Move On Dengan Menjadi Relawan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Cerpen ini ditulis untuk WikiCeranus oleh Zahwaa Nur Izzah. Terinspirasi dari kejadian nyata ketika Zahwaa mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru di Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Sinopsis[sunting]

Akibat harus meninggalkan Genyem, Kabupaten Jayapura, Papua secara mendadak, Athaya jadi uring-uringan beradaptasi di tempat baru, yakni, Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Ia masih belum bisa move on, dan masih sering galau merindukan tanah Papua. Suatu hari Bunda Athaya, Bu Dinda, meminta bantuan gadis berkerudung panjang itu untuk membantu mengemasi gudang PMI Melawi sebab Bu Dinda berhalangan hadir. Siapa sangka, kegiatan menguras tenaga itu justru malah membuat Athaya perlahan membuka hati untuk Kabupaten Melawi?

Lakon[sunting]

  • Athaya Khairinna Harun, atau Athaya
  • Kurnia Ramadhan, atau Bang Kurnia
  • Indriyani, atau Ibu Indri
  • Adinda Firayanti, atau Bu Dinda/Bunda
  • Linda Purnamasari, atau Kak Linda
  • Bayu Nur Muhammad, atau Bang Bayu

Lokasi[sunting]

Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat

Cerita[sunting]

Sudah satu setengah jam Athaya bergemul di dalam selimut tanpa melakukan apapun selain memandangi langit-langit kamar. Bila masih di Genyem, Kabupaten Jayapura, mungkin saat ini Athaya sedang bermain bersama teman-teman sepantaran ke Kali Biru, menikmati sejuk air jernih dengan semilir angin segar menerpa di hari Minggu. Tapi sayangnya, sekarang Athaya sudah tidak di Genyem lagi.

Pada bulan Maret, tepat sehari sebelum lockdown akibat COVID-19, Athaya meninggalkan tanah Papua. Ayah Athaya dipindah-tugaskan ke Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, sehingga suka tidak suka, gadis tersebut juga berkewajiban untuk ikut. Kendati Kalimantan Barat memang kampung tempat kelahiran Athaya, namun gadis berdarah Sambas itu masih belum bisa rela meninggalkan tanah Papua. Maklum saja, ia sudah menghabiskan separuh usianya di sana sejak kecil.

Yah, sejujurnya Kabupaten Melawi tidak seburuk itu, kok. Kebetulan Athaya menetap di Kecamatan Nanga Pinoh, masih terletak di jantung utama Kabupaten ini. Suasana di sekitar sana pun masih sangat asri jika dibandingkan dengan Kota Pontianak. Dan, meski terletak di ujung Kalimantan Barat, berdekatan dengan Kalimatan Tengah, namun masih terdapat sejumlah swalayan bergengsi seperti Alfamart dan Indomaret, tidak seperti di Genyem, atau Kota Jayapura sekali pun.

Tapi tetap saja... Athaya belum bisa melupakan Papua.

"Sudah bangun, Kak Thaya?"

Seorang wanita berparas cantik khas suku Dayak kemudian masuk ke kamar Athaya. Tentu saja, wanita tersebut adalah Bu Dinda, Bunda dari Athaya. Entah bagaimana, meski sudah memasuki usia kepala empat, namun wajah Bu Dinda masih tampak muda. Saat Bu Dinda duduk menempati sudut ranjang, Athaya mulai beringsut bangkit dari gemulan selimut.

"Sudah dari tadi sih, Bun. Cuma mager mau ngapa-ngapain." balas Athaya.

"Ya ampun, masih muda ngapain mager? Gak mau jalan-jalan ke mana gitu mumpung weekend?" tanya Bu Dinda seraya mengusap kepala Athaya.

"Bingung mau jalan-jalan ke mana. Di sini cuma ada sungai, kan? Gak asik, nggak aesthetic." seloroh Athaya terlalu jujur, membuat Bu Dinda seketika malah tertawa geli. "Di sini emang cuma ada sungai, tapi bukan orang Pontianak namanya kalau nggak main ke sungai."

