bani, sepatu bolanya itu istimewa. Meski bukan sepatu mahal, Bani bangga memakainya. Untuk memilikinya, Bani harus menabung uang saku selama berbulan-bulan. Senang sekali hati Bani, ketika diboncengkan Ayah membawa pulang sepatu yang telah lama diidamkan.  

Sepatu bola Bani itu telah menemaninya menjadi kiper dalam berbagai pertandingan sepak bola antar kecamatan. Ia berharap, tiga tahun lagi, sepatu itu akan mengantarkannya terpilih untuk masuk tim sepakbola kelompok umur 16. Sebenarnya, Bani segan pergi berlatih tanpa memakai sepatu bola. Tetapi, waktu pertandingan sudah dekat. Bani dan teman-temannya perlu lebih sering berlatih. Nah, siapa yang menduga kalau sekarang ada halangan. Sebelah sepatunya mendadak hilang!

Sebenarnya, Bani segan pergi berlatih tanpa memakai sepatu bola. Tetapi, waktu pertandingan sudah dekat. Bani dan teman-temannya perlu lebih sering berlatih. Nah, siapa yang menduga kalau sekarang ada halangan. Sebelah sepatunya mendadak hilang!

Bani marah, tetapi tak tahu kepada siapa ia harus marah.

Aneh sekali, benda sebesar itu bisa menghilang, batin Bani.

Hari itu, terpikir oleh Bani untuk membeli sepatu baru saja. Ia punya uang tabungan. Tetapi, seminggu lagi Bani dan Bano berulangtahun. Bani sudah punya rencana rahasia untuk Bano. Ia telah membuat lukisan wajah cantik Bano. Ia akan mengajak sahabatnya, Arif, pergi membeli pigura untuk membingkai lukisannya.

Setelah membeli pigura, Bani akan menabung lagi untuk biaya perpisahan kelas. Ia tak ingin menyusahkan Ayah dan Ibu. Bani menyadari, penghasilan Ayah sebagai pengemudi ojek tidak seberapa. Ia tahu, Ibu menjadi penjahit untuk membantu Ayah mencari nafkah.


Di lapangan, Arif menyapa Bani. “Kau tampak murung. Ada apa?”

“Sepatuku raib sebelah,” cetus Bani kesal.

“Terselip?” tanya Arif.

“Sudah dicari di mana-mana. Tetapi, tidak ada.”

Mendengar jawaban Bani, Arif mengangguk-angguk, lalu berkata, “Jangan-jangan ….”

Priiiiiiiiit! Obrolan mereka terhenti, karena latihan akan segera mulai.

Kacau hati Bani hari Minggu itu. Ia membuat banyak kesalahan, hingga Pelatih dan teman-teman menegurnya. Berkali-kali ia gagal mempertahankan gawangnya dari bola tim lawan.

Malam harinya, hati Bani makin kacau.

Setelah makan malam, Bani menanyakan kepada Bano tentang sepatunya yang hilang. Bano malah balik bertanya, “Kamu nanya?”

Pertanyaan Bano membuat Bani makin marah. Ketika naik ke tempat tidur malam itu, Bani memutuskan untuk mendiamkan saudara kembarnya.

Rasa marah membuat Bani sulit tidur malam itu.

Menjelang tengah malam, terdengar suara-suara di ruang kerja Ibu. Jeg jeg jeg jeg jeg …!

Hati Bani bertanya-tanya, mengapa Ibu belum tidur. Apakah Ibu sedang banyak pesanan jahitan, hingga terus bekerja sampai tengah malam? Saat sarapan Senin pagi, Bani menanyakan hal itu itu kepada Ibu.

Saat sarapan Senin pagi, Bani menanyakan hal itu itu kepada Ibu.

“Ibu sudah tidur dari jam sembilan malam,” sahut Ibu.

“Apa kau bermimpi, Bani?” gurau Ayah.

