Lompat ke isi

Momo Beruk yang Takuk Ketinggian

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis:[sunting]

Naskah ini bercerita tentang Momo yang hendak jadi beruk pemetik kelapa. Momo ingin menggantikan mendiang ibunya. Tapi Momo punya trauma ketinggian. Untunglah Momo punya teman yang baik bernama Oja. Berbagai macam cara dilakukan Oja untuk membantu Momo yang terancam dikeluarkan dari sekolah itu. Namun akhirnya Momo bisa mengalahkan ketakutannya itu dengan mengendalikan pikirannya.[sunting]

lokasi kerja Momo

Lakon:[sunting]

  1. Momo beruk
  2. Oja beruk

Lokasi:[sunting]

Kota Pariaman, Sumatra Barat[sunting]

Cerita pendek:[sunting]

"Momo Beruk yang Takut Ketinggian" Momo dan Oja beruk menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) di Kota Pariaman, Sumatra Barat. Sekolah ini adalah satu-satunya sekolah beruk (macaca nemestrina) yang ada di Indonesia, atau mungkin di dunia. Murid yang diterima sekolah ini rata-rata berusia satu hingga tiga tahun. Mereka akan dilatih selama enam bulan.

Setamatnya nanti para beruk bisa langsung bekerja sebagai pemetik kelapa. Majikannya akan menerima upah dari pemilik kelapa. Di Sumatra, khususnya Sumatra Barat, tenaga beruk memang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Beruk (macaca nemestrina) atau sundaland pigtail macaque ini banyak tersebar di pulau Sumatra dan Kalimantan dengan status rentan (menurun populasinya).  

Oja dan Momo beruntung bisa diterima di sekolah ini. Oja beruk berasal dari perbukitan dekat Danau Maninjau. Sedangkan Momo adalah warga setempat, tak jauh rumahnya dari asrama. Oja memang sengaja bersekolah di STIB karena ingin merantau.  Sedangkan Momo ingin cepat bekerja menggantikan Ibunya sebagai pemetik kelapa. Tapi Momo punya masalah besar yang membuatnya galau.

“Sore ini kamu bolos lagi,” sapa Oja setiba di kamar asrama.

Setiap hari ada dua kelas, pagi dan sore. Di kelas pagi semua murid diajarkan cara memuntir kelapa. Sedangkan di kelas sore mereka belajar cara memanjat pohon kelapa. Sejak awal masuk, sebulan lalu, Momo tak pernah ikut kelas sore. Ia selalu beralasan sakit. Padahal Momo murid yang pintar dan sehat.

“Momo, tadi aku tak sengaja dengar omongan Pak Guru tentang kamu,” ujar Oja memanjat kamar asrama mereka.

Oja dan Momo tinggal sekamar. Kamar mereka berupa rumah mini ala rumah pohon yang ditinggikan setinggi kepala orang dewasa.

“Oh ya? Memangnya mereka bicara apa?” tanya Momo bangkit dari tidurnya.

“Kalau seminggu lagi kamu tetap tak masuk kelas sore, kamu akan dipulangkan. Tak boleh lagi sekolah di sini, Momo!” jelas Oja, gusar.

“Hah? Tapi aku mau tetap sekolah,” balas Momo cemas.

“Makanya jangan malas-malasan terus!” seru Oja gemas.

“Siapa bilang aku malas? Aku hanya…,” sahut Momo terdiam.

“Hanya apa? Ayo bilang, Momo!” desak Oja penasaran.

Momo sudah kehabisan alasan untuk membolos. Ia juga malu berterus terang. Tapi Oja mendesaknya terus.

“Aku takut ketinggian!” jawab Momo setengah berteriak.

Setiap hendak memanjat pohon Momo selalu terbayang kejadian menyeramkan itu. Ketika itu Momo sedang asyik bermain dekat pohon kelapa. Tiba-tiba ibunya yang sedang bertugas jatuh dari puncak pohon kelapa. Pohon itu licin sehabis hujan. Ibunya Momo tergeletak di tanah. Matanya sempat menatap Momo lalu terpejam tak terbuka lagi. Momo memanggil-manggil tapi ibunya diam saja tak menyahut. Majikannya lantas menguburkan ibunya Momo. Sejak saat itu Momo tak lagi bertemu ibunya. Momo rindu sekali pada ibunya.

Tak hanya Momo yang sedih, majikannya juga suka melamun sejak  kehilangan beruk kesayangannya itu. Dulu sang majikan sering memasak lemang tapai. Santannya didapat dari kelapa yang dipetik ibunya Momo. Momo suka sekali makanan lezat itu. Tapi kini sang majikan tak pernah lagi memasaknya. Jika ada pelanggan yang minta tolong memetik kelapa, majikannya selalu menolak. Ia bilang tunggu sampai Momo besar saja. Itulah sebabnya Momo masuk sekolah STIB agar bisa segera menggantikan tugas ibunya.