"Hmmm, tapi Athaya kan orang Papua, Bunda." cicit Athaya masih keras kepala dengan suara masih terdengar serak, membuat Bu Dinda geleng-geleng kepala.

"Ya sudah, kalau memang nggak tahu mau ke mana, Bunda minta tolong aja deh sama Kak Thaya, daripada gabut nggak jelas. Mau kan?"

Sesaat Athaya bimbang harus mengiyakan, atau menolak dengan alasan masih ngantuk. Tapi karena mata Bunda terlanjur tampak sangat berbinar mengharapkan Athaya mau, maka gadis itu pun tak kuasa mengatakan tidak kepada sang Bunda. Ia akhirnya mengangguk pasrah.

"Iya, Thaya mau. Bunda mau minta tolong apa?"

Berangkat Ke Markas PMI Melawi[sunting]

Sama sekali tidak terbesit dalam benak Athaya sebelumnya, kalau akan diminta oleh Bunda untuk menghadiri kegiatan kerja bakti mengemasi gudang PMI Melawi akibat Bunda sedang keram akibat kedatangan tamu bulanan. Sejujurnya, mungkin, itu sekadar alasan Bunda saja untuk mengusir Athaya dari atas ranjang, sebab ekspresi Bunda tadi terlihat baik-baik saja. Tapi selaku anak baik, meski sedikit uring-uringan, Athaya tetap menepati ucapannya.

Kini gadis berkerudung panjang itu sedang berjalan kaki menuju tempat markas PMI Melawi. Jarak antara markas dengan rumah Athaya memang tidak begitu jauh namun tidak juga dekat. Tapi karena belum mempunyai kendaraan pribadi, maka gadis itu tidak punya pilihan selain berjalan seiring merasakan terik matahari di Nanga Pinoh saat ini.

Tak lama setelah itu, Athaya mendapati di seberang jalan sudah mulai nampak sebuah rumah sederhana dengan bendera PMI terpampang di depan. Lalu seiring langkah Athaya semakin dekat, maka semakin terlihat beberapa motor sudah terparkir di halaman rumah tersebut, membuat gadis itu menjadi gugup. Lebih sering menghabiskan waktu di Kota Pontianak, kemudian uring-uringan setiap kembali ke Nanga Pinoh membuat Athaya belum pernah bercengkrama dengan siapa pun selain para tetangga. Jadi, jujur, saat ini Athaya benar-benar merasa sangat gugup sampai rasanya ingin kembali ke rumah saja.

Tapi tentu saja, itu sekadar jeritan batin Athaya saja. Sebab mau bagaimana pun, Athaya sudah terlanjur sejauh ini. Sehingga meski merasa gugup setengah mati, namun Athaya memilih untuk tetap menyeberangi jalanan dan mulai memasuki pekarangan halaman rumah sederhana tersebut. Pintu rumah tersebut tampak sudah terbuka lebar dengan batu menyangga. Suara-suara heboh juga terdengar dari dalam, membuat gadis tersebut semakin ragu untuk mengetuk. Namun ketika Athaya hendak mengambil langkah mundur, seorang pria kemudian keluar dengan membawa plastik sampah. Begitu pria tersebut terlanjur menyadari kehadirannya, buru-buru Athaya mendekat sembari menyunggingkan senyuman tipis terbaik yang dimilikinya.

"Selamat pagi Pak, saya Athaya, anaknya Bu Dinda. Karena Ibu lagi berhalangan dateng, jadi saya diminta Ibu untuk bantu-bantu bereskan gudang." ucap Athaya langsung menjelaskan. Sebenarnya, pria di depannya ini belum terlihat cukup tua untuk dipanggil Pak, ia mungkin sekitar tujuh tahun lebih tua dari Athaya. Tapi karena baru pertama kali bertemu, Athaya pikir, maka mungkin lebih sopan seperti itu, kan?

"Oh, iya, masuk aja. Ada Ibu Kepala Markas di dalam." balas pria tersebut akhirnya.