Wah! Bani jadi bingung mendengar jawaban Ibu dan gurauan Ayah. Bani tak begitu menikmati nasi goreng yang Ibu hidangkan. Ia sibuk menduga-duga, apakah ada kaitan antara hilangnya sepatu dengan suara misterius itu.

Bani tak begitu menikmati nasi goreng yang Ibu hidangkan. Ia sibuk menduga-duga, apakah ada kaitan antara hilangnya sepatu dengan suara misterius itu.

Bani ingin segera menceritakan hal itu kepada Arif. Dengan tergesa Bani menyelesaikan sarapannya, lalu pamit kepada Ayah dan Ibu. Selintas terlihat olehnya, Bano tersenyum-senyum sambil meletakkan gelas teh hangatnya. Karena masih marah kepada Bano, Bani tak menghiraukan seruannya.

“Tungguuu!”

***

Jeg jeg jeg jeg jeg …!

Selama dua malam berikutnya, suara itu mengganggu Bani lagi. Kepada Arif, Bani selalu menceritakan hal itu. Arif menyarankan agar Bani menyelidikinya.

Rabu siang itu halaman sekolah sudah sepi. Bani dan Arif duduk di bawah pohon mahoni dekat kantin sekolah.

“Kata ibuku, makhluk seperti itu takut pada bawang putih dan garam,” ungkap Arif.

”Oh ya?” .

Bani ingin menghentikan suara misterius di ruang kerja Ibu dan menemukan pasangan sepatu bolanya yang raib. Tetapi, ia harus memulai dari mana?

Aha! Bani menemukan ide bagus. Ia akan meminjam telepon genggam Ibu untuk mencari info. Mungkin ‘Paman’ Google dapat menjelaskan, bagaimana cara garam dan bawang putih mengusir makhlus halus.

Setelah mencuci piring bekas makan siangnya, Bani menemui Ibu di ruang kerja. Ibu sedang membentangkan kain untuk digunting. Sambil menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Ibu, Bani mencermati perabot di ruangan itu. Ada meja berukuran besar, tempat Ibu menggambar pola dan membentangkan kain yang akan digunting. Ada meja berukuran sedang, tempat Ibu meletakkan perlengkapan jahit dan tumpukan kain pelanggan. Dan tentu saja, ada mesin jahit tua Ibu, warisan Nenek. Bani menduga-duga dari mana sumber suara misterius itu.

Bani menduga-duga dari mana sumber suara misterius itu.

Bani terperangah saat Ibu mulai menjahit. Jeg jeg jeg jeg jeg …!

Klik! Sekarang Bani tahu, sumber suara misterius itu dari mana. Mesin jahit Ibu!  

Lalu, siapa yang menjahit di keheningan malam, ketika Ibu tidur? Jangan-jangan Arif benar. “Bu, bolehkah Bani pinjam telepon genggam Ibu?”

“Bu, bolehkah Bani pinjam telepon genggam Ibu?”

Ibu menoleh.

“Bani mau mencari info penting, Bu,” jelas Bani.

Ibu mengangguk.

Segera Bani mengambil telepon genggam Ibu dan membawanya ke teras rumah. Tanpa sengaja, Bani melihat sepatu bolanya di samping lemari sepatu.  Lengkap sepasang!

Hah?

“Bu, sepatuku yang hilang sudah kembali!” seru Bani, tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

Ibu datang dan menanggapi,“Oh, ya? Syukurlah kalau sudah ketemu, Bani.”

“Kukira, Ibu atau Ayah yang menemukan!”

Ibu menggeleng.

Deg!

Makin kuatlah dugaan Bani, kalau ada sesuatu yang tak wajar di rumahnya.

Tanpa membuang waktu lagi, Bani mulai membaca-baca info yang diperlukan.

Jeg jeg jeg jeg jeg…!

Suara itu kembali mengganggu tidur Bani pada malam harinya. Juga pada malam berikutnya. Namun, hanya Bani yang mendengarnya.

“Selidiki saja,” saran Arif.

Dalam hati, Bani membenarkan ucapan Arif. Ia perlu segera bertindak.