“Kau pasti menertawaiku, kan, Oja?” tuduh Momo pelan.

“Tidak, kok,” sahut Oja menutup mulutnya.

Sebenarnya Oja memang ingin tertawa. Sebab, mana ada beruk yang tak bisa memanjat di dunia ini? Tapi Oja kasian pada Momo. Oja menelan tawanya.

Saat menikmati sunset di atap asrama, Oja terus memikirkan traumanya Momo. Ia tak mau berpisah dari sahabatnya itu.

“Aha!” pekik Oja melompat-lompat.

Hewan omnivora berbadan gembul itu menarik Momo keluar asrama malam-malam. Mereka mengendap-ngendap ke halaman rumah Pak Guru. Oja memang jahil suka mencuri buah rambutan, tapi sebenarnya Pak Guru mengizinkannya, kok. Oja langsung memanjat pohon rambutan yang sedang berbuah lebat itu. Sesampai di puncak ia makan rambutan lalu melempar kulitnya ke Momo.

“Ayo naik ke sini, Momo! Buahnya manis,” seru Oja bergelantungan di dahan.

“Wah, aku mau, dong! Lempar ke sini, Oja!” pinta Momo dari bawah.

“Kamu saja yang naik. Pohon rambutan ini rendah, kok. Kamu tak akan jatuh, Momo,” ujar Oja memancing Momo naik.

Momo ingin makan rambutan, tapi telapak tangan dan kakinya mendadak berkeringat. Jantungnya berdebar-debar. Napasnya naik turun cepat sekali.

“Aku tak bisa,” ujar Momo menyerah.

Setelah lama menunggu, Momo tak juga naik. Oja jadi kasian. Ia lalu melemparkan setangkai rambutan pada Momo. Momo senang sekali. Dalam sekejap buah rambutan itu habis dimakannya.

“Gagal, deh,” keluh Oja menepuk keningnya.

Tapi Oja tak mau menyerah. Besoknya Oja mengajak Momo ke hutan bakau, tak jauh dari asrama mereka di Desa Apar. Hutan bakau itu bersebelahan dengan penangkaran penyu. Setelah puas melihat penyu, mereka masuk ke hutan bakau. Kebetulan sekali pohon-pohonnya sedang berbuah lebat. Oja memanjat pohon pidada kesukaannya. Rasa buahnya manis. Buah pidada (sonneratia caseolaris) bisa diolah jadi sirup, selai atau permen. Buah pidada mengandung vitamin C yang tiggi hampir setara jeruk. Bermanfaat banyak untuk kesehatan.

“Hmm, manisnyaaaa!” gumam Oja tak berhenti makan, “Momo, ayo naik!”

Momo diam saja berdiri di bawah. Walau sudah diiming-imingi buah-buahan enak, Momo tetap saja tak beranjak. Padahal perut laparnya ingin sekali mencicipi buah-buahan hutan bakau itu.

“Aha!” gumam Oja diam-diam melompat turun.

Oja melihat seekor kepiting bakau (scylla) bercapit besar di lubang lumpur. Ia lalu diam-diam mengambilnya dan menaruhnya di belakang Momo. Oja lantas kembali bergelayutan naik ke pohon pidada.

“Momo! Awas ada kepiting! Ayo naik!” teriak Oja pura-pura panik.

Saat menengok ke belakang, Momo melihat sepasang capit besar siap menerkamnya.

“Wuaaaa! Jangan gigit aku!” teriak Momo memanjat pohon pidada sampai ke puncak.

“Tuhh, kan, kamu bisa memanjat, kok, Momo,” pekik Oja bertepuk tangan.

Oja girang sekali usahanya berhasil. Oja meraih buah pidada dan menghadiahkannya untuk Momo.

Selama berada di puncak pohon, lutut Momo menggigil. Keringat dinginnya membanjir. Kedua tangannya mencengkram erat dahan pohon agar tak jatuh.

Keesokan harinya mereka kembali ke hutan bakau. Oja mengajak Momo naik pohon nipah (nypa fruticans) yang sekilas mirip pohon kelapa itu. Isi buahnya mirip kolang-kaling. Dahulu warga memakai daun nipah kering sebagai atap rumah. Sedangkan daun mudanya dijadikan daun pelinting tembakau.

Namun Momo kembali bergeming. Padahal pohonnya rendah tak setinggi pohon pidada. Oja mencoba triknya kemarin, tapi sayangnya tak ada seekor kepiting pun yang muncul. Oja sudah mencarinya sampai ke pantai, tetap saja tak ada. Mungkin mereka takut kumakan, pikir Oja heran. Setelah memetik buah mereka lalu pulang ke asrama.