Tepat setelah berterimakasih kepada pria itu, Athaya pun akhirnya masuk memijakkan kaki di lantai kayu rumah tersebut seraya mengucapkan salam. Rupanya sudah terdapat beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan kotak-kotak dari gudang. Mereka sempat membalas salam Athaya, tapi karena mereka tampak masih sangat sibuk, maka Athaya cukup memperkenalkan diri dengan singkat sebelum akhirnya turut bergabung mengeluarkan kotak-kotak tersebut.

Kotak-kotak tersebut ternyata berisi seperangkat alat sanitasi seperti sabun dan sabun cuci, serta alat makan seperti sendok, gelas, dan juga piring. Alasan mengapa harus dikeluarkan dari gudang adalah untuk dirapikan sebab beberapa barang sudah terkena gigitan dan juga kencing tikus, sehingga harus dibuang karena tidak layak untuk dibagikan.

Cukup lama Athaya dan juga para relawan berkutat mengangkat satu-persatu kotak tersebut, sampai kemudian tanpa sadar gadis itu mulai hanyut dalam aktivitas tersebut. Rasa gugup yang tadi sempat membuatnya ingin pulang seolah sudah lenyap begitu saja tanpa bekas. Bahkan gadis itu sekarang sudah mulai ikut menertawakan candaan diantara para relawan meski sesekaliAthaya masih membutuhkan waktu untuk mencerna gurauan dalam bahasa Melayu yang dilontarkan mereka. Kendati demikian, para relawan yang ada di sana sungguh menyambut kedatangan Athaya dengan baik.

Dari obrolan demi obrolan yang menemani selama aktivitas menguras tenaga ini berlangsung, Athaya pun mengetahui bahwa Kabupaten Melawi ini sering sekali terkena dampak banjir. Tak sampai di situ saja, akibat terletak di ujung dengan akses jalan utama rentan terendam air membuat Kabupaten Melawi seringkali terisolasi jika sudah terjadi banjir besar di Kalimantan Barat.

Yah, sebetulnya gadis berdarah Sambas ini memang sempat mendengar dari Ayahnya, kalau Kabupaten Melawi sempat mengalami banjir besar beberapa waktu lalu. Tapi karena posisi Athaya saat itu sedang berada di Kota Pontianak, jadi ia tidak menyaksikan secara langsung seberapa parah kondisi banjir yang melanda Melawi saat itu.

Sementara itu untuk PMI Kabupaten Melawi sendiri, sebetulnya jauh berbeda dengan PMI di Kabupaten lain, bahkan PMI Sentani sekali pun yang memiliki gedung serta UTD (Unit Transfusi Darah) sendiri. Mereka tidak memiliki dana operasional, akibat tidak memiliki UTD sendiri, kekurangan relawan aktif, hingga kekurangan kendaraan untuk mobilisasi dalam menyalurkan bantuan ke masyarakat. Bahkan rumah sederhana yang dijadikan markas ini pun merupakan pinjaman dari seseorang yang berhati dermawan. Akan tetapi, terlepas dari seluruh kekurangan tersebut, Athaya berhasil dibuat takjub sebab hanya dengan berbekal barang-barang bantuan dari pusat yang berbentuk kotak-kotak paketan sanitasi ini, mereka tetap mencoba aktif dalam memberikan bantuan kepada masyarakat di setiap pelosok kampung tanpa pamrih tatkala bencana alam terjadi.

Benar-benar menakjubkan.

"Mau coba ikut ke lapangan, Nong*?" celetuk Ibu Indri, sang Kepala Markas, begitu selesai menjawab segenap pertanyaan Athaya mengenai banjir besar beberapa waktu lalu. Sontak Athaya jadi terperangah mendengar ajakan tersebut. "Emang boleh, Bu? Saya kan bukan relawan?"

Jujur, Athaya memang penasaran bagaimana rasanya menjadi relawan yang biasa terjun ke lapangan, menyalurkan bantuan kepada masyarakat setempat secara langsung. Apalagi katanya nanti, tepat setelah makan siang sehabis mengemasi gudang, beberapa relawan, termasuk Ibu Indri selaku Kepala Markas, hendak mendatangi salah satu desa di seberang Sungai Melawi yang selalu terkena dampak banjir akibat lokasinya sangat dekat dengan sungai besar.

"Ya, nggak apa-apa, Nong. Siapa tahu setelah itu jadi tertarik mau gabung dengan PMI." balas Ibu Indri seraya tersenyum simpul.

"Iya, nggak apa-apa, Athaya. Ikut aja, buat nambah pengalaman." sambung Kurnia, pria berkacamata yang sekarang duduk di seberang Athaya, sedang memisahkan antara sikat gigi dengan sabun mandi. Kurnia Ramadhan, atau yang mulai sekarang akan Athaya panggil Bang Kurnia, ini adalah salah satu relawan PMI Melawi yang paling aktif.

Melihat antusias tersebut, Athaya akhirnya tersenyum sambil mengangguk malu-malu. "Boleh deh Bu, saya mau coba ikut."

Naik Perahu Menuju Melawi Kiri Hilir[sunting]

Ini mungkin terdengar sangat norak, sungguh. Akan tetapi, hati Athaya tidak bisa berhenti berbunga-bunga setelah berada di atas sampan dengan mesin motor air ini. Walau adrenalin sempat terpicu cepat ketika harus melalui jembatan begitu kecil untuk ke sampan, namun Athaya tetap merasa senang sekali dapat merasakan naik sampan untuk pertama kalinya.

Saat ini Athaya, Ibu Indri, Kurnia, serta dua orang relawan bernama Linda dan Bayu, sedang akan menuju Desa Melawi Kiri Hilir. Mereka sudah membawa sejumlah bantuan berupa alat sanitasi serta alat makan, sebab setelah banjir, barang-barang sanitasi juga sangat diperlukan untuk membersihkan bekas-bekas air banjir.

Hamparan sungai dengan air berwarna coklat kekuningan akibat endapan lumpur ini membuat Athaya bergidik menahan napas. Ia sudah biasa melihat air jernih di Papua, tapi air endapan lumpur seperti ini? Jujur, membuat Athaya merinding membayangkan sedalam atau terdapat makhluk apa di bawah sana. Apalagi seumur hidup, baru kali ini Athaya naik sampan. Tentu saja isi kepala gadis tersebut saat ini dipenuhi andai-andai terlalu imajinatif namun juga mengerikan.

Sembari menikmati hembusan angin menerpa, Athaya mulai membuka obrolan dengan Ibu Indri, membicarakan tentang Desa Melawi Kiri Hilir, tujuan mereka. Kata Ibu Indri, di sana benar-benar memprihatinkan. Untuk saat ini, akses utama sekadar mengandalkan sampan saja, belum ada jembatan untuk menghubungkan antara desa-desa di seberang sana dengan Kecamatan Nanga Pinoh, selaku jantung kota Kabupaten Melawi.

Tak lama kemudian, sampan mereka mulai mendekati sebuah rumah kayu mengapung di atas sungai, atau biasa disebut rumah lanting. Terlihat seorang pria baruh baya beserta beberapa anak muda sudah menunggu kedatangan mereka dengan sukacita. Menurut penjelasan Ibu Indri sebelum sampan mereka benar-benar ditautkan di rumah lanting tersebut, pria paruh baya berkopiah itu adalah Kepala Desa Melawi Kiri Hilir. Karena sudah dihubungi oleh Ibu Indri sebelumnya, maka Bapak Kepala Desa tersebut meminta bantuan anak-anak muda di sekitar untuk turut membantu menurunkan muatan barang-barang dari PMI Melawi.

Begitu naik ke rumah lanting tersebut setelah melepaskan life jacket, jantung Athaya nyaris melompat akibat kayu rumah tersebut sangatlah licin. Ditambah ternyata mereka masih harus menaiki jembatan setapak lagi untuk masuk ke tempat pemukiman warga. Bila tadi Athaya sedikit tenang karena masih mengenakan life jacket, sekarang gadis itu jadi cemas karena sudah berganti mengenakan rompi biasa.

Sambil membawa sebagian paketan sanitasi sebab tidak ingin menjadi beban kelompok, Athaya akhirnya mau tidak mau menaiki jempatan setapak dengan bagian ujung semakin naik menanjak secara perlahan. Mungkin karena belum terbiasa, jadi sejujurnya masih sulit bagi gadis berkerudung panjang itu untuk menjaga keseimbangan selagi membawa sebagian paketan sanitasi.

"Terima kasih banget, Bang." cicit Athaya setelah menghembuskan nafas lega usai berhasil menaiki jembatan setapak tersebut, kepada Kurnia. Rupanya pria berkacamata itu berada tepat di belakang Athaya saat menaiki jempatan, dan alasan Athaya berterimakasih adalah, pria tersebut benar-benar bersabar menunggu Athaya mengambil langkah demi langkah.

Kurnia tertawa geli saja mendengar Athaya tampak selega itu. "Sama-sama, Athaya."

Mereka pun lekas mengejar langkah Ibu Indri, Linda, dan Bayu yang sudah jalan terlebih dahulu. Saat mulai mengamati sekitar, alangkah pilu hati Athaya saat mendapati kondisi beberapa rumah tampak mengenaskan setelah terkena dampak banjir. Samar-samar pun Athaya dapat mendengar obrolan antara Bapak Kepala Desa dan Ibu Indri, mengenai bagaimana mereka selama banjir terpaksa mengungsi ke dataran tinggi lalu membuat kemah dari terpal-terpal untuk melindungi harta benda mereka. Mereka memang bisa saja mengungsi ke tempat lebih layak, akan tetapi, harta benda mereka bisa saja hanyut atau menghilang begitu saja.

"Selamat sore, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak sekalian." sapa Ibu Indri dengan ramah kepada masyarakat. Selain terkejut karena ternyata masyarakat setempat sudah menunggu kedatangan mereka, Athaya juga dibuat takjub saat para anak-anak langsung berbondong-bondong menghampiri Linda dan Bayu dengan gembira.

"Mereka emang udah sayang banget sama si Linda dan Bayu." ujar Kurnia menjelaskan tanpa diminta, membuat Athaya menjatuhkan atensi sejenak kepada pria tersebut seraya mengangguk-angguk. "Oh, gitu toh..."

"Tapi mereka nggak begitu ke Bang Kurnia deh. Berarti mereka nggak sayang Bang Kurnia dong?" tanya Athaya lugu tanpa berkedip, membuat Kurnia sontak menepuk pelan kepala Athaya dengan gulungan spanduk. "Kurang asem, nggak usah diperjelas!"

Karena Linda dan Bayu merupakan tim PSP (Psychosocial Support Programme), maka mereka berfokus dalam meningkatkan kesejahteraan psikososial masyarakat setempat, khususnya anak-anak dengan berbagai kegiatan menyenangkan. Dibantu dengan Bapak Kepala Desa, Ibu Indri dan Athaya dalam membagikan bantuan kepada masyarakat. Sementara Kurnia melakukan sanitasi ke mushola setempat bersama sebagian warga.

Entah mengapa hati Athaya seperti ikut merasa bahagia setiap melihat kebahagiaan warga tatkala menerima bantuan tersebut. Sore ini senyuman gadis dengan nama lengkap Athaya Khairinna Harun benar-benar terpatri tanpa pamrih. Sesekali ia membuka obrolan dengan Nenek-Nenek di sana, dimana langsung disambut dengan hangat.

"Terime kaseh, Nong. Ndak cuma cantek paras, tapi hati juga cantek. Sehat-sehat selalu, murah rejeki, dapat jodoh orang baek." ujar salah satu dari Nenek-Nenek tersebut dengan logat Melayu, seraya memeluk Athaya. Walau sempat terkejut, gadis itu pun buru-buru membalas pelukan tersebut dengan hangat. "Iya Nek, sama-sama. Sehat-sehat selalu juga, Nek."

Tak sampai di situ saja, selain ucapan berterimakasih, Athaya terus mendapatkan doa-doa baik, membuat gadis itu tak kuasa mengulum senyum terharu. Kegundahan hati Athaya sejak berada di Nanga Pinoh seolah lenyap begitu saja. Kemudian melihat bagaimana Linda dan Bayu bermain bersama anak-anak, hingga Kurnia sibuk bergotong-royong dengan masyarakat membuat Athaya benar-benar berdecak kagum.

Begini kah ternyata kehidupan sebagai seorang relawan?

Sampai kemudian kegiatan menyalurkan bantuan berakhir dengan lancar. Saat berpamitan, sekali lagi Athaya mendapatkan dekapan hangat dari seorang Nenek. Kebetulan Nenek itu sempat mengobrol dengan Athaya sebelumnya, mengenai tempat asal Athaya. "Semoga betah di Pinoh ya Nong, supaya bisa menyebarkan kebaikan pada sesama."

Ucapan Nenek itu terus terngiang-ngiang dalam benak Athaya bahkan sampai mereka sudah kembali ke markas.

"Gimana? Asik kan jadi relawan?" tanya Kurnia membuka obrolan setelah ikut duduk di sebelah Athaya, menikmati senja di depan teras halaman markas. Ibu Indri sudah terlebih dahulu meninggalkan markas, disusul dengan Linda dan Bayu, pasangan cinta lokasi PMI Melawi. Yah, sebenarnya di dalam masih ada Pak Rudi, yang menempati sekaligus menjaga markas, dan juga Kohar, pria yang tadi pagi membuang plastik sampah di dalam, akan tetapi, karena mereka sedang kedatangan tamu dari kantor Pak Rudi, maka Athaya yang sedang menunggu jemputan memilih duduk di luar sendirian—sampai kemudian Kurnia datang membuka obrolan.

"Iya Bang. Asik banget malah, hehe." ungkap Athaya seraya cengengesan.

"Kalau mau jadi relawan, bilang aja ke Bu Indri. Walau belum ada training khusus relawan untuk tahun ini karena nggak ada anggaran, tapi tenaga relawan baru lagi dibutuhin banget sekarang." seloroh Kurnia tanpa melepaskan tatapan dari Athaya, selaku lawan bicara. "Bu Dinda kan juga relawan, bilang aja." tambah Kurnia lagi.

"Berasa make jalur orang dalem dong?" bisik Athaya, membuat Kurnia tergelak. "Ya enggak juga lah!"

Ada jeda sejenak seiring suara desingan motor di jalanan mengisi kekosongan tersebut, sebelum Kurnia kembali angkat bicara. "Minggu depan dateng aja lagi ke markas. Kita bakal kedatangan relawan Rumah Zakat."

"Serius?"

"Iya, serius. Ibu Kepala Markas dan relawan lain juga bakal nggak keberatan, aku yakin."

Entah mengapa, jawaban Kurnia membuat Athaya merasa seperti—menjadi relawan mungkin saja memang merupakan jalan supaya bisa move on dari Papua. Mau bagaimana pun, nyatanya, Athaya memang harus segera mulai mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru ini, kan? Lagipula Athaya sudah terlanjur dibuat terpukau seharian ini dengan menyaksikan langsung bagaimana kegiatan relawan PMI.

"Terima kasih, Bang Kurnia!"

Senyuman Athaya pun kembali merekah dengan sempurna, membuat Kurnia tertegun sejenak. Tapi belum sempat pria itu memberi respon, klakson mobil Ayah Athaya kemudian membuyarkan fokus Kurnia secara paksa.

Catatan[sunting]

  • Anong/Nong adalah panggilan kesayangan untuk anak perempuan dalam bahasa Melayu (Pontianak).
  • Kemungkinan akan dilanjutkan/digabungkan sebagai salah satu bagian dari Petualangan Athaya, setelah WikiCeranus selesai.