Sementara itu, berita tentang suara mesin jahit di tengah malam di rumah Bani, telah menyebar di kelas. Akibatnya, bermunculan berbagai komentar.

“Mungkin ada makhluk gaib atau makhluk ruang angkasa, yang meminjam mesin jahit ibumu,” canda Sunan, teman sekelas Bani.

“Kurasa ada Peri Penjahit. Ia membuat kejutan untukmu, karena sudah meminjam sebelah sepatumu,” timpal Putri, teman sebangku Bani.

Dari berbagai tanggapan teman-teman, tak ada satu pun yang dapat diterima oleh akal Bani.

***

Jeg jeg jeg jeg jeg …!

Mendengar suara itu lagi pada Jumat malam, Bani segera menutupi telinga dan kepalanya dengan bantal. Lalu ditariknya selimutnya menutupi seluruh tubuh. Pikiran Bani dipenuhi pertanyaan tentang makhluk apa yang bekerja di ruang kerja Ibu. Seperti apa rupa makhluk itu? Apa maksudnya datang setiap tengah malam? Mungkinkah ia salah satu makhluk ruang angkasa, yang terdampar di bumi? Apakah ia suka menangkap anak-anak untuk dijadikan obyek penelitian di ruang angkasa? Hiiii!


Sebelum tidur Bani selalu berdoa dan berharap tidak mendengar suara-suara itu lagi dan bisa tidur nyenyak. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, suara itu kembali terdengar dan membuat Bani sulit tidur.


Entah jam berapa Bani baru bisa terlelap. Yang pasti, saat ia terbangun, sinar matahari Sabtu pagi sudah menerangi kamar. Bani teringat akan janjinya dengan Arif. Mereka akan pergi ke toko potret untuk membeli pigura, kejutan untuk ulang tahun Bano.

Meski kesal kepada Bano, Bani tetap menyayanginya. Terkadang, Bani ingin bercerita kepada Bano, tentang suara misterius yang didengarnya setiap tengah malam. Tetapi, Bani ragu untuk melakukannya. Sejujurnya, mendiamkan Bano seminggu ini, bukan hal yang disukai Bani. Bani hanya perlu waktu untuk meredakan kemarahan akibat gurauan Bano, yang melewati batas kesabarannya.

***

Jeg jeg jeg jeg jeg …!

 Bani memutuskan untuk bertindak. Cukup tujuh malam saja suara itu mengganggunya!

Setelah menyingkirkan selimut, Bani berjingkat ke arah ruang kerja Ibu. Di bukanya pintu, tetapi, tak ada seorang pun di sana. Suasana kamar terasa mencekam. Dilihatnya semua perabotan masih pada tempatnya. Tetapi, sebentar … mesin jahit Ibu tampak terbuka. Seseorang sedang menjahit. Siapakah makhluk yang baru saja menjahit itu? Di manakah makhluk itu bersembunyi sekarang?

Tak menemukan siapa pun di ruangan itu, Bani kembali ke kamarnya.

Saat akan mematikan lampu kamar, ia melihat jarum jam menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Aha! Hari sudah berganti. Minggu pagi. Bani teringat rencana kejutan untuk Bano. Ia akan meletakkan lukisan yang telah berpigura, di depan pintu kamar Bano.

Dengan berjingkat, Bani menuju kamar Bano. Tapi …. Astaga!  Pintu kamar Bano terbuka! Jangan-jangan makhluk itu mengganggunya!

Bani harus masuk untuk melindungi Bano. Tetapi, ternyata Bano tidak ada di kamar!

Deg! Jantung Bani terasa berhenti berdetak. Tubuhnya mendadak lemas. Jangan-jangan, Bano diculik makhluk itu. Jangan-jangan, tadi makhluk itu menjahit tas besar untuk membawa Bano!

Tak ingin kehilangan Bano yang ia sayangi, Bani harus bergerak cepat untuk menyelamatkannya! Bani harus menangkap makhluk itu!

Setelah meletakkan hadiah untuk Bano di meja belajar, Bani meraih selimut Bano. Lalu ia bergegas kembali ke ruang kerja Ibu. Bani menyesal, karena belum menyiapkan garam dan bawang  putih, sesuai saran Arif. Di depan pintu ruang kerja Ibu, Bani mencoba menenangkan diri dengan bernapas panjang tiga kali, sambil berdoa.

Di depan pintu ruang kerja Ibu, Bani mencoba menenangkan diri dengan bernapas panjang tiga kali, sambil berdoa.

“Ya, Allah, kepada-Mu kuberserah. Tolonglah aku untuk menyelamatkan Bano.”


Bani melompat masuk. Jendela tertutup rapat. Langit-langit ruangan masih utuh. Lalu di mana makhluk itu bersembunyi? Apakah ia telah melarikan diri sambil membawa Bano? Pandangan matanya nanar menyapu seluruh ruang.

Tiba-tiba saja, semua benda di ruangan itu tampak buram. Bani merasa makin lemas. Ia tak mau kehilangan Bano. Mereka selalu bersama-sama sejak di dalam kandungan Ibu. Bani menyesal, karena telah mendiamkan Bano selama seminggu ini ….

Dug!

Suara apa itu? Bani tersentak. Curiga. Apakah suara itu berasal dari kolong meja kerja Ibu?

Ada yang bergerak di balik sarung kotak-kotak, di bawah meja kerja Ibu. Ada apa di balik sarung itu?

Bani menutupi sarung itu dengan selimut Bano, lalu menahannya dengan kedua tangannya. Bani menyesal karena tidak menyiapkan tali sebelumnya.

“Oh!”

Bani tercekat. Itu suara Bano! Bani menduga, makhluk itu menyekap Bano di situ.

“Siapa kamu? Jangan ganggu saudaraku!” hardik Bani.

Selimut terangkat. Bano muncul dengan wajah pucat. Ia tampak kebingungan.

“Bano!” Bani memberi isyarat kepada Bano untuk menjauh. Lalu ia menilik-nilik kolong meja Ibu.

Gemas hati Bani. Ia ingin menangkap makhluk yang bersembunyi di balik kain sarung itu.

Dengan cekatan tangan kiri Bani menarik sarung, sementara tangan kanannya berancang-ancang untuk menangkap makhluk asing itu.

Sreeeet !

Tak ada makhluk asing di situ. Yang ada hanya tumpukan kain perca.

“Aku membuat keset-keset dari kain perca, untuk dijual di bazaar sekolah. Uangnya kutabung untuk perpisahan kelas…” Bano mencoba menjelaskan. Lalu ia meminta maaf dan berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk menjahit.

Bani mengacungkan jempol. Lalu ia berkata dengan suara pelan, “Sama! Aku juga sedang menabung ....”


Tiba-tiba Ayah dan Ibu muncul. “Belum tidur, anak-anak?”

Percakapan terhenti.

“Ya, mau tidur!” Serentak Bani dan Bano menjawab, saling memberi isyarat, lalu kembali ke kamar masing-masing.


Saat naik ke tempat tidur, Bani merasa lega. Misteri suara-suara itu telah terungkap, dan ia sudah berdamai dengan Bano. Ia bisa tidur nyenyak sekarang.

Ketukan di pintu membangunkan Bani hampir lima jam kemudian.

Bano muncul sambil membawa kado untuk Bani.

“Selamat ulang tahun, Bani!” Bano menyerahkan kadonya kepda Bani.  

“Terima kasih, ya. Lukisannya, lebih cantik dari aslinya!” lanjut Bano.

“Selamat ulang tahun, Bano!” Bani bangkit untuk menerima hadiah dan berterimakasih kepada Bano.

“Maaf, aku lupa minta izin meminjam sebelah sepatumu,” cetus Bano saat Bani membuka hadiahnya.

Keduanya berpandangan dan bertukar senyum. Hening sesaat.

“Sepatu bola!” sorak Bani saat mencobanya. Ukurannya tepat!



*SELESAI*

(1992 kata)