“Momo, besok kesempatan terakhirmu sekolah di sini. Kamu harus buang jauh  ketakutanmu. Kamu itu seekor beruk. Beruk tempatnya di atas pohon,” bujuk Oja malam itu.

Jika besok Momo tetap tak mau memanjat pohon kelapa, Pak Guru akan memulangkan Momo. Pak Guru sudah menyerah mendidik anak beruk itu.

Momo diam saja menatap titik-titik lampu kapal nelayan yang sedang melaut dekat Pulau Kasiak. Momo sedih tak bisa melanjutkan tugas ibunya. Padahal majikannya sudah berharap banyak pada Momo. Momo jadi ingat kenangan bersama ibunya. Dulu ia sering diajak ibunya memanjat pohon jengkol, naik ke atap rumah warga, serta naik sepeda majikannya. Momo tak takut jatuh saat itu. Momo juga ingat janji ibunya sebelum peristiwa itu. Majikannya akan memasak lemang tapai untuk mereka. Tapi janjinya tak pernah lagi ditepati. Padahal Momo kangen sekali makan lamang tapai bersama ibunya.

Oja tak bisa tidur malam itu. Ia sedih memikirkan nasib Momo yang akan dikeluarkan dari sekolah. Mulai besok tak ada lagi Momo yang pandai bernyanyi di asrama.

“Momo, kamu belum tidur, kan?” tanya Oja.

“Belum. Aku kangen ibu,” sahut Momo terisak-isak.

Oja memeluk sahabatnya itu. Oja bernyanyi menghibur sahabatnya hingga keduanya tertidur.

Esok paginya semua murid berkumpul di kelas memanjat. Pak Guru akan mengetes Momo memanjat untuk terakhir kalinya. Momo berdiri di depan pohon kelapa muda yang sedang berbuah. Pak Guru sudah memberi aba-aba, tapi Momo diam saja menekur.  

“Ayo, Momo! Kamu pasti bisa!” teriak Oja diikuti teman-temannya.

Momo belum maju selangkah pun. Dadanya berdebar kencang. Keringatnya membanjir. Telapak kaki dan tangannya berkeringat membayangkan ketinggian. Peristiwa ibunya jatuh dari pohon itu terbayang lagi. Lutut Momo menggigil. Pak Guru menghitung mundur dari angka sepuluh. Separuh hitungan berlalu, tapi Momo tetap diam. Oja yang putus asa meninggalkan kelas memanjat itu dengan wajah murung.

“Horeee!!!” sorak murid-murid STIB membuat Oja membalik badan.

Oja ternganga melihat Momo tiba-tiba sudah berada di pohon kelapa muda. Hanya sedikit lebih tinggi dari kepala Pak Guru. Tangan Momo menggapai-gapai. Kedua kakinya mendorong tubuhnya ke atas. Perlahan Momo akhirnya sampai di puncak. Momo mulai memuntir sebutir kelapa dan menjatuhkannya.  Lalu memuntir buah berikutnya.

“Yeea! Momo, kamu hebat!” teriak Oja berjingkrat-jingkrat.

Pak Guru dan semua murid STIB bertepuk tangan untuk Momo. Momo tak jadi dipulangkan. Semua orang senang. 

“Momo, tadi kamu hebat sekali. Kok bisa, sih?” tanya Oja penasaran.

“Makasih, Oja. Itu karena aku membayangkan di atas sana ada ibuku. Ibuku suka sekali lamang tapai. Lalu aku mengantarkannya untuk Ibu. Dan, itu juga karena kamu, Oja. Kamu bilang, beruk tempatnya di atas pohon, kan?” jelas Momo tersenyum malu-malu.

Awalnya Momo tak yakin. Tapi ia tak mau menyerah. Momo berdoa dan terus mencoba mengabaikan bayangan buruk itu. Momo hanya fokus membayangkan lamang tapai dan ibunya saja.  Ia ingin jadi beruk sebenarnya, beruk yang pandai memanjat pohon.

“Waah! Lapang tapai, aku mau juga, dong!” sorak Oja tertawa senang.

Oja bertepuk tangan sambil berjingkrak-jingkrak. Ia tak menyangka Momo berhasil mengalahkan ketakutannya. Siang itu mereka merayakannya ke hutan bakau. Mereka memetik buah pidada, buah nipah, buah ketapang lalu makan bersama teman-teman di asrama. Momo senang sekali. Sebentar lagi ia bisa mewujudkan impiannya sebagai beruk pemetik kelapa.

“Ibu, aku tak takut ketinggian lagi,” bisik Momo menatap pohon kelapa.